AbstractJawa Pos Morning Daily is one of the largest media conglomerate in Indonesia published from East Java, with total circulation 350.000 copies. It is known with distinctive journalism style with colorful pages, large and attractive pictures, advanced page design, and highly variative rubrication. Jawa Pos also known with its simple and communicative language capable of reaching out vast section of readers from lowly market to the high. This journalism formula is self-termed ‘’Supermarket Journalism’’ meaning a journalism concept aimed at serving whole section of society. With this formula Jawa Pos circulation grows to become the largest in East Java surpassing all national publications including quality newspaper Kompas. This is achieved amid low literacy culture in Indonesia. A study by UNESCO shows that among 61 countries surveyed Indonesia ranks 60th, only a strip above Botswana in the bottom of the list. This paper is to reveal how, by applying Supermarket Journalism formula, Jawa Pos thrives to become the largest newspaper in East Java amid low literacy culture. The same formula is also successfully applied to all Jawa Pos media subsidiaries throughout Indonesia so that total Jawa Pos Group circulation overtakes Kompas-Gramedia Group’s. This study applies qualitative-descriptive methodology with case study approach. Indepth interviews and focus group discussion are used to gather and enrich data. To understand literacy culture and the media this research uses the theory of Understanding Media of McLuhan. Mass Communication theory of McQuail and media theory of Hallin and Mancini are applied to understand Supermarket Journalism concept. The study shows that Supermarket Journalism succeeds in attracting large section of readers amid low literacy culture of society.Keywords: Supermarket Journalism, Jawa Pos, Reading Habit, Literacy CultureAbstraksiHarian Pagi Jawa Pos adalah salah satu media konglomerasi terbesar di Indonesia dari Jawa Timur dengan oplah 350.000 eksemplar. Koran ini dikenal dengan gaya jurnalisme yang khas, dengan tampilan penuh warna, foto-foto besar mencolok, grafis desain yang menarik, serta rubrikasi yang sangat bervariasi. Jawa Pos juga mempunyai gaya bahasa yang sederhana dan mudah dipahami yang bisa menjangkau semua kalangan pembaca, dari kelas paling bawah sampai kalangan menengas ke atas. Konsep jurnalisme ini disebut sebagai ‘’Jurnalisme Supermarket’’, yaitu jurnalisme yang bisa melayani semua kalangan pembaca. Dengan konsep ini Jawa Pos bisa meraih pembaca tertinggi di Jawa Timur mengalahkan koran-koran nasional termasuk Kompas. Capaian ini didapat di tengah kondisi budaya membaca (literasi) masyarakat Indonesia yang sangat rendah. Studi UNESCO mengenai minat baca menunjukkan bahwa dari 61 negara Indonesia berada di posisi ke-60, hanya setingkat di atas Botswana di posisi jurukunci (Sudibyo, 2019). Penelitian ini akan mengungkap bagaimana di tengah kondisi budaya baca yang rendah Jawa Pos berhasil menerapkan strategi jurnalisme yang tepat sehingga bisa menjadi koran terbesar di Jawa Timur. Formulasi yang sama juga dipakai Jawa Pos untuk mengembangkan koran-koran anak usahanya di seluruh Indonesia, sehingga total oplah Jawa Pos Group mengungguli kelompok Kompas-Gramedia. Studi ini memakai metodologi kualitatif-diskriptif (Mulyana, 2009, Moleong, 2012, Creswell, 2001) dengan pendekatan studi kasus (Yin, 2001, Alwasilah, 2014). Wawancara mendalam (indepth interview) dan FGD (Focus Group Discussion) dipakai untuk pengumpulan dan pengayaan data. Untuk menelusuri budaya baca dan hubungannya dengan media, studi ini menerapkan Teori Understanding Media dari McLuhan (1964) dan Teori Mediamorphosis Roger Fiddler (1987). Untuk mengupas Jurnalisme Supermarket studi ini menerapkan Teori Komunikasi Massa McQuail (2011), dan Teori Media Hallin dan Mancini (2004). Hasil studi menunjukkan bahwa formula Jurnalisme Supermarket berhasil menarik pembaca dalam jumlah besar di tengah kondisi rendahnya minat baca masyarakat.Kata Kunci: Jurnalisme Supermarket, Jawa Pos, Minat Baca, Budaya Literasi