cover
Contact Name
Andi Musthafa Husain
Contact Email
andimusthafa@gmail.com
Phone
+6281328760156
Journal Mail Official
siradpelitawawasan@gmail.com
Editorial Address
Ngelosari, Purwobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta
Location
Kota yogyakarta,
Daerah istimewa yogyakarta
INDONESIA
SiRad: Pelita Wawasan
Published by Yayasan Nurul Musthafa
ISSN : -     EISSN : 30905591     DOI : https://doi.org/10.64728/sirad.v1i1.art1
The name "SiRad" is an abbreviation of Pelita Wawasan, which translates as "The Light of Insight" a symbol of enlightenment in the world of knowledge. The term also draws inspiration from the Arabic word siraj (siraj), meaning lamp or light, as mentioned in the Quran as a symbol of illumination. In the context of this journal, SiRad represents an intellectual beacon that sheds light on academic discourse and social transformation. Jurnal SiRad: Pelita Wawasan is an open-access scholarly journal published by Yayasan Nurul Musthafa. This journal focuses on the publication of research articles, literature reviews, case studies, and conceptual papers that critically address contemporary issues in the fields of education, humanities, and social sciences. This journal serves as a platform for advancing transformative thinking, interdisciplinary approaches, and critical reflection on the dynamics of education, culture, society, and public policy. Topics covered by this journal include but are not limited to Education - learning technologies, religious moderation, curriculum innovation; Humanities - cultural studies, communication, history, and Islamic civilization; Social Sciences - public policy, political dynamics, behavioral economics, and the intersection of religion and society. Jurnal SiRad: Pelita Wawasan is published three times a year in February, June, and October, and is freely accessible to support inclusive and impactful knowledge dissemination.
Arjuna Subject : Umum - Umum
Articles 31 Documents
Problematika Penegakan Hukum Tindak Pidana Pemilu Tahun 2024 oleh BAWASLU Kota Bengkulu Al-Hafiz, Muhammad Iqbal; Syarkati
SiRad: Pelita Wawasan October (Vol. 1 No. 3, 2025)
Publisher : Yayasan Nurul Musthafa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.64728/sirad.v1i3.art4

Abstract

This research is motivated by the persistent occurrence of election violations, particularly electoral criminal offenses, many of which cannot be fully followed up by the Bengkulu City Election Supervisory Agency (Bawaslu). The aim of this study is to identify the forms of violations, the process of law enforcement, obstacles encountered, and the challenges faced by Bawaslu in carrying out its duties. This research employs a qualitative method with an empirical juridical approach. Data were collected through interviews with three informants from Bawaslu Bengkulu City and one reporting citizen, as well as through documentation and observation. The findings indicate that out of 41 alleged violations, 39 were officially registered, but only one was classified as a criminal offense and had to be discontinued at the Gakkumdu stage. The identified obstacles include weak evidence, low public participation, and a lack of synchronization among institutions within the Gakkumdu Center. In conclusion, law enforcement for electoral criminal offenses has not been running optimally due to unresolved issues in coordination, technical procedures, and public participation. [Penelitian ini dilatarbelakangi oleh masih banyaknya pelanggaran pemilu, khususnya tindak pidana pemilu, yang tidak seluruhnya dapat ditindaklanjuti oleh Bawaslu Kota Bengkulu. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui bentuk pelanggaran, proses penegakan hukum, hambatan, serta problematika yang dihadapi oleh Bawaslu dalam menjalankan tugasnya. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan yuridis empiris. Data diperoleh melalui wawancara dengan tiga informan dari Bawaslu Kota Bengkulu dan satu masyarakat pelapor, serta dokumentasi dan observasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 41 dugaan pelanggaran dengan 39 pelanggaran yang terigestrasi, hanya satu yang dikategorikan sebagai tindak pidana dan harus terhenti di tahap Gakkumdu. Hambatan yang ditemukan antara lain lemahnya alat bukti, rendahnya partisipasi masyarakat, serta kurangnya sinkronisasi antar lembaga dalam Sentra Gakkumdu. Kesimpulannya, penegakan hukum terhadap tindak pidana pemilu belum berjalan optimal akibat problem koordinasi, teknis, dan partisipatif yang belum teratasi secara menyeluruh]
Ibn Miskawaih’s Religious-Rational Thought on the Philosophy of Moral Education and Its Relevance to Contemporary Islamic Education: Pemikiran Religius-Rasional Ibnu Miskawaih tentang Filsafat Pendidikan Akhlak dan Relevansinya bagi Pendidikan Islam Kontemporer Sarmiati, Eni; Siregar, Maragustam
SiRad: Pelita Wawasan October (Vol. 1 No. 3, 2025)
Publisher : Yayasan Nurul Musthafa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.64728/sirad.v1i3.art6

Abstract

Moral education plays a significant role in the field of education. Ibn Miskawaih, a Muslim philosopher who concentrated on ethical philosophy, provided an essential foundation for moral development. This article explores Ibn Miskawaih’s biography and works, his thoughts on the philosophy of moral education, and their relevance to contemporary Islamic education. This study employs a qualitative approach using library research. The primary source is the translated version of Ibn Miskawaih’s Tahdzib al-Akhlaq, while secondary sources include relevant books and scholarly journals. Data were collected through documentation and analyzed using inductive methods. Ibn Miskawaih argued that the essence of human goodness lies in the ability to think, which distinguishes humans from other creatures. The main goal of moral education is to elevate humans from a despicable state to noble character. The proposed methods include habituating students to love religious values, perform religious obligations, control worldly desires, and develop social awareness. Ibn Miskawaih also permitted light punishment as a means of discipline. His thoughts remain relevant to modern education, though their application in Indonesia faces dilemmas due to the provisions of Law No. 23 of 2002 on Child Protection. [Pendidikan akhlak memiliki peranan penting dalam dunia pendidikan. Ibnu Miskawaih, seorang filsuf Muslim yang berfokus pada filsafat etika, telah meletakkan dasar dalam proses pembinaan akhlak. Artikel ini menguraikan biografi singkat dan karya-karya Ibnu Miskawaih, pemikirannya mengenai filsafat pendidikan akhlak, serta relevansinya dengan pendidikan Islam kontemporer. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi pustaka (library research). Sumber primer penelitian adalah terjemahan kitab Tahdzib al-Akhlaq karya Ibnu Miskawaih, sedangkan sumber sekunder diperoleh dari buku dan jurnal ilmiah terkait. Data dikumpulkan melalui metode dokumentasi dan dianalisis dengan teknik induktif. Menurut Ibnu Miskawaih, esensi kebaikan manusia terletak pada kemampuannya berpikir, karena berpikir merupakan ciri khas manusia yang membedakannya dari makhluk lain. Tujuan utama pendidikan akhlak adalah mengangkat manusia dari derajat tercela menuju kesempurnaan akhlak. Metode yang diajukan meliputi: membiasakan murid mencintai kemuliaan agama, melaksanakan kewajiban syariat, mengendalikan hawa nafsu duniawi, serta menumbuhkan kepedulian sosial. Ibnu Miskawaih juga memperbolehkan bentuk hukuman ringan sebagai sarana mendisiplinkan murid. Pemikirannya tetap relevan dengan dunia pendidikan kontemporer, meskipun penerapannya di Indonesia menghadapi dilema akibat benturan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.]
Arabic Language Education for Non-Native Speaker: Integrating Local Culture Khairanis, Retisfa; Aldi, Muhammad
SiRad: Pelita Wawasan October (Vol. 1 No. 3, 2025)
Publisher : Yayasan Nurul Musthafa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.64728/sirad.v1i3.art9

Abstract

Arabic language education for non-native speaker is increasingly important along with globalization and the need to understand Arabic culture. However, challenges arise when teaching materials do not pay attention to the local cultural context which can hinder the learning process. This research aims to explore the integration of local culture in Arabic language education for non-native speaker so that learning becomes more contextual and relevant. The research method used was a qualitative descriptive method through observation and interviews with teachers and students at MTsN 2 Padang, West Sumatra. The results showed that the integration of local culture can improve Arabic language understanding, facilitate adaptation, and make the learning process more interesting and effective. In conclusion, the incorporation of local cultural elements in the Arabic language education curriculum not only enriches the learning experience, but also accelerates language acquisition and encourages students to appreciate cultural diversity. [Pendidikan bahasa Arab bagi penutur non-native semakin penting seiring dengan globalisasi dan kebutuhan untuk memahami budaya Arab. Namun, tantangan muncul ketika materi ajar tidak memperhatikan konteks budaya lokal yang dapat menghambat proses pembelajaran. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi integrasi budaya lokal dalam pendidikan bahasa Arab untuk non-native speaker sehingga pembelajaran menjadi lebih kontekstual dan relevan. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif dengan jenis deskriptif melalui observasi dan wawancara terhadap pengajar dan siswa di MTsN 2 Kota Padang, Sumatera Barat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa integrasi budaya lokal dapat meningkatkan pemahaman bahasa Arab, mempermudah adaptasi, dan membuat proses pembelajaran lebih menarik dan efektif. Kesimpulannya, penggabungan unsur budaya lokal dalam kurikulum pendidikan bahasa Arab tidak hanya memperkaya pengalaman belajar, tetapi juga mempercepat penguasaan bahasa serta mendorong siswa untuk lebih menghargai keragaman budaya.]
Political Education as a Catalyst for Adaptive Social Transformation Based on Structural Functional Theory (Durkheim & Parsons): Pendidikan Politik sebagai Katalis Transformasi Sosial Adaptif Berbasis Teori Struktural Fungsional (Durkheim & Parsons) Azmi, Diinu Tsabitul
SiRad: Pelita Wawasan October (Vol. 1 No. 3, 2025)
Publisher : Yayasan Nurul Musthafa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.64728/sirad.v1i3.art10

Abstract

Contemporary dynamics characterized by globalization, the information technology revolution, and shifting values ​​have the potential to trigger socio-political complexity and polarization. In this context, political education is crucial as a central socialization tool that shapes participatory and responsible citizens, serving as the foundation for a stable political system. This research aims to examine and analyze how political education acts as a catalyst for constructive and integrated social transformation, applying Structural Functional Theory (Durkheim & Parsons) to understand its adaptive function. A qualitative methodology through a comprehensive literature review was used, analyzing various scientific publications to identify patterns and implications for the role of political education. Initial findings indicate that political education contributes to social transformation through the socialization of democratic values, the formation of adaptive change agents, and the strengthening of institutional legitimacy. This enables society to adapt evolutionary without fundamental disruption. The novelty of this research lies in the systematic integration of the role of political education as an agent of social transformation with an explicit Structural Functional Theory lens, aimed at enhancing understanding of the processes of political institutions and strengthening their legitimacy and public trust. Therefore, this approach offers a fresh perspective on the contribution of educational institutions to functional health and sustainability within social systems through the integrative perspectives of Durkheim and Parsons. [Dinamika kontemporer yang diwarnai globalisasi, revolusi teknologi informasi, dan pergeseran nilai sangat berpotensi memicu kompleksitas sosial-politik serta polarisasi. Dalam konteks ini, pendidikan politik sangat krusial sebagai sentral sosialisasi yang membentuk warga negara partisipatif dan bertanggung jawab, sebagai fondasi stabilitas sistem politik. Penelitian ini bertujuan mengkaji dan nmenganalisis bagaimana pendidikan politik berperan sebagai katalisator transformasi sosial yang konstruktif dan terintegrasi, dengan mengaplikasikan Teori Struktural Fungsional (Durkheim & Parsons) untuk memahami fungsi adaptifnya. Metodologi kualitatif melalui studi literatur komprehensif digunakan, menganalisis beragam publikasi ilmiah untuk mengidentifikasi pola dan implikasi peran pendidikan politik. Temuan awal mengindikasikan bahwa pendidikan politik berkontribusi pada transformasi sosial melalui sosialisasi nilai-nilai demokratis, pembentukan agen perubahan yang adaptif, serta penguatan legitimasi institusi. Ini memungkinkan masyarakat beradaptasi secara evolusioner tanpa disrupsi fundamental. Kebaruan penelitian terletak pada integrasi sistematis antara peran pendidikan politik sebagai agen transformasi sosial dengan lensa Struktural Fungsional secara eksplisit sebagai upaya meningkatkan pemahaman terhadap proses terhadap institusi politik, serta memperkuat legitimasi dan kepercayaan publik, oleh karenanya Pendekatan ini menawarkan perspektif segar mengenai kontribusi institusi pendidikan terhadap kesehatan fungsional dan keberlanjutan dalam sistem sosial melalui pandangan integratif Durkhem dan Parsons.]
Reframing Food Insecurity in the Digital Era: Marginalized Women, Cultural Identity, and Public Policy Dynamics Rarhore, Sonia
SiRad: Pelita Wawasan October (Vol. 1 No. 3, 2025)
Publisher : Yayasan Nurul Musthafa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.64728/sirad.v1i3.art1

Abstract

Food insecurity remains one of the most pressing challenges of the twenty-first century, disproportionately affecting women and marginalized communities. In recent years, digital technologies such as biometric identification, electronic vouchers, and online entitlement systems have been promoted as solutions to inefficiency and corruption in welfare distribution. However, these initiatives often reproduce existing inequalities, as women’s access to digital platforms is mediated by gendered, cultural, and socio-economic constraints. While existing scholarship has examined food insecurity, the digital divide, and intersectionality, these fields of study remain largely disconnected, leaving a gap in understanding how digital infrastructures themselves govern hunger. This paper addresses that gap by introducing the concept of the Digital Hunger Regime, a theoretical framework that explains how technological systems, bureaucratic rationalities, and cultural hierarchies interact to determine access to food. The study employs a conceptual methodology grounded in library research, critical discourse analysis, feminist theory, and decolonial critique, synthesizing policy documents, NGO reports, and scholarly literature to build a theoretical argument. The analysis demonstrates that digitalization in welfare is not a neutral tool of modernization, but a governance regime that often intensifies food insecurity while simultaneously creating limited spaces for resistance and alternative forms of solidarity. By reframing hunger in the digital era as a question of power, identity, and cultural justice, the paper contributes to debates in the humanities and social sciences, highlighting the hidden politics of digital welfare and offering a new lens for both academic inquiry and policy innovation. [Ketahanan pangan tetap menjadi salah satu tantangan paling mendesak di abad ke-21, yang secara tidak proporsional berdampak pada perempuan dan komunitas yang terpinggirkan. Dalam beberapa tahun terakhir, teknologi digital seperti identifikasi biometrik, voucher elektronik, dan sistem hak berbasis daring dipromosikan sebagai solusi untuk mengatasi inefisiensi dan korupsi dalam distribusi kesejahteraan. Namun, inisiatif-inisiatif ini sering kali mereproduksi ketidaksetaraan yang sudah ada, karena akses perempuan terhadap platform digital dimediasi oleh kendala gender, budaya, dan sosial-ekonomi. Sementara kajian yang ada telah meneliti ketahanan pangan, kesenjangan digital, dan interseksionalitas, bidang-bidang kajian tersebut sebagian besar masih terpisah, sehingga meninggalkan celah dalam memahami bagaimana infrastruktur digital itu sendiri mengatur persoalan kelaparan. Artikel ini menjawab celah tersebut dengan memperkenalkan konsep Digital Hunger Regime, sebuah kerangka teoretis yang menjelaskan bagaimana sistem teknologi, rasionalitas birokrasi, dan hierarki budaya berinteraksi dalam menentukan akses terhadap pangan. Studi ini menggunakan metodologi konseptual yang didasarkan pada penelitian kepustakaan, analisis wacana kritis, teori feminis, dan kritik dekolonial, dengan mensintesis dokumen kebijakan, laporan LSM, dan literatur akademik untuk membangun sebuah argumen teoretis. Analisis menunjukkan bahwa digitalisasi dalam program kesejahteraan bukanlah alat netral modernisasi, melainkan sebuah rezim tata kelola yang sering kali memperburuk kerawanan pangan sekaligus menciptakan ruang terbatas untuk perlawanan dan bentuk solidaritas alternatif. Dengan membingkai ulang kelaparan di era digital sebagai persoalan kekuasaan, identitas, dan keadilan kultural, artikel ini memberikan kontribusi pada perdebatan dalam ilmu humaniora dan ilmu sosial, menyoroti politik tersembunyi dari kesejahteraan digital serta menawarkan perspektif baru bagi kajian akademik maupun inovasi kebijakan.]
The Potential of Mount Lakus for Sustainable Municipal Development in Bobonaro, Timor-Leste Gabriel, Carlito; Ximenes, João
SiRad: Pelita Wawasan October (Vol. 1 No. 3, 2025)
Publisher : Yayasan Nurul Musthafa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.64728/sirad.v1i3.art2

Abstract

Mountain conservation in Timor-Leste plays a crucial role in maintaining water resources, preserving biodiversity, and preventing natural disasters. Such conservation efforts directly contribute to improving the quality of life of both humans and wildlife, as well as enhancing community well-being. Mount Lakus, located at the intersection of several villages in Bobonaro Municipality, holds ecological, cultural, and economic significance for the local population. This study employed a descriptive survey method through field observations and literature review to assess the potential of Mount Lakus for sustainable municipal development. The findings show that the conservation of Mount Lakus could support tourism, agriculture, and environmental protection, while also generating socio-economic benefits for local communities. Establishing Mount Lakus as a National Park would not only preserve natural resources for present and future generations but also promote job creation, support small and medium enterprises, and attract green investment. Therefore, collaborative action between government, local communities, and stakeholders is required to ensure that Mount Lakus contributes effectively to sustainable development in Bobonaro and Timor-Leste as a whole. [Konservasi gunung di Timor-Leste memainkan peran penting dalam menjaga sumber daya air, melestarikan keanekaragaman hayati, dan mencegah bencana alam. Upaya konservasi tersebut secara langsung berkontribusi pada peningkatan kualitas hidup manusia dan satwa liar, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Gunung Lakus, yang terletak di pertemuan beberapa desa di Kabupaten Bobonaro, memiliki nilai ekologis, budaya, dan ekonomi yang signifikan bagi masyarakat setempat. Penelitian ini menggunakan metode survei deskriptif melalui observasi lapangan dan kajian literatur untuk menilai potensi Gunung Lakus dalam pembangunan daerah berkelanjutan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konservasi Gunung Lakus dapat mendukung sektor pariwisata, pertanian, dan perlindungan lingkungan, sekaligus menghasilkan manfaat sosial-ekonomi bagi masyarakat lokal. Penetapan Gunung Lakus sebagai Taman Nasional tidak hanya akan melestarikan sumber daya alam bagi generasi sekarang dan mendatang, tetapi juga mendorong penciptaan lapangan kerja, mendukung usaha kecil dan menengah, serta menarik investasi hijau. Oleh karena itu, diperlukan kerja sama antara pemerintah, masyarakat lokal, dan para pemangku kepentingan untuk memastikan Gunung Lakus dapat memberikan kontribusi nyata bagi pembangunan berkelanjutan di Bobonaro dan Timor-Leste secara keseluruhan.]
Perkembangan Hak Asuh Anak Pasca Perceraian dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung Sumar'um
SiRad: Pelita Wawasan October (Vol. 1 No. 3, 2025)
Publisher : Yayasan Nurul Musthafa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.64728/sirad.v1i3.art3

Abstract

According to the Marriage Law, the primary goal of marriage is to establish a lasting and harmonious family. However, the 2024 report from the Dirjen Badilag Mahkamah Agung Republik Indonesia indicates that divorce is the most frequently handled case, with a total of 359,496 cases. A significant number of these divorce cases involve disputes over child custody. Based on the Compilation of Islamic Law, supported by Surah Al-Baqarah verse 233 and a hadith narrated by Tirmidzi, custody of children under the age of 12 is generally granted to the mother. Nevertheless, court decisions do not always award custody to the mother. This is evident from several Supreme Court precedents, including Decision No. 102 K/SIP/1973, No. 126 K/Pdt/2001, and No. 110 K/AG/2007. This raises the need to examine whether these precedents are in conflict with Islamic law or national (positive) law, particularly in light of legal theory on the purpose of law and the concept of maqashid shariah. This research is normative in nature, using a conceptual approach, statutory approach, and case analysis. The findings indicate that the precedents which do not grant custody to the mother are not in contradiction with either Islamic law or positive law. Furthermore, these decisions align with the objectives of law and the principles of maqashid shariah. [Menurut Undang-Undang Perkawinan, tujuan utama perkawinan adalah membentuk keluarga yang langgeng dan harmonis. Namun, laporan tahun 2024 dari Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung Republik Indonesia menunjukkan bahwa perceraian merupakan perkara yang paling banyak ditangani, dengan total 359.496 kasus. Sebagian besar dari perkara perceraian tersebut melibatkan sengketa mengenai hak asuh anak. Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam, yang didukung oleh Surah Al-Baqarah ayat 233 serta hadis yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, hak asuh anak di bawah usia 12 tahun pada umumnya diberikan kepada ibu. Meskipun demikian, putusan pengadilan tidak selalu menetapkan hak asuh kepada ibu. Hal ini terlihat dari beberapa yurisprudensi Mahkamah Agung, antara lain Putusan No. 102 K/SIP/1973, No. 126 K/Pdt/2001, dan No. 110 K/AG/2007. Kondisi ini menimbulkan kebutuhan untuk menelaah apakah yurisprudensi tersebut bertentangan dengan hukum Islam atau hukum nasional (positif), khususnya dalam perspektif teori hukum tentang tujuan hukum dan konsep maqashid syariah. Penelitian ini bersifat normatif, dengan menggunakan pendekatan konseptual, pendekatan perundang-undangan, dan analisis kasus. Temuan penelitian menunjukkan bahwa yurisprudensi yang tidak memberikan hak asuh kepada ibu tidak bertentangan dengan hukum Islam maupun hukum positif. Lebih jauh, putusan-putusan tersebut justru selaras dengan tujuan hukum serta prinsip-prinsip maqashid syariah.]
Efektivitas UU No. 16 Tahun 2019 terhadap Pencegahan Perkawinan Anak di bawah Umur yang Beragama Islam pada Masyarakat Kabupaten Situbondo Perspektif Maslahat Ma'arif, Husnul
SiRad: Pelita Wawasan October (Vol. 1 No. 3, 2025)
Publisher : Yayasan Nurul Musthafa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.64728/sirad.v1i3.art5

Abstract

This study examines the effectiveness of Law No. 16 of 2019 in preventing child marriage in Situbondo Regency from the perspective of maslahah (public interest). Although the regulation stipulates a minimum age for marriage, the number of marriage dispensation cases has actually increased following the amendment. Child marriage is considered to have complex negative impacts biological, psychological, and social thus requiring an evaluation of the law’s effectiveness, particularly within the framework of maqasid al-shariah. This research adopts a combined normative and empirical approach. The normative approach analyzes relevant legislation, especially Law No. 16 of 2019 as the revision of Law No. 1 of 1974 on Marriage, and explores the concept of maslahah in Islamic law. Meanwhile, the empirical approach assesses the implementation and effectiveness of the law in practice through field data collection from government officials and related institutions. The analysis techniques applied include descriptive, comparative, evaluative, and maslahah-based assessments. The findings reveal that economic conditions, local culture, low levels of education, and social control are dominant factors driving parents to marry off their children at an early age. From the perspective of maslahah, the existence of this law provides positive values in terms of child protection (maslahah daruriyyah), delaying marriage age to foster quality families (maslahah hajiyyah), and raising community awareness about the importance of ideal marriage age (maslahah tahsiniyyah). The conclusion is that although Law No. 16 of 2019 is normatively in line with the principles of maqasid al-shariah particularly the protection of life (hifz al-nafs), intellect (hifz al-‘aql), and lineage (hifz al-nasl) its effectiveness in preventing child marriage in Situbondo Regency remains suboptimal. Therefore, synergy between regulation, law enforcement, and community empowerment programs is needed to achieve comprehensive child protection. [Penelitian ini mengkaji efektivitas UU No.16 Tahun 2019 dalam mencegah perkawinan anak di wilayah Kabupaten Situbondo dari perspektif maslahat. Meskipun regulasi telah menetapkan batas usia minimal perkawinan, angka dispensasi kawin justru meningkat pasca perubahan UU. Praktik perkawinan anak dinilai menimbulkan dampak negatif yang kompleks, baik dari aspek biologis, psikologis, maupun sosial, sehingga diperlukan evaluasi terhadap efektivitas kebijakan tersebut, khususnya dalam kerangka maqasid syariah. Penelitian ini menggunakan pendekatan gabungan antara normatif dan empiris. Pendekatan normatif dilakukan dengan menelaah peraturan perundang-undangan, terutama UU No.16 Tahun 2019 sebagai revisi atas UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, serta mengkaji konsep maslahat dalam hukum Islam. Sementara itu, pendekatan empiris digunakan untuk menilai implementasi dan efektivitas undang-undang tersebut dalam praktik, melalui pengumpulan data lapangan dari aparat pemerintah dan institusi terkait. Teknik analisis yang diterapkan meliputi analisis deskriptif, komparatif, evaluatif, dan kajian maslahat. Hasil menunjukkan bahwa kondisi ekonomi, budaya lokal, rendahnya tingkat pendidikan serta kendali sosial menjadi faktor dominan yang mendorong orang tua untuk menikahkan anak diusia muda. Dari perspektif maslahat, keberadaan UU ini memiliki nilai positif dalam hal perlindungan anak (maslahah daruriyyah), penundaan usia kawin demi terciptanya keluarga yang berkualitas (maslahah hajiyyah), dan peningkatan kesadaran masyarakat tentang pentingnya usia ideal untuk menikah (maslahah tahsiniyyah). Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa meskipun secara normatif UU No.16 Tahun 2019 telah sejalan dengan prinsip maqasid al-syariah, khususnya dalam menjaga jiwa (hifz al-nafs), akal (hifz al-‘aql), dan keturunan (hifz al-nasl), namun efektivitasnya dalam mencegah perkawinan anak di Kabupaten Situbondo masih belum optimal. Oleh karena itu, diperlukan sinergi antara regulasi, penegakan hukum, dan program pemberdayaan masyarakat untuk mewujudkan perlindungan anak secara menyeluruh.]
Enhancing Student Learning Motivation: An Artificial Intelligence Framework Grounded in Motivational Theory: Meningkatkan Motivasi Belajar Siswa: Kerangka Kecerdasan Buatan yang Berbasis Teori Motivasi Amanullah, Amanullah
SiRad: Pelita Wawasan October (Vol. 1 No. 3, 2025)
Publisher : Yayasan Nurul Musthafa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.64728/sirad.v1i3.art11

Abstract

Artificial intelligence (AI) has become a disruptive force in education in the digital age, with the potential to increase student motivation, engagement, and curiosity. Although efficiency, evaluation, and material delivery are frequently highlighted in current AI applications, its potential to promote intrinsic motivation and deeper learning is still poorly understood. Guided by Self-Efficacy Theory, Expectancy-Value Theory, and Self-Determination Theory, this study systematically synthesizes recent literature to explore the relationship between AI and student motivation. Using a systematic literature synthesis approach, relevant peer-reviewed articles from 2010 to 2024 were analyzed to identify how AI tools such as gamification, adaptive learning platforms, intelligent tutoring systems, and emotion-aware technologies influence motivational constructs including task value, autonomy, competence, relatedness, and expectancy beliefs. The results indicate that AI solutions can support critical motivational drivers by creating adaptive, emotionally responsive, and learner-centered environments. Specifically, AI fosters curiosity and engagement by providing immediate feedback, personalized pathways, and psychologically meaningful learning experiences. However, the study also identifies challenges, such as limited inclusivity for diverse learners, risks of over-automation, data privacy concerns, and ethical dilemmas in algorithmic decision-making. These limitations highlight the importance of aligning AI development with human-centered pedagogical principles. Practical implications suggest that while developers and policymakers must prioritize transparency, diversity, and ethical design, educators can leverage AI to tailor instruction, maintain curiosity, and foster emotionally supportive learning settings. By reframing AI not merely as a performance optimization tool but as a motivational partner that cultivates lifelong curiosity and meaningful learning engagement, this study contributes to the growing body of research on human-centered AI in education. It also proposes a conceptual framework that bridges cognitive, motivational, and emotional dimensions of learning, positioning AI as an active collaborator in fostering curiosity and sustainable motivation. [Kecerdasan buatan (AI) telah menjadi kekuatan disruptif dalam dunia pendidikan di era digital, dengan potensi besar untuk meningkatkan motivasi, keterlibatan, dan rasa ingin tahu peserta didik. Meskipun berbagai aplikasi AI saat ini banyak menyoroti efisiensi, evaluasi, dan penyampaian materi, potensi AI dalam mendorong motivasi intrinsik dan pembelajaran yang lebih mendalam masih belum sepenuhnya dipahami. Berlandaskan Self-Efficacy Theory, Expectancy-Value Theory, dan Self-Determination Theory, penelitian ini secara sistematis mensintesis literatur terkini untuk menelusuri hubungan antara AI dan motivasi belajar siswa. Melalui pendekatan systematic literature synthesis, artikel-artikel ilmiah terverifikasi dari tahun 2010 hingga 2024 dianalisis untuk mengidentifikasi bagaimana alat-alat AI seperti gamifikasi, platform pembelajaran adaptif, sistem tutor cerdas, dan teknologi yang peka terhadap emosi memengaruhi konstruksi motivasional, termasuk nilai tugas (task value), otonomi, kompetensi, keterhubungan (relatedness), dan keyakinan ekspektasi (expectancy beliefs). Hasil penelitian menunjukkan bahwa solusi berbasis AI dapat mendukung faktor-faktor penggerak motivasi utama dengan menciptakan lingkungan belajar yang adaptif, responsif secara emosional, dan berpusat pada peserta didik. Secara khusus, AI mampu menumbuhkan rasa ingin tahu dan keterlibatan dengan memberikan umpan balik langsung, jalur pembelajaran yang dipersonalisasi, serta pengalaman belajar yang bermakna secara psikologis. Namun demikian, penelitian ini juga mengidentifikasi beberapa tantangan, seperti keterbatasan inklusivitas bagi peserta didik yang beragam, risiko otomatisasi berlebihan, isu privasi data, dan dilema etis dalam pengambilan keputusan algoritmik. Berbagai keterbatasan tersebut menegaskan pentingnya menyelaraskan pengembangan AI dengan prinsip pedagogi yang berpusat pada manusia. Implikasi praktis menunjukkan bahwa pengembang dan pembuat kebijakan perlu memprioritaskan transparansi, keberagaman, dan desain etis, sementara para pendidik dapat memanfaatkan AI untuk menyesuaikan pembelajaran, mempertahankan rasa ingin tahu, dan membangun lingkungan belajar yang mendukung secara emosional. Dengan memosisikan kembali AI bukan semata sebagai alat optimasi kinerja, melainkan sebagai mitra motivasional yang menumbuhkan rasa ingin tahu sepanjang hayat dan keterlibatan belajar yang bermakna, penelitian ini memberikan kontribusi bagi pengembangan wacana tentang AI berorientasi kemanusiaan dalam pendidikan. Penelitian ini juga mengusulkan suatu kerangka konseptual yang menghubungkan dimensi kognitif, motivasional, dan emosional dari proses pembelajaran, serta memosisikan AI sebagai kolaborator aktif dalam menumbuhkan rasa ingin tahu dan motivasi yang berkelanjutan.]
Integration of Islamic Values in Sustainable and Environmentally Friendly Business Practices: Integrasi Nilai-Nilai Islam dalam Praktik Bisnis Berkelanjutan dan Ramah Lingkungan Fitriani, Fitriani; Budiwati, Anisah
SiRad: Pelita Wawasan October (Vol. 1 No. 3, 2025)
Publisher : Yayasan Nurul Musthafa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.64728/sirad.v1i3.art12

Abstract

This study examines the application of Islamic values in environmentally sustainable business practices. The research is grounded in the growing global awareness of the need for economic sustainability aligned with religious and ethical principles. However, comprehensive studies that systematically link Islamic values with green business practices remain limited. This research aims to analyze the integration of Islamic principles such as khalifah fil ardh (stewardship of the Earth), maslahah (public benefit), amanah (trustworthiness), and wasathiyah (moderation) into eco-friendly business practices, as well as their implementation in the industrial, Islamic finance, and agribusiness sectors. Employing a qualitative method through library research and content analysis, the study finds that Islamic principles are substantially compatible with the modern concept of sustainable business. These values not only generate ecological benefits, such as energy efficiency and resource conservation, but also contribute to social and economic well-being. Models such as green sukuk, environmentally conscious halal standards, and eco-pesantren programs exemplify the practical integration of Islamic ethics with sustainability efforts. Nevertheless, the implementation still faces challenges in regulatory frameworks and environmental awareness among business actors. Overall, the study concludes that applying Islamic values in environmentally friendly business represents a crucial strategy for realizing a just, ethical, and sustainable economy. [Penelitian ini mengkaji penerapan nilai-nilai Islam dalam praktik bisnis yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Kajian ini dilandasi oleh meningkatnya kesadaran global terhadap pentingnya keberlanjutan ekonomi yang selaras dengan prinsip-prinsip keagamaan dan etika. Namun demikian, penelitian komprehensif yang secara sistematis mengaitkan nilai-nilai Islam dengan praktik bisnis hijau masih terbatas. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis integrasi prinsip-prinsip Islam seperti khalifah fil ardh (pemelihara bumi), maslahah (kemaslahatan umum), amanah (kejujuran dan tanggung jawab), dan wasathiyah (moderasi) dalam praktik bisnis ramah lingkungan, serta penerapannya pada sektor industri, keuangan Islam, dan agribisnis. Dengan menggunakan metode kualitatif melalui studi kepustakaan dan analisis isi, hasil penelitian menunjukkan bahwa prinsip-prinsip Islam secara substansial sejalan dengan konsep modern tentang bisnis berkelanjutan. Nilai-nilai tersebut tidak hanya menghasilkan manfaat ekologis seperti efisiensi energi dan pelestarian sumber daya, tetapi juga memberikan kontribusi terhadap kesejahteraan sosial dan ekonomi. Model seperti green sukuk, standar halal yang berwawasan lingkungan, serta program eco-pesantren menjadi contoh nyata dari integrasi etika Islam dengan upaya keberlanjutan. Meskipun demikian, implementasinya masih menghadapi tantangan dalam aspek regulasi dan kesadaran lingkungan di kalangan pelaku usaha. Secara keseluruhan, penelitian ini menyimpulkan bahwa penerapan nilai-nilai Islam dalam bisnis ramah lingkungan merupakan strategi penting dalam mewujudkan ekonomi yang adil, etis, dan berkelanjutan.]

Page 3 of 4 | Total Record : 31