Surya Farid Sathotho
Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Published : 14 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 14 Documents
Search

TINJAUAN TERHADAP ASPEK DRAMATIK IKLAN RADIO surya sathotho
TONIL: Jurnal Kajian Sastra, Teater dan Sinema Vol 14, No 2 (2017): November 2017
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/tnl.v14i2.3096

Abstract

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk melihat adanya aspek dramatis yang membangun sebuah iklan radio dan peran seni teater dalam pembuatannya. Iklan radio sebagaimana drama radio memiliki struktur drama pada umumnya yaitu adanya penokohan, alur, tema, latar, dan dialog. Dari struktur tersebut dapat dilihat adanya aspek dramatik berupa konflik sebagai hakekat drama, suspense dan foreshadowing. Aspek dramatik sebuah iklan sangat penting karena dari situlah sebuah iklan dapat menarik perhatian pendengarnya. Untuk mendapatkannya, konflik dibangun berdasar tema dengan dialog atau monolog. Selanjutnya suspense ataupun foreshadowing seringkali muncul secara bersamaan. Kata atau kalimat yang digunakan untuk ekspresi foreshadowing, seringkali diucapkan dengan pola tertentu yang menghasilkan suspense. Pemahaman teoritis tersebut, disertai latihan praktek yang berhubungan dengan teater ternyata sangat bermanfaat dalam pembuatan iklan radio. Aspek teoritis teater, seperti penulisan dan analisis lakon sangat berguna bagi pembuatan naskah iklan radio. Dari segi praktis, latihan pernafasan, olah vokal, acting auditif sangat membantu mewujudkan iklan radio yang siap diudarakan. Kata kunci: Aspek dramatis, iklan radio, drama radio Abstract: Dramatic aspect is very important to build an appropriate radio advertisement and the role of theater art creation. A radio advertisement has a structure such as characterization, plot, theme, setting, and dialog as well, where the dramatic aspect of radio advertisement occurred. It contains conflict as the essence of drama, suspense, and foreshadowing. The dramatic aspect of an advertisement is very important since it where the advertisement able to attract its audience. To achieve such dramatic attraction, conflict is build based on theme with the dialog or monolog. Furthermore, suspense and foreshadowing often appear altogether. Words or sentences to express foreshadowing, often speak out in certain pattern, which create suspense. Theoretical understanding and practical exercises of the theatre happen to be very useful in the making of radio advertisement. The theoretical aspect of the theatre, such as playwriting and text analysis can used in preparing the advertisement’s text, while the practical one, such as breathing exercise, vocal, and audio acting is needed in creating the ready on air radio advertisement. Key words: dramatic aspect, radio advertisement, radio drama
MISE EN SCÈNE FILM NYAI KARYA GARIN NUGROHO Surya Farid Sathotho; Philipus Nugroho Hari Wibowo; Nur Annisa Savini
TONIL: Jurnal Kajian Sastra, Teater dan Sinema Vol 17, No 2: September, 2020
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/tnl.v17i2.4444

Abstract

Nyai  (2016)  merupakan  sebuah  film  karya  Garin  Nugroho  yang  dibuat hanya  dengan  menggunakan  satu  kamera  dan  pengambilan  gambarnya  secara terus menerus tanpa henti (one take) untuk satu film secara penuh. Konsekuensi dari teknik tersebut menyebabkan Film Nyai tak ubahya seperti pementasan teater di atas panggung. Karya ini terinspirasi oleh beberapa karya sastra sekaligus. Untuk melakukan analisis terhadap Film Nyai, menggunakan konsep yang dikenal awal mulanya sebagai sebuah konsep pemanggungan di atas panggung  teater  dan  pada perkembangan  selanjutnya dikenal juga dalam dunia  sinematografi.  Pemahaman  mengenai  mise en scène  ini  sangat  penting untuk  pijakan  melakukan  analisis  terhadap  unsur-unsur  yang  ada  dalam  Film Nyai.Nyai merupakan film dengan idiom pertunjukan teater yang sangat kental. Blocking, Setting, Make Up benar-benar seperti pertunjukan teater di atas panggung. Sedangkan pergerakan, sudut pengambilan dan pemilihan lensa kamera dibuat semirip mungkin dengan pandangan manusia. Kata Kunci: mise en scène, film nyai, garin nugroho   Nyai (2016) is a film by Garin Nugroho which is made using only one camera and with long take technique for full film. As a consequence of this technique, Nyai is very as theater performance ona stage. This work is inspired by several literary works at once. To conduct an analysis of the Nyai, it uses a concept that was known in the beginning as a staging concept on the theater stage and later known in the world of cinematography. This understanding of mise en scène is very important for the basis of analyzing the elements in Nyai. Nyai is a film with a very strong theatrical idiom. Blocking, Setting, Make Up are really like theatre performances. Meanwhile, the movement, angle and selection of the camera lens are made as close as possible to human sight.Key words: mise en scène, nyai, garin nugroho  
MEMBANGUN RUANG URBAN ALTERNATIF MELALUI PERFORMANCE ART Surya Farid Sathotho
TONIL: Jurnal Kajian Sastra, Teater dan Sinema Vol 16, No 1 (2019): 2019
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/tnl.v16i1.3105

Abstract

Abstrak: Ruang diciptakan oleh perilaku subyek historis. Gagasan ini merujuk pada konteks ruang urban dengan makna ruang yang cair. Dinamisnya makna ruang menantang membuka kesempatan untuk menawarkan ide dan makna baru bagi ruang. Performance dan performativity sebagai suatu bentuk perilaku subjek historis memiliki kapasitas untuk menciptakan makna-makna ruang yang baru. Tulisan ini hendak membahas mengenai proses danimplikasi dari ruang baru yang tercipta dari aktifitas menggeser tempat pertunjukan Tari Ibu oleh Brilyan (2019). Metode yang digunakan dalam penelitian ini untuk menilai  apakah suatu ruang dapat disebut sebagai ruang urban atau tidak adalah dengan teori Pierce tentang apa yang dia maksudkan sebagai logical interpretant dan penjelasan Schehner mengenai performativity. Kesimpulan yang dapat ditarik dari pembahasan ini adalah bahwasannya sangat mungkin bagi performance untuk memindahkan tempat dan ruang urban. Kata kunci: ruang, urban, seni pertunjukan, performatifitas, tari Abstract: Space is created by the action of the historical subject. This idea refers to the fluidity of urban space context meaning. Performance and performativity as a form of historical subject behavior have the capacity to offer a new definition of urban space. This paper will discuss the process and implications of the new space created by the activity of shifting the venue for Tari Ibu dance performance by Brilyan (2019). Pierce's theory about “logical interpretant” and Schehner's explanation of performativity were utilized to assess whether a space can be referred to as urban and non-urban space. The conclusion that can be drawn from this discussion is that it is very possible to create an alternative urban space through a performance art. Key words: space, urban, performance art, performativity, dance
THE IMAGINARY LACAN SEBAGAI INSPIRASI PENCIPTAAN SKENARIO FILM PENDEK SEKUEL KEDUA FILM KOPER GENDIS MENCARI JAWAB MENAKAR TANYA Philipus Nugroho Hari Wibowo; Surya Farid Sathotho
TONIL: Jurnal Kajian Sastra, Teater dan Sinema Vol 18, No 1: Maret, 2021
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/tnl.v18i1.4446

Abstract

Sejauh ini teori psikologi (psikoanalisis) Lacan hanya digunakan sebagaipisau analisis, baik karya teks (sastra), pertunjukan, film maupun karya seni rupa. Berpijak dari hal tersebut, penulis menawarkan interprerstasi lain tentang aplikatif teori psikoanalisis Lacan sebagai dasar penciptaan skenario. Penelitian ini merupakan penelitian terapan berupa penciptaan skenario film pendek dengan pendekatan teori Lacan tentang the imaginary dan kelanjutan pada penciptaan film sebelumnya (sekuel kedua) dari Film Koper Gendis Mencari Jawab Menakar Tanya. Penciptaan skenario dengan pendekatan Lacan ini diharapkan menjadi alternatif baru pada ranah penciptaan skenario film.Kata kunci: The Imaginary, Lacan, skenario film, Koper GendisSo far, Lacan's psychological theory (psychoanalysis) has only beenused as a tool of analysis, whether it be text (literature), performances, films, orworks of art. The author used Lacan's psychoanalytic theory as the basis forscenario creation. This report is applied research in the form of short film scenario creation with Lacan's theory approach of the imaginary and the continuation of the previous film creation (as a second sequel) from Film Koper Gendis Mencari Jawab Menakar Tanya. This scenario creation is expected to be a new alternative in film scenario creation.Keywords: The Imaginary, Lacan, film scenario, Koper Gendis
Theater Elements of Mandiek Anak In Salareh AIA Risa Erdila; Nur Sahid; Surya Farid Sathotho
Terob : Jurnal Pengkajian dan Penciptaan Seni Vol. 12 No. 2 (2022): April
Publisher : Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (248.057 KB) | DOI: 10.20111/terob.v12i2.35

Abstract

This study aims to analyze the theatrical elements found in mandiekanak. Mandiekanak is a ritual that is part of BaralekGadang and only found in the Salareh Aia region. This research uses Schechner's performance studies approach to analyze research subjects. According to Carlson, the concept of cultural performance is used to look deeper at the events of mandiekanak. It also uses Dramaturgy theory to see the theatrical element while qualitative research methods collect data in purposive sampling. The collected data is then analyzed descriptively using ethnographic methods. The analysis results showed that the mandiekanak has the purpose of maintaining the family of the bride's father or bako, as for the theatrical elements in the form of scripts, performers, audiences, and venues. Manuscripts are rules that ensure the survival of a mandiekanak. The player refers to all people who are involved in it. The mandiekanak audience is participatory, while the place refers to the area where the mandiekanak exists
KONVENSI TATA ARTISTIK TEATER PANGGUNG DALAM PEMENTASAN TEATER VIRTUAL SITI SEROJA OLEH TEATER KOMA Surya Farid Sathotho; Avril Ailsa Suha Maharani
Jurnal Pendidikan Seni Rupa Undiksha Vol. 13 No. 1 (2023)
Publisher : Universitas Pendidikan Ganesha

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.23887/jjpsp.v13i1.61005

Abstract

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuktikan bahwa tata artistik dari pertunjukan virtual Siti Seroja oleh Teater Koma mengacu pada hukum pementasan teater di atas panggung. Sebagai sebuah pementasan teater, Siti Seroja merupakan sebuah bentuk seni yang dibentuk dari gabungan berbagai ekspresi seni termasuk rupa. Meskipun pertunjukan ini menggunakan media daring, penyesuaian-penyesuaian tertentu dilakukan agar tetap sesuai dengan konvensi pementasan teater. Kajian dramaturgi digunakan untuk memastikan bahwa pementasan ini tetap dapat dianggap sebagai sebuah pementasan teater dan bukan film meskipun menggunakan kamera sebagai media presentasinya. Dalam penelitian ini, unsur-unsur teknis seperti tata pentas, tata busana, tata rias, dan tata cahaya juga menjadi pertimbangan penting untuk menunjukkan perbedaan antara pementasan teater dan film. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tata artistik pementasan Siti Seroja masih mengikuti konsep tata artistik panggung dengan penataan panggung, tata cahaya, dan tata rias serta busana yang sesuai dengan pertunjukan teater di atas panggung. Meskipun menggunakan kamera sebagai media perantara, citra panggung tetap tidak hilang dalam pementasan virtual ini. Penelitian ini juga dapat mewakili jenis pertunjukan teater daring lainnya yang populer selama pandemi COVID-19. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa tata artistik pementasan Siti Seroja merupakan sebuah manifestasi dari konsep tata artistik panggung. Hal tersebut dapat dilihat dari bentuk, bahan maupun penataan panggung serta tata cahaya maupun tata rias dan busana yang dilakukan sebagaimana sebuah pementasan teater di atas panggung. Penggunaan kamera sebagai media perantara tidak dimaksudkan untuk menghilangkan citra panggung Key word: virtual, Siti Seroja, Teater Koma, covid-19 Abstract The aim of this study is to demonstrate that the artistic production of Teater Koma's virtual performance of Siti Seroja adheres to the laws of theatrical performance on stage. Siti Seroja is a form of art that combines various art forms including visual art, as a theatrical performance. However, as a virtual performance, Siti Seroja required adjustments to be in line with the medium used. The use of cameras is unavoidable in a virtual performance. Through dramaturgical analysis, the study will investigate whether the virtual performance of Siti Seroja remains a theatrical performance and not a film. Realism convention is employed to further examine the stage art idiom in the performance. Technical aspects of theatrical performance such as set design, costume design, makeup, and lighting are also taken into consideration. These elements are scrutinized to distinguish them from film. The study is conducted with the understanding that as a virtual production by Teater Koma, Siti Seroja represents various types of virtual theatrical performances that have become prevalent during the Covid-19 pandemic. The results indicate that the artistic production of Siti Seroja is a manifestation of the concept of stage art. This is evident in the form, material, and arrangement of the stage, as well as the lighting, makeup, and costume design, which are done as in a theatrical performance on stage. The use of cameras as a medium of mediation is not intended to eliminate the image of the stage. Top of Form Keywords: virtual, Siti Seroja, Teater Koma, covid-19
Ragam Dan Makna Kinesik Dalam Pertunjukan Kintir Sutradara Ibed Surgana Yuga Nanang Arisona; Surya Farid Sathotho
Dance and Theatre Review Vol 6, No 1: May 2023
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/dtr.v6i1.7925

Abstract

Penelitian tentang aspek kinesik ini bertujuan untuk mengkaji ragam gerak dan maknanya dalam pertunjukan Kintir oleh Kelompok Seni Teku Yogyakarta. Analisis ragam gerak meliputi gaya gerak dan gesture para tokoh. Analisis makna gerak meliputi analisis gerak ilustrasi,  bahasa isyarat, ekspresi emosi, dan ekspresi karakter gerak. Analisis ragam gerak dilakukan dengan melakukan identifikasi terhadap bentuk, gaya, dan motif gerak yang dilakukan para pemain. Sedangkan analisis semiotik digunakan untuk menemukan makna kelindan gerak sepanjang pertunjukan berlangsung dengan mengambil segmentasi kinesik yang terdapat dalam tiga belas sistem tanda yang digagas Tedeus Kowzan. Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat tiga ragam gerak yang memiliki perbedaan karakteristik, yaitu gerak realisik, gerak stilistik, dan gerak ikonik. Adapun analisis makna sistem kinesik menghasikan representasi tentang keagungan, keambiguan sikap, dan kekerasan terhadap anak-anak. Kata Kunci: Ragam, makna, kinesik, Kintir,
22 Hari dalam Lipatan Api: Adaptasi Novel Anak Bajang Menggiring Angin Karya Sindhunata Puti Ilalang Sunyi; Philipus N. H Wibowo; Surya Farid Sathotho
IDEA: Jurnal Ilmiah Seni Pertunjukan Vol 17, No 1 (2023): Vol 17, No 1 (2023)
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

22 Hari dalam Lipatan Api merupakan naskah drama yang diadaptasi dari novel Anak Bajang Menggiring Angin karya Sindhunata. Penciptaan naskah drama 22 Hari dalam Lipatan Api menggunakan teori adaptasi yang dikemukakan oleh Linda Hutcheon (2006) dan metode penciptaan kreatif yang digagas oleh Graham Wallas. Penciptaan naskah dalam tugas akhir ini menggunakan teknik montase dengan menghadirkan jukstaposisi peristiwa, dialog, gambar, musik, bunyi, dan citra-citra visual dalam satu kesatuan dramatik. Teknik montase dibayangkan dapat menghasilkan beragam idiom yang tidak bertumpu pada dialog dan mengabaikan cerita yang linear. Hasilnya berupa naskah adaptasi dengan latar tahun 1965 pada masa pembantaian massal anggota dan partisipan PKI. Pengisahan naskah menempatkan Cokrodarso sebagai tokoh utama yang diadaptasi dari tokoh Rahwana. Cokrodarso merupakan gembong Lekra di bawah naungan PKI yang menjadikan wayang orang sebagai alat propaganda politik. Dirinya mencari pemeran Dewi Sinta hingga bertemulah dengan Wening. Cokrodarso jatuh cinta pada Wening yang telah bertunangan dan bertekad menjadikannya pemeran Dewi Sinta. Cinta tulus Cokrodarso tanpa etika moral berakhir dengan kehancuran dirinya sendiri. Penciptaan naskah drama 22 Hari dalam Lipatan Api bertujuan untuk menghasilkan karya baru dan pembacaan baru dalam proses adaptasi.           22 Days in the Fire’s Foldfrom the Novel of Herding the Wind by Sindhunata: An Adaptation 22 Days in the Fire’s Fold is a drama script adapted from the novel Herding the Wind by Sindhunata. This script was written using an adaptation theory proposed by Linda Hutcheon (2006) and the Graham Wallas’ method of creative creation. The montage technique was used in the writing of the script for this final project to portray a juxtaposition of events, dialogues, pictures, music, sounds, and visual images in a unified dramatic unit. The montage technique is expected to be able to generate a range of idioms that are not based on dialogue and ignore the chronological storyline. The result would be a story set in 1965, during the violent attacks by PKI activists. In this script, Cokrodarso portrays the lead role in the adaptation of Ravana. Lekra was led by Cokrodarso, who used wayang orang as a means of political propaganda. Until he met Wening, he was looking for the role of Dewi Sinta. Wening, who was engaged, caught Cokrodarso's attention, and he was eager to have her play as Dewi Sinta. Sincere love without morals and ethics causes Cokrodarso to lose himself. 
Wiwitan Sebagai Pergelaran Budaya Dalam Tinjauan Ekofeminisme Surya Farid Sathotho
Dance and Theatre Review Vol 6, No 2: November 2023
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/dtr.v6i2.11062

Abstract

Penelitian ini melakukan analisis wiwitan di Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah sebagai pergelaran budaya. Tradisi Wiwitan secara umum merupakan sebuah bentuk penghormatan kepada Dewi                   Sri yang merupakan dewi padi. Sejarah turunnya ajaran wiwitan dimulai dari cerita rakyat Dewi Sri yang datang ke Tanah Jawa saat mengalami paceklik. Mereka memohon kepada Tuhan untuk diberikan rezeki dan terbebas dari bencana yang saat itu melanda. Wiwitan merupakan bentuk upacara yang berupa selamatan atau kenduri dan dilaksanakan sebelum melakukan panen. Menarik untuk dilihat mengapa pada masa sekarang ritual ini tetap dilakukan oleh sebagian petani meski dengan cara yang sederhana. Pada ritual tersebut terdapat unsur-unsur pertunjukan. Metode penelitian kualitatif memiliki beberapa keunggulan, yaitu: penyesuaian metode kualitatif lebih mudah apabila berhadapan dengan kenyataan peneliti, menyajikan secara langsung hakikat hubungan antara peneliti dan responden, serta lebih peka dan dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama dan terhadap pola- pola nilai yang dihadapi. Sebagai sebuah kegiatan yang mengandung unsur pertunjukan, maka kajian dari sudut pandang teater sangat memungkinkan. Ada keterkaitan antara teater dan ritual sehingga mengkaji sebuah ritual dengan pendekatan teater ataupun sebaliknya sangat memungkinkan dengan menggunakan pemahaman pergelaran budaya atau cultural performance. Sosok Dewi Sri sebagai dewi padi yang dipuja petani memperlihatkan konsep Kosmologi Jawa terhadap Perempuan. Adanya unsur laki-laki dan perempuan dalam bentuk-bentuk ritual memperlihatkan bahwa kajian ekofeminisme bisa dilakukan pada ritual. Konsep ekofeminisme membahas bagaimana menyetarakan antara perempuan dan bumi serta hubunganya dengan laki-laki dalam budaya patriarki. Kata kunci: wiwitan, pergelaran budaya, ritual, ekofeminisme
TRANSMISI BUDAYA MASYARAKAT ADAT BATAK TOBA DALAM PERGELARAN BUDAYA ULAON UNJUK DI TAPANULI UTARA Tama, Krisna; Sathotho, Surya Farid; Sahid, Nur
TONIL: Jurnal Kajian Sastra, Teater dan Sinema Vol 21, No 2: September 2024
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/tnl.v21i2.13759

Abstract

This research examines the Ulaon Unjuk ritual in Sigotom Julu on December 2, 2022, with the aim of analyzing the performance elements and the cultural values transmitted through its execution. Ulaon Unjuk is a traditional marriage ritual of the Batak Toba community, which plays a crucial role in fulfilling the existential goals of hagabeon (prosperity in descendants), hamoraon (wealth), and hasangapon (honor). To this day, the Ulaon Unjuk ritual remains a mandatory practice to ensure that the bride and groom receive social validation as members of the Batak Toba indigenous community. As a marriage ritual, Ulaon Unjuk constitutes a cultural performance that encompasses elements of a staged event and facilitates the transmission of cultural values. This study employs a qualitative ethnographic approach for data collection, with the data subsequently analyzed narratively and inductively using a cultural performance framework. The findings are documented through ethnographic writing techniques. The results reveal that the Ulaon Unjuk ritual is carried out according to specific sequences and rules, is non-productive in nature, utilizes symbolic objects, and involves a designated performance space. These findings imply that Ulaon Unjuk includes performative aspects akin to theater. The ritual also incorporates the concept of Dalihan Na Tolu, which is central to the cultural values of the Batak Toba community, encompassing aspects such as patrilineality, clan (marga), marhobas (mutual assistance), tudu-tudu sipanganon (sharing of food), jambar (division of ritual objects), marsisisean (mutual respect), ulos (traditional cloth), tortor (traditional dance), tandok (ritual container), and others. In conclusion, the Ulaon Unjuk ritual represents a cultural performance that embodies theatrical elements and transmits the cultural values of the Batak Toba indigenous community through its enactment.Keywords: Batak Toba, Cultural Transmission, Dalihan Na Tolu, Ulaon Unjuk