Claim Missing Document
Check
Articles

Found 12 Documents
Search

SINDROM HIPERSENSITIVITAS DAPSON PADA PASIEN MORBUS HANSEN MULTI- BASILER: LAPORAN KASUS Palimbong, Florencia; Mellyanawati, .; Kandou, Renate T.
JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 11, No 3 (2019): JURNAL BIOMEDIK : JBM
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.11.3.2019.26331

Abstract

Abstract: Dapsone hypersensitivity syndrome (DHS) is a rare case. Classic triad consists of fever, exfoliative dermatitis, and internal organs involvement. Its pathogenesis is still unknown, thought to be caused by hydroxylamine, a toxic compound which plays a role in the incidence of haemolytic anemia. The diagnosis is made when the hypersensitivity reaction occurs in 2-8 weeks during dapsone therapy with at least two of these symptoms are present: fever, skin eruption, lymphadenopathy, and liver function disorder. Treatment of the DHS involves prompt discontinuation of dapsone. Corticosteroids have been proved helpful with doses of up to 1 g/day of methylprednisolone for 3 days and tapering off for 4-6 weeks. We reported a case of a 33-year-old female diagnosed as multibacillary leprosy and received multibacillary multi-drug therapy (MDT-MB) for the second month. Six weeks after starting the therapy, fever and exfoliating skin on almost the entire body appeared. On clinical examination, multiple erythematous to hyperpigmented macules were found with crusting and rough scales. There were also anemic conjunctiva, subicteric sclera, and hepatomegaly. Laboratory tests revealed anemia, lymphocytosis, and increased liver enzymes. Based on these clinical findings and investigations, diagnosis of DHS was established. After discontinuation of dapsone and oral administration of 32 mg/day of methylprednisolone which was reduced by 8 mg every 2 weeks, clinical and laboratory finding showed improvement. The clinical manifestations of DHS can resemble other drug allergy, however, DHS has fatal consequence if it is not handled properly.Keywords: dapsone hipersensitivity syndrome, multibacillary leprosy, corticosteroids Abstrak: Sindrom hipersensitivitas dapson merupakan kasus yang jarang terjadi. Trias klasik yaitu demam, dermatitis eksfoliatifa, dan keterlibatan organ internal. Patogenesis tidak diketahui, diduga disebabkan oleh hidroksilamin, senyawa toksik yang berperan dalam kejadian anemia hemolitik. Diagnosis dibuat ketika reaksi hipersensitivitas terjadi dalam 2-8 minggu selama terapi dapson dengan setidaknya timbul dua dari gejala berikut: demam, erupsi kulit, limfadenopati, dan gangguan fungsi hati. Pengobatan sindrom hipersensitivitas dapson ialah menghentikan segera obat dapson dan pemberian kortikosteroid yaitu metilprednisolon dengan dosis hingga 1 g/hari selama 3 hari dan penurunan dosis selama 4-6 minggu. Kami melaporkan kasus seorang perempuan berusia 33 tahun didiagnosis dengan morbus hansen multibasiler dan menerima terapi multi drug therapy-multibasiler (MDT-MB) untuk bulan kedua. Enam minggu setelah memulai terapi, muncul demam dan kulit mengelupas di hampir seluruh tubuh. Pada pemeriksaan fisik, ditemukan beberapa makula eritematosa hingga hiperpigmentasi dengan skuama kasar dan krusta pada kulitnya. konjungtiva anemis, sklera subikterik, dan hepatomegali. Pada uji laboratorium didapatkan anemia, limfositosis, dan peningkatan enzim hati. Berdasarkan temuan klinis dan pemeriksaan penunjang, diagnosis sindrom hipersensitivitas dapson ditegakkan. Setelah penghentian dapson dan pemberian metilprednisolon oral 32 mg/hari yang diturunkan 8 mg setiap 2 minggu, temuan klinis dan laboratorium menunjukkan perbaikan. Manifestasi klinisnya dapat menyerupai alergi obat lain dan memiliki konsekuensi fatal jika tidak ditangani dengan benar.Kata kunci: sindrom hipersensitivitas dapson, morbus hansen multibasiler, kortikosteroid
Psoriasis Rupioid pada Pasien Pengidap Human Immunodeficiency Virus: Laporan Kasus Mellyanawati, .; Palimbong, Florencia; Kapantouw, Grace M.; Niode, Nurdjannah J.
Jurnal Biomedik : JBM Vol 11, No 3 (2019): JURNAL BIOMEDIK : JBM
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.11.3.2019.26333

Abstract

Abstract: Psoriasis can occur in patients with human immunodeficiency virus (HIV), but the clinical features are very unusual and difficult to establish as a diagnosis. One of the rare types of psoriasis is rupioid psoriasis that often occurs in immunocompromised patients marked with the presence of thick crusts in cone and limpet-like shapes. Definite diagnosis is usually made by performing a histo-pathological skin biopsy, and other supporting investigations to rule out differential diagnoses. The main therapy for psoriasis in HIV patients is phototherapy and antiretroviral drugs, besides that topical therapy and immunosuppressants should be considered according to the patients’ condition. We reported a male, aged 38 years, with complaints of thick crusts on the skin almost the entire body since 2 months ago, accompanied by a slight itchy feeling. On clinical examination, erythematous plaques were found accompanied by thick crusting with cone and limpet-like shapes. Anti-HIV was reactive, CD4 <200 cells/μL, and histopathology examination of skin biopsy led to the diagnosis of psoriasis. Based on these clinical findings and investigations, diagnosis of rupioid psoriasis was established. The patient showed significant improvement after being treated with symptomatic systemic drugs and topical steroids for 3 weeks.Keywords: rupioid psoriasis, human immunodeficiensy virus, topical steroid Abstrak: Psoriasis dapat terjadi pada pasien dengan human immunodeficiency virus (HIV), namun gambaran klinisnya sangat tidak khas dan sulit untuk didiagnosis. Salah satu tipe yang jarang dari psoriasis tersebut ialah psoriasis rupioid yang sering muncul pada pasien dengan imunokompromais, dengan gambaran klinis adanya krusta tebal berbentuk kerucut dan limpet. Diagnosis pasti biasanya ditegakkan dengan melakukan biopsi kulit histopatologik, dan pemeriksaan penunjang lainnya untuk menyingkirkan diagnosis banding. Terapi utama untuk psoriasis pada pengidap HIV yaitu fototerapi dan ARV. Pemberian terapi topikal dan imunosupresan perlu dipertimbangkan sesuai dengan kondisi pasien. Kami melaporkan kasus seorang laki-laki, berusia 38 tahun, dengan keluhan timbul keropeng tebal pada kulit hampir seluruh tubuh, sejak 2 bulan lalu disertai rasa sedikit gatal. Pada pemeriksaan klinis didapatkan adanya plak eritematosa yang disertai krusta tebal dengan bentuk kerucut dan limpet. Pemeriksaan anti HIV reaktif, CD4 <200 sel/μL, dan pemeriksaan biopsi kulit histopatologik mengarah ke diagnosis psoriasis. Berdasarkan temuan klinis dan pemeriksaan penunjang tersebut, diagnosis psoriasis rupioid ditegakkan. Pasien menunjukkan perbaikan nyata setelah diterapi dengan obat sistemik simptomatik dan topikal steroid selama 3 minggu.Kata kunci: psoriasis rupioid, HIV, topikal steroid
Improving community knowledge and motivation to vaccinate COVID-19 Etha Rambung; Mellyanawati Mellyanawati; Glory Ta’bi Palloan; Angelarita Djami Raga
Abdimas: Jurnal Pengabdian Masyarakat Universitas Merdeka Malang Vol 7, No 2 (2022): May 2022
Publisher : University of Merdeka Malang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26905/abdimas.v7i2.6470

Abstract

Vaccination against COVID-19 is the best option to prevent COVID-19. Therefore, the government continues to strive so that the entire community gets the COVID-19 vaccination to break the chain of transmission and at the same time form herd immunity. The coordinator of the congregation of the Oikos Prosevchomai church, Prambon Subdistrict, Sidoarjo Regency hopes that all congregations get vaccinated. However, there are still some members who are still hesitant to vaccinate because they do not understand the COVID-19 vaccine, the importance of following the COVID-19 vaccination, and implementing health protocols. Because accurate information about vaccination is inadequate, hoax news is circulating more. The purpose of this activity is to improve the knowledge and motivation of participants in preventing transmission and vaccination of COVID-19. The method of activity is education on the COVID-19 vaccine, training on how to carry out the correct health protocol, and consulting assistance on vaccinations. The results of the activity showed that education, training, and assistance for COVID-19 prevention and vaccination improved participants' knowledge and motivation toward vaccination and implementation of COVID-19 health protocols.
One Case Suspected Chronic Bullous Disease in Childhood Mellyanawati Mellyanawati
Jurnal Ilmiah Kedokteran Wijaya Kusuma Vol 10, No 2 (2021): SEPTEMBER 2021
Publisher : Universitas Wijaya Kusuma Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (406.546 KB) | DOI: 10.30742/jikw.v10i2.1364

Abstract

Penyakit bula pada anak sangat beraneka ragam, mulai dari yang paling sering adalah impetigo bulosa dan epidermolysis bulosa. Sedangkan penyakit bulosa lain pada anak yang lebih jarang dijumpai adalah penyakit bulosa linear IgA pada anak, pemfigoid bulosa dan sistemik lupus eritematosus bulosa. Salah satu varian dari penyakit bulosa linear Ig A pada anak adalah Chronic bullous disease in childhood (CBDC) yaitu suatu penyakit autoimun yang jarang dijumpai dan muncul pada usia prepubertas. Ciri khas dari penyakit ini adalah timbulnya lepuh yang muncul secara mendadak dan biasanya lesi yang baru muncul di sekitar lesi yang mulai sembuh dengan membentuk pola lingkaran (clusters of jewels) dan seringnya pasien disertai dengan rasa gatal. Untuk diagnosa pasti dari penyakit ini adalah dengan melakukan biopsi dan pemeriksaan imunofloresen direk. Terapi utamanya sendiri yaitu dapson dan sulfapiridin, sedangkan prednison dengan dosis rendah sebagai terapi tambahan lini pertama. Tujuan dari laporan kasus ini adalah ingin mengetahui efikasi dan efek samping dari pemberian oral steroid pada kasus dengan lesi bula yang diduga CBDC. Seorang anak laki-laki berusia 5 bulan, suku Jawa, datang ke poliklinik kulit dan kelamin Rumah Sakit Kandou dengan keluhan adanya bercak kemerahan yang disertai lenting berisi cairan jernih di hampir seluruh tubuh sejak kurang lebih 1 bulan yang lalu. Diagnosis pasti pada pasien ini masih belum dapat diketahui , namun diduga penyakit bula pada anak CBDC, dikarenakan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik saja,  karena keterbatasan alat dan keluarga pasien menolak untuk dilakukan pemeriksaan penunjang. Terapi diberikan dengan tujuan agar keluhan dari pasien dapat berkurang dan dengan efek samping yang minimal. Pemberian prednison oral yang diberikan secara tapering-off, ditambah dengan oral antihistamin dan topikal antibiotik dan steroid memberikan hasil yang cukup signifikan pada pasien. Kesimpulan walaupun sebenarnya penyakit ini dapat sembuh sendiri dalam hitungan bulan, namun dengan pemberian oral steroid dan antihistamin dengan kombinasi obat topikal dapat mempercepat proses penyembuhan pada pasien.
Pencegahan Sindrom Metabolik melalui Edukasi dan Pendampingan Mandiri kepada Komunitas GBI Diaspora Sejahtera Surabaya Imelda Ritunga; Jemima Lewi Santoso; Cempaka Harsa Sekarputri; Yahya Haryo Nugroho; Hernycane Sosilya; Johanes Tanzil; Mellyanawati; Elizabeth Sulastri Nugraheni; Nazwa Syahlimar Alkatiri; Shabila Ikha Pertiwi; Maynard Adam Liemdjaja
Jurnal Leverage, Engagement, Empowerment of Community (LeECOM) Vol. 6 No. 1 (2024): Jurnal Leverage, Engagement, Empowerment of Community (LeECOM)
Publisher : Universitas Ciputra Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37715/leecom.v6i1.4594

Abstract

Sindrom metabolik (SM) merupakan suatu kumpulan faktor risiko metabolik yang berkaitan langsung terhadap terjadinya penyakit kardiovaskular aterosklerosis. Tingginya penyebab kematian penyakit kardiovaskular dengan faktor risiko sindrom metabolik menjadi perhatian untuk dilakukan upaya pencegahan. Gereja Bethel Indonesia (GBI) Diaspora Sejahtera Surabaya memiliki visi membawa keselamatan bagi semua orang dengan filosofi memperhatikan keselamatan dan kebutuhan sesama. Salah satu kebutuhan saat ini adalah kesehatan jemaat. Banyaknya jumlah jemaat dan lansia berpotensi mengalami penurunan kesehatan akibat gangguan metabolisme. Risiko gangguan metabolisme kurang dipahami oleh masyarakat awam termasuk jemaat GBI Diaspora Sejahtera Surabaya. Permasalahan yang dihadapi jemaat di GBI Diaspora Sejahtera Surabaya adalah kurangnya pengetahuan tentang pencegahan dan penanganan penyakit akibat gangguan metabolisme. Solusi yang ditawarkan melalui pengabdian masyarakat di GBI Diaspora Sejahtera Surabaya adalah edukasi penyakit terkait akibat gangguan metabolisme, pemeriksaan darah yang meliputi kolesterol, asam urat, gula darah serta konsultasi, serta deteksi dini penyakit diabetes melalui pemberian buku diary metabolisme yang diumumkan kepada peserta. Buku harian metabolisme ini berisi informasi skrining, pencegahan, dan penanganan gangguan metabolisme. Capaian dari pengabdian masyarakat ini adalah meningkatnya pengetahuan komunitas terhadap sindrom metabolik dan upaya mandiri untuk mencegah sindrom metabolik.
Hubungan antara Faktor Sosiodemografi dan Personal Hygiene dengan Kejadian Skabies di Pondok Pesantren Putri Maharani Salsa Bilatussalama; Hanna Tabita Hasianna Silitonga; Mellyanawati; Minarni Wartiningsih
Jurnal Syntax Admiration Vol. 6 No. 1 (2025): Jurnal Syntax Admiration
Publisher : Syntax Corporation Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46799/jsa.v6i1.1983

Abstract

Scabies or scabies disease is a skin disease caused by the Sarcoptes scabiei mite which is characterized by symptoms of 4 cardinal signs. Transmitted through direct or indirect contact, can occur in densely populated environments and poor personal hygiene and sanitation. This study aims to determine the relationship between sociodemographic factors and personal hygiene with the incidence of scabies at the Ngalah Islamic boarding school, Pasuruan. This is a quantitative observational analytical study with a case control approach. The number of samples used was 64 respondents using the simple random sampling method. Primary data were obtained from questionnaires and interviews which showed that most respondents were in the case group with male gender (75.0%) and poor personal hygiene (81.3%). based on the Chi-Square statistical test <0.005 which means there is a significant relationship between sociodemographic factors and the incidence of scabies. However, the sleeping habits variable got the Chi-Square test results> 0.005, namely there was no significant relationship between sleeping habits and the incidence of scabies. In male gender and poor personal hygiene causes a person to have a high risk of being exposed to scabies skin disease.
Karakteristik dan Gambaran Perilaku Seksual Berisiko Pada Supir Ojek Online di Kota Surabaya Mellyanawati
Jurnal Kesehatan Ilmiah Aufa Royhan Vol 10 No 1 (2025): Vol. 10 No. 1 Juni 2025
Publisher : Universitas Aufa Royhan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51933/health.v10i1.2025

Abstract

Penularan HIV dapat terjadi melalui hubungan seks tanpa kondom. Tuntutan pekerjaan, kelelahan, kesepian, dan stres kerja dapat menyebabkan pengemudi ojek online rentan melakukan perilaku seksual berisiko di luar rumah dengan pasangan selain istri sah. Tujuan penelitian adalah mendeskripsikan gambaran perilaku seksual berisiko pada ojek online di kota Surabaya. Jenis penelitian ini adalah penelitian observasional dengan desain cross sectional. Subyek penelitian adalah 50 orang yang bekerja sebagai supir ojek online yang tersebar di lima wilayah kota surabaya dan diambil dengan metode accidental sampling. Penelitian menggunakan kuesioner dengan pertanyaan tertutup. Kuesioner berisikan pertanyaan tipe close-ended multiple choice. Data penelitian dianalisis dengan statistik deskriptif menggunakan software statistik JAMOVI. Hasil penelitian didapatkan rerata umur 38,02 tahun, telah menikah (84%), status pendidikan terakhir SMA/ SMK (76%), bekerja sebagai supir ojek online lebih dari 5 tahun (40%) dengan status pekerjaan tetap (74%), dan pendapatan 1-3 juta (62%). Responden pertama kali berhubungan seksual pada usia 15 tahun dan paling lambat di usia 34 tahun. Sebagian besar responden tidak melakukan hubungan seksual dengan berganti-ganti pasangan (94%), tidak berhubungan seks dengan pasangan tidak tetap (bukan pekerja seks) (94%) dan tidak menggunakan kondom (82%), tidak berhubungan seksual dengan pekerja seks (100%), tidak melakukan hubungan seks dengan sesama jenis (98%), tidak melakukan seks oral (74%) dan seks anal (100%), tidak mengalami penyakit menular seksual dalam 1 bulan terakhir (100%). Edukasi pencegahan penyakit infeksi menular seksual perlu diberikan kepada setiap orang yang akan mendaftar atau telah bekerja sebagai pengemudi ojek online.
“SEHATKU” BOOK MODIFICATION FOR DISEASE PREVENTION IN THE SURABAYA DIASPORA COMMUNITY Ritunga, Imelda; Setijowati, Nanik; Mellyanawati, Mellyanawati; Santoso, Jemima Lewi; Wartiningsih, Minarni; Jasin, Jessica Lingga; Soplantila, Chelsy Gravia; Maelo, Clara Angraini; Paskadita, Nafiri Eldya; Himawan, Asavita Rhena; Wilmida, Anggun Diah; Zhakia, Jelita Zhufatul; Pardosi, Delima Silvani; Mahulette, Aisyah Nurulhisa
Abdi Dosen : Jurnal Pengabdian Pada Masyarakat Vol. 9 No. 3 (2025): SEPTEMBER
Publisher : LPPM Univ. Ibn Khaldun Bogor

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32832/abdidos.v9i3.3062

Abstract

The epidemiological shift from communicable to non-communicable diseases poses a significant challenge in today’s health development efforts. Preventing chronic diseases has become a shared priority, one of which is through routine health screenings. The large number of adult and elderly members in the GBI Diaspora community highlights the need for health examinations as a concrete step in disease prevention. Psychological and financial barriers, along with often-overlooked documentation issues, can hinder individuals from undergoing health checks. A health record system was proposed as a solution through a mini project at GBI Diaspora Sejahtera Surabaya, delivered alongside health screening activities. The implementation involved collaboration and coordination in designing the “SEHATKU” pocketbook, which was distributed during the screenings. A total of 71 GBI Diaspora participants underwent health screenings and received the “SEHATKU” pocketbook as a tool for recording results and providing education. Post-activity questionnaires completed by 65 participants showed that more than 50% demonstrated increased knowledge and awareness of the importance of regular health check-ups. With the use of the “SEHATKU” pocketbook, proper documentation supports ongoing individual health monitoring within the community. Regular health screenings accompanied by the distribution of the “SEHATKU” pocketbook represent a promotive and preventive measure for non-communicable disease prevention at the primary care level.
KASUS HERPES ZOSTER TORAKALIS DEKSTRA PADA PASIEN COVID 19 TERKONFIRMASI mellyanawati, mellyanawati
PREPOTIF : JURNAL KESEHATAN MASYARAKAT Vol. 8 No. 2 (2024): AGUSTUS 2024
Publisher : Universitas Pahlawan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31004/prepotif.v8i2.28151

Abstract

Herpes zoster adalah salah satu jenis virus herpes yang disebabkan oleh reaktivasi virus varicella zoster (VZV) di ganglion saraf sensorik posterior. Biasanya terjadi pada usia 60 tahun. Virus ini ditularkan melalui unit seluler VZV tertentu, yang merupakan jenis yang paling umum. Herpes zoster ditemukan di daerah toraks, serviks, oftalmik, dan lumbosakral. Pandemi COVID-19 yang disebabkan oleh virus SARS-CoV-2 telah menyebabkan peningkatan signifikan gejala terkait herpes zoster. Gejala biasanya dimulai dengan kelemahan prodromal yang terjadi 1 bulan sebelum lesi kulit muncul. Diagnosis herpes zoster dan Covid-19 ditegakkan melalui kasus herpes zoster thoracal dextra di Manado. Kasus ini melibatkan pasien dengan riwayat ketahanan parah, pneumonia, dan asma bronkial. Pasien tersebut didiagnosis mengidap COVID-19 dan telah diobati dengan antibiotik serta usap PCR. Pemeriksaan fisik pasien meliputi berat badan normal, indeks massa tubuh sehat, dan suhu 36,5 ºC. Penatalaksanaan kasus ini berupa antivirus (asiklovir), anti nyeri (gabapentin), dan topikal (kompres NaCl, bedak salisil 2% dan asam fusidat krim). Prognosis pada pasien ini quo ad vitam bonam, quo ad functionam dubia ad bonam, serta quo ad sanationam bonam.
GAMBARAN KOMPONEN PENGATURAN DIRI MAHASISWA FAKULTAS KEDOKTERAN SEMESTER SATU Nugraheni, Elizabeth Sulastri; Ritunga, Imelda; Rambung, Etha; Mellyanawati
PREPOTIF : JURNAL KESEHATAN MASYARAKAT Vol. 8 No. 2 (2024): AGUSTUS 2024
Publisher : Universitas Pahlawan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31004/prepotif.v8i2.32074

Abstract

Mahasiswa kedokteran tidak hanya belajar prinsip-prinsip ilmiah tetapi juga membangun keterampilan penalaran, penyusunan, dan penyampaian konsep yang jelas mengenai fakta-fakta relevan. Mereka diharapkan memiliki kemampuan berpikir yang berkembang dengan cepat, terutama mengingat dinamika bidang kedokteran yang terus berubah dan meluas. Selain itu mahasiswa semester satu kedokteran, akan menghadapi perubahan besar dalam cara pengajaran dari pedagogik ke andragogik. Transisi ini memerlukan proses adaptasi. Oleh karena itu, penting bagi mahasiswa untuk mengadopsi self-regulated learning (SRL), di mana mereka mengelola proses belajar mereka sendiri dengan efektif untuk menghadapi tuntutan kurikulum yang intens dan kompleks di bidang kedokteran. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran faktor-faktor pengaturan diri mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Ciputra (FKUC) semester satu. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif observational dengan jumlah sampel 37 orang mahasiswa FKUC semester satu. Penelitian menggunakan kuesioner self assessment study strategy LASSI (Learning    and    Study    Strategies    Inventory), yang dikerjakan secara daring melalui tautan khusus. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa 48,6 % mahasiswa FKUC semester satu memiliki skor regulasi diri < 50, sebanyak 39,2 % mahasiswa memiliki skor 50-75, dan 12,2 % mahaiswa memiliki skor > 75. Penelitian ini menunjukkan bahwa mahasiswa FKUC semester satu dan dibantu oleh institusi wajib mengembangkan keterampilan regulasi dirinya agar dapat mencapai potensi akademik yang optimal.