cover
Contact Name
Miski
Contact Email
miski@uin-suka.ac.id
Phone
+6285292197146
Journal Mail Official
miski@uin-suka.ac.id
Editorial Address
Jln. Marsda Adisucipto No. 1, Program Studi Hukum Tata Negara, Fakultas Syari'ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 55281, Indonesia
Location
Kab. sleman,
Daerah istimewa yogyakarta
INDONESIA
Staatsrecht: Jurnal Hukum Kenegaraan dan Politik Islam
ISSN : 28095421     EISSN : 28096703     DOI : https://doi.org/10.14421/staatsrecht
The journal "Staatsrecht:Jurnal Hukum Kenegaraan dan Politik Islam" is a scientific journal published twice a year by the Constitutional Law Study Program, Faculty of Sharia and Law, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. The scientific journal "Staatsrecht: Jurnal Hukum Kenegaraan dan Politik Islam" invites all authors who have a concentration in the fields of state law and Islamic politics. Or those who have a focus on studies on constitutional law and siyasah.
Articles 7 Documents
Search results for , issue "Vol. 4 No. 2 (2024): Staatsrecht Jurnal Hukum Kenegaraan dan Politik Islam" : 7 Documents clear
Law Enforcement Againts Corruption Crimes (A Case Study of Village Land Misuse in Sleman Regency) Zidni, Irfan; Tahir, Ach
Staatsrecht: Jurnal Hukum Kenegaraan dan Politik Islam Vol. 4 No. 2 (2024): Staatsrecht Jurnal Hukum Kenegaraan dan Politik Islam
Publisher : UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/dhn6pc18

Abstract

Corruption is a significant crime requiring extraordinary measures for its eradication. The legal framework for addressing corruption in Indonesia is provided by Law No. 31 of 1999, amended by Law No. 20 of 2001 concerning the Eradication of Corruption Crimes. Despite this, corruption is frequently perpetrated by government officials who are expected to avoid corruption, collusion, and nepotism. An example of this can be observed in Sleman Regency, where government officials have been implicated in the misuse of village land. This land, intended as a source of village income, is often exploited, becoming a focal point for corruption. This research focuses on the law enforcement mechanisms and the challenges encountered by the Yogyakarta High Prosecutor's Office in addressing corruption cases related to village land in Sleman Regency. This study employs a field research design with a juridical-empirical approach. Data collection was conducted through structured interviews. The analysis method is qualitative, involving a detailed descriptive analysis of the data collected from the field, which is then correlated with existing legal regulations. Furthermore, the research utilizes two theoretical frameworks for analysis: the law enforcement theory and the fraud triangle. The result of this study is a law enforcement effort carried out by Kejati DIY on the criminal offences of corruption cases of land abuse in the village district of Sleman was done through preventive and repressive efforts. The repressive attempt was to conduct investigations, investigations and prosecutions in accordance with both the Constitution and the Criminal Code of Corruption. Although the implementation of the DIY is still impressed by the "repressive" attempt, given that the case has not yet been jurisprudent. This is characterized by differences in the views of law enforcement agencies, insufficient processes of handling by supervisors, and lack of public attention to the legal issues surrounding them. Tindak pidana korupsi merupakan jenis kejahatan luar biasa yang harus dilakukan penindakan secara luar biasa. Tindak pidana korupsi telah diatur dalam UU No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pada praktiknya, tindak pidana korupsi seringkali dilakukan oleh aparatur pemerintahan yang seharusnya menjalankan kewajibannya dalam hal tidak melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Seperti yang terjadi di Kabupaten Sleman, terdapat tindak pidana korupsi dalam hal pemanfaatan tanah desa yang menyangkut aparatur pemerintahan. Pemanfaatan tanah desa seharusnya digunakan sebagai sumber pemasukan desa, namun sering disalahgunakan dan menjadi ladang tindak pidana korupsi. Berdasarkan hal itu penelitian ini mempunyai pokok masalah mengenai penegakan hukum dan hambatan yang dialami oleh Kejaksaan Tinggi DIY dalam menangani tindak pidana korupsi tanah desa di Kabupaten Sleman. Penelitian ini merupakan jenis penelitian lapangan (filed research) dengan pendekatan yuridis-empiris. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah melalui wawancara. Adapun metode analisis yang digunakan adalah metode analisis kualitatif dengan melakukan analisis deskripsi data yang diperoleh dari lapangan dan dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan. Pada penelitian ini juga digunakan dua kerangka teori sebagai bahan analisis berupa teori penegakan hukum dan fraud triangle. Hasil dari penelitian ini adalah upaya penegakan hukum yang dilakukan oleh Kejati DIY pada tindak pidana korupsi kasus penyalahgunaan tanah desa di Kabupaten Sleman dilakukan melalui upaya preventif dan represif. Upaya preventif dilakukan dengan cara mealukan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat maupun aparatur pemerintah desa dalam hal tindak pidana korupsi yang dapat terjadi di lingkungan terdekat, seperti halnya tindak pidana korupsi dalam hal penyalahgunaan tanah desa. Sedangkan upaya represif yang dilakukan adalah melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sesuai dengan KUHAP maupun UU Tindak Pidana Korupsi. Meskipun pada pelaksanaannya Kejati DIY masih terkesan “meraba-raba” dalam melakukan upaya represif, mengingat kasus ini belum ada yurisprudensinya. Hal tersebut ditandai berupa perbedaan pendapat aparat penegakan hukum, proses penanganan yang kurang tegas oleh aparat pengawas, serta kurangnya kepedulian masyarakat mengenai isu hukum di sekitarnya.
Anomali Kewenangan Mahkamah Konstitusi ditinjau dari Teori Separation of Power Montesquieu:  Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi No.90/PUU-XXI/2023 Atmaja Wijaya; Didan Neofal Arsyandi
Staatsrecht: Jurnal Hukum Kenegaraan dan Politik Islam Vol. 4 No. 2 (2024): Staatsrecht Jurnal Hukum Kenegaraan dan Politik Islam
Publisher : UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/0tezm234

Abstract

The Constitutional Court, as one of the highest judicial institutions in the judicial sector, is given the authority to control the running of government, in the form of overseeing legal products made by other branches of power, namely, the Executive and the Legislative. However, as time goes by, after 20 years of post-reformation, the existence of the Constitutional Court now often attracts a lot of attention with dynamics that are increasingly occurring day by day. Through several of its decisions, there are indications that the Constitutional Court has exceeded its authority as a judicial institution. One of them is in the Constitutional Court decision No. 90/PUU-XXI/2023. This makes it interesting to examine whether there are anomalies in the authority of the Constitutional Court in handling cases, especially in case No.90/PUU-XXI/2023 in terms of Montesquieu's theory of separation of power. The results obtained are that the Constitutional Court has exceeded its authority in making decisions, has violated the limits of authority granted by law and is contrary to the principles of Montesquieu's theory Separation of power.   Abstrak: Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu lembaga kekuasaan kehakiman tertinggi di bidang Yudikatif, diberikan kewenangan untuk mengontrol jalannya pemerintahan, dengan upaya mengawal produk hukum yang dibuat oleh cabang kekuasaan lain yaitu, Eksekutif dan Legislatif. Namun seiring berjalannya waktu, setelah 20 tahunan pasca reformasi, keberadaan Mahkamah Konstitusi kini kerap banyak menuai sorotan dengan dinamika bertambahnya putusan-putusan yang kontroversial. Melalui beberapa putusannya, terdapat indikasi bahwa Mahkmah Konstitusi telah melampaui kewenangannya sebagai lembaga Yudisial. Salah satunya dalam putusan MK No 90/PUU-XXI/2023. Hal tersebut menjadi menarik untuk diteliti, apakah terdapat anomali kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menangani perkara, khususnya pada perkara No.90/PUU-XXI/2023. Anomali dalam Putusan tersebut, menarik untuk ditinjau dengan teori pembagian kekuasaan (Separation of Power) Montesquieu. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini menunjukkan bahwa Mahkamah Konstitusi telah melampaui kewenangannya dalam memberikan keputusan, menabrak batas kewenangan yang telah diberikan Undang-undang dan bertentangan dengan prinsip teori pembatasan kekuasaan Montesquieu
Implikasi Pengelolaan Kawasan Aglomerasi dalam Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta terhadap Pelaksanaan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Yusuf, Rizki Fauzan; Hidayat, Syarif; Rohman, Azmi Fathu; Rizqiyanto, Naufal; Yusuf, Muhammad Rifai
Staatsrecht: Jurnal Hukum Kenegaraan dan Politik Islam Vol. 4 No. 2 (2024): Staatsrecht Jurnal Hukum Kenegaraan dan Politik Islam
Publisher : UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/455xj860

Abstract

For more than two decades, the concept of agglomeration has been applied in DKI Jakarta, beginning with Law No. 34 of 1999 and continuing with Law No. 29 of 2007 as its legal foundation. With the government's execution of the plan to relocate the national capital from Jakarta to East Kalimantan, Law No. 2 of 2024 emerged as the legal policy framework for adjusting DKI Jakarta’s status. One of the key regulatory innovations introduced in this new law is the establishment of the Agglomeration Area Council, tasked with coordinating and evaluating spatial planning and development plans within the agglomeration area. While this structure presents positive potential for the governance of Jakarta and its surrounding regions, the agglomeration area arrangement under the new law signals a centralistic tendency—evident, for instance, in the President’s direct involvement in determining the membership of the Agglomeration Area Council. This may conflict with the principles of decentralized governance. This study employs normative legal research using a statutory approach to examine relevant legislation, particularly the provisions in the DKJ Law, and a conceptual approach to explain the general features of agglomeration areas. The findings indicate, first, that the agglomeration concept regulated by the DKJ Law is centralized, with the central government playing a dominant role, contrasting with agglomeration practices in other regions that are more decentralized. Second, the implications for the implementation of autonomy in DKJ are negative, as the central government's dominant role limits the flexibility of DKJ’s local government in decision-making and may lead to DKJ’s dominance over neighboring areas within the agglomeration zone. On the positive side, the surrounding regions benefit from the central government's support, indicating that the asymmetric design of DKJ governance also positively affects neighboring regions within the agglomeration area.   Abstrak:  Lebih dari dua dekade konsep aglomerasi diterapkan di DKI Jakarta, dimulai dengan UU No. 34 Tahun 1999 hingga UU No. 29 Tahun 2007 sebagai landasan yuridisnya. Seiring eksekusi rencana pemindahan Ibu Kota Negara oleh pemerintah dari Jakarta ke Kalimantan Timur, lahir UU No. 2 Tahun 2024 sebagai politik hukum penyesuaian status DKI Jakarta. Salah satu pembaharuan pengaturan konsep aglomerasi dalam UU terbaru ini adalah hadirnya Dewan Kawasan Aglomerasi yang akan melakukan koordinasi hingga evaluasi penataan ruang dan rencana pembangunan kawasan aglomerasi. Meski berpeluang positif bagi penataan Jakarta dan sekitarnya, struktur pengaturan kawasan aglomerasi DKJ memberikan sinyal sentralistis ditunjukkan salah satunya keterlibatan langsung Presiden dalam penentuan keanggotaan Dewan Kawasan Aglomerasi, hal mana dapat berbenturan dengan penyelenggaraan pemerintahan yang terdesentralisasi. Penelitian yang digunakan dalam tulisan ini adalah penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan (statutory approach) untuk menelaah peraturan perundang-undangan terkait, khususnya ketentuan dalam UU DKJ dan pendekatan konseptual (conceptual approach) untuk menjelaskan fitur kawasan aglomerasi secara umum. Hasil penelitian menunjukkan pertama, konsep kawasan aglomerasi yang diatur UU DKJ bersifat terpusat/sentralistis dimana peran pemerintah pusat dominan dalam pengelolaannya, hal ini berbeda dengan praktik aglomerasi di beberapa daerah yang justru lebih terdesentralisasi. Kedua, implikasi terhadap pelaksanaan otonomi di DKJ bersifat negatif karena fleksibilitas pemerintah DKJ terbatas dalam pengambilan keputusan akibat peran pemerintah pusat yang besar serta kemungkinan dominasi DKJ terhadap daerah sekitar dalam cakupan kawasan aglomerasi. Efek positifnya adalah terbantunya daerah sekitar DKJ karena turut memperoleh sokongan dari pemerintah pusat sehingga tampak desain asimetrisme DKJ dirasakan pula oleh daerah sekitar dalam kawasan
Hak Privasi sebagai Hak Konstitusional di Era Digital: Kajian Yuridis dalam Perspektif Hukum Siber Qurrotuaini, Nur Azizah
Staatsrecht: Jurnal Hukum Kenegaraan dan Politik Islam Vol. 4 No. 2 (2024): Staatsrecht Jurnal Hukum Kenegaraan dan Politik Islam
Publisher : UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/a9d95k61

Abstract

The rapid development of digital technology has brought convenience to various aspects of life. On the other hand, this development also raises new challenges, especially related to the protection of the right to privacy. Protection of the right to privacy in Indonesia has been regulated in various laws and regulations, including Law Number 19 of 2016 concerning amendments to Law Number 11 of 2008 concerning Electronic Information and Transactions. However, the rapid development of technology often exceeds the speed of regulation formation. Where this right is often threatened by various activities in cyberspace. Problems such as cross-border data protection, the use of new technologies (for example: artificial intelligence), and the involvement of non-institutional entities in managing personal data are very hot topics. Through an in-depth study related to the legal analysis of the protection of the right to privacy in the digital era, especially cyber law, it can identify international and national legal instruments, relevant human rights principles and legal efforts made to overcome them. In addition, the results of the study can see the extent to which existing regulations are able to provide adequate protection for the right to privacy.   Abstrak Perkembangan tekonologi digital yang pesat telah membawa kemudahan dalam berbagai aspek kehidupan. Di sisi lain, perkembangan ini juga menimbulkan tantangan baru, terutama terkait dengan perlindungan hak atas privasi. Perlindungan hak atas privasi di Indonesia telah diatur dalam berbagai peraturan perundang – undangan, termasuk Undang – Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Namun, perkembangan teknologi yang begitu cepat seringkali melampaui kecepatan pembentukan regulasi. Dimana hak ini seringkali terancam oleh berbagai aktivitas di dunia maya. Adapun masalah-masalah seperti perlindungan data lintas batas, penggunaan teknologi baru (contoh: kecerdasaan buatan), serta keterlibatan entitas non lembaga dalam penggelolaan data pribadi menjadi pembahasan yang sangat hangat. Melalui kajian mendalam terkait analisis yuridis mengenai perlindungan hak atas privasi dalam era digital, khususnya hukum cyber, dapat mengidentifikan instrument hukum internasional dan nasional, prinsip hak asasi manusia yang relevan dan upaya hukum yang dilakukan untuk mengatasinya. Selain itu, hasil penelitian dapat melihat sejauh mana regulasi yang ada mampu memberikan perlindungan yang memadai terhadap hak atas privasi
Perlindungan Data Pribadi dan Keamanan Siber di Sektor Perbankan: Studi Kritis atas Penerapan UU PDP dan UU ITE di Indonesia Ilman Maulana Kholis
Staatsrecht: Jurnal Hukum Kenegaraan dan Politik Islam Vol. 4 No. 2 (2024): Staatsrecht Jurnal Hukum Kenegaraan dan Politik Islam
Publisher : UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/t5sfe747

Abstract

The rapid development of information technology has had a significant impact on the banking sector, while simultaneously increasing the risk of cyberattacks, particularly ransomware. This study aims to analyze the legal implications of the 2023 ransomware attack on Bank Syariah Indonesia (BSI), focusing on personal data protection and the effectiveness of existing regulations, namely the Personal Data Protection Law (PDP Law) and the Electronic Information and Transactions Law (ITE Law). Using a normative juridical approach and qualitative descriptive analysis, the study finds that although national regulations comprehensively cover personal data protection, their implementation in the BSI case faces several challenges, including delayed incident reporting and low institutional readiness against cyber threats. A comparison with the European Union’s General Data Protection Regulation (GDPR) reveals gaps in regulatory oversight, institutional capacity, and cross-sector collaboration in Indonesia. This study recommends strengthening regulatory enforcement, improving data security literacy, establishing an independent supervisory body, and enhancing inter-agency cooperation to build a more resilient data protection ecosystem in the national banking sector.   Abstrak  Pesatnya perkembangan teknologi informasi telah membawa dampak signifikan terhadap sektor perbankan, sekaligus meningkatkan risiko serangan siber, khususnya ransomware. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis implikasi hukum dari kasus serangan ransomware terhadap Bank Syariah Indonesia (BSI) pada tahun 2023, dengan fokus pada perlindungan data pribadi dan efektivitas regulasi yang berlaku, yaitu UU Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) dan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Menggunakan pendekatan yuridis-normatif dan analisis deskriptif kualitatif, penelitian ini menemukan bahwa meskipun regulasi nasional telah mengatur secara komprehensif mengenai perlindungan data pribadi, penerapannya dalam kasus BSI masih menemui berbagai hambatan, termasuk keterlambatan pelaporan insiden dan rendahnya kesiapan institusi perbankan terhadap ancaman siber. Perbandingan dengan standar GDPR Uni Eropa menunjukkan bahwa Indonesia masih memiliki gap dalam pengawasan, kapasitas kelembagaan, dan kolaborasi lintas sektor. Penelitian ini merekomendasikan penguatan penegakan regulasi, peningkatan literasi keamanan data, pembentukan lembaga pengawas independen, serta peningkatan kerja sama antar lembaga untuk menciptakan ekosistem perlindungan data yang lebih tangguh di sektor perbankan nasional
Tantangan Keamanan Siber dan Implikasinya terhadap Hukum Kenegaraan: Tinjauan atas Peran Negara dalam Menjamin Ketahanan Digital Siti Maesaroh, Risma
Staatsrecht: Jurnal Hukum Kenegaraan dan Politik Islam Vol. 4 No. 2 (2024): Staatsrecht Jurnal Hukum Kenegaraan dan Politik Islam
Publisher : UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/3n8bxw79

Abstract

The advancement of information and communication technology in the digital era has brought both significant benefits and serious challenges, particularly in the realm of cybersecurity. Indonesia is currently facing a range of cybercrimes, including data theft, hacking, online fraud, and the dissemination of illegal content. Although Law No. 11 of 2008 on Electronic Information and Transactions (ITE Law) serves as the primary legal foundation, it remains insufficient in addressing the growing complexity of cyber threats. This study aims to evaluate the effectiveness of existing regulations, identify key challenges, and propose strategic measures to strengthen cybersecurity governance in Indonesia. The research employs a descriptive-analytical method with a qualitative approach, relying on secondary data from legal literature, government policies, and recent case studies. The findings indicate that the implementation of the ITE Law faces several limitations, including narrow legal scope, limited enforcement capacity, low public awareness of digital security, and the transnational nature of cybercrime. Moreover, increasing threats to national critical infrastructure and sensitive data highlight the urgent need for a more adaptive and comprehensive legal framework. Moving forward, Indonesia must enhance its national legal instruments, improve human resource capacity in the field of cybersecurity, foster international cooperation, and promote public education on digital safety. These steps are essential to ensure state digital sovereignty and build a robust and sustainable cybersecurity system   Abstrak Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi di era digital telah memberikan manfaat besar, namun juga menghadirkan tantangan serius dalam bentuk ancaman kejahatan siber. Indonesia menghadapi berbagai bentuk kejahatan digital seperti pencurian data pribadi, peretasan, penipuan daring, dan penyebaran konten ilegal. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) telah dijadikan sebagai dasar hukum utama dalam menghadapi permasalahan ini. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi efektivitas UU ITE, mengidentifikasi tantangan dalam implementasinya, serta merumuskan langkah strategis untuk memperkuat keamanan siber di Indonesia. Metode yang digunakan adalah deskriptif-analitis dengan pendekatan kualitatif berdasarkan data sekunder dari literatur hukum, kebijakan pemerintah, dan studi kasus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi UU ITE masih menghadapi berbagai kendala, seperti cakupan hukum yang terbatas, lemahnya kapasitas penegakan hukum, rendahnya kesadaran masyarakat akan keamanan digital, serta karakteristik kejahatan siber yang lintas batas negara. Selain itu, meningkatnya ancaman terhadap infrastruktur vital dan data sensitif negara menunjukkan perlunya penguatan kerangka hukum yang lebih adaptif dan komprehensif. Strategi yang direkomendasikan meliputi pembaruan regulasi nasional, peningkatan kualitas sumber daya manusia di bidang keamanan siber, kerja sama internasional, serta edukasi publik secara masif mengenai pentingnya perlindungan data pribadi dan keamanan digital. Upaya ini penting untuk mewujudkan kedaulatan digital dan sistem pertahanan siber yang berkelanjutan di Indonesia.
Ruang Cyber vs Kebebasan Berpendapat: Menyeimbangkan Regulasi dan Ekspresi di Era Digital Selvi Amelia
Staatsrecht: Jurnal Hukum Kenegaraan dan Politik Islam Vol. 4 No. 2 (2024): Staatsrecht Jurnal Hukum Kenegaraan dan Politik Islam
Publisher : UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/d3fywx87

Abstract

The rapid advancement of information and communication technology has significantly transformed various aspects of society, leading to the emergence of cyberspace as a platform for social interaction, business, education, and other activities. While these developments offer numerous benefits, such as easy access to information and efficient communication, they also pose risks and challenges, including cybercrime and the spread of false information. This study examines the balance between freedom of expression and legal boundaries in social media, highlighting the importance of cybersecurity awareness and media literacy to mitigate potential risks. The research explores the impact of social media on public discourse, the role of regulations in maintaining order, and the necessity of public education in fostering responsible digital citizenship. By analyzing current trends and case studies, the study provides insights into effective strategies for promoting a safe and constructive online environment.   Abstrak Perkembangan pesat teknologi informasi dan komunikasi telah secara signifikan mengubah berbagai aspek masyarakat, yang mengarah pada munculnya ruang siber sebagai platform untuk interaksi sosial, bisnis, pendidikan, dan kegiatan lainnya. Meskipun perkembangan ini menawarkan banyak manfaat, seperti akses mudah ke informasi dan komunikasi yang efisien, mereka juga menghadirkan risiko dan tantangan, termasuk kejahatan siber dan penyebaran informasi palsu. Penelitian ini mengkaji keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan batasan hukum di media sosial, menyoroti pentingnya kesadaran keamanan siber dan literasi media untuk mengurangi risiko yang mungkin terjadi. Penelitian ini mengeksplorasi dampak media sosial terhadap diskursus publik, peran regulasi dalam menjaga ketertiban, dan perlunya pendidikan publik dalam mendorong kewarganegaraan digital yang bertanggung jawab. Dengan menganalisis tren terkini dan studi kasus, penelitian ini memberikan wawasan tentang strategi efektif untuk mempromosikan lingkungan online yang aman dan konstruktif

Page 1 of 1 | Total Record : 7