Claim Missing Document
Check
Articles

Found 9 Documents
Search

TATA LAKSANA NUTRISI PADA PASIEN LUKA BAKAR LISTRIK Suzan, Raihannah; Andayani, Diyah Eka
JAMBI MEDICAL JOURNAL "Jurnal Kedokteran dan Kesehatan" Vol. 5 No. 1 (2017): JAMBI MEDICAL JOURNAL Jurnal Kedokteran dan Kesehatan
Publisher : FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS JAMBI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (446.354 KB) | DOI: 10.22437/jmj.v5i1.3598

Abstract

Abstract Background: In electrical burn injuries, damages of internal organs are not comparable to burn injuries in the body’s surface. Nutrition therapy is an integral part in burn management from resuscitation to rehabilitation phase. Currently there are recommendations of nutrition management in severe burn injury, but no recommendation that specificaly for electrical burn injury. Methods: These case series describes nutrition management in four electrical burn patients with complications. First patient with cervical trauma, second patient had AKI and decreased liver function, third patient had septic shock, and fourth patient had sepsis and amputation. Target energy given calculated by Harris-Benedict equation with stress factor 1,5─2. Protein was given 1,5─2 g/kg BW/day except patient with AKI, protein restricted to 0,8─1 g/kg BW/day until improvement of renal function. Carbohydrates and lipids were given 60─65% and <35%, respectively. Micronutrients supplementation such as antioxidant vitamins, vitamin B complex, and folic acid were provided. Results: Three patients had improvement in clinical condition, functional capacity, and laboratory results that allowed them to be discharged. Length of stay patients were 17, 60, and 20 days respectively. One patient died after 14 days of hospitalization. Conclusion: Optimal and appropriate nutrition management can reduced morbidity and mortality rate in the electrical burn injury patients. Keywords: Electrical burn injury, complications, nutrition management Abstrak Latar belakang: Pada pasien luka bakar listrik, keparahan trauma pada organ dalam tidak sebanding dengan luka bakar di permukaan tubuh sehingga dikategorikan sebagai luka bakar berat. Terapi nutrisi merupakan bagian integral tata laksana luka bakar sejak awal resusitasi hingga fase rehabilitasi. Saat ini sudah terdapat rekomendasi tata laksana nutrisi luka bakar berat. Namun, belum terdapat rekomendasi spesifik untuk luka bakar listrik. Metode: Serial kasus ini memaparkan tatalaksana nutrisi terhadap empat pasien kasus luka bakar listrik dengan penyulit. Pasien pertama dengan trauma servikal, pasien kedua mengalami AKI dan penurunan fungsi hati, pasien ketiga mengalami syok sepsis, dan pasien keempat mengalami sepsis dan amputasi. Target pemberian energi dihitung menggunakan persamaan Harris-Benedict ditambah faktor stres 1,5–2. Protein diberikan 1,5–2 g/kgBB/hari kecuali pada pasien dengan AKI diberikan 0,8–1 g/kgBB/hari hingga terjadi perbaikan. Karbohidrat dan lemak berturut-turut 60–65% dan <35%. Mikronutrien diberikan berupa multivitamin antioksidan, vitamin B kompleks dan asam folat. Hasil: Tiga pasien mengalami perbaikan klinis, kapasitas fungsional, dan laboratorium hingga diperbolehkan rawat jalan. Lama perawatan ketiga pasien tersebut berturut-turut 17, 60, dan 20 hari. Satu orang pasien meninggal akibat penyulit setelah dirawat selama 14 hari. Kesimpulan: Tatalaksana nutrisi yang optimal dan tepat dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas pasien dengan luka bakar listrik. Kata kunci: Luka bakar listrik, penyulit, tata laksana nutrisi.
Global Leadership Initiative on Malnutrition criteria for predicting surgical site infection in elective laparotomy patients Octaviani, Pauline; Wulandari, Yohannessa; Ibrahim, Febiansyah; Andayani, Diyah Eka
International Journal of Public Health Science (IJPHS) Vol 13, No 4: December 2024
Publisher : Intelektual Pustaka Media Utama

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.11591/ijphs.v13i4.24175

Abstract

Laparotomy surgery patients are at risk for complication including surgical site infections (SSI) which are associated with high morbidity and mortality. Malnutrition has been identified as a risk factor for the occurrence of SSI but preoperative malnutrition identification remains low. The Global Leadership Initiative on Malnutrition (GLIM) has published a new, practical, and easily applicable definition of malnutrition. This study aims to evaluate whether malnutrition according to GLIM criteria is a predictor of SSI in elective laparotomy patients. This prospective cohort study involved 123 subjects aged 18-65 years undergoing elective laparotomy, without diabetes history. Their malnutrition status was assessed using GLIM criteria with bioelectrical impedance analysis (BIA) to evaluate muscle mass. A total 62 subjects were categorized into the malnutrition group and the remaining into nonmalnutrition group and then monitored for the presence of SSI up to 10 days postoperatively. SSI occurred in 13.8% of the subjects. The analysis showed a strong association between malnutrition and SSI in elective post laparotomy (RR 4.6; 95%CI 1.4-15.1; p=0.005). Malnutrition according to GLIM criteria is a significant predictor of SSI in elective post laparotomy patients.
Vitamin C Intake and Anti-Tuberculosis Drugs-Induced Hepatitis in Pulmonary Tuberculosis Patients Rabbani, Hadiati; Nurwidya, Fariz; Andayani, Diyah Eka; Agustin, Heidy; Syam, Shaogi
Jurnal Respirasi Vol. 10 No. 3 (2024): September 2024
Publisher : Faculty of Medicine Universitas Airlangga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20473/jr.v10-I.3.2024.214-221

Abstract

Introduction: Drug-induced hepatitis (DIH) is one of the serious side effects of anti-tuberculosis drugs (ATD) that can reduce patient compliance with tuberculosis (TB) treatment, increase the risk of treatment failure, or develop drug resistance. Vitamin C is a potential antioxidant known to have a protective effect against DIH. This study examined the relationship between vitamin C intake and the incidence of ATD-induced hepatitis (ATDIH) in pulmonary TB patients at Persahabatan National Respiratory Referral Hospital, Jakarta. Methods: This was a cross-sectional study of 108 patients with drug-sensitive pulmonary TB. Data was collected using a sociodemographic questionnaire, anthropometric measurements, semi-quantitative food frequency questionnaire (SQ FFQ), and data on the subject's liver function laboratory results in the last 1 month. Fisher exact test was utilized to analyze the association between adequacy of vitamin C intake and DIH. Results: The proportion of DIH in pulmonary TB patients in this study was 6.5%. Most subjects were males (54.6%) with a median age of 41. The median vitamin C intake was 66.65 mg/day, with 63.0% of patients having an intake below the recommendation. Fisher's exact test showed that vitamin C intake was not statistically significantly associated with the incidence of ATDIH (OR 3.77 95% CI 0.44-32.55, p-value 0.256). No factors also influenced the incidence of ATDIH in this study. Conclusion: No association was found between vitamin C intake and other factors related to the incidence of ATDIH. This is the first study in Indonesia to link vitamin C and E intake with the incidence of DIH in drug-sensitive pulmonary TB patients, providing information for future studies.
EFEK STUNTING TERHADAP KADAR GLUTATION SEBAGAI PENANDA STRES OKSIDATIF PADA ANAK Rahmanita, Hania Asmarani; Gunarti, Dwirini Retno; Andayani, Diyah Eka
Medika Kartika : Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Vol 7 No 3 (2024): Medika Kartika : Jurnal Kedokteran dan Kesehatan
Publisher : Fakultas Kedokteran Universitas Jenderal Achmad Yani

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Stunting merupakan masalah kesehatan yang dikenal luas dan merupakan masalah malnutrisi yang paling umum terjadi di dunia. Pada tahun 2022, ada sekitar 148 juta atau 22,3% anak di bawah usia lima tahun di seluruh dunia mengalami stunting. Kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang. pada anak stunting dapat menyebabkan kondisi stres oksidatif, yaitu suatu fenomena yang disebabkan oleh ketidakseimbangan antara prooksidan dan antioksidan yang terjadi di dalam sel tubuh. Glutation (GSH) merupakan antioksidan endogen non enzimatik dengan jumlah terbesar di dalam tubuh yang merupakan tripeptida, terdiri dari glutamat, sistein, dan glisin. Pada anak-anak terutama balita, kadar GSH sangat dipengaruhi oleh faktor nutrisi sehingga kondisi stunting dapat menyebabkan perubahan kadar GSH. Tinjauan literatur ini bertujuan untuk menjelaskan efek dari stunting terhadap salah satu penanda stres oksidatif yaitu antioksidan glutation (GSH) pada anak. Hasil dari penelusuran menunjukkan bahwa terdapat perubahan kadar GSH pada anak stunting yang berkaitan dengan perubahan fungsi tubuh dalam jangka pendek maupun jangka panjang yang dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Kata kunci : antioksidan, glutation, GSH, stres oksidatif, stunting DOI : 10.35990/mk.v7n3.p273-284
Hubungan Antara Asupan Energi dengan Rasio Neutrofil Limfosit pada Pasien Sakit Kritis Purwantini, Dian; Wulandari, Yohannessa; Sunardi, Diana; Sutanto, Krisadelfa; Sinaga, Wina; Andayani, Diyah Eka
Majalah Kedokteran Indonesia Vol 75 No 2 (2025): Journal of The Indonesian Medical Association - Majalah Kedokteran Indonesia, Vo
Publisher : PENGURUS BESAR IKATAN DOKTER INDONESIA (PB IDI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47830/jinma-vol.75.2-2025-1760

Abstract

Introduction: Critically-ill patients experience catabolic stress and inflammatory responses resulting in increased catabolism to meet energy demands. Neutrophil lymphocyte ratio (NLR) is used to assess immune and stress responses. Method: This study was a cross-sectional study of subjects aged ≥18 years admitted to the intensive care unit of Dr. Cipto Mangunkusumo National Central General Hospital and University of Indonesia Hospital. The characteristics of the study subjects included age, gender, nutritional status, diagnosis of ICU admission, protein intake, fat intake, and carbohydrate intake. Bivariate analysis was performed to evaluate the correlation between energy intake and neutrophil-lymphocyte ratio.Result: There were 44 subjects with a median age of 55 years (19-86). Nutritional status based on body mass index (BMI) obtained 31.8% normal nutritional status, 20.5% severe malnutrition, 25% obesity grade 1. The most common diagnoses were surgery and trauma 20.5% of subjects and sepsis 20.5% of subjects. Median RNL was 10.39 (2.51-59.5), energy intake was 10.5 (3-29) kcal/kg BW/day, protein intake was 0.4 (0-1.2) g/kg BW/day, fat intake was 18 (0-29)% and carbohydrate intake was 92 (23-184) g/day.Conclusion: There was no correlation between energy intake and NLR.
Gambaran Status Gizi Penderita Tumor Otak Primer dan Metastasis serta Faktor-faktor yang Memengaruhinya Aninditha, Tiara; Tanjung, Gloria; Andayani, Diyah Eka; Aman, Renindra Ananda; Estiasari, Riwanti; Yanuar, Ahmad; Sofyan, Henry Riyanto
Majalah Kedokteran Neurosains Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia Vol 39 No 3 (2022): Vol 39 No 3 (2022)
Publisher : PERDOSNI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.52386/neurona.v39i3.280

Abstract

Introduction: According to the pathophysiology, weight loss is a specific marker for suspected malignancy. However, this is rarely found in cases of brain tumors. The presence of the blood brain barrier is thought to play a role in differentiating nutritional status in primary and metastatic brain tumors. Therefore, it is necessary to do this research. Aim: Knowing the description, prevalence, differences in nutritional status of patients with primary and secondary brain tumors, and the affecting factors. Methods: Cross-sectional study in patients with primary and secondary brain tumors at Cipto Mangunkusumo General Hospital in 2017-2019. Malnutrition was diagnosed using the GLIM (Global Leadership Initiative on Malnutrition) criteria. Data analysis used Chi-Square/Fisher and multivariate logistic regression. There were 333 subjects: 246 primary and 87 secondary brain tumors. Description of nutritional status of patients with primary brain tumors: 47.6% obese; 6.1% malnutrition; the rest were normal, while in secondary brain tumors: 25.3% were malnourished; 24.1% obese; the rest is normal. Secondary brain tumor at risk of malnutrition with RR 1.257 (95% KI 1.108-1.426), p<0.001. Factors influencing malnutrition were the type of primary/secondary brain tumor, gender, age, decreased consciousness, anorexia, gastrointestinal complaints, intraaxial lesions, multiple lesions, and the location of the lesions involving the frontal lobes. The independently related factor was multiple lesions with an aOR of 3,423 (95% KI 1.124-10.426), p 0.03. Conclusion: The nutritional status of patients with primary and secondary brain tumors was different, with higher levels of malnutrition in secondary brain tumors and higher obesity in primary brain tumors. The number of multiple lesions in the brain affects the occurrence of malnutrition.
Terapi Medik Gizi pada Psoriasis Pustulosa Generalisata: Laporan Kasus Dewi, Prinindita Artiara; Sonia, Steffi; Andayani, Diyah Eka
Jurnal Sehat Indonesia (JUSINDO) Vol. 6 No. 01 (2024): Jurnal Sehat Indonesia (JUSINDO)
Publisher : CV. Publikasi Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.59141/jsi.v6i01.83

Abstract

Psoriasis Pustulosa Generalisata (PPG) merupakan jenis psoriasis yang jarang terjadi. PPG merupakan penyakit autoinflamasi yang terjadi di kulit dan sistemik. Manifestasi kulit ditandai dengan inflamasi di epidermis, pustul multipel dan hiperkeratosis, sedangkan salah satu manifestasi sistemik berupa sepsis. Pemberian nutrisi berperan dalam pencegahan malnutrisi, mendukung proses penyembuhan dan mengatasi inflamasi. Laki-laki berusia 32 tahun masuk rumah sakit dengan keluhan utama bercak kemerahan dengan bintik-bintik bernanah yang semakin meluas sejak 3 hari SMRS. Keluhan lain berupa demam dan bengkak di tungkai bawah. Status gizi pasien adalah berat badan normal. Terdapat anemia, leukositosis, hipoalbuminemia dan peningkatan kadar C-Reactive Protein (CRP). Pemeriksaan histopatologis tidak dilakukan. Pasien didiagnosis dengan PPG (total body surface area 75%)  dan sepsis et causa Skin and Soft Tissue Infection (SSTI). Pasien mendapatkan terapi antibiotik sistemik per oral, kortikosteroid topikal, dan kompres NaCl 0,9%. Selama perawatan, pasien mendapat asupan nutrisi secara adekuat melalui oral berupa makanan padat dan makanan cair tinggi protein.  Pasien mendapatkan transfusi albumin 20% 100 mL sebanyak 1 kali. Mikronutrien diberikan berupa vitamin A, vitamin B kompleks, vitamin C, vitamin D, asam folat dan zinc per oral. Pasien dirawat di rumah sakit selama 16 hari. Pada akhir pemantauan, status gizi normal dapat dipertahankan, terdapat penurunan luas lesi kulit menjadi sebesar 30%, kadar albumin meningkat dari 2,3 menjadi 2,8 g/dL, dan penurunan kadar CRP. Pemberian makro- dan mikronutrien yang adekuat pada PPG dapat mempertahankan status gizi yang baik, menunjang proses penyembuhan lesi kulit, dan perbaikan kadar inflamasi.
Korelasi antara Kadar Vitamin C Plasma dengan Tekanan Darah pada Lansia di Jakarta Timur Purnamasari, Yuti; Andayani, Diyah Eka; Hardiany, Novi Silvia
Jurnal Ners Vol. 8 No. 1 (2024): APRIL 2024
Publisher : Universitas Pahlawan Tuanku Tambusai

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31004/jn.v8i1.18580

Abstract

Introduction: The elderly population in developing countries is increasing every year.. In the elderly with increasing age, physiological functions decrease due to degenerative processes, therefore many non- communicable diseases appear in old age. Blood pressure is a parameter used to assess cardiovascular health, which is influenced by oxidative stress. Vitamin C is a strong antioxidant to reduce oxidative stress and maintain endothelial function by producing nitirc oxide. The aim of this study was to analyze the correlation between plasma vitamin C levels and blood pressure in the elderly in East Jakarta.Methods: This study used a Cross-sectional method conducted on 60 elderly members both females and males age > 60 years old in Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia 1. Vitamin C intake was assessed by semi quantitative food frequency questionnaire, blood pressure was measured by sphygmomanometer and plasma vitamin C levels were detected by spectrophotometer. Analysis correlation between plasma vitamin C level and blood pressure was performed using Spearmen test. Result: This research shows that systolic blood pressure is 125 (90-160) mmHg and diastolic blood pressure is 80 (60-110) mmHg. Median Vitamin C content 0,44 (0,08- 1,81). Results bivariate analysis between plasma vitamin C levels and systolic blood pressure. obtained P>0.05. Conclusion: There was no correlation between plasma vitamin C levels and systolic and diastolic blood pressure.
Penguatan Literasi Kesehatan Jantung melalui Talkshow dan Skrining Kesehatan di Rumah Sakit Universitas Indonesia Soviana, Elida; Andayani, Diyah Eka; Insani, Putri Novia Choiri; Singal, Anna Maurina
Jurnal SOLMA Vol. 14 No. 3 (2025)
Publisher : Universitas Muhammadiyah Prof. DR. Hamka (UHAMKA Press)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Background: Penyakit jantung merupakan salah satu penyebab kematian tertinggi di Indonesia, termasuk di Kota Depok. Kesadaran Masyarakat mengenai faktor risiko dan deteksi dini masih rendah, sehingga menjadi tantangan utama. Kegiatan pengabdian masyarakat ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai pencegahan penyakit jantung serta mendeteksi dini risiko penyakit jantung dan penyakit tidak menular melalui edukasi dalam bentuk talkshow dan skrining kesehatan. Metode: Kegiatan dilaksanakan melalui dua pendekatan utama, yaitu pendidikan masyarakat berbentuk talkshow interaktif dan skrining kesehatan yang meliputi pemeriksaan glukosa darah, kolesterol total, tekanan darah, dan pengukuran lingkar perut. Edukasi diberikan oleh tim kesehatan multidisiplin dan dilanjutkan dengan sesi konsultasi individu. Hasil: Kegiatan diikuti oleh 350 peserta dengan antusiasme tinggi. Hasil skrining menunjukkan mayoritas peserta memiliki faktor risiko ganda seperti 62,5% peserta mengalami hiperkolesterolemia dan 95%mengalami obesitas sentral dengan lingkar perut di atas rekomendasi. Peserta juga menunjukkan peningkatan pemahaman tentang pentingnya kesehatan jantung dan faktor risikonya. Kesimpulan: Kegiatan pengabdian ini berhasil mencapai target, memberikan dampak positif berupa peningkatan kesadaran kesehatan dan deteksi dini faktor risiko penyakit jantung di masyarakat. Kegiatan ini menunjukkan urgensi program promotif preventif berkelanjutan. Kegiatan serupa direkomendasikan untuk diperluas dengan pemantauan jangka panjang guna mengukur perubahan perilaku kesehatan.