Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search
Journal : JURNAL ILMIAH ADVOKASI

TANGGUNG JAWAB PEMBERI FIDUSIA TERHADAP BENDA JAMINAN FIDUSIA DALAM PERJANJIAN KREDIT Sriono Sriono
Jurnal Ilmiah Advokasi Vol 7, No 2 (2019): Jurnal Ilmiah Advokasi
Publisher : Universitas Labuhanbatu

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36987/jiad.v7i2.1563

Abstract

Pemberian kredit dilakukan melalui perjanjian utang piutang atau perjanjian kredit antara pemberi utang (kreditur) di satu pihak dan penerima utang (debitur) di pihak lain. Dalam pemberian kredit, kreditur mensyaratkan adanya suatu benda sebagai jaminan yang harus dipenuhi oleh debitur. Adapun jenis jaminan yang diberikan oleh debitor seperti jaminan fidusia. Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak. Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Jaminan Fidusia, yang selanjutnya akan disebut UUJF menyatakan Pemberi Fidusia dilarang mengalihkan, menggadaikan, atau menyewakan kepada pihak lain benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia yang tidak merupakan benda persediaan, kecuali dengan persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Penerima FidusiaPenelitian ini menggunakan metode Yuridis Normatif yaitu mengacu kepada ketentuan - ketentuan peraturan perundang-undangan positif di Indonesia seperti Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.Adapun hasil penelitian menyebutkan bahwa tanggungjawab pemberi fidusia yang telah mengalihkan benda jaminan fidusia dapat berupa Pidana, tetapi ada alternatif lain yaitu pemberi fidusia melakukan pembayaran hutang atau kredit kepada penerima jaminan fidusia hingga lunas hutang tersebut Kata kunci : Tanggung Jawab, Pemberi Fidusia, Perjanjian, Jaminan Fidusia
PERJANJIAN KAWIN SEBAGAI BENTUK PERLINDUNGAN TERHADAP HARTA KEKAYAAN DALAM PERKAWINAN Sriono Sriono
Jurnal Ilmiah Advokasi Vol 4, No 2 (2016): Jurnal Ilmiah Advokasi
Publisher : Universitas Labuhanbatu

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36987/jiad.v4i2.336

Abstract

Perjanjian kawin untuk masyarakat Indonesia merupakan hal yang tidak lazim sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perkawinan. Hal ini karena, masalah perkawinan tidak terlepas dari adat. Pemahaman berdasarkan pemikiran adat merupakan ikatan yang sifatnya tidak dapat terpisahkan / putus kecuali maut atas kehendak Tuhan Yang Maha Esa. Perkawinan tidak boleh terlepas dari ketentuan adat mereka. Karena ada perkembangan, maka pengetahuan tentang masalah yang timbul di dalam suatu perkawinan maka perlu ada persetujuan untuk kepentingan masing-masing suami dan istri. Dalam Pasal 29 UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan tentang perjanjian kawin dibuat sebelum atau pada saat perkawinan berlangsung dan mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan. Perjanjian kawin yang dibuat tidak boleh dibatasi dengan agama, kesusilaan dan batas-batas hukum. Dalam parkateknya, perjanjian kawin lebih dari harta kekayaan jadi harta dalam perjanjian kawin dijadikan sebagai objek dalam perjanjian. Karena harta kekayaan sebagai objek maka ketentuan undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang pembedaan harta yaitu harta bendungan harta bersama, meskipun hal ini berbedan dalam Pasal 119 KUHPerdata menjadi persatuan lengkap harta kekayaan dalam perkawinan. Namun di dalam KUHPerdat, ditolak, diakui, diterima, setuju, kawin. Harta kekayaan yang sering muncul menimbulkan masalah perceraian yaitu masalah harta bawaan sebelum terjadi perubahan terhadap harta bawaan tersebut. Terkait dengan perjanjian kawin akan memberikan persetujuan hukum terhadap harta bawaan tersebut. Perjanjian kawin yang dibuat dapat disetujui pihak ketiga sebagaimana ditentukan dalam Pasal 29 UU No 1 Tahun 1974. Sesuai persetujuan kawin tidak memberikan persetujuan hukum sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat (2), maka demi hukum perjanjian kawin tersebut batal. Kata Kunci: Perjanjian Kawin, Perlindungan Hukum, Harta Kekayaan dalam Perkawinan. Dengan demikian pihak ketiga berkaitan dengan hak pihak ketiga mendapat perlindungan hukum, hal ini cukup jelas diatur dalam ketentuan tersebut diatas. Sesuai persetujuan kawin tidak memberikan persetujuan hukum sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat (2), maka demi hukum perjanjian kawin tersebut batal. Kata Kunci: Perjanjian Kawin, Perlindungan Hukum, Harta Kekayaan dalam Perkawinan. Dengan demikian pihak ketiga berkaitan dengan hak pihak ketiga mendapat perlindungan hukum, hal ini cukup jelas diatur dalam ketentuan tersebut diatas. Sesuai persetujuan kawin tidak memberikan persetujuan hukum sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat (2), maka demi hukum perjanjian kawin tersebut batal. Kata Kunci: Perjanjian Kawin, Perlindungan Hukum, Harta Kekayaan dalam Perkawinan.
SISTEM PEWARISAN PADA WARGA NEGARA INDONESIA KETURUNAN TIONGHOA (CINA) MUSLIM Sriono Sriono
Jurnal Ilmiah Advokasi Vol 5, No 2 (2017): Jurnal Ilmiah Advokasi
Publisher : Universitas Labuhanbatu

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36987/jiad.v5i2.311

Abstract

Hukum waris merupakan ketentuan tentang peralihan harta kekayaan dari sipemilik yang telah meninggal bagi ahli waris. Hukum waris yang berlaku di Indonesia termasuk tiga jenis hukum kewarisan yaitu hukum waris islam, perdata, dan adat, hal ini terkait karena sebelum keluarnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan yang menggunakan sistem penggolongan sesuai dengan Pasal 163 Indische Staatsregeling. Berkaitan dengan berlakunya hukum kewarisan ini berdasarkan golongan masing-masing seperti hukum waris islam berlaku bagi orang indonesia beragama islam. Masyarakat (warga negara Indonesia) memberlakukan hak cipta berdasarkan ketentuan Pasal 163 Ketentuan ini berlaku hukum waris perdata. Kecuali pada saat banyak orang Tionghoa menggunakan hukum kewarisan adat, hal ini karena sudah berlangsung sejak moyang mereka. Berdasarkan hal tersebut maka timbulah masalah adalah bagaimana ketentuan tentang warga negara Indonesia yang berbahasa Tionghoa yang beragama islam? Bagaimana jika mereka tetap menggunakan hukum kewarisan adat dalam hal kewarisan? Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif yaitu mengkaji ketentuan dan norma-norma yang berlaku dalam hal kewarisan hukum bagi warga negara berbudaya Tionghoa. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bagi warga negara Indonesia Tionghoa yang sudah beragama islam maka berlakulah yang mengharuskan ketentuan hukum kewarislam islam. Sementara itu, orang Tionghoa tetap menggunakan hukum adat dalam hal kewarisan, Maka harus dipertimbangkan ketentuan yang berlaku di dalam Kompilasi Hukum Islam. Pasal 183 adalah ketentuan yang dapat dilakukan dengan musyawarah kecuali ahli ahli. Kata kunci: Keturunan Tionghoa, Islam (muslim), Kewarisan
TELAAH TERHADAP PERJANJIAN SEWA MENYEWA (AL IJARAH) DALAM PERBANKAN SYARIAH Sriono Sriono
Jurnal Ilmiah Advokasi Vol 1, No 1 (2013): Jurnal Ilmiah Advokasi
Publisher : Universitas Labuhanbatu

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36987/jiad.v1i1.476

Abstract

Perkembangan ekonomi disuatu Negara tidak dapat dilepaskan dari perkembangan dunia perbankan. Untuk perkembangan perbankan di Indonesia sendiri saat ini sedang baik, dan dengan dukungan dari peraturan perundangan yang cukup. Perbankan menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perbankan menyatakan bahwa bank umum dibedakan menjadi bank umum dan Bank Perkreditan Rakyat, sedangkan bank umum mengatur menjadi bank konvensional dan bank syariah. Khusus untuk bank syariah saat ini telah ada dasar hukum operasional bank tersebut, yaitu Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Semua yang dilakukan oleh perbankan syariah tersebut. Bank syariah sendiri di Indonesia sedang mencapai posisi tinggi dalam bisnis perbankan.Salah satu produk dari perbankan syariah yaitu pembiayaan dengan prinsip sewa sewa (Ijarah). adapun transaksi yang dilakukan oleh bank syariah khusus tentang sewa, yaitu: transaksi sewa-sewa yang berbasis atas Akad Ijarah dengan opsi pengalihan hak milik (Ijarah Muntahiyyah Bittamlik) Perbankan Syariah. Transaksi ijarah muntahiya Bittamlik merupakan pengembangan dari transaksi ijarah untuk mengakomodasikan kebutuhan pasar dan kebutuhan konsumen. Karena transaksi ini merupakan pengembangan dari transaksi ijarah, maka ketentuannya juga ikut ketentuan Ijarah Kata Kunci: Perjanjian, Ijarah, Bank Syariahyaitu: transaksi sewa-kontrak yang didasarkan pada Akad Ijarah dengan opsi transfer hak milik (Ijarah Muntahiyyah Bittamlik) yang disetujui dalam pasal 21 huruf b angka 3 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Transaksi ijarah muntahiya Bittamlik merupakan pengembangan dari transaksi ijarah untuk mengakomodasikan kebutuhan pasar dan kebutuhan konsumen. Karena transaksi ini merupakan pengembangan dari transaksi ijarah, maka ketentuannya juga ikut ketentuan Ijarah Kata Kunci: Perjanjian, Ijarah, Bank Syariah yaitu: transaksi sewa-kontrak yang didasarkan pada Akad Ijarah dengan opsi transfer hak milik (Ijarah Muntahiyyah Bittamlik) yang disetujui dalam pasal 21 huruf b angka 3 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Transaksi ijarah muntahiya Bittamlik merupakan pengembangan dari transaksi ijarah untuk mengakomodasikan kebutuhan pasar dan kebutuhan konsumen. Karena transaksi ini merupakan pengembangan dari transaksi ijarah, maka ketentuannya juga ikut ketentuan Ijarah Kata Kunci: Perjanjian, Ijarah, Bank Syariah Transaksi ijarah muntahiya Bittamlik merupakan pengembangan dari transaksi ijarah untuk mengakomodasikan kebutuhan pasar dan kebutuhan konsumen. Karena transaksi ini merupakan pengembangan dari transaksi ijarah, maka ketentuannya juga ikut ketentuan Ijarah Kata Kunci: Perjanjian, Ijarah, Bank Syariah Transaksi ijarah muntahiya Bittamlik merupakan pengembangan dari transaksi ijarah untuk mengakomodasikan kebutuhan pasar dan kebutuhan konsumen. Karena transaksi ini merupakan pengembangan dari transaksi ijarah, maka ketentuannya juga ikut ketentuan Ijarah Kata Kunci: Perjanjian, Ijarah, Bank Syariah