The development of Indonesia’s Blue Economic Zone relies on effective communication structures to facilitate coordination among key stakeholders. However, the interaction between religious leaders and the military in this process presents structural challenges that impact collaboration efforts. Using Giddens’ Structuration Theory as a framework, this study examines how communication dynamics shape the roles of these two groups in the Blue Economy’s development.This qualitative case study was conducted across six Indonesian provinces, involving informants from the TNI, religious leadership, and local communities. Findings indicate that collaboration remains weak, as discussions rarely prioritize joint efforts—accounting for less than 50% of total deliberations. Moreover, differing interpretations of economic development create contrasting discourses: the military emphasizes security and strategic control, while religious leaders focus on ethical stewardship and community welfare. This structural disconnect hinders cohesive policy-making and implementation.To bridge this gap, the study suggests the establishment of an ad hoc communication task force to foster structured dialogue and legitimacy between these actors. These findings contribute to the understanding of communication in multi-stakeholder governance and highlight the need for adaptive institutional structures in Blue Economy initiativesKeywords: Structuration, Religionist and Military, Development Communication ABSTRAKPengembangan Zona Ekonomi Biru di Indonesia bergantung pada struktur komunikasi yang efektif untuk memfasilitasi koordinasi di antara para pemangku kepentingan utama. Namun, interaksi antara pemuka agama dan militer dalam proses ini menghadirkan tantangan struktural yang berdampak pada upaya kolaborasi. Dengan menggunakan Teori Strukturasi Giddens sebagai kerangka analisis, penelitian ini mengkaji bagaimana dinamika komunikasi membentuk peran kedua kelompok tersebut dalam pengembangan Ekonomi Biru. Penelitian ini menggunakan metode studi kasus kualitatif yang dilakukan di enam provinsi di Indonesia, dengan informan yang terdiri dari anggota TNI, pemuka agama, dan komunitas lokal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kolaborasi masih lemah, di mana diskusi terkait pengembangan Ekonomi Biru jarang menempatkan kerja sama sebagai prioritas utama—tercatat bahwa kolaborasi hanya dibahas dalam kurang dari 50% dari total diskusi yang dilakukan. Selain itu, terdapat perbedaan interpretasi mengenai konsep pembangunan ekonomi, di mana militer lebih menitikberatkan pada aspek keamanan dan kontrol strategis, sedangkan pemuka agama lebih berfokus pada pengelolaan etis serta kesejahteraan masyarakat. Ketidaksinambungan struktural ini menghambat perumusan kebijakan yang kohesif serta implementasi program secara efektif. Untuk menjembatani kesenjangan ini, penelitian ini merekomendasikan pembentukan gugus tugas komunikasi ad hoc guna mendorong dialog yang lebih terstruktur serta membangun legitimasi antara kedua aktor tersebut. Temuan ini memberikan kontribusi dalam pemahaman komunikasi dalam tata kelola multi-pemangku kepentingan serta menekankan perlunya struktur kelembagaan yang adaptif dalam inisiatif Ekonomi Biru.Kata Kunci: Ekonomi Lokal, Komunikasi Kewirausahaan, Mitos, Pariwisata Berkelanjutan, Wisata Religi.