cover
Contact Name
Nurmalia Habibah
Contact Email
jurnal.fib@ugm.ac.id
Phone
+62274513096
Journal Mail Official
arnawa.journal@gmail.com
Editorial Address
Javanese Language, Literature, and Culture Program, Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada Sosiohmaniora 3 St. Bulaksumur, Sleman, Yogyakarta, Indonesia. 55281
Location
Kab. sleman,
Daerah istimewa yogyakarta
INDONESIA
Arnawa
ISSN : -     EISSN : 30317657     DOI : https://doi.org/10.22146/arnawa
Arnawa is an intellectual sanctuary dedicated to unraveling the intricate layers of Javanese identity through the lenses of language, literature, and culture. Nestled within the cultural heartland of Java, this journal serves as a vibrant forum for the exchange of scholarly discourse, fostering a profound understanding of the diverse facets that define Javanese existence. Arnawa is a biannual publication of the Javanese Language, Literature and Culture Study Program, Faculty of Cultural Sciences at Gadjah Mada University, released in June and December each year. We extend an open invitation to scholars and practitioners alike, encouraging active participation in the vibrant exchange of ideas, insights, and research. This collaborative endeavor seeks to enrich our collective comprehension of the nuanced facets that characterize the world of Javanese culture.
Articles 26 Documents
Realisme Magis dalam Crita Cekak Berjudul Kerisku Kasangsaranmu Karya Suparto Brata Fitria, Ajeng Aisyah
Arnawa Vol 2 No 1 (2024): Edisi 1
Publisher : Javanese Language, Literature, and Culture Study Program, Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22146/arnawa.v2i1.12513

Abstract

Literary works are considered the result of human reflection on the realist world. However, some literary works contain not only realist but also topics of magic, such as in the short story (cerkak) titled Kerisku Kasangsaranmu by Suparto Brata in the book Trem Anthology of Crita Cekak (2000). This study uses the theory of magical realism to uncover the magical nature of a realist literature. This theory is defined as an understanding that presents magical or irrational things that live in modern literary works. This study focuses on analyzing the characteristics and determining the level of magical realism. This research uses a qualitative method. The theory of magical realism characteristics from Wendy B. Faris explains about five characteristics of magical realism, namely 1) irreducible elements, 2) phenomenal world, 3) unsettling doubt, 4) merging realms, 5) disruption of time, space, and identity. Based on the results of the analysis, it was discovered that the short story Kerisku Kasangsaranmu has all the characteristics, so it could be categorized as a work of magical realism. The level between realist and magical in the cerkak is more prominent in the magical, resulting in realist or real things being covered by magics. This can be seen from the role of the 'naughty' keris which is more emphasized as the main conflict in the story. === Karya sastra dianggap sebagai hasil cerminan manusia terhadap dunia yang realis. Meskipun demikian, beberapa karya sastra tidak hanya mengandung hal-hal realis tetapi juga magis, seperti pada crita cekak (cerkak) berjudul Kerisku Kasangsaranmu karya Suparto Brata yang termuat dalam buku Trem Antologi Crita Cekak (2000). Kajian ini menggunakan teori realisme magis untuk membongkar hal-hal yang bersifat magis dalam karya sastra realis. Teori ini didefinisikan sebagai suatu paham yang menghadirkan hal-hal magis atau irrasional yang hidup pada karya sastra modern. Penelitian ini berfokkus pada analisis karakteristik dan penentuan kadar realisme magis. Metode yang digunakan yaitu metode kualitatif. Teori karakteristik realisme magis dari Wendy B. Faris menerangkan tentang lima karakteristik realisme magis, yakni 1) irreducible element, 2) phenomenal world, 3) unsettling doubt, 4) merging realms, 5) disruption time, space, and identity. Berdasarkan hasil analisis, ditemukan bahwa cerkak Kerisku Kasangsaranmu memiliki semua karakteristik, sehingga dapat dikelompokkan sebagai karya realisme magis. Kadar antara realis dan magis dari cerkak tersebut lebih menonjol pada hal magis sehingga mengakibatkan hal-hal yang realis atau nyata tertutupi oleh hal magis. Hal ini dapat dilihat dari peran keris ‘nakal’ yang lebih ditonjolkan sebagai permasalahan utama dalam cerkak tersebut.
Eksistensi Entitas Agraris dalam Rekam Jejak Lima Syair Lagu Cowongan Untoro, Haryo; Siswoyo, Muhammad
Arnawa Vol 2 No 1 (2024): Edisi 1
Publisher : Javanese Language, Literature, and Culture Study Program, Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22146/arnawa.v2i1.12696

Abstract

This research aims to describe the existence and inheritance of agrarian entities in the form of plants and animals from five sources, namely dissertations from the University of Indonesia, scientific articles in the Ghurnita Journal, videos from the BMS Record Youtube account, videos from the Krislam Ngapak Youtube account, and the Logat Ngapak website. The element of agrarianism in the five Cowongan song verses is of particular interest because it presents forms and elements of agrarianism and the inheritance of knowledge. The theories used are linguistic anthropology and folkloric theory in the form of folk songs. The five data sources were obtained through a literature study, data retrieval from the internet, and formal interviews. The data processing went through the stages of data collection, raw data description, data reduction, data categorization, and constructing categorization relationships. The research results obtained state that the five poems of Cowongan songs are very thick with agrarian elements that remain present in various forms, sources, and at various times. This is evidence of the preservation of collective knowledge of the community in various generations. Furthermore, the agrarian entities found can bring knowledge in the form of agrarian mythology believed by the community. === Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan keberadaan beserta pewarisan entitas keagrarisan berupa tanaman dan hewan dari lima sumber, yaitu disertasi dari Universitas Indonesia, artikel ilmiah dalam Jurnal Ghurnita, video dari akun Youtube BMS Record, video dari akun Youtube Krislam Ngapak, serta laman web Logat Ngapak. Unsur keagrarisan pada lima syair lagu Cowongan tersebut menjadi perhatian khusus dikarenakan menghadirkan bentuk dan unsur keagrarisan serta terdapatnya pewarisan pengetahuan. Teori yang digunakan adalah teori linguistik antropologi dan folklor berupa nyanyian rakyat. Lima sumber data diperoleh melalui studi pustaka, pengambilan data dari internet, dan wawancara formal. Pengolahan data tersebut melalui tahap pengumpulan data, deskripsi data mentah, reduksi data, kategorisasi data, dan mengkonstruksi hubungan kategorisasi. Hasil penelitian yang diperoleh menyatakan bahwa kelima syair lagu Cowongan sangat kental akan unsur-unsur keagrarisan yang tetap hadir dalam berbagai bentuk, sumber, dan di berbagai masa. Hal tersebut menjadi bukti terjaganya pengetahuan kolektif masyarakat dalam berbagai generasi Selanjutnya, entitas agraris yang ditemukan dapat membawa sebuah pengetahuan berupa mitologi agraris yang diyakini oleh masyarakat.
Kyai Hardawalika: Mistisisme Jawa Mataram dan Kemelut Suksesi Takhta Sultan Hamengku Buwana VII (1877-1921) Hakim, Moh. Taufiqul
Arnawa Vol 2 No 1 (2024): Edisi 1
Publisher : Javanese Language, Literature, and Culture Study Program, Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22146/arnawa.v2i1.15292

Abstract

This research examined the manuscript of Pranatan Yogyakarta Hadiningrat recording the coronation ceremony of Pangeran Juminah as crown prince on 11 November 1895. The event took place during the era of Sultan Hamengku Buwana VII (reigned 1877-1921), which was full of political pressure from the Dutch and political intrigues of court relatives who wanted to take over the Sultan's throne. The manuscript is written in Javanese script. The manuscript in macapat is the collection of a Dutch scholar and missionary Ir. J.L. Moens (1887-1954) which is now stored at the National Library of Indonesia with the number KBG 921. This research highlighted the absence of the Kangjeng Kyai Hardawalika heirloom in the coronation procession. In fact, in the tradition of the Islamic Mataram kingdom, it is a mystical allegory of the power that sustained the reign of the ruling king. Through philological reading, it was found that the absence of Kyai Hardawalika was a mystical-symbolic acknowledgement by a king who obeys and upholds tradition, namely Sultan Hamengku Buwana VII, of the current socio-political conditions. The absence of Kyai Hardawalika showed that the reigning king at that time no longer had the power to support the government. This is because the Sultanate of Yogyakarta was founded on colonial political contracts that were detrimental to the kingdom and the Javanese people in general. === Penelitian ini mengkaji naskah Pranatan Yogyakarta Hadiningrat yang mencatat prosesi upacara penobatan Pangeran Juminah sebagai putra mahkota pada 11 November 1895. Peristiwa tersebut terjadi di era Sultan Hamengku Buwana VII (bertakhta 1877-1921), yang penuh dengan tekanan politik dari Belanda dan intrik politik kerabat istana yang ingin mengambil alih takhta Sultan. Naskah ini ditulis dengan aksara dan berbahasa Jawa. Naskah bermetrum macapat ini merupakan koleksi seorang cendekiawan dan misionaris Belanda Ir. J.L. Moens (1887-1954) yang kini tersimpan di Perpustakaan Nasional RI dengan nomor KBG 921. Penelitian ini menyoroti absesnnya pusaka Kangjeng Kyai Hardawalika dalam prosesi penobatan. Padahal, dalam tradisi kerajaan Mataram Islam, ia merupakan alegori mistis dari kekuatan yang menopang pemerintahan raja yang berkuasa. Melalui pembacan filologis, ditemukan bahwa absennya Kyai Hardawalika merupakan sebuah pengakuan secara mistik-simbolis oleh seorang raja yang taat dan teguh memegang tradisi, yakni Sultan Hamengku Buwana VII terhadap kondisi sosial-politik yang sedang terjadi. Absennya Kyai Hardawalika menunjukkan bahwa raja yang bertakhta saat itu sudah tidak mempunyai kekuatan sebagai penopang jalannya pemerintahan. Pasalnya, Kesultanan Yogyakarta berdiri di atas kontrak-kontrak politik kolonial yang merugikan kerajaan dan orang Jawa pada umumnya.
Genealogi Temuan Naskah-Naskah Kuno Keislaman di Gunung Kawi Malang Awalin, Fatkur Rohman Nur
Arnawa Vol 2 No 2 (2024): Edisi 2
Publisher : Javanese Language, Literature, and Culture Study Program, Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22146/arnawa.v2i2.15423

Abstract

Mount Kawi in Malang continues to be recognized as a site imbued with an enduring sense of enchantment. Interestingly, ancient manuscripts linked to Islamic teachings have also been discovered in this region, particularly as part of the private collection of Mr. Anut Ekowiyono. These manuscripts, predominantly inscribed in Pegon Arabic script, serve as a focal point for this study, which investigates their genealogy and historical significance. The manuscripts, according to Mr. Anut Ekowiyono, were inherited from his great-grandfather, who hailed from Bangil (Pasuruan), Ponorogo, and Gunung Kawi itself. This lineage highlights the connection between the manuscripts and the broader historical and cultural networks of Java. The presence of these manuscripts at Gunung Kawi provides valuable evidence of the Islamisation process led by Javanese scholars in this region, suggesting that Gunung Kawi served as an important site for religious and cultural transformation. Culturally, Gunung Kawi has long been significant, functioning as a boundary and a point of cultural continuity. During the ancient Javanese period, it marked the division between the land of Kāḍiri and Tumapel in the 12th century—a time dominated by Hindu-Buddhist kingdoms such as Singosari and Majapahit. In the Islamic colonial era, the site maintained its cultural significance, delineating the boundary between Islamic Mataram and Arek culture. This layered history underscores Gunung Kawi’s role as a dynamic cultural and religious frontier throughout Javanese history. === Gunung Kawi di Malang hingga saat ini masih dikenal dengan citranya sebagai tempat pesugihan. Namun, di sisi lain ditemukan pula naskah-naskah kuno yang berkorelasi dengan ajaran Islam. Temuan naskah-naskah kuno di Gunung Kawi Malang merupakan koleksi pribadi Bapak Anut Ekowiyono. Mayoritas naskah-naskah kuno ditulis menggunakan aksara Arab pegon. Kajian ini mengkaji genealogi temuan naskah-naskah kuno di Gunung Kawi Malang yang dimiliki pribadi oleh Bapak Anut Ekowiyono. Hasilnya naskah-naskah kuno di Gunung Kawi Malang yang dimiliki pribadi oleh Bapak Anut Ekowiyono merupakan warisan turun temuran dari kakek buyutnya. Berdasarkan wawancara dengan Bapak Anut Ekowiyono kakek buyutnya berasal dari Bangil (Pasuruan), Ponorogo dan dari Gunung Kawi Malang sendiri. Keberadaan naskah-naskah kuno di Gunung Kawi Malang bukti sahih bahwa terdapat proses Islamisasi oleh ulama Jawa di Gunung Kawi Malang. Secara kebudayaan pada masa Jawa kuno Gunung Kawi Malang batas kultural dan sebagai kontinuitas budaya antara bumi Kadhiri (kāḍiri) dan bumi Tumapel pada abad ke 12 (masa Hindu-Buddha) terutama Singosari sampai Majapahit. Pada jaman Islam-kolonial menjadi batas kultural antara Mataram Islam dan kebudayaan Arek.
Baita Adi: Aktualisasi Budaya melalui Alih Wahana Naskah ke Batik Hernawan, Vighna Rivattyannur; Aisyah, Nurma
Arnawa Vol 2 No 1 (2024): Edisi 1
Publisher : Javanese Language, Literature, and Culture Study Program, Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22146/arnawa.v2i1.15493

Abstract

This research aimed to describe Baita Adi batik as a result of the transfer of the Sestra Ageng Adidarma script into batik motifs as a manifestation of the actualization of archipelago culture. The research method used was descriptive qualitative. The data sources obtained were collected through observation, literature study, and informal interviews. Data processing was done with note-taking technique. The results showed that Baita Adi batik contains noble values as a manifestation of the piwulang in the Sestra Ageng Adidarma manuscript. The transfer process did not change the essence. In Baita Adi batik, there were several motifs, namely the rudder or captain, compass, sail, Juri Mualim (guide), and anchor. The existence of Baita Adi batik is a manifestation of the preservation of noble values and wisdom from the past that are channeled into batik so that it is recognized by the public in modern times. The existence of Baita Adi batik also cannot be separated from social value, cultural value, economic value, and educational value. The perspective and role of Baita Adi batik is a form of actualization of Nusantara culture which is an effort to preserve culture in modern times. === Karya Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan batik Baita Adi sebagai hasil alih wahana naskah Sestra Ageng Adidarma ke dalam motif batik sebagai perwujudan aktualisasi budaya nusantara. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Sumber data yang diperoleh dikumpulkan melalui observasi, studi pustaka, dan wawancara informal. Pengolahan data dilakukan dengan dengan teknik catat. Hasil penelitian diperoleh bahwa batik Baita Adi mengandung nilai-nilai luhur sebagai manifestasi dari piwulang yang ada dalam naskah Sestra Ageng Adidarma. Proses alih wahana tidak mengubah esensi tersebut. Di dalam batik Baita Adi, terdapat beberapa motif yaitu kemudi atau nahkoda, kompas, layar, Juri Mualim (Penunjuk Jalan), dan Jangkar. Keberadaan batik Baita Adi merupakan perwujudan pelestarian nilai-nilai dan piwulang luhur sejak masa lampau yang disalurkan dalam batik agar dikenal masyarakat di masa modern. Keberadaan batik Baita Adi ini juga tidak dapat lepas dari nilai sosial, nilai budaya, nilai ekonomi, dan nilai pendidikan. Perspektif dan peran batik Baita Adi merupakan bentuk aktualisasi budaya Nusantara yang menjadi upaya pemertahanan budaya di masa modern.
Menelusuri Perbedaan Ilustrasi Keris Nagasasra dalam Naskah Keris ll dengan Pakem Dhapur Keris Nadhira, Aliffia Marsha; Wulandari, Arsanti; Raharja, R. Bima Slamet
Arnawa Vol 2 No 1 (2024): Edisi 1
Publisher : Javanese Language, Literature, and Culture Study Program, Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22146/arnawa.v2i1.17088

Abstract

Keris Nagasasra is one of the well-known keris in Java Island. It is said that this ‘keris’ was used as a replacement for the damaged Keris Kyai Condhong Campur from Majapahit Kingdom. The stories surrounding this ‘keris’ are not only spread through oral literature, but also recorded in ancient manuscripts. One of the manuscripts containing story of the creation of Keris Nagasasra is Naskah Keris II collection of Sonobudoyo Museum Yogyakarta. The manuscript also presents an illustration of Keris Nagasasra drawn in watercolor. With multimodal approach initiated by Gunther Kress and Theo van Leeuwen, it can be seen that the illustration of Keris Nagasasra in Naskah Keris II is incomplete when compared to the pakem of dhapur ‘keris’ which was agreed upon keris community. Since the initiator or copyist of Naskah Keris II is difficult to trace, the researchers offer three possibilities for the difference in illustrations to occur. First, the illustrator is someone who does not understand the dhapur ‘keris’ standard because he/she made a keris illustration that is not in accordance with the standard. Second, on the contrary, the illustrator was very knowledgeable about the pakem of dhapur ‘keris’, which is considered sinengker so it should not be known to the public. Third, there are limited resources, such as ink and paint, in making the illustrations of Naskah Keris II so that ‘keris’ illustrations are not drawn according to the standard. === Keris Nagasasra merupakan salah satu keris yang termasyhur di Pulau Jawa. Konon keris ini dijadikan sebagai pengganti dari Keris Kyai Condhong Campur milik Kerajaan Majapahit yang rusak. Kisah-kisah yang melingkupi keris ini tidak hanya tersebar melalui cerita lisan dari mulut ke mulut, tetapi juga dimuat dalam manuskrip kuno. Salah satu manuskrip yang memuat kisah penciptaan Keris Nagasasra adalah Naskah Keris II koleksi Perpustakaan Museum Sonobudoyo Yogyakarta. Dalam naskah tersebut disajikan pula ilustrasi dari Keris Nagasasra yang digoreskan dengan cat air. Dengan pendekatan multimodal yang digagas oleh Gunther Kress dan Theo van Leeuwen, dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan ilustrasi Keris Nagasasra dalam Naskah Keris II dengan pakem dhapur keris yang disepakati masyarakat perkerisan. Akibat dari pemrakarsa dan penyalin naskah Naskah Keris II yang sulit dilacak, maka peneliti menawarkan tiga kemungkinan sebab perbedaan ilustrasi terjadi. Pertama, ilustrator merupakan seseorang yang kurang paham mengenai pakem dhapur keris karena membuat ilustrasi keris yang tidak sesuai pakem. Kedua, malah sebaliknya, ilustrator sangat paham mengenai pakem dhapur keris yang dianggap sinengker sehingga tidak boleh diketahui khalayak umum. Ketiga, adanya keterbatasan sumber daya, seperti tinta dan cat, dalam pembuatan ilustrasi Naskah Keris II sehingga ilustrasi keris digambar tidak sesuai dengan aslinya.
Analisis Nilai Kenusantaraan dan Self Improvement dalam Pakêliran Wayang Gêdhog Gaya Surakarta Farizky, Muhammad Thoriq Akbar; Afiva, Shinta Miswatul; Pangesti, Septiana Dian
Arnawa Vol 2 No 2 (2024): Edisi 2
Publisher : Javanese Language, Literature, and Culture Study Program, Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22146/arnawa.v2i2.17402

Abstract

Wayang gêdhog is one of the mediums of Panji Stories in the form of wayang kulit with rare performances that are thick with Nusantara archipelago nuances. This study aims to determine the values in the Surakarta style of wayang gêdhog performance after its revitalization in 2014 as a representation of its preservation as a solace for society and the nation. This research is qualitative descriptive research with a social psychology approach. Theory in social psychology is used to analyze values, both from an Nusantara archipelago perspective and self-improvement in the Surakarta style of wayang gêdhog performance. This research shows the results of the contents of Nusantara archipelago values and self-improvement that are relevant for the younger generation in their daily lives as individuals and the life of their nation during post-Covid-19 recovery. The conclusion that can be known is that wayang gêdhog has Nusantara archipelagic values which teach peace and harmony in the Nusantara archipelago, inter-tribal cooperation, unity in diversity, equal rights or equality, active free views, fertility as a balance of nature, and purification towards sacredness. Meanwhile, the value of self-improvement invites one to develop through lateral thinking, self-potential development, remaining productive while recovering, self-motivation through history, the importance of focusing on process rather than results, as well as non-linear habits and professionalism. === Wayang gêdhog adalah salah satu medium Cerita Panji berbentuk wayang kulit dengan pementasan langka yang kental dengan nuansa kenusantaraan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai-nilai dalam pagelaran wayang gêdhog gaya Surakarta pasca revitalisasinya di tahun 2014 sebagai representasi pelestariannya sebagai pelipur lara bagi masyarakat dan bangsa. Penelitian ini berjenis penelitian deskriptif kualitatif dengan pendekatan psikologi sosial. Teori dalam psikologi sosial dipakai untuk menganalisis nilai-nilai, baik dari sisi kenusantaraan maupun self improvement dalam pagelaran wayang gêdhog gaya Surakarta. Penelitian ini memperlihatkan hasil kandungan-kandungan nilai kenusantaraan dan self improvement yang relevan bagi generasi muda dalam kehidupan keseharian sebagai individu dan kehidupan berbangsanya di kala pemulihan pasca Covid-19. Kesimpulan yang dapat diketahui yakni wayang gêdhog memiliki nilai-nilai kenusantaraan yang mengajarkan perdamaian dan kerukunan bangsa Nusantara, kerja sama antarsuku bangsa, bhinneka tunggal ika, persamaan hak atau kesetaraan, pandangan bebas aktif, kesuburan sebagai keseimbangan alam, serta penyucian menuju sakralitas. Sedangkan nilai self improvement mengajak untuk mengembangkan diri melalui berpikir lateral, pengembangan potensi diri, tetap produktif sembari recovery, motivasi diri melalui sejarah, pentingnya fokus pada proses dibanding hasil, serta non-linear habit dan profesionalisme.
Peyorasi Kosa Kata Jawa Kuno dalam Bahasa Bali Jayana, Ida Bagus Made Gesram Dwi
Arnawa Vol 2 No 2 (2024): Edisi 2
Publisher : Javanese Language, Literature, and Culture Study Program, Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22146/arnawa.v2i2.18093

Abstract

Balinese is one of the regional languages in the Indonesian archipelago. In its use, Balinese requires speakers to select words based on a complex system of linguistic levels. Over time, the Balinese language has inherited numerous words from other languages, primarily Old Javanese and Sanskrit. This study aims to examine linguistic phenomena, specifically pejoration or the process of semantic degradation, occurring in the vocabulary of Old Javanese that has been inherited into Balinese. Pejoration refers to the semantic shift of a term, wherein its meaning, initially refined or neutral, deteriorates into a coarser or less favorable connotation. The data for this research were derived from the Ādiparwa text. Primary data were obtained from the Ādiparwa Lontar manuscript in the collection of Griya Srama Tegallantang, Ubud, while secondary data consisted of research books, edited versions of the Ādiparwa text, as well as Balinese and Old Javanese dictionaries. The results reveal that at least five words from the Ādiparwa vocabulary have undergone pejoration. These words are /gawe/, /kurĕn, /mati/, /milu/, /mulih/. Analysis indicates that the causes of pejoration in the inheritance of Old Javanese into Balinese are attributed to two factors: changes in sociocultural contexts and differing interpretations among speakers of Old Javanese and Balinese regarding the usage of these words within the Balinese language. === Bahasa Bali merupakan salah satu bahasa daerah di Nusantara, dalam komunikasinya bahasa Bali menuntut pengunaan untuk mengunakan kata berdasarkan sistem tingkatan bahasa yang kompleks. Seiring perjalanan waktu bahasa Bali banyak mewarisi kata-kata dari bahasa lainya, utamanya bahasa Jawa Kuno dan Sanskerta. Penelitian ini bertujuan untuk meneliti terjadinya gejala linguistik berupa peyorasi atau pengasaran makna yang terjadi dalam kosa kata bahasa Jawa Kuno yang terwaris ke dalam bahasa Bali. Peyorasi merpakan proses perubahan makna sebuah ujaran, yang awalnya bersifat halus atau umum kemudian terjadi degradasi makna cenderung kasar. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini bersumber teks Ādiparwa. Data primer berupa Naskah Lontar Ādiparwa koleksi Griya Srama Tegallantang Ubud, dan data sekunder berupa buku-buku penelitian serta suntingan naskah Ādiparwa serta kamus bahasa Bali dan bahasa Jawa kuno. Hasil yang didapat yaitu, dari kosa kata Ādiparwa yang diambil, setidaknya telah terjadi proses peyorasi pada lima kata. Kelima kata tersebut yaitu /gawe/, /kurĕn, /mati/, /ilu/, /ulih/. Melalui pembahasan yang dilakukan, di dapat pula penyebab terjadinya peyorasi pada proses pewarisan bahasa Jawa Kuno ke dalam bahasa Bali disebabkan oleh dua faktor yaitu perubahan sosial budaya dan perbedaan tanggapan dalam masyarakat penutur bahasa Jawa Kuno dan Bali, terhadap pemakaian kata tersebut dalam bahasa Bali.
Dari Pemimpin Dinasti ke Ruang Politik: Kepemimpinan Berbasis Kearifan Lokal ‘Ida Dalem Waturenggong’ dalam Mengatasi Dinamika Pemimpin Saputri, Ni Komang Ayuk Lilis
Arnawa Vol 2 No 2 (2024): Edisi 2
Publisher : Javanese Language, Literature, and Culture Study Program, Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22146/arnawa.v2i2.18232

Abstract

Dalem Waturenggong is one of the Kings in Bali who plays a very big role for the Balinese people. At the time of his leadership, Bali was said to be a golden age because of its economic, political and social stability. Dalem Waturenggong is a wise, brave, spiritual King who always cares for his people. This study aims to explore the values of local wisdom in Waturenggong to overcome the complex political dynamics as it is today. By adopting and implementing these values, people can build a more peaceful, just and prosperous political life. The method used in this study is to combine the historical method through historical relics and kuatilalif through interviews. This study adopts the values of local wisdom Dalem Waturenggong which can be used as an example for the current leadership. Leadership based on local wisdom that is strong in these noble values is still relevant in overcoming political dynamics in the current era. === Dalem Waturenggong merupakah salah satu raja di Bali yang berperan penting bagi masyarakat Bali. Pada saat kepemimpinannya, Bali dikatakan sebagai masa keemasan karena adanya stabilitas ekonomi, politik dan sosial. Dalem Waturenggong adalah sosok raja yang bijak, pemberani, spiritualistik dan selalu memperhatikan rakyatnya. Penelitian ini bertujuan untuk menggali nilai kearifan lokal Dalem Waturenggong untuk mengatasi dinamika politik yang kompleks seperti saat ini. Dengan mengadopsi dan mengimplementasikan nilai-nilai tersebut, masyarakat dapat membangun kehidupan politik yang lebih damai, adil, dan sejahtera. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu menggabungkan metode historis melalui peninggalan-peninggalan sejarah dan library research (penelitian kapustakaan) Penelitian ini mengadopsi nilai-nilai kearifan lokal Dalem Waturenggong yang dapat dijadikan contoh bagi kepemimpinan saat ini. Kepemimpinan berbasis kearifan lokal yang kental akan nilai-nilai luhur tersebut terasa masih relevan dalam mengatasi dinamika politik di era sekarang.
Fungsi Semantis Preposisi dalam Bahasa Jawa Alya, Nanda Nursa
Arnawa Vol 2 No 2 (2024): Edisi 2
Publisher : Javanese Language, Literature, and Culture Study Program, Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22146/arnawa.v2i2.18234

Abstract

This study aims to explain the function of prepositions in the Javanese language. The objective of this research was to identify the semantic functions that can be fulfilled by words acting as prepositions using a typological approach. The data used in this study were taken from the speech of the people in Dusun Nyamplung, Margokaton, Seyegan, Sleman, in their daily lives. The sample was taken from this area because all the residents use Javanese. The Javanese analyzed was Ngoko Javanese. Data were collected using the listening and note-taking method. The obtained data were then classified into several categories based on their semantic functions. The results show that prepositions serve various semantic functions, including as tools, direction, origin, end boundary, manner, intermediary, equivalence, allocation, occurrence, time, purpose, place, agent, patient, cause, comparison, topic, basis, reciprocity, accompaniment, estimation, and intensity. === Penelitian ini membahas tentang fungsi semantis preposisi dalam bahasa Jawa. Tujuan penelitian ini digunakan untuk mengetahui fungsi semantis apa saja yang dapat diperankan oleh kategori preposisi menggunakan pendekatan tipologi. Data yang digunakan yaitu tuturan masyarakat yang ada di Dusun Nyamplung, Margokaton, Seyegan, Sleman dalam kehidupan sehari-hari. Sampel tersebut diperoleh dari wilayah tersebut karena keseluruhan warga menggunakan bahasa Jawa dengan intensitas tinggi dalam kehidupan sehari-hari. Bahasa Jawa yang dianalisis yaitu bahasa Jawa ngoko. Data diambil menggunakan metode simak dan catat. Data yang diperoleh kemudian diklasifikasikan menjadi beberapa kategori sesuai dengan fungsi semantis preposisinya. Hasil yang diperoleh yaitu preposisi menduduki fungsi semantis berupa alat, arah, asal, batas akhir, cara, perantara, penyamaan, peruntukan, kepenjadian, waktu, tujuan, tempat, pelaku, penderita, sebab, perbandingan, perihal, dasar, kesambilan, kesertaan, perkiraan, intensitas.

Page 2 of 3 | Total Record : 26