cover
Contact Name
Firdaus Annas
Contact Email
firdaus@uinbukittinggi.ac.id
Phone
+6285274444040
Journal Mail Official
humanisma.uinbukittinggi@gmail.com
Editorial Address
Data Center Building - Kampus II Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi. Jln Gurun Aua Kubang Putih Kecamatan Banuhampu Kabupaten Agam Sumatera Barat Telp. 0752 33136 Fax 0752 22871
Location
Kab. agam,
Sumatera barat
INDONESIA
HUMANISMA : Journal of Gender Studies
ISSN : 25806688     EISSN : 25807765     DOI : http://dx.doi.org/10.30983/humanisma
Core Subject : Humanities, Social,
HUMANISMA: Journal of Gender Studies (e-ISSN: 2580-7765 & p-ISSN: 2580-6688) is a Academic Journal Publication by Center for the Gender and Children Studies of State University for Islamic Studies (UIN) Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi, West Sumatra, Indonesia. It specializes in research on Gender and Child problems from a range of disciplines and interdisciplinary fields. The interdisciplinary approach in Gender studies is used as a method to discuss and find solutions to contemporary problems and gender and child issues. The topic covered by this journal includes fieldwork studies with different viewpoints and interdisciplinary studies in sociology, anthropology, education, politics, economics, law, history, literature, and others. The editorial team invites researchers, scholars, and Islamic and social observers to submit research articles that have never been published in the media or other journals
Articles 136 Documents
PENGUATAN KAPASITAS PEREMPUAN SEBAGAI STEAKHOLDER DALAM PENANGGULANGAN KORBAN BENCANA BANJIR DI PANGKALAN Suyito Suyito; Redni Putri Meldianto; Siti Annisa; Tesi Prima
HUMANISMA : Journal of Gender Studies Vol 3, No 2 (2019): December 2019
Publisher : Universitas Islam Negeri Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (410.329 KB) | DOI: 10.30983/humanisme.v3i2.2406

Abstract

This article examines the fulfillment of women's rights in disaster situations that occur in Pangkalan Koto Baru District. The flood disasters occurred in the study area had an impact on women and men, especially when in refugee camps when the disaster occurred. Stakeholders as the ones who is responsible for handling problems in this refugee camp should be professional person in handling people based on gender and age. This has become very important act because women are included in vulnerable groups and require special treatment on emergency. It turns out that women are more vulnerable groups as victims of disasters than men. Based on these conditions, women need variety of strengths dealing with disasters, in order to rise from the threats as the impact of the disaster. The strengthening capacity of women was related to the strengthening of economic, psychological, and mentality. It was done to fulfill the women's rights when disasters happen and its impacts.
PENELANTARAN HAK-HAK ANAK AKIBAT PERNIKAHAN PADA USIA DINI Januar Januar
HUMANISMA : Journal of Gender Studies Vol 1, No 1 (2017): June 2017
Publisher : Universitas Islam Negeri Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (230.568 KB) | DOI: 10.30983/jh.v1i1.243

Abstract

The aims of child protection is enable children to grow and develop optimally. The responsibility and protection of the children lies on their parents. Therefore, the parents are the spearhead of child protection as stated in the Law on Human Rights (pasal 26 paragraph 2). There are many crime in children such as child sexual violence and malnutrition. Moreover, children also get violence from parents and people closest. In other case, children are forced to earn money eventhough they should go to school. One causal factor influencing is the lack of knowledge from their parents and the readiness of the financial. In addition, this condition is often experienced by families from early-age marriage. Perlindungan terhadap anak bertujuan agar anak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Tanggung jawab dan perlindungan anak terletak pada orang tua, maka orang tualah yang menjadi ujung tombak perlindungan anak sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang tentang Hak Asasi Manusia pasa 26 ayat 2. Banyak terjadi kasus penelantaran hak-hak anak seperti kasus kekerasan seksual anak juga sering dijadikan ekspose ekonomi keluarga seharusnya anak bersekolah akan tetapi anak harus dibebani untuk mencari nafkah keluarga, anak memperoleh tindakan kekerasan dari orang tua serta orang terdekat, tidak terpenuhinya kesehatan dan gizi yang baik. Kondisi seperti ini terjadi salah satunya karena bekal pengetahuan dari orang tuanya yang kurang serta kesiapan dari material yang belum ada. Kondisi ini sering dialami oleh keluarga dari pasangan yang menikah pada usia dini.
THE ROLES OF HOUSEWIFES IN INFORMAL SECTOR (Study on Production of Batu Kapur in Desa Mangkung Lombok Tengah) Rohimi Rohimi
HUMANISMA : Journal of Gender Studies Vol 3, No 1 (2019): June 2019
Publisher : Universitas Islam Negeri Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (530.73 KB) | DOI: 10.30983/humanisme.v3i1.1060

Abstract

Dalam penelitian mengkaji tentang peran yang dilakukan oleh perempuan yang sudah menjadi seorang ibu rumah tangga di Desa Mangkung yang bekerja sebagai buruh dalam proses produksi batu kapur. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan menggunakan langkah-langkah pengumpulan data seperti wawancara, observasi, dan dokumentasi. Tujuan dari penlitian ini, untuk mengetahui bagaimana peran perempuan yang sudah menjadi seorang ibu rumah tangga yang bekerjasama dengan kaum laki-laki pada pekerjaan produksi batu kapur. Dan Hasil dalam penelitian ini seperti mereka yang sudah menjadi seorang ibu rumah tangga, akan tetapi sangat berpartisipasi dalam pekerjaan proses produksi batu kapur dengan laki-laki, bahkan pekerjaan kaum perempuan pada produksi batu kapur lebih dominan dari pada pekerjaan buruh laki-laki walaupun sedikit ringan. Dan bagaimana peran kaum perempuan yang sudah menjadi seorang ibu rumah tangga yang ikut andil dan berpartisipasi dan bekerja sama dan kolaborasi dengan laki-laki pada lingkup pekerjaan yang sama yakni pada proses produksi batu kapur. Dan faktor pendorong mereka bekerja sebagai buruh produksi batu kapur yakni (a) lemahnya ekonomi keluarga, (b) melestarikan pekerjaan budaya, dan (c) lemahnya wawasan dan pengetahuan. Sedangkan kendala yang dihadapi ibu rumah tangga sebagai buruh dalam produksi batu kapur. Pertama, kendala secara fisik seperti beratnya pekerjaan yang dilakukan pada produksi batu kapur, seperti merubuhkan batu kapur setelah pembakaran, menaikkan dan menurunkan kapur saat pergi pemasaran, bahkan sampai mereka menggunakan alat pengaman seperti masker, dan sarung tangan untuk menjaga keselamatan dan kesehatan fisik mereka saat bekerja. Kedua, kendala terhadap posisinya sebagai seorang ibu rumah tangga yang harus mengedepankan pekerjaan primernya di dalam rumah seperti mempersiapkan kebutuhan suami dan anaknya. Jangan sampai dengan eksistensinya dalam pekerjaan diluar rumah sebagai buruh produksi kapur dan lupa akan tanggung jawbanya sebagai seorang istri.  Kata Kunci: Peran ibu rumah tangga, sektor informal, dan produksi batu kapur
Human Rights Manifestation Through Enforcement of Communal Land Ownership Rights for Women in Minangkabau Tafkir Tafkir
HUMANISMA : Journal of Gender Studies Vol 5, No 1 (2021): June 2021
Publisher : Universitas Islam Negeri Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (234.963 KB) | DOI: 10.30983/humanisme.v5i1.4042

Abstract

A complex issue that is very difficult to unravel in the Minangkabau community is about communal land as a high inheritance according to Minangkabau customs. In Minangkabau custom, the land is women's right, but in control and who takes the lead to maintain land tend to cause dispute between men and women in its development and utilization. High inheritance assets that women should own should be fully controlled and utilized by the brothers. Meanwhile, women must be willing to leave the clan to find residential or agricultural land. This problem becomes more acute when economic problems and social stratification are carried away in the dialogue. Often the rights that women should naturally receive in Minangkabau are crippled by gender stratification developed by brothers who feel more powerful and feel physically and economically stronger. Persoalan pelik yang sangat susah diurai dalam masyarakat Minangkabau adalah persoalan tanah ulayat sebagai harta pusaka tinggi menurut adat Minangkabau. Dalam adat Minangkabau, tanah adalah hak perempuan, namun dalam pengawasaan dan penguasaan sering kali timbul silang sengketa antara laki-laki dan perempuan dalam penguasaan dan pemanfaatannya. Harta pusaka tinggi yang seyogyanya dimililiki oleh perempuan dikuasai dan dimanfaatkan secara penuh oleh saudara laki-laki. Sementara perempuan harus rela keluar dari kaum untuk mencari lahan pemukiman atau pertanian. Persoalan ini semakin meruncing ketika persoalan ekonomi dan kekuatan stratifikasi sosial terbawa dalam dialog tersebut. Sering kali hak yang seharusnya diterima perempuan secara asasi di Minangkabau terkebiri oleh strafikasi gender yang dikembangkan oleh saudara laki-laki yang merasa lebih berkuasa dan merasa lebih kuat secara fisik dan ekonomi.
PEMBERDAYAAN WANITA DAN TANAH ADAT MINANG Azima Azima
HUMANISMA : Journal of Gender Studies Vol 2, No 2 (2018): December 2018
Publisher : Universitas Islam Negeri Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (293.54 KB) | DOI: 10.30983/jh.v2i2.773

Abstract

In the Minang community, women are considered as holders of trust and all decisions related to the use of their typical land are still dependent on the decisions of the adat leaders. In another sense, a woman is justified in possessing but the property given to her is pregnant soon (Norhalim Ibrahim 2005). Indigenous women will be grouped with land ownership but in terms of power and rights to land still controlled by traditional leaders. The lack of power in the context of managing and using customary land has led to various issues that have touched indigenous lands. The issue is the issue of customary land that is not cultivated and has become widespread. Therefore, this study aims to examine how indigenous women become hindered as a result of the boundaries held by them. Therefore, in-depth interviews with customary land owners in the study area were conducted. The study found that there were a number of obstacles that hindered efforts to capture indigenous women. Because of the allocation of Enakmen Chapter 215 customary land, conflicts between trustees and tribes, it is difficult to obtain credit facilities and the location of customary land. This situation eventually pushed to the limits of efforts to wake up the economy of women. The lack of power resulting from limited property rights makes the economic empowerment of indigenous women not easy to handle. Thus some changes in the context of traditional leadership must need to think about the relevance of ownership that is more utilizing the owner, but in the same period it does not conflict with the existence of the Minang ethnic and ethnic groups.Dalam masyarakat Minang wanita dianggap sebagai pemegang amanah dan segala keputusan berkait dengan urusan pemakaian tanah khasnya masih lagi tergantung kepada keputusan pemimpin adat. Dalam erti lain, seseorang wanita itu dibenarkan memiliki tetapi hakmilik yang diberikan kepadanya adalah hamilik terhad (Norhalim Ibrahim 2005).   Wanita adat akan  diompokkan dengan pemilikan tanah tetapi dari segi kuasa dan hak terhadap tanah masih dikuasai oleh pemimpin adat.  Ketiadaan kuasa dalam konteks mengurus dan memakai tanah adat menyebabkan timbul pelbagai isu yang menyentuh tanah adat. Antaranya adalah isu tanah adat yang tidak diusahakan dan menjadi terbiar. Oleh yang demikian kajian ini bertujuan untuk meneliti bagaimana pemerkasaan wanita adat menjadi terhalang akibat daripada sekatan pegangan yang dimiliki oleh mereka.  Oleh itu indepth interview dengan pemilik tanah adat  di kawasan kajian dilakukan. Dapatan kajian mendapati terdapat beberapa halangan yang menghalang usaha untuk memperkasakan wanita adat.  Antaranya peruntukan tanah adat Enakmen Bab 215, konflik antara pemegang amanah dan keberadaan suku, kesukaran mendapatkan kemudahan kredit dan lokasi tanah adat.  Keadaan ini akhirnya mendorong kepada batasan terhadap usaha membangunkan ekonomi wanita.  Ketiadaan kuasa akibat daripada hak milik yang terhad menjadikan  usaha pemberdayaan ekonomi wanita adat menjadi tidak mudah untuk ditangani.  Oleh demikian beberapa perubahan dalam konteks kepimpinan adat harus perlu memikirkan kerelevanan pemilikan yang lebih memanfaatkan pemilik namun dalam masa yang sama tidak mempertikaian keberadaan suku dan etnik minang. Keywords: Indigenous women, empowerment, ownership of land, land ownership and pregnancy
Work Family Conflict pada Pegawai Wanita yang sudah Menikah dan Memiliki Komitmen Organisasi Tinggi Widia Sri Ardias; Fazly Haryudha
HUMANISMA : Journal of Gender Studies Vol 4, No 2 (2020): December 2020
Publisher : Universitas Islam Negeri Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (311.088 KB) | DOI: 10.30983/humanisme.v4i2.3509

Abstract

The main challenge for a working woman is related to how she divides her role as an employee in the office and her domestic role at home. This research aims to find out the relationship of organizational coork family conflict in female employees.The research method used is the correlational quantitative method. The population in this study was all female employees who worked and had families. The research sample numbered 45 employees at one of the service offices in West Sumatra Province. The sampling technique in this study uses a total sampling technique, which is to take the entire population as a respondent or sample. The results of this study found female employees who had families in the analysis results there was a linear positive relationship between Organizational Commitment and Work Family Conflict in Female Employees of Social Services of West Sumatra Province. So the higher the commitment of the organization the higher the work family conflict. Researchers advise that female employees can perform tasks and responsibilities according to the time the agency gives and can divide time with family.Tantangan utama pada seorang perempuan yang bekerja adalah terkait bagaimana ia membagi peran sebagai karyawan dikantor dan peran domestiknya di rumah.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan komitmen organisasi dengan work family conflict pada pegawai wanita yang sudah menikah. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kuantitatif korelasional. Populasi pada penelitian ini pegawai wanita yang bekerja dan berkeluarga. Sampel penelitian berjumlah 45 pegawai pada salah satu kantor dinas di Provinsi Sumatera Barat. Teknik sampling pada penelitian ini menggunakan teknik purposif sampling, yaitu mengambil sampel penelitian yang memenuhi kriteria partisipan penelitian. Hasil penelitian ini menemukan ada hubungan positif linear yang signifikan antara komitmen organisasi dengan work family conflict pada pegawai wanita yang sudah berkeluarga. Sehingga semakin tinggi komitmen organisasi semakin tinggi pula work family conflictnya. Saran peneliti agar pegawai wanita dapat melakukan tugas dan tanggung jawab sesuai dengan waktu yang di berikan instansi serta dapat lebih terampil untuk membagi waktu sehingga perannya tetap optimal di dalam keluarga.
Women’s Role and Position During Democratic Transition Period: A Comparison of Indonesia and Thailand Kurniawati Hastuti Dewi
HUMANISMA : Journal of Gender Studies Vol 6, No 1 (2022): June 2022
Publisher : Universitas Islam Negeri Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (317.52 KB) | DOI: 10.30983/humanisme.v6i1.5475

Abstract

This paper observes the historical, cultural, political, and social aspects of Indonesian and Thailand women to understand the progress of the women’s role and position in the two countries, especially during the democratic transition period. This is qualitative research that utilized library sources to collect information and data through various resources such as books, documents, historical books, and webistes dated back from 1970s to 2000s in Indonesia and Thailand. Although there are similarities in development programs to address women's role and position before democratization in Indonesia and Thailand as both of them mainly focused on “practical gender interests”. Interestingly, this paper reveals that during the democratic transition period, Indonesian women’s role and position in politics are one step ahead. This is due to the political stability, persistent commitment of the government to the gender equality agenda, and growing support from progressive Muslim leaders.  In contrast, political turbulence due to often military coups which result in the government’s slow performance for women’s advancement combined with less support from Buddhist leaders slowed the progress of Thailand women. This paper highlights the important role of the government policy on gender equality for women’s advancement, political stability, and the role of the majority religion (Islam in Indonesia and Theravada Buddhism in Thailand) to support women's role and position in politics.Tulisan ini mengkaji aspek sejarah, budaya, politik, dan sosial perempuan Indonesia dan Thailand untuk memahami perkembangan peran dan posisi perempuan di kedua negara, terutama pada masa transisi demokrasi. Ini adalah penelitian kualitatif yang memanfaatkan sumber perpustakaan untuk mengumpulkan informasi dan data melalui berbagai sumber seperti buku, dokumen, buku sejarah, dan situs web dari tahun 1970-an hingga 2000-an di Indonesia dan Thailand. Meskipun ada kesamaan dalam program pembangunan untuk mengatasi peran dan posisi perempuan sebelum demokratisasi di Indonesia dan Thailand karena keduanya berfokus pada “kepentingan gender praktis”. Menariknya, tulisan ini mengungkapkan bahwa selama masa transisi demokrasi peran dan posisi perempuan Indonesia dalam politik selangkah lebih maju. Hal ini disebabkan oleh stabilitas politik, komitmen pemerintah yang gigih terhadap agenda kesetaraan gender dan dukungan yang semakin besar dari para pemimpin Muslim progresif. Sebaliknya, gejolak politik akibat seringnya kudeta militer yang mengakibatkan lambatnya kinerja pemerintah untuk kemajuan perempuan ditambah dengan kurangnya dukungan para pemimpin Buddhis memperlambat kemajuan perempuan Thailand. Tulisan ini menyoroti pentingnya peran kebijakan pemerintah tentang kesetaraan gender untuk kemajuan perempuan, stabilitas politik, dan peran agama mayoritas (Islam di Indonesia dan Buddhisme Theravada di Thailand) untuk mendukung peran dan posisi perempuan dalam politik.
PROBLEMATIKA HAK-HAK PEREMPUAN NIKAH DI BAWAH TANGAN PASCA ISBAT NIKAH: STUDI ATAS PUTUSAN HAKIM TENTANG PERMOHONAN ISBATH NIKAH Mufti Ulil Amri
HUMANISMA : Journal of Gender Studies Vol 2, No 1 (2018): June 2018
Publisher : Universitas Islam Negeri Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (368.882 KB) | DOI: 10.30983/jh.v2i1.814

Abstract

Studi ini memaparkan tentang kepastian hukum hak-hak perempuan yang melakukan nikah di bawah tangan pasca isbat nikah. Nikah dibawah tangan merupakan salah satu bentuk pembangkangan terhadap aturan perkawinan, baik aturan hukum Islam maupun hukum positif. Perkawinan di bawah tangan praktiknya ada yang dilakukan di bawah Tahun 1974 dan sesudah Tahun 1974 setelah lahirnya undang-undang tentang perkawinan. Jika perkawinan di bawah tangan dilakukan sebelum berlakunya Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974, agar memiliki buku nikah sebagai bukti autentik adalah dengan jalan isbat (penetapan) oleh Pengadilan Agama selama perkawinan tersebut tidak menyalahi hukum Islam. Namun jika perkawinan di bawah tangan dilakukan setelah lahirnya Undang-Undang Perkawinan dan bertentangan dengan hukum Islam maka bagaimanakah penyelesaiannya, dan bagaimana hak-hak perempuan sebagai istri dari perkawinan di bawah tangan tersebut. Dengan teknik wawancara dan studi dokumen, artikel ini berupaya menyajikan data, informasi, sekaligus analisis secara kualitatif terkait persoalan hak-hak perempuan pasca isbat nikah perkawinan di bawah tangan. Pada praktiknya, Pengadilan Agama Buktitinggi dan Pasaman Barat tentang perkara isbat nikah perkawinan dibawah tangan menetapakan bahwa perkawinan tersebut dapat diproses kepersidangan dan dibenar demi hukum, dengan pertimbangan sosiologis dan psikologis pemohon.  
Proses Pemerolehan Bahasa Arab Berperspektif Gender Sebagai Bahasa Kedua di Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Bukittinggi Zikrawahyuni Maiza
HUMANISMA : Journal of Gender Studies Vol 4, No 1 (2020): June 2020
Publisher : Universitas Islam Negeri Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (688.493 KB) | DOI: 10.30983/humanisme.v4i1.3201

Abstract

Language has long been considered as a territory dominated by women. For example, in the area of interpretation/translation it can be seen that there are more women than men 3 to 1, and when talking about language teaching, there are more female instructors than men. So the question is: are women better at learning languages and acquiring languages than men? This research was conducted on students of the Arabic Language Study Program of IAIN Bukittinggi. Gender studies related to second language acquisition are linked to developments in two different subfields, namely: second language acquisition studies on one side and language and gender studies on the other. This research is a qualitative descriptive study and uses a performance analysis approach. The results of this study indicate that there are differences in the mastery of syntax and writing of Arabic words and letters between students and female students and there is a gender effect in acquiring and mastering Arabic as a second language.
The Role of Victim’s Assistant to Prevent Secondary Victimization : Case Women Victim of Marital Rape Jenny Rahayu Afsebel Situmorang; Vinita Susanti
HUMANISMA : Journal of Gender Studies Vol 5, No 2 (2021): December 2021
Publisher : Universitas Islam Negeri Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (283.498 KB) | DOI: 10.30983/humanisme.v5i2.4709

Abstract

Women (wives) is the most hidden victim of marital rape. Regarding this issue, we argue that women victims need victim assistance to prevent secondary victimization. This article is based on a literature review with a qualitative approach. Turning to marital rape cases in Indonesia, women's victims get harmful impacts in physiological and physical. Women victims of marital rape in Tanjung Priok, Bali, Pasuruan, and "L" are some of them. We conclude that the government and other stakeholders need to provide victim assistance for women victims of marital rape in mental and physical health, legal services (advocacy), economic empowerment, campaign, and particular public services spaces. The first thing to do is mental and physical health, but the next part, like legal services, is essential to prevent secondary victimization. Therefore, campaign to build awareness from society is essential to prevent stigmatization for women victims of marital rape. Finally, to implementing the role of victim assistant to prevent secondary victimization in marital rape cases needs unity for people by people and institution by institution. It is needed the same standpoint about marital rape.  Perempuan (secara khusus istri) merupakan korban tersembunyi dari pemerkosaan dalam pernikahan (marital rape). Menanggapi hal tersebut, menjadi penting untuk mempertimbangkan peran pendampingan korban atau victimassistance untuk menghindari viktimisasi sekunder (secondary victimization). Adapun artikel ini berdasarkan penelusuran literatur (literature review) dengan pendekatan kualitatif. Mengacu pada kasus marital rape yang dialami perempuan (istri) di Indonesia, maka hal tersebut berdampak buruk secara fisik maupun psikologis. Perempuan di Tanjung Priok, Bali, Pasuruan dan “L” merupakan contoh korban marital rape. Kesimpulan tulisan ini yaitu mendorong pemerintah dan pihak terkait agar segera menyediakan layanan pendampingan perempuan korban marital rape secara fisik, psikologis, bantuan hukum, pemberdayaan ekonomi, kampanye dan layanan di ruang publik. Hal yang pertama dilakukan adalah pendampingan layanan fisik dan mental. Kemudian, membangun kesadaran publik agar perempuan korban marital rape tidak distigmatisasi. Akhirnya, untuk menerapkan peran victimassistant sebagai pencegahan secondary victimization bagi perempuan korban marital rape membutuhkan kesatuan dari berbagai pihak dan lembaga. Persepektif yang sama terkait marital rape jelas dibutuhkan.

Page 2 of 14 | Total Record : 136