cover
Contact Name
Andi Musthafa Husain
Contact Email
andimusthafa@gmail.com
Phone
+6281328760156
Journal Mail Official
siradpelitawawasan@gmail.com
Editorial Address
Ngelosari, Purwobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta
Location
Kota yogyakarta,
Daerah istimewa yogyakarta
INDONESIA
SiRad: Pelita Wawasan
Published by Yayasan Nurul Musthafa
ISSN : -     EISSN : 30905591     DOI : https://doi.org/10.64728/sirad.v1i1.art1
The name "SiRad" is an abbreviation of Pelita Wawasan, which translates as "The Light of Insight" a symbol of enlightenment in the world of knowledge. The term also draws inspiration from the Arabic word siraj (siraj), meaning lamp or light, as mentioned in the Quran as a symbol of illumination. In the context of this journal, SiRad represents an intellectual beacon that sheds light on academic discourse and social transformation. Jurnal SiRad: Pelita Wawasan is an open-access scholarly journal published by Yayasan Nurul Musthafa. This journal focuses on the publication of research articles, literature reviews, case studies, and conceptual papers that critically address contemporary issues in the fields of education, humanities, and social sciences. This journal serves as a platform for advancing transformative thinking, interdisciplinary approaches, and critical reflection on the dynamics of education, culture, society, and public policy. Topics covered by this journal include but are not limited to Education - learning technologies, religious moderation, curriculum innovation; Humanities - cultural studies, communication, history, and Islamic civilization; Social Sciences - public policy, political dynamics, behavioral economics, and the intersection of religion and society. Jurnal SiRad: Pelita Wawasan is published three times a year in February, June, and October, and is freely accessible to support inclusive and impactful knowledge dissemination.
Arjuna Subject : Umum - Umum
Articles 13 Documents
Search results for , issue "October (Vol. 1 No. 3, 2025)" : 13 Documents clear
Transaksi ARRUM BPKB Kendaraan Secara Online di Pegadaian Syariah Jambi Perspektif Hukum Ekonomi Syariah Mirna, Mirna; Sasnifa, Pidayan; Fathoni, M. Kamal
SiRad: Pelita Wawasan October (Vol. 1 No. 3, 2025)
Publisher : Yayasan Nurul Musthafa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.64728/sirad.v1i3.art7

Abstract

This study examines the implementation of online Arrum BPKB financing at Pegadaian Syariah Jambi from the perspective of Sharia Economic Law. Arrum BPKB (Ar-Rahn untuk Usaha Mikro) is a Sharia-based pawn financing scheme that provides micro-entrepreneurs with business capital using vehicle ownership documents (BPKB) as collateral, while the vehicle remains in the owner’s possession. Using a qualitative-descriptive approach with a normative-empirical perspective, data were collected through observation, interviews, and documentation involving employees and customers of Pegadaian Syariah Jambi. The findings indicate that the online Arrum BPKB mechanism combines digital innovation with Islamic legal principles. The financing contract involves two main Islamic contracts: rahn tasjīlī (a documentary pledge where only ownership documents are pledged) and ijarah (leasing for safekeeping of the documents). However, several procedural aspects were found to contradict Sharia Economic Law, such as the absence of written evidence during the contract, ambiguity in the contract termination period, and unclear provisions regarding the use of pledged goods. These findings highlight the need for procedural refinement and regulatory guidance to ensure full compliance with Sharia principles in digital-based financing. This study contributes to the discourse on Islamic pawn services by emphasizing the legal and ethical dimensions of digital transformation in Islamic finance. [Penelitian ini mengkaji implementasi pembiayaan Arrum BPKB secara daring di Pegadaian Syariah Jambi dalam perspektif Hukum Ekonomi Syariah. Arrum BPKB (Ar-Rahn untuk Usaha Mikro) merupakan skema pembiayaan berbasis syariah yang memberikan modal usaha kepada pelaku usaha mikro dengan jaminan dokumen kepemilikan kendaraan bermotor (BPKB), sementara kendaraan tetap dapat digunakan oleh pemiliknya. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif-deskriptif dengan pendekatan normatif-empiris. Data diperoleh melalui observasi, wawancara, dan dokumentasi yang melibatkan pegawai serta nasabah Pegadaian Syariah Jambi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mekanisme Arrum BPKB daring berhasil mengintegrasikan inovasi digital dengan prinsip-prinsip hukum ekonomi Islam. Proses pembiayaan melibatkan dua akad utama, yaitu rahn tasjīlī (gadai berbasis dokumen kepemilikan) dan ijarah (sewa atas jasa penyimpanan dokumen). Namun, ditemukan beberapa aspek prosedural yang berpotensi tidak sesuai dengan prinsip syariah, antara lain tidak adanya bukti tertulis saat pelaksanaan akad, ketidakjelasan batas waktu berakhirnya perjanjian gadai, serta tidak adanya kejelasan mengenai pemanfaatan barang jaminan. Temuan ini menegaskan perlunya penyempurnaan prosedur dan pedoman hukum agar pelaksanaan pembiayaan digital dapat sepenuhnya sejalan dengan prinsip Hukum Ekonomi Syariah. Penelitian ini memberikan kontribusi terhadap pengembangan layanan gadai syariah digital dengan menyoroti dimensi hukum dan etika dalam transformasi keuangan berbasis syariah.]
Penetapan Asal-Usul Anak Luar Kawin dalam Perspektif Hukum Perlindungan Anak Firdaus, Muhammad Ridwan
SiRad: Pelita Wawasan October (Vol. 1 No. 3, 2025)
Publisher : Yayasan Nurul Musthafa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.64728/sirad.v1i3.art8

Abstract

The determination of the legal origin of out-of-wedlock children is a crucial issue in Indonesia’s family law system, directly related to the protection of children’s rights. This study aims to analyze the legal basis, procedures, and juridical implications of determining the legal origin of out-of-wedlock children from the perspective of child protection law. The research employs a normative juridical approach by examining statutory provisions, court decisions, and relevant legal doctrines. The results indicate that the recognition of out-of-wedlock children has evolved through Constitutional Court Decision No. 46/PUU-VIII/2010, which expands the civil relationship between a child and his biological father based on scientific evidence, particularly DNA testing. However, implementation in religious courts still faces challenges, especially in terms of proof and the enforcement of the child’s civil rights. From the perspective of child protection law, such determination represents the state’s recognition of every child’s right to know their identity and to receive adequate legal protection without discrimination. Therefore, harmonizing Islamic family law, national civil law, and child protection principles is essential to achieving justice and legal certainty for out-of-wedlock children in Indonesia. [Penetapan asal-usul anak luar kawin merupakan isu penting dalam sistem hukum keluarga di Indonesia yang berkaitan langsung dengan perlindungan hak-hak anak. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dasar hukum, prosedur, dan implikasi yuridis penetapan asal-usul anak luar kawin berdasarkan perspektif hukum perlindungan anak. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan menelaah ketentuan peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, serta doktrin hukum yang relevan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penetapan asal-usul anak luar kawin mengalami perkembangan melalui putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 yang memperluas hubungan keperdataan antara anak dan ayah biologisnya berdasarkan pembuktian ilmiah, khususnya melalui tes DNA. Namun, implementasi di tingkat pengadilan agama masih menghadapi tantangan, terutama dalam hal pembuktian dan pelaksanaan hak-hak keperdataan anak. Dalam perspektif hukum perlindungan anak, penetapan asal-usul ini merupakan bentuk pengakuan negara terhadap hak anak untuk mengetahui identitas dan memperoleh perlindungan hukum yang layak tanpa diskriminasi. Oleh karena itu, sinkronisasi antara hukum keluarga Islam, hukum perdata nasional, dan prinsip-prinsip perlindungan anak menjadi langkah penting dalam mewujudkan keadilan dan kepastian hukum bagi anak luar kawin di Indonesia.]
Problematika Penegakan Hukum Tindak Pidana Pemilu Tahun 2024 oleh BAWASLU Kota Bengkulu Al-Hafiz, Muhammad Iqbal; Syarkati
SiRad: Pelita Wawasan October (Vol. 1 No. 3, 2025)
Publisher : Yayasan Nurul Musthafa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.64728/sirad.v1i3.art4

Abstract

This research is motivated by the persistent occurrence of election violations, particularly electoral criminal offenses, many of which cannot be fully followed up by the Bengkulu City Election Supervisory Agency (Bawaslu). The aim of this study is to identify the forms of violations, the process of law enforcement, obstacles encountered, and the challenges faced by Bawaslu in carrying out its duties. This research employs a qualitative method with an empirical juridical approach. Data were collected through interviews with three informants from Bawaslu Bengkulu City and one reporting citizen, as well as through documentation and observation. The findings indicate that out of 41 alleged violations, 39 were officially registered, but only one was classified as a criminal offense and had to be discontinued at the Gakkumdu stage. The identified obstacles include weak evidence, low public participation, and a lack of synchronization among institutions within the Gakkumdu Center. In conclusion, law enforcement for electoral criminal offenses has not been running optimally due to unresolved issues in coordination, technical procedures, and public participation. [Penelitian ini dilatarbelakangi oleh masih banyaknya pelanggaran pemilu, khususnya tindak pidana pemilu, yang tidak seluruhnya dapat ditindaklanjuti oleh Bawaslu Kota Bengkulu. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui bentuk pelanggaran, proses penegakan hukum, hambatan, serta problematika yang dihadapi oleh Bawaslu dalam menjalankan tugasnya. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan yuridis empiris. Data diperoleh melalui wawancara dengan tiga informan dari Bawaslu Kota Bengkulu dan satu masyarakat pelapor, serta dokumentasi dan observasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 41 dugaan pelanggaran dengan 39 pelanggaran yang terigestrasi, hanya satu yang dikategorikan sebagai tindak pidana dan harus terhenti di tahap Gakkumdu. Hambatan yang ditemukan antara lain lemahnya alat bukti, rendahnya partisipasi masyarakat, serta kurangnya sinkronisasi antar lembaga dalam Sentra Gakkumdu. Kesimpulannya, penegakan hukum terhadap tindak pidana pemilu belum berjalan optimal akibat problem koordinasi, teknis, dan partisipatif yang belum teratasi secara menyeluruh]
Ibn Miskawaih’s Religious-Rational Thought on the Philosophy of Moral Education and Its Relevance to Contemporary Islamic Education: Pemikiran Religius-Rasional Ibnu Miskawaih tentang Filsafat Pendidikan Akhlak dan Relevansinya bagi Pendidikan Islam Kontemporer Sarmiati, Eni; Siregar, Maragustam
SiRad: Pelita Wawasan October (Vol. 1 No. 3, 2025)
Publisher : Yayasan Nurul Musthafa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.64728/sirad.v1i3.art6

Abstract

Moral education plays a significant role in the field of education. Ibn Miskawaih, a Muslim philosopher who concentrated on ethical philosophy, provided an essential foundation for moral development. This article explores Ibn Miskawaih’s biography and works, his thoughts on the philosophy of moral education, and their relevance to contemporary Islamic education. This study employs a qualitative approach using library research. The primary source is the translated version of Ibn Miskawaih’s Tahdzib al-Akhlaq, while secondary sources include relevant books and scholarly journals. Data were collected through documentation and analyzed using inductive methods. Ibn Miskawaih argued that the essence of human goodness lies in the ability to think, which distinguishes humans from other creatures. The main goal of moral education is to elevate humans from a despicable state to noble character. The proposed methods include habituating students to love religious values, perform religious obligations, control worldly desires, and develop social awareness. Ibn Miskawaih also permitted light punishment as a means of discipline. His thoughts remain relevant to modern education, though their application in Indonesia faces dilemmas due to the provisions of Law No. 23 of 2002 on Child Protection. [Pendidikan akhlak memiliki peranan penting dalam dunia pendidikan. Ibnu Miskawaih, seorang filsuf Muslim yang berfokus pada filsafat etika, telah meletakkan dasar dalam proses pembinaan akhlak. Artikel ini menguraikan biografi singkat dan karya-karya Ibnu Miskawaih, pemikirannya mengenai filsafat pendidikan akhlak, serta relevansinya dengan pendidikan Islam kontemporer. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi pustaka (library research). Sumber primer penelitian adalah terjemahan kitab Tahdzib al-Akhlaq karya Ibnu Miskawaih, sedangkan sumber sekunder diperoleh dari buku dan jurnal ilmiah terkait. Data dikumpulkan melalui metode dokumentasi dan dianalisis dengan teknik induktif. Menurut Ibnu Miskawaih, esensi kebaikan manusia terletak pada kemampuannya berpikir, karena berpikir merupakan ciri khas manusia yang membedakannya dari makhluk lain. Tujuan utama pendidikan akhlak adalah mengangkat manusia dari derajat tercela menuju kesempurnaan akhlak. Metode yang diajukan meliputi: membiasakan murid mencintai kemuliaan agama, melaksanakan kewajiban syariat, mengendalikan hawa nafsu duniawi, serta menumbuhkan kepedulian sosial. Ibnu Miskawaih juga memperbolehkan bentuk hukuman ringan sebagai sarana mendisiplinkan murid. Pemikirannya tetap relevan dengan dunia pendidikan kontemporer, meskipun penerapannya di Indonesia menghadapi dilema akibat benturan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.]
Arabic Language Education for Non-Native Speaker: Integrating Local Culture Khairanis, Retisfa; Aldi, Muhammad
SiRad: Pelita Wawasan October (Vol. 1 No. 3, 2025)
Publisher : Yayasan Nurul Musthafa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.64728/sirad.v1i3.art9

Abstract

Arabic language education for non-native speaker is increasingly important along with globalization and the need to understand Arabic culture. However, challenges arise when teaching materials do not pay attention to the local cultural context which can hinder the learning process. This research aims to explore the integration of local culture in Arabic language education for non-native speaker so that learning becomes more contextual and relevant. The research method used was a qualitative descriptive method through observation and interviews with teachers and students at MTsN 2 Padang, West Sumatra. The results showed that the integration of local culture can improve Arabic language understanding, facilitate adaptation, and make the learning process more interesting and effective. In conclusion, the incorporation of local cultural elements in the Arabic language education curriculum not only enriches the learning experience, but also accelerates language acquisition and encourages students to appreciate cultural diversity. [Pendidikan bahasa Arab bagi penutur non-native semakin penting seiring dengan globalisasi dan kebutuhan untuk memahami budaya Arab. Namun, tantangan muncul ketika materi ajar tidak memperhatikan konteks budaya lokal yang dapat menghambat proses pembelajaran. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi integrasi budaya lokal dalam pendidikan bahasa Arab untuk non-native speaker sehingga pembelajaran menjadi lebih kontekstual dan relevan. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif dengan jenis deskriptif melalui observasi dan wawancara terhadap pengajar dan siswa di MTsN 2 Kota Padang, Sumatera Barat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa integrasi budaya lokal dapat meningkatkan pemahaman bahasa Arab, mempermudah adaptasi, dan membuat proses pembelajaran lebih menarik dan efektif. Kesimpulannya, penggabungan unsur budaya lokal dalam kurikulum pendidikan bahasa Arab tidak hanya memperkaya pengalaman belajar, tetapi juga mempercepat penguasaan bahasa serta mendorong siswa untuk lebih menghargai keragaman budaya.]
Political Education as a Catalyst for Adaptive Social Transformation Based on Structural Functional Theory (Durkheim & Parsons): Pendidikan Politik sebagai Katalis Transformasi Sosial Adaptif Berbasis Teori Struktural Fungsional (Durkheim & Parsons) Azmi, Diinu Tsabitul
SiRad: Pelita Wawasan October (Vol. 1 No. 3, 2025)
Publisher : Yayasan Nurul Musthafa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.64728/sirad.v1i3.art10

Abstract

Contemporary dynamics characterized by globalization, the information technology revolution, and shifting values ​​have the potential to trigger socio-political complexity and polarization. In this context, political education is crucial as a central socialization tool that shapes participatory and responsible citizens, serving as the foundation for a stable political system. This research aims to examine and analyze how political education acts as a catalyst for constructive and integrated social transformation, applying Structural Functional Theory (Durkheim & Parsons) to understand its adaptive function. A qualitative methodology through a comprehensive literature review was used, analyzing various scientific publications to identify patterns and implications for the role of political education. Initial findings indicate that political education contributes to social transformation through the socialization of democratic values, the formation of adaptive change agents, and the strengthening of institutional legitimacy. This enables society to adapt evolutionary without fundamental disruption. The novelty of this research lies in the systematic integration of the role of political education as an agent of social transformation with an explicit Structural Functional Theory lens, aimed at enhancing understanding of the processes of political institutions and strengthening their legitimacy and public trust. Therefore, this approach offers a fresh perspective on the contribution of educational institutions to functional health and sustainability within social systems through the integrative perspectives of Durkheim and Parsons. [Dinamika kontemporer yang diwarnai globalisasi, revolusi teknologi informasi, dan pergeseran nilai sangat berpotensi memicu kompleksitas sosial-politik serta polarisasi. Dalam konteks ini, pendidikan politik sangat krusial sebagai sentral sosialisasi yang membentuk warga negara partisipatif dan bertanggung jawab, sebagai fondasi stabilitas sistem politik. Penelitian ini bertujuan mengkaji dan nmenganalisis bagaimana pendidikan politik berperan sebagai katalisator transformasi sosial yang konstruktif dan terintegrasi, dengan mengaplikasikan Teori Struktural Fungsional (Durkheim & Parsons) untuk memahami fungsi adaptifnya. Metodologi kualitatif melalui studi literatur komprehensif digunakan, menganalisis beragam publikasi ilmiah untuk mengidentifikasi pola dan implikasi peran pendidikan politik. Temuan awal mengindikasikan bahwa pendidikan politik berkontribusi pada transformasi sosial melalui sosialisasi nilai-nilai demokratis, pembentukan agen perubahan yang adaptif, serta penguatan legitimasi institusi. Ini memungkinkan masyarakat beradaptasi secara evolusioner tanpa disrupsi fundamental. Kebaruan penelitian terletak pada integrasi sistematis antara peran pendidikan politik sebagai agen transformasi sosial dengan lensa Struktural Fungsional secara eksplisit sebagai upaya meningkatkan pemahaman terhadap proses terhadap institusi politik, serta memperkuat legitimasi dan kepercayaan publik, oleh karenanya Pendekatan ini menawarkan perspektif segar mengenai kontribusi institusi pendidikan terhadap kesehatan fungsional dan keberlanjutan dalam sistem sosial melalui pandangan integratif Durkhem dan Parsons.]
Reframing Food Insecurity in the Digital Era: Marginalized Women, Cultural Identity, and Public Policy Dynamics Rarhore, Sonia
SiRad: Pelita Wawasan October (Vol. 1 No. 3, 2025)
Publisher : Yayasan Nurul Musthafa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.64728/sirad.v1i3.art1

Abstract

Food insecurity remains one of the most pressing challenges of the twenty-first century, disproportionately affecting women and marginalized communities. In recent years, digital technologies such as biometric identification, electronic vouchers, and online entitlement systems have been promoted as solutions to inefficiency and corruption in welfare distribution. However, these initiatives often reproduce existing inequalities, as women’s access to digital platforms is mediated by gendered, cultural, and socio-economic constraints. While existing scholarship has examined food insecurity, the digital divide, and intersectionality, these fields of study remain largely disconnected, leaving a gap in understanding how digital infrastructures themselves govern hunger. This paper addresses that gap by introducing the concept of the Digital Hunger Regime, a theoretical framework that explains how technological systems, bureaucratic rationalities, and cultural hierarchies interact to determine access to food. The study employs a conceptual methodology grounded in library research, critical discourse analysis, feminist theory, and decolonial critique, synthesizing policy documents, NGO reports, and scholarly literature to build a theoretical argument. The analysis demonstrates that digitalization in welfare is not a neutral tool of modernization, but a governance regime that often intensifies food insecurity while simultaneously creating limited spaces for resistance and alternative forms of solidarity. By reframing hunger in the digital era as a question of power, identity, and cultural justice, the paper contributes to debates in the humanities and social sciences, highlighting the hidden politics of digital welfare and offering a new lens for both academic inquiry and policy innovation. [Ketahanan pangan tetap menjadi salah satu tantangan paling mendesak di abad ke-21, yang secara tidak proporsional berdampak pada perempuan dan komunitas yang terpinggirkan. Dalam beberapa tahun terakhir, teknologi digital seperti identifikasi biometrik, voucher elektronik, dan sistem hak berbasis daring dipromosikan sebagai solusi untuk mengatasi inefisiensi dan korupsi dalam distribusi kesejahteraan. Namun, inisiatif-inisiatif ini sering kali mereproduksi ketidaksetaraan yang sudah ada, karena akses perempuan terhadap platform digital dimediasi oleh kendala gender, budaya, dan sosial-ekonomi. Sementara kajian yang ada telah meneliti ketahanan pangan, kesenjangan digital, dan interseksionalitas, bidang-bidang kajian tersebut sebagian besar masih terpisah, sehingga meninggalkan celah dalam memahami bagaimana infrastruktur digital itu sendiri mengatur persoalan kelaparan. Artikel ini menjawab celah tersebut dengan memperkenalkan konsep Digital Hunger Regime, sebuah kerangka teoretis yang menjelaskan bagaimana sistem teknologi, rasionalitas birokrasi, dan hierarki budaya berinteraksi dalam menentukan akses terhadap pangan. Studi ini menggunakan metodologi konseptual yang didasarkan pada penelitian kepustakaan, analisis wacana kritis, teori feminis, dan kritik dekolonial, dengan mensintesis dokumen kebijakan, laporan LSM, dan literatur akademik untuk membangun sebuah argumen teoretis. Analisis menunjukkan bahwa digitalisasi dalam program kesejahteraan bukanlah alat netral modernisasi, melainkan sebuah rezim tata kelola yang sering kali memperburuk kerawanan pangan sekaligus menciptakan ruang terbatas untuk perlawanan dan bentuk solidaritas alternatif. Dengan membingkai ulang kelaparan di era digital sebagai persoalan kekuasaan, identitas, dan keadilan kultural, artikel ini memberikan kontribusi pada perdebatan dalam ilmu humaniora dan ilmu sosial, menyoroti politik tersembunyi dari kesejahteraan digital serta menawarkan perspektif baru bagi kajian akademik maupun inovasi kebijakan.]
The Potential of Mount Lakus for Sustainable Municipal Development in Bobonaro, Timor-Leste Gabriel, Carlito; Ximenes, João
SiRad: Pelita Wawasan October (Vol. 1 No. 3, 2025)
Publisher : Yayasan Nurul Musthafa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.64728/sirad.v1i3.art2

Abstract

Mountain conservation in Timor-Leste plays a crucial role in maintaining water resources, preserving biodiversity, and preventing natural disasters. Such conservation efforts directly contribute to improving the quality of life of both humans and wildlife, as well as enhancing community well-being. Mount Lakus, located at the intersection of several villages in Bobonaro Municipality, holds ecological, cultural, and economic significance for the local population. This study employed a descriptive survey method through field observations and literature review to assess the potential of Mount Lakus for sustainable municipal development. The findings show that the conservation of Mount Lakus could support tourism, agriculture, and environmental protection, while also generating socio-economic benefits for local communities. Establishing Mount Lakus as a National Park would not only preserve natural resources for present and future generations but also promote job creation, support small and medium enterprises, and attract green investment. Therefore, collaborative action between government, local communities, and stakeholders is required to ensure that Mount Lakus contributes effectively to sustainable development in Bobonaro and Timor-Leste as a whole. [Konservasi gunung di Timor-Leste memainkan peran penting dalam menjaga sumber daya air, melestarikan keanekaragaman hayati, dan mencegah bencana alam. Upaya konservasi tersebut secara langsung berkontribusi pada peningkatan kualitas hidup manusia dan satwa liar, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Gunung Lakus, yang terletak di pertemuan beberapa desa di Kabupaten Bobonaro, memiliki nilai ekologis, budaya, dan ekonomi yang signifikan bagi masyarakat setempat. Penelitian ini menggunakan metode survei deskriptif melalui observasi lapangan dan kajian literatur untuk menilai potensi Gunung Lakus dalam pembangunan daerah berkelanjutan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konservasi Gunung Lakus dapat mendukung sektor pariwisata, pertanian, dan perlindungan lingkungan, sekaligus menghasilkan manfaat sosial-ekonomi bagi masyarakat lokal. Penetapan Gunung Lakus sebagai Taman Nasional tidak hanya akan melestarikan sumber daya alam bagi generasi sekarang dan mendatang, tetapi juga mendorong penciptaan lapangan kerja, mendukung usaha kecil dan menengah, serta menarik investasi hijau. Oleh karena itu, diperlukan kerja sama antara pemerintah, masyarakat lokal, dan para pemangku kepentingan untuk memastikan Gunung Lakus dapat memberikan kontribusi nyata bagi pembangunan berkelanjutan di Bobonaro dan Timor-Leste secara keseluruhan.]
Perkembangan Hak Asuh Anak Pasca Perceraian dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung Sumar'um
SiRad: Pelita Wawasan October (Vol. 1 No. 3, 2025)
Publisher : Yayasan Nurul Musthafa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.64728/sirad.v1i3.art3

Abstract

According to the Marriage Law, the primary goal of marriage is to establish a lasting and harmonious family. However, the 2024 report from the Dirjen Badilag Mahkamah Agung Republik Indonesia indicates that divorce is the most frequently handled case, with a total of 359,496 cases. A significant number of these divorce cases involve disputes over child custody. Based on the Compilation of Islamic Law, supported by Surah Al-Baqarah verse 233 and a hadith narrated by Tirmidzi, custody of children under the age of 12 is generally granted to the mother. Nevertheless, court decisions do not always award custody to the mother. This is evident from several Supreme Court precedents, including Decision No. 102 K/SIP/1973, No. 126 K/Pdt/2001, and No. 110 K/AG/2007. This raises the need to examine whether these precedents are in conflict with Islamic law or national (positive) law, particularly in light of legal theory on the purpose of law and the concept of maqashid shariah. This research is normative in nature, using a conceptual approach, statutory approach, and case analysis. The findings indicate that the precedents which do not grant custody to the mother are not in contradiction with either Islamic law or positive law. Furthermore, these decisions align with the objectives of law and the principles of maqashid shariah. [Menurut Undang-Undang Perkawinan, tujuan utama perkawinan adalah membentuk keluarga yang langgeng dan harmonis. Namun, laporan tahun 2024 dari Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung Republik Indonesia menunjukkan bahwa perceraian merupakan perkara yang paling banyak ditangani, dengan total 359.496 kasus. Sebagian besar dari perkara perceraian tersebut melibatkan sengketa mengenai hak asuh anak. Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam, yang didukung oleh Surah Al-Baqarah ayat 233 serta hadis yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, hak asuh anak di bawah usia 12 tahun pada umumnya diberikan kepada ibu. Meskipun demikian, putusan pengadilan tidak selalu menetapkan hak asuh kepada ibu. Hal ini terlihat dari beberapa yurisprudensi Mahkamah Agung, antara lain Putusan No. 102 K/SIP/1973, No. 126 K/Pdt/2001, dan No. 110 K/AG/2007. Kondisi ini menimbulkan kebutuhan untuk menelaah apakah yurisprudensi tersebut bertentangan dengan hukum Islam atau hukum nasional (positif), khususnya dalam perspektif teori hukum tentang tujuan hukum dan konsep maqashid syariah. Penelitian ini bersifat normatif, dengan menggunakan pendekatan konseptual, pendekatan perundang-undangan, dan analisis kasus. Temuan penelitian menunjukkan bahwa yurisprudensi yang tidak memberikan hak asuh kepada ibu tidak bertentangan dengan hukum Islam maupun hukum positif. Lebih jauh, putusan-putusan tersebut justru selaras dengan tujuan hukum serta prinsip-prinsip maqashid syariah.]
Efektivitas UU No. 16 Tahun 2019 terhadap Pencegahan Perkawinan Anak di bawah Umur yang Beragama Islam pada Masyarakat Kabupaten Situbondo Perspektif Maslahat Ma'arif, Husnul
SiRad: Pelita Wawasan October (Vol. 1 No. 3, 2025)
Publisher : Yayasan Nurul Musthafa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.64728/sirad.v1i3.art5

Abstract

This study examines the effectiveness of Law No. 16 of 2019 in preventing child marriage in Situbondo Regency from the perspective of maslahah (public interest). Although the regulation stipulates a minimum age for marriage, the number of marriage dispensation cases has actually increased following the amendment. Child marriage is considered to have complex negative impacts biological, psychological, and social thus requiring an evaluation of the law’s effectiveness, particularly within the framework of maqasid al-shariah. This research adopts a combined normative and empirical approach. The normative approach analyzes relevant legislation, especially Law No. 16 of 2019 as the revision of Law No. 1 of 1974 on Marriage, and explores the concept of maslahah in Islamic law. Meanwhile, the empirical approach assesses the implementation and effectiveness of the law in practice through field data collection from government officials and related institutions. The analysis techniques applied include descriptive, comparative, evaluative, and maslahah-based assessments. The findings reveal that economic conditions, local culture, low levels of education, and social control are dominant factors driving parents to marry off their children at an early age. From the perspective of maslahah, the existence of this law provides positive values in terms of child protection (maslahah daruriyyah), delaying marriage age to foster quality families (maslahah hajiyyah), and raising community awareness about the importance of ideal marriage age (maslahah tahsiniyyah). The conclusion is that although Law No. 16 of 2019 is normatively in line with the principles of maqasid al-shariah particularly the protection of life (hifz al-nafs), intellect (hifz al-‘aql), and lineage (hifz al-nasl) its effectiveness in preventing child marriage in Situbondo Regency remains suboptimal. Therefore, synergy between regulation, law enforcement, and community empowerment programs is needed to achieve comprehensive child protection. [Penelitian ini mengkaji efektivitas UU No.16 Tahun 2019 dalam mencegah perkawinan anak di wilayah Kabupaten Situbondo dari perspektif maslahat. Meskipun regulasi telah menetapkan batas usia minimal perkawinan, angka dispensasi kawin justru meningkat pasca perubahan UU. Praktik perkawinan anak dinilai menimbulkan dampak negatif yang kompleks, baik dari aspek biologis, psikologis, maupun sosial, sehingga diperlukan evaluasi terhadap efektivitas kebijakan tersebut, khususnya dalam kerangka maqasid syariah. Penelitian ini menggunakan pendekatan gabungan antara normatif dan empiris. Pendekatan normatif dilakukan dengan menelaah peraturan perundang-undangan, terutama UU No.16 Tahun 2019 sebagai revisi atas UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, serta mengkaji konsep maslahat dalam hukum Islam. Sementara itu, pendekatan empiris digunakan untuk menilai implementasi dan efektivitas undang-undang tersebut dalam praktik, melalui pengumpulan data lapangan dari aparat pemerintah dan institusi terkait. Teknik analisis yang diterapkan meliputi analisis deskriptif, komparatif, evaluatif, dan kajian maslahat. Hasil menunjukkan bahwa kondisi ekonomi, budaya lokal, rendahnya tingkat pendidikan serta kendali sosial menjadi faktor dominan yang mendorong orang tua untuk menikahkan anak diusia muda. Dari perspektif maslahat, keberadaan UU ini memiliki nilai positif dalam hal perlindungan anak (maslahah daruriyyah), penundaan usia kawin demi terciptanya keluarga yang berkualitas (maslahah hajiyyah), dan peningkatan kesadaran masyarakat tentang pentingnya usia ideal untuk menikah (maslahah tahsiniyyah). Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa meskipun secara normatif UU No.16 Tahun 2019 telah sejalan dengan prinsip maqasid al-syariah, khususnya dalam menjaga jiwa (hifz al-nafs), akal (hifz al-‘aql), dan keturunan (hifz al-nasl), namun efektivitasnya dalam mencegah perkawinan anak di Kabupaten Situbondo masih belum optimal. Oleh karena itu, diperlukan sinergi antara regulasi, penegakan hukum, dan program pemberdayaan masyarakat untuk mewujudkan perlindungan anak secara menyeluruh.]

Page 1 of 2 | Total Record : 13