cover
Contact Name
Iwan
Contact Email
lexpublicaappthi@gmail.com
Phone
+6285395403342
Journal Mail Official
lexpublicaappthi@gmail.com
Editorial Address
Jl. Pemuda No.70, Pandansari, Kec. Semarang Tengah, Kota Semarang, Jawa Tengah 50133
Location
Kota semarang,
Jawa tengah
INDONESIA
Lex Publica
ISSN : 23549181     EISSN : 25798855     DOI : https://doi.org/10.58829/lp
Core Subject : Social,
Lex Publica (e-issn 2579-8855; p-issn 2354-9181) is an international, double blind peer reviewed, open access journal, featuring scholarly work which examines critical developments in the substance and process of legal systems throughout the world. Lex Publica published biannually online every June and December by Asosiasi Pimpinan Perguruan Tinggi Hukum Indonesia (APPTHI) and managed by Institute of Social Sciences and Cultural Studies (ISOCU), aims at critically investigating and pursuing academic insights of legal systems, theory, and institutions around the world. Lex Publica encourages legal scholars, analysts, policymakers, legal experts and practitioners to publish their empirical, doctrinal and/or theoretical research in as much detail as possible. Lex Publica publishes research papers, review article, literature reviews, case note, book review, symposia and short communications on a broad range of topical subjects such as civil law, common law, criminal law, international law, environmental law, business law, constitutional law, and numerous human rights-related topics. The journal encourages authors to submit articles that are ranging from 6000-8000 words in length including text, footnotes, and other accompanying material.
Arjuna Subject : Ilmu Sosial - Hukum
Articles 166 Documents
Bangladeshi Migrant Workers’ Rights on the Front-lines of Covid-19 Epidemic: A Socio-legal Approach of Kafala System in Gulf Cooperation Council (GCC) Countries Anowara, Fatema; Hossain, Mohammad Belayet
Lex Publica Vol. 8 No. 1 (2021)
Publisher : APPTHI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (233.989 KB) | DOI: 10.58829/lp.8.1.2021.15-30

Abstract

The global shutdown resulting from the Covid-19 pandemic led the manpower industry to go through the toughest time in its history. As a result, Bangladeshi workers, on whom the wheel of the economy of Bangladesh is heavily dependent, are facing racism and systematic abuse of human rights across the Gulf Corporation Council (GCC) countries. Even prior to the pandemic, they were either exploited or not provided the working conditions and remunerations that they were promised. In this context, this study focuses to address the violation of human rights of migrant workers, including their families, due to the after-effect of Covid-19 epidemic and identifying the barriers they are facing in GCC countries. Using qualitative research method, this study will explore whether there is any legal solution for those migrant workers and their families and what sorts of rights need to be protected under National and International laws. In addition, this study will also focus on the responsibilities of their home and host states to fulfill them. Based on the findings, this study will provide various recommendations that could be considered by the Government of Bangladesh either by building skilled workers or by improving the enforcement of existing legislation or by bilateral investment treaties (BITs) with the Gulf State. Abstrak Shutdown global akibat pandemi Covid-19 membuat industri tenaga kerja mengalami masa terberat dalam sejarahnya. Akibatnya, pekerja Bangladesh, yang sangat bergantung pada roda ekonomi Bangladesh, menghadapi rasisme dan pelanggaran hak asasi manusia secara sistematis di seluruh negara Dewan Perusahaan Teluk (Gulf Corporation Council/GCC). Bahkan sebelum pandemi mereka dieksploitasi atau tidak diberikan kondisi kerja dan remunerasi yang dijanjikan. Dalam konteks ini, studi ini berfokus pada penanganan pelanggaran hak asasi pekerja migran termasuk keluarganya akibat dampak lanjutan dari epidemi Covid-19 dan untuk mengidentifikasi hambatan yang mereka hadapi di negara-negara GCC. Dengan menggunakan metode penelitian kualitatif, penelitian ini akan mengeksplorasi apakah ada solusi hukum bagi para pekerja migran dan keluarganya, dan hak-hak apa yang perlu dilindungi berdasarkan hukum Nasional dan Internasional. Selain itu, studi ini juga akan fokus pada tanggung jawab negara asal dan tuan rumah mereka untuk memenuhinya. Berdasarkan temuan tersebut, studi ini akan memberikan berbagai rekomendasi yang dapat dipertimbangkan oleh Pemerintah Bangladesh baik dengan membangun pekerja terampil atau dengan meningkatkan penegakan undang-undang yang ada atau dengan perjanjian investasi bilateral (bilateral investment treaties/BIT) dengan Negara Teluk. Kata kunci: Pekerja Migran, Covid-19, Migran Domestik atau Ilegal, Sistem Kafala, Pelanggaran Hak
The Accommodation of Social and Cultural Forces in the Decision-making Process by Judges In Indonesia Ade Saptomo
Lex Publica Vol. 6 No. 1 (2019)
Publisher : APPTHI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (196.432 KB) | DOI: 10.58829/lp.6.1.2019.18-24

Abstract

This paper aims to explain the accommodation of social and cultural forces in the legal verdict-making process by judges in Indonesia. A good legal verdict is a legal decision resulting from structural interactions between the arguments of attorneys, lawyers, advocates, witnesses, expert testimonies, and other parties regulated in certain Acts related to the legal cases filed in the court. However, the good process of social interaction requires the accommodation of social forces (social value) and cultural forces (cultural value) of the community where the case occurs. Lately, the response has developed in the midst of a society where the legal verdict by judges in Indonesia does not reflect justice. Justice in society can only be fulfilled in the legal verdict-making process. The question to be asked is whether or not the judge discovers the legal values implemented in society. Discovering the legal values that live in such a society in accordance with legal and normative theories is also regulated in Article 5, paragraph 1 of Judicial Power Act No. 48/2004. Abstrak Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan akomodasi kekuatan sosial dan budaya dalam proses pengambilan keputusan hukum oleh hakim di Indonesia. Putusan hukum yang baik adalah putusan hukum yang dihasilkan dari interaksi struktural antara dalil-dalil para kuasa hukum, advokat, advokat, saksi, keterangan ahli, dan pihak-pihak lain yang diatur dalam undang-undang tertentu yang berkaitan dengan perkara hukum yang diajukan di pengadilan. Akan tetapi, proses interaksi sosial yang baik memerlukan akomodasi kekuatan sosial (social value) dan kekuatan budaya (cultural value) masyarakat di mana kasus tersebut terjadi. Belakangan ini, respon berkembang di tengah masyarakat dimana putusan hukum oleh hakim di Indonesia tidak mencerminkan keadilan. Keadilan dalam masyarakat hanya dapat dipenuhi dalam proses pengambilan keputusan hukum. Pertanyaan yang harus diajukan adalah apakah hakim menemukan atau tidak nilai-nilai hukum yang berlaku dalam masyarakat. Menemukan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat tersebut sesuai dengan teori-teori hukum dan normatif juga diatur dalam Pasal 5 ayat 1 UU Kekuasaan Kehakiman No. 48 Tahun 2004. Kata kunci: Kekuatan sosial dan budaya, Hakim, Putusan pengadilan
Economic and Legal Implications of Tax Debt Preference on Tax Obligations in Indonesia Budiharseno, Rianmahardhika Sahid; Tiranda, Yeheskiel Minggus
Lex Publica Vol. 7 No. 2 (2020)
Publisher : APPTHI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (223.367 KB) | DOI: 10.58829/lp.7.2.2020.69-86

Abstract

This study aims to investigate the economic and legal implications of tax debt on tax obligations in Indonesia. The research was conducted by taking two legal sources relevant to this matter: Law on General Provisions and Tax Procedures (Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan/KUP) and Tax Collection with Forced Letter (Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa/PPSP). The basic considerations are that there are many legal institutions in these rules which are characterized by the character of the principle of preference as a legal principle. The research was conducted quantitively by using a normative and juridical approach. The data was analyzed by using a descriptive approach. Based on Article 21 of the KUP Law confirms that the right to advance only concerns the law of execution of tax debts through the auction of the property of the tax guarantor. Based on the KUP Law, which categorizes preemptive rights in the part of the execution of tax debts, the resulting legal implications involve the legal force of prior rights over other rights in the execution (auction) of the property of the tax guarantor. The KUP Law and the PPSP Law implicitly adhere to a broader understanding of prior rights than just the law for the execution of tax debts, resulting in the state’s position of preference beginning when the tax is declared payable by law. Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki implikasi ekonomi dan hukum dari utang pajak terhadap kewajiban perpajakan di Indonesia. Penelitian dilakukan dengan mengambil dua sumber hukum yang relevan dengan hal tersebut, yaitu Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) dan Penagihan Pajak dengan Surat Paksa/PPSP). Dasar pertimbangannya adalah banyak pranata hukum dalam aturan-aturan tersebut yang dicirikan oleh sifat asas preferensi sebagai asas hukum. Penelitian dilakukan secara kuantitatif dengan menggunakan pendekatan normatif dan yuridis. Data dianalisis dengan menggunakan pendekatan deskriptif. Berdasarkan Pasal 21 UU KUP yang menegaskan bahwa hak uang muka hanya menyangkut hukum pelunasan utang pajak melalui pelelangan harta benda penanggung pajak. Berdasarkan UU KUP yang mengkategorikan hak mendahului dalam bagian dari pelaksanaan utang pajak, maka implikasi hukum yang ditimbulkannya menyangkut kekuatan hukum hak mendahului atas hak lainnya dalam pelaksanaan (pelelangan) harta benda penanggung pajak. UU KUP dan UU PPSP secara implisit menganut pengertian yang lebih luas tentang hak-hak yang didahulukan dari pada sekedar undang-undang pelaksanaan utang pajak, sehingga mengakibatkan negara berada pada posisi preferensi sejak pajak dinyatakan terutang oleh undang-undang. Kata kunci: Preferensi Utang Pajak, Kewajiban Perpajakan, Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan (UU KUP), Undang-Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (UU PPSP)
Restructuring Institutional and Legal Policies in Fostering the Ideology of Pancasila Cahyono, Ma’ruf; Efendi, Bahtiyar; Mashdurohatun, Anis
Lex Publica Vol. 7 No. 1 (2020)
Publisher : APPTHI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (199.403 KB)

Abstract

This research was aimed to describe the restructurization of existing policies to formulate the legal umbrella for strengthening Pancasila ideology in Indonesia. Strengthening Pancasila has been already formulated by establishing a new institution called Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). This study analyse the policy structuring in this new policy which was seen as as a reinforcement, and expected to create a better order by using Pancasila as the utmost national philosophy. This study uses a qualitative research approach where qualitative research as a scientific method is often used and carried out by a group of researchers in the field of social sciences. A qualitative research approach is a research and understanding process based on a method that investigates a social phenomenon which in this study focuses on strengthening institutional policies in fostering the ideology of Pancasila. This method is used in research to try to understand and explore their views and experiences to get the information or data needed. In order to provide regulatory strengthening for BPIP institution, it is necessary to reorganize policy directions in the regulatory aspect, which is carried out by strengthening the current legal umbrella of BPIP which is based on a Presidential Regulation whose legal force is increased to become Law. Therefore, the results of the research show that it is necessary to regulate: a). Procedures for Implementing Coordination, Synchronization, and Inter-institutional Relations, and b). Control of Pancasila Ideology Development for Ministries/Agencies and Local Governments. Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan restrukturisasi kebijakan yang ada untuk merumuskan payung hukum penguatan ideologi Pancasila di Indonesia. Penguatan Pancasila sudah dirumuskan dengan membentuk lembaga baru bernama Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Kajian ini menganalisis penataan kebijakan dalam kebijakan baru ini yang dipandang sebagai penguatan, dan diharapkan dapat menciptakan tatanan yang lebih baik dengan menggunakan Pancasila sebagai falsafah bangsa yang paling tinggi. Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dimana penelitian kualitatif sebagai metode ilmiah sering digunakan dan dilakukan oleh sekelompok peneliti di bidang ilmu-ilmu sosial. Pendekatan penelitian kualitatif adalah proses penelitian dan pemahaman yang didasarkan pada metode yang menyelidiki suatu fenomena sosial yang dalam penelitian ini berfokus pada penguatan kebijakan kelembagaan dalam pembinaan ideologi Pancasila. Metode ini digunakan dalam penelitian dengan tujuan mencoba memahami, menggali pandangan dan pengalamannya untuk mendapatkan informasi atau data yang dibutuhkan. Dalam rangka memberikan penguatan regulasi bagi lembaga BPIP, maka perlu penataan kembali arah kebijakan di bidang regulasi yang dilakukan dengan memperkuat payung hukum BPIP saat ini yang didasarkan pada Peraturan Presiden yang kekuatan hukumnya ditingkatkan menjadi UU. Oleh karena itu, hasil penelitian menunjukkan bahwa perlu diatur: a). Tata Cara Pelaksanaan Koordinasi, Sinkronisasi, Hubungan Antar Lembaga, dan b). Pengendalian Pengembangan Ideologi Pancasila bagi Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah Kata kunci: Penguatan Kebijakan, Kelembagaan, Pembinaan, Ideologi, Pancasila
Implementation of Diplomatic Assurance Against Torture: The Way to Reduce the Refugee Crisis in South Asia Samanta, Chowdhury Nujhat; Hossain, Mohammad Belayet
Lex Publica Vol. 9 No. 1 (2022)
Publisher : APPTHI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (325.721 KB) | DOI: 10.58829/lp.9.1.2022.1-29

Abstract

States aim to send refugees back to their home countries in order to end the refugee crisis in their nation. Due to the human rights situation in the countries of origin, this can occasionally be problematic; the return involves the prohibition of refoulment and the prevention of torture or other cruel treatment. States are not allowed to use torture, including putting someone in a position where they might be tortured. For a very long time, diplomatic guarantees have been employed as a defense against the death penalty or unfair trials. From that time, states used to rely on guarantees for a returnee’s treatment. The guarantees were protected at the diplomatic level of relations between nations. In this research, subject to legal value, the reliability of diplomatic assurance is measured as well as an assessment has been made about the current state of south Asian nations that have hosted refugees for an extended time. This paper also supports the use of diplomatic assurance as a workable option to alleviate the refugee crisis where developed countries can contribute the best. The findings indicate that there is no specific legal framework to support such assurances in different south Asian developing as well as other developed countries. There is even a lack of research in this regard. South Asian nations could take seven factors into account according to the recommendations of the study. So, it is necessary to implement the recommendations to reach the goal of solving the refugee situation. Abstrak Negara bertujuan untuk mengirim pengungsi kembali ke negara asal mereka untuk mengakhiri krisis pengungsi di negara mereka. Karena situasi hak asasi manusia di negara asal, hal ini terkadang menimbulkan masalah; pengembalian melibatkan larangan refoulment dan pencegahan penyiksaan atau perlakuan kejam lainnya. Negara tidak diperbolehkan menggunakan penyiksaan, termasuk menempatkan seseorang pada posisi di mana mereka mungkin disiksa. Untuk waktu yang sangat lama, jaminan diplomatik digunakan sebagai pembelaan terhadap hukuman mati atau pengadilan yang tidak adil. Sejak saat itu, negara biasanya mengandalkan jaminan untuk perawatan orang yang kembali. Jaminan tersebut dilindungi pada tingkat diplomatik hubungan antar negara. Dalam penelitian ini, tunduk pada nilai hukum, keandalan jaminan diplomatik diukur serta penilaian telah dibuat tentang keadaan negara-negara Asia Selatan saat ini yang telah lama menampung pengungsi. Tulisan ini juga mendukung penggunaan jaminan diplomasi sebagai opsi yang dapat diterapkan untuk mengurangi krisis pengungsi di mana negara maju dapat memberikan kontribusi terbaiknya. Temuan menunjukkan bahwa tidak ada kerangka hukum khusus untuk mendukung jaminan tersebut di berbagai negara berkembang Asia Selatan serta negara maju lainnya. Bahkan ada kekurangan penelitian dalam hal ini. Negara-negara Asia Selatan dapat mempertimbangkan tujuh faktor sesuai dengan rekomendasi penelitian. Jadi, perlu untuk menerapkan rekomendasi untuk mencapai tujuan penyelesaian situasi pengungsi. Kata kunci: Negara Asia Selatan, Pengungsi, Negara Maju, Jaminan Diplomatik
Compliance of the Bangladesh Legal Policies with the ILO Convention on the Prohibition of Child Labor Hossain, Mohammad Belayet
Lex Publica Vol. 7 No. 2 (2020)
Publisher : APPTHI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (189.063 KB) | DOI: 10.58829/lp.7.2.2020.15-23

Abstract

This article aims to discuss the legal policy framework in Bangladesh laws prohibiting child workers. The law has banned children from doing hazardous work, but does not define the term ‘dangerous work’. Article 44 of the 2006 Bangladesh Labor Act contradicts the 1973 ILO Minimum Age Convention. In most cases, multinational enterprises (MNEs) agents or supply chains employ children; but foreign investors also have the same responsibility to oversee the local operations of their counterparties. So, it is very important to ensure the protection of the human rights of child workers. Broadly speaking, the findings highlight the need for providing justice, legal certainty and human rights consideration in specifying worker rights such as education, fair wages, limited working hours, safe working conditions, and health protection which must be guaranteed through labor laws.  Abstrak Artikel ini bertujuan untuk membahas kerangka kebijakan hukum dalam undang-undang Bangladesh dalam pelarangan pekerja anak. Undang-undang telah melarang anak-anak melakukan pekerjaan berbahaya; tetapi tidak mendefinisikan istilah 'pekerjaan berbahaya'. Pasal 44 Undang-Undang Ketenagakerjaan Bangladesh tahun 2006 bertentangan dengan Konvensi Usia Minimum ILO tahun 1973. Dalam kebanyakan kasus, agen atau rantai pasokan perusahaan multinasional (MNEs) mempekerjakan anak-anak; tetapi investor asing juga memiliki tanggung jawab yang sama untuk mengawasi operasi lokal rekanan mereka. Jadi, sangat penting untuk memastikan perlindungan hak asasi manusia pekerja anak. Secara garis besar, temuan tersebut menyoroti perlunya memberikan keadilan, kepastian hukum dan pertimbangan hak asasi manusia dalam menetapkan hak-hak pekerja seperti pendidikan, upah yang adil, jam kerja yang terbatas, kondisi kerja yang aman, dan perlindungan kesehatan yang harus dijamin melalui undang-undang ketenagakerjaan. Kata kunci: Kebijakan Hukum, Perburuhan, Pekerja Anak, Konvensi ILO, Bangladesh
The Politics of Law of Sharia Economics in Indonesia Hasan, Hasbi; Mustafa, Cecep
Lex Publica Vol. 9 No. 1 (2022)
Publisher : APPTHI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (303.292 KB) | DOI: 10.58829/lp.9.1.2022.30-57

Abstract

This study examines the process of institutionalization of sharia principles in the economic field, along with the process of legislation and regulation in the national legal system. The scope of this study will rely on the existence, opportunities, and challenges of actualizing the Islamic economic system from the perspective of Indonesian legal politics. Specifically, this approach is carried out based on the authority of Islamic law and its existence as a source of law in Indonesia’s national legal order, with a sharp level of attention to the dynamics of regulatory policies on sharia economic business activities. Starting from the characteristics of Indonesian political legalism under the umbrella of the 1945 Constitution, which adheres to the concept of “unification and codification in a “unique way,” the study of sharia economics in Indonesian legal politics has also given birth to several knots that are “unique.” Theoretically, the concept of “unification” is a way for national legal politics to shape law in the condition of a pluralistic Indonesian nation. One principle that is used as a theoretical benchmark in this regard is how to carry out the process of legal unification in a pluralistic society that seeks to maintain a process of differentiation in a sustainable manner of sharia economics. Abstrak Penelitian ini menyoroti proses pelembagaan prinsip syariah dalam bidang ekonomi berikut proses legislasi dan regulasinya dalam sistem hukum nasional. Lingkup kajian ini akan bertumpu pada eksistensi, peluang dan tantangan aktualisasi sistem ekonomi syariah dalam perspektif politik hukum Indonesia. Secara spesifik, pendekatan ini dilakukan dengan bertolak pada otoritas hukum Islam dan eksistensinya sebagai sumber hukum dalam tertib hukum nasional Indonesia, dengan tingkat perhatian yang tajam pada dinamika kebijakan regulasi atas kegiatan usaha ekonomi syariah. Bertolak dari karakteristik legalisme politik hukum Indonesia di bawah payung UUD 1945 yang menganut konsep”unifikasi dan kodifikasi secara “unik,” kajian tentang ekonomi syariah dalam politik hukum Indonesia juga telah melahirkan beberapa kata simpul yang bersifat “unik.” Konsep “unifikasi” secara teoritik merupakan satu jalan bagi politik hukum nasional untuk membentuk hukum dalam kondisi bangsa Indonesia yang majemuk. Salah satu prinsip yang dijadikan tolak ukur teoritis dalam hal ini adalah bagaimana melakukan proses penyatuan hukum dalam masyarakat majemuk yang berupaya mempertahankan proses diferensiasi ekonomi syariah secara berkelanjutan. Kata kunci: Politik Hukum, Ekonomi Syariah, Kerangka Hukum, Indonesia
Information Technology in Electronic Land Registration System as the Standard of Government Performance in the Industry 4.0 Revolution Handoko, Widhi; Yubaidi, Ricco Survival
Lex Publica Vol. 7 No. 1 (2020)
Publisher : APPTHI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (202.876 KB)

Abstract

Land law policy covers fundamental aspects, namely the principle of fulfilling the people’s constitutional rights to meet daily life’s needs and respect the principle of human equality. One of the objectives of the establishment of the Republic of Indonesia, as mandated by the 1945 Constitution, is to realize public welfare. The government’s main task is to create a government management system that can properly manage national resources to achieve prosperity and prosperity and social justice for all the people of Indonesia. The government must be able to realize land law reform, especially public services in the land sector. The formation of the National Bureaucracy Reform Committee is aimed at continuing the government’s plans that have not been effective, namely the creation of an accountable, productive, professional, and free of corruption bureaucracy. The most important improvement effort on land law reform is to reconstruct the land registration system in realizing the industrial revolution 4.0, in the form of an electronic certificate on land as a form of creativity and innovation to grow and develop digital technology while forming a legal culture in bureaucratic services and strong public services. Abstrak Kebijaksanaan hukum pertanahan mencakup aspek-aspek mendasar, yaitu asas pemenuhan hak konstitusional rakyat untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan menjunjung tinggi asas persamaan hak asasi manusia. Salah satu tujuan berdirinya Negara Republik Indonesia sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945 adalah untuk mewujudkan kesejahteraan umum. Tugas pokok pemerintah adalah mewujudkan sistem penyelenggaraan pemerintahan yang dapat mengelola sumber daya nasional dengan baik untuk tercapainya kemakmuran dan kesejahteraan serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pemerintah harus mampu mewujudkan reformasi hukum pertanahan, khususnya pelayanan publik di bidang pertanahan. Pembentukan Komite Reformasi Birokrasi Nasional bertujuan untuk melanjutkan rencana pemerintah yang belum efektif, yaitu mewujudkan birokrasi yang akuntabel, produktif, profesional dan bebas korupsi. Upaya pembenahan reformasi hukum pertanahan yang terpenting adalah merekonstruksi sistem pendaftaran tanah dalam mewujudkan revolusi industri 4.0, berupa sertifikat tanah elektronik sebagai bentuk kreativitas dan inovasi menumbuhkan dan mengembangkan teknologi digital, sekaligus membentuk budaya hukum. dalam pelayanan birokrasi dan pelayanan publik yang kuat. Kata kunci: Teknologi informasi, Sistem registrasi elektronik, Land reform, Revolusi industri 4.0
Prinsip Good Governance dalam Rangka Kepastian Hukum terhadap Eksekusi Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Berkekuatan Hukum Tetap Binsar Jon Vic S
Lex Publica Vol. 6 No. 2 (2019)
Publisher : APPTHI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (160.186 KB) | DOI: 10.58829/lp.6.2.2019.8-16

Abstract

Negara Indonesia yang rechtsstaat dan welfare state telah dikonkretkan dengan Undang-undang No. 5 No. 5 Tahun 1986 tentang Peratun bahwa ada dua jenis pelaksanaan putusan PTUN (automatically execution dan hierarchical execution). Dalam penyelenggaraan pengadilan, diperlukan kesadaran hukum dari aparatur pemerintah untuk mematuhi putusan pengadilan. Seringkali aparatur pemerintah tidak mampu atau tidak mau melaksanakan keputusan tersebut karena berbagai alasan sesuai dengan prinsip good government governance dan atau kepastian hukum. Tulisan ini menggunakan metode hukum-normatif, yaitu pendekatan berdasarkan bahan-bahan hukum dengan mengkaji konsep, teori, asas hukum dan peraturan perundang-undangan, serta literatur-literatur yang berkaitan dengan objek penulisan. Dalam tulisan ini ditemukan adanya putusan PTUN yang tidak dapat dilaksanakan/dijalankan (non-executable) karena mis-interpretasi secara sistematis terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Tantangan yang dihadapi dalam menegakkan kekuasaan PTUN dengan melaksanakan putusannya menurut pendekatan teori sistem hukum adalah: 1.) adanya putusan yang mengambang dan tidak dapat dilaksanakan; 2) tidak adanya pejabat pemerintah yang secara khusus berwenang melaksanakan pelaksanaan putusan pengadilan. Transparansi dan ketelitian pelaksanaan kepastian hukum oleh aparatur pemerintah untuk pelaksanaan kekuatan hukum yang tetap. Abstract Indonesia is a rechtsstaat and welfare state concreated by Law No. 5 of 1986 concerning the Administrative Court that there are two types of execution of administrative court decisions (automatic execution and hierarchical execution). In the execution of a court, legal awareness is needed from the government apparatus to comply with court decisions. Often the government apparatus is unable or unwilling to implement these decisions for various reasons according to the principle of good government governance and/or legal certainty. This paper uses the legal-normative method, which is an approach based on legal materials by examining concepts, theories, legal principles, and legislation, as well as kinds of literature related to the object of writing. This paper finds that administrative court decisions cannot be implemented/executed (non-executable) because of a misinterpretation systemically of the court decision as a permanent legal force (inkracht van gewijsde). The challenges faced in establishing the administrative court's power by implementing its decisions according to the legal system theory approach are: 1.) the existence of floating and non-executable decisions; 2.) the absence of government officials specifically authorized to enforce implementation of court's decisions—transparency and accurately to conduct of legal certainty by government apparatus for execution of permanent legal force. Keywords: Good Governance, Decisions with Permanent Powers, Administrative Court
Institutional Relations of the Ombudsman with the House of Representatives of the Republic of Indonesia: Instrumental Design and Governance Redi, Ahmad; Bakry, Mohammad Ryan
Lex Publica Vol. 7 No. 1 (2020)
Publisher : APPTHI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (293.313 KB)

Abstract

The Ombudsman of the Republic of Indonesia (Ombudsman Republik Indonesia/ORI) is an institution that has the authority to supervise public services by state administrators, the government, including every person and legal entity assigned the task of administering certain public services whose financing is from the State Budget (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/APBN) and Regional Budget (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah/APBD). However, in carrying out its duties, ORI has the potential to face independence and accountability challenges from the House of Representatives (Dewan Perwakilan Rakyat/DPR), which carries out the functions of legislation, budgeting, and supervision. These three functions of the DPR are related to the existence of ORI in carrying out its duties. This paper discusses the position, function, and institutional relationship between ORI and the DPR. The method used is a qualitative approach, with a library study data collection technique and data analysis techniques through qualitative analytical descriptive techniques. Based on the assessment through Instrumental Institutional design and governance, actual autonomy in exercising its mandate from the Westminster Foundation for Democracy (WFD), there are several low independence and accountability assessments, namely: (1) sufficiency of financial resources for performing its functions; (2) extent of autonomy to generate its own financial revenues; (3) security and stability of budget during past three years; and (4) stability of staff and extent of staff turn-over. In the future, ORI must improve several low scores of independence and accountability with its institutional relations to the DPR. Abstrak Ombudsman Republik Indonesia (ORI) merupakan lembaga yang berwenang mengawasi pelayanan publik yang dilakukan oleh penyelenggara negara, pemerintah, termasuk setiap orang dan badan hukum yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Namun dalam menjalankan tugasnya, ORI berpotensi menghadapi tantangan independensi dan akuntabilitas dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang menjalankan fungsi legislasi, penganggaran, dan pengawasan. Ketiga fungsi DPR tersebut terkait dengan keberadaan ORI dalam menjalankan tugasnya. Tulisan ini membahas tentang kedudukan, fungsi, dan hubungan kelembagaan antara ORI dan DPR. Metode yang digunakan adalah pendekatan kualitatif, dengan teknik pengumpulan data studi pustaka dan teknik analisis data melalui teknik deskriptif analitis kualitatif. Berdasarkan penilaian melalui Instrumental Institutional design and governance, otonomi aktual dalam menjalankan mandatnya dari Westminster Foundation for Democracy (WFD), terdapat beberapa penilaian independensi dan akuntabilitas yang rendah, yaitu: (1) kecukupan sumber daya keuangan untuk menjalankan fungsinya; (2) tingkat otonomi untuk menghasilkan pendapatan keuangannya sendiri; (3) keamanan dan stabilitas anggaran selama tiga tahun terakhir; dan (4) stabilitas staf dan tingkat pergantian staf. Ke depan, ORI harus memperbaiki beberapa skor independensi dan akuntabilitas yang rendah dengan hubungan kelembagaannya dengan DPR. Kata kunci: Ombudsman, DPR, Independensi, akuntabilitas

Page 11 of 17 | Total Record : 166