Claim Missing Document
Check
Articles

Found 6 Documents
Search

Urgensi Prinsip Dalam Pengembangan Hukum di Bidang Mu’amalah, Ekonomi, Perbankan, dan Keuangan Syariah Maulida, Sri; al-Amruzi, M. Fahmi; Hasan, Ahmadi
Al-Azhar Islamic Law Review VOLUME 2 NOMOR 2, JULI 2020
Publisher : Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al-Azhar Gowa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37146/ailrev.v2i2.28

Abstract

Perkembangan industri keuangan, khususunya keuangan syariah secara informal telah dimulai sebelum dikeluarkannya kerangka hukum formal sebagai landasan operasional perbankan syariah di Indonesia. Dengan perkembangan tersebut produk keuangan syariah juga terus berkembang, namun terdapat beberapa kasus produk keuangan syariah tidak sesuai SOP dan peraturan fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), sedangkan di Indonesia harus melalui persetujusn DSN MUI. Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah dan dan tujuan penulisan terhadap ini adalah untuk membahas mengenai bagaiaman urgensi prinsip dalam mengembangkan ekonomi syariah. Dalam mengembangkan Hukum dalam keuangan syariah ada prinsip yang menjadi pedoman pengembangannya, yaitu prinsip dasar ekonomi Islam dan prinsip Derivatif. Prinsip dasar ekonomi Islam adalah Tauhid (keesaan Tuhan), ‘Adl (keadilan), Nubuwwah (kenabian), Khilafah (pemerintahan), dan Ma’ad (hasil). Sedangkan untuk prinsip Derivatif yaitu, Multitype Ownership (kepemilikan multijenis), Freedom to act (Kebebasan bertindak atau berusaha), dan Social Justice (Keadilan Sosial).
Problematika Hak Asuh Anak Pasca Putusan Perceraian di Pengadilan Agama (Studi Kasus Nomor 342/PDT.G/2020/PA.MTP Jo Putusan Banding Nomor 32/PDT.G/2020/PTA.BJM Jo Putusan Kasasi Nomor 392 K/AG/2021) Noor, Fitrian; Al-Amruzi, M. Fahmi; Hasan, Ahmadi
Al Qalam: Jurnal Ilmiah Keagamaan dan Kemasyarakatan Vol. 17, No 6 : Al Qalam (November 2023)
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Al-Qur'an (STIQ) Amuntai Kalimantan Selatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35931/aq.v17i6.2808

Abstract

Artikel ini bertujuan mengetahui problematika eksekusi putusan hak asuh anak dalam putusan perceraian di pengadilan agama. Anak adalah korban dalam perceraian kedua orang tuanya termasuk dalam menikmati kecukupan kebutuhan pendidikan, kesehatan, pangan dan kasih sayang. Dalam Pasal 105 menyatakan bahwa dalam hal terjadi perceraian maka anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya, sedangkan apabila anak tersebut sudah mumayiz maka anak tersebut berhak memilih, dan biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya. Hal ini menyebabkan sering terjadinya problematika di lapangan manakala putusan hak asuh anak diputuskan kepada ibunya. Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yang bersifat preskriptif. Pendekatan penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach). Teknik pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan bahan hukum dengan studi dokumen atau bahan pustaka. Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa ada problematika eksekusi anak yaitu: 1) anak yang belum mumayiz tersebut sudah dekat dengan ayah dan keluarganya, 2) anak tersebut dipindahkan dari lokasi tempat tinggal ayah, sehingga harus melibatkan banyak pihak untuk melacaknya, 3) ibu yang mendapatkan hak asuh anak tersebut kurang melakukan pendekatan secara personal kepada anak, 4) pihak lawan (eks suami) menghalang-halangi proses eksekusi tersebut dengan melakukan perlawanan. Saran dari penelitian ini adalah dengan menerapkan join custody atau shared parenting dalam kehidupan anak pasca perceraian kedua orang tuanya.
Analisis Tafsir dan Fikih tentang Pertengkaran Terus Menerus dan Syiqaq sebagai Alasan Perceraian Farhat, Ahmad; al-Amruzi, M. Fahmi; Sarmadi, A. Sukris
Al Qalam: Jurnal Ilmiah Keagamaan dan Kemasyarakatan Vol. 19, No. 1 : Al Qalam (Januari 2025)
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Al-Qur'an (STIQ) Amuntai Kalimantan Selatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35931/aq.v19i1.4321

Abstract

Artikel ini membahas analisis tafsir dan fikih mengenai pertengkaran terus-menerus dan syiqāq sebagai alasan perceraian. Penelitian ini menyoroti pengertian dan ruang lingkup syiqāq melalui tafsir Al-Qur’an serta prinsip-prinsip fikih, serta evaluasi ketentuan hukum yang berlaku, terutama dalam konteks Pasal 19 huruf f Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo. Pasal 116 huruf f Kompilasi Hukum Islam. Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan, dengan pendekatan doktrinal dan perundang-undangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara teoritik dan praktek pengaturan dalam Buku II huruf b yang memisahkan antara pertengkaran terus menerus dengan syiqāq tersebut sarat dengan problematika hukum. Dalam tinjauan berbagai pendekatan dan teori analisis, yaitu melalui pendekatan tafsir Al-Qur’an dan fiqih, melalui teori mashlahat, teori maqashid syariah dan teori sinkronisasi hukum, pemisahan tersebut tidak tepat dan berakibat kepada ketidaksinkronan dalam praktek hukum penanganan perkara perceraian dengan alasan pertengkaran terus-menerus. Karena itu dalam rangka memberikan solusi atas problematika hukum tersebut ketentuan dalam Buku II huruf b tersebut harus ditinjau ulang dan dilakukan rekonstruksi hukum. Perubahan/ revisi terhadap Buku II/SEMA Nomor 7/2015 yang mengatur penangan perkara cerai gugat dengan alasan syiqaq harus diajukan sejak awal gugatan diajukan, bukan perkara pertengkaran yang kemudian syiqaq-kan. Dirubah/direvisi  menjadi kewenangan untuk menilai syiqaq atau tidaknya sepenuhnya menjadi kewenangan hakim.
Mass Marriage Matchmaking at Pesantren: An Integration of Hadith and Sociological Perspectives Kusnadi, Kusnadi; Al-Amruzi, M. Fahmi; Adawiyah, Rabiatul; Herianto, Herianto
KARSA Journal of Social and Islamic Culture Vol. 33 No. 1 (2025)
Publisher : Universitas Islam Negeri Madura

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.19105/karsa.v33i1.18342

Abstract

Marriage in Islamic boarding schools plays a crucial role in shaping students’ religious, social, and moral character. At Pondok Pesantren Hidayatullah Balikpapan, marriage is part of the developmental program for mentally and spiritually prepared students. A distinctive feature is the absence of direct acquaintance between prospective spouses; sometimes, they only view each other’s photographs during administrative procedures. This study aims to understand the matchmaking mechanism at Pesantren Hidayatullah Balikpapan and analyze it from the perspectives of hadith and sociology. This research adopts a qualitative phenomenological approach. Data were collected on-site at Pondok Pesantren Hidayatullah Balikpapan through in-depth interviews, participant observation, and literature review. Purposive sampling was employed to select key informants. Data analysis involved data reduction, information simplification, and conclusion drawing. The study reveals three main findings. First, the initial mass marriage practice proceeded without a taaruf process, with the pesantren directly assigning couples. Second, over time, acquaintances via photographs emerged before the solemnization, and some students began proposing independently. Third, based on hadith, taaruf and viewing one’s prospective spouse are encouraged to foster family harmony. From a sociological standpoint, using Talcott Parsons’s AGIL framework, the practice without taaruf remains effective through social norm adaptation, collective goal attainment, structural integration, and preservation of the Pesantren’s traditional values.
Rekontruksi Konsep Balanja al-Nikāḥ dalam Adat Pernikahan Masyarakat Banjar: Analisis Alasan Hukum Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari dalam Kitāb al-Nikāḥ Muzainah, Gusti; Hafidzi, Anwar; al-Amruzi, M. Fahmi
Journal of Islamic Law Vol. 6 No. 2 (2025): Journal of Islamic Law
Publisher : Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Pontianak

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24260/jil.v6i2.4888

Abstract

The practice of wealth transfer beyond the obligatory mahr (dower) in customary marriage represents a complex socio-legal phenomenon, as it holds not only symbolic significance but also directly impacts gender relations, household economic responsibilities, and the perpetuation of social hierarchies. Within the Banjarese community of South Kalimantan, this practice is institutionalized through the tradition of jujuran, which involves the groom’s family transferring money and personal items to the bride before the marriage contract. Originally intended to support wedding expenses, provide initial capital for household establishment, and demonstrate respect toward the bride’s family, this practice frequently evolves into a transactional burden that may delay or even obstruct marriage. This article examines the Islamic legal thought of Muhammad Arsyad al-Banjari regarding balanja al-nikāḥ as articulated in his work Kitāb al-Nikāḥ. Employing library research with a normative-historical approach, the study reveals that Arsyad al-Banjari categorized balanja al-nikāḥ into three financial components: mahr as a religious obligation, and clothing and maintenance as social obligations institutionalized through the jujuran tradition. The groom’s ability to fulfill these components determines the legal status of the marriage: it is considered sunnah (recommended) if fulfilled and makrūh (reprehensible) if not. These findings indicate that Arsyad al-Banjari adopted a strategy of moderate reform by redefining jujuran as a form of gift and solidarity rather than as a prerequisite for the validity of marriage. This approach provides a model for harmonizing Islamic law and custom within the framework of legal pluralism. It offers a normative foundation for reformulating customary marriage practices in a manner that is more equitable, proportional, and consistent with the objectives of Islamic law (maqāṣid al-sharīʿah). [Praktik pemberian harta di luar kewajiban mahar dalam perkawinan adat merupakan fenomena sosio-legal yang kompleks karena tidak hanya bersifat simbolik, tetapi juga membawa implikasi langsung terhadap relasi gender, beban ekonomi keluarga, dan reproduksi hierarki sosial. Dalam masyarakat Banjar di Kalimantan Selatan, praktik ini dilembagakan melalui tradisi jujuran—penyerahan sejumlah uang dan perlengkapan pribadi calon mempelai perempuan oleh pihak laki-laki sebelum akad nikah—yang pada mulanya dimaksudkan untuk membantu biaya resepsi, menyediakan modal awal rumah tangga, serta menjadi simbol kehormatan bagi keluarga perempuan, namun dalam praktik sering berkembang menjadi beban transaksional yang berpotensi menunda bahkan menghalangi perkawinan. Artikel ini menganalisis pemikiran hukum Islam Muhammad Arsyad al-Banjari mengenai balanja al-nikāḥ dalam karyanya yang berjudul Kitāb al-Nikāḥ. Dengan menggunakan metode penelitian kepustakaan dan pendekatan normatif-historis, penelitian ini menemukan bahwa Arsyad al-Banjari mengklasifikasikan balanja al-nikāḥ ke dalam tiga komponen finansial—mahar sebagai kewajiban syariat, serta pakaian dan nafkah sebagai kewajiban sosial yang dilembagakan melalui tradisi jujuran. Kemampuan calon suami memenuhi ketiganya menentukan status hukum perkawinan: sunah bila terpenuhi dan makruh bila tidak. Temuan ini menunjukkan bahwa Arsyad al-Banjari menerapkan strategi reformasi moderat dengan menegaskan jujuran sebagai hibah dan bentuk solidaritas, bukan syarat sah akad nikah, sehingga menghadirkan model harmonisasi antara hukum Islam dan adat dalam kerangka pluralisme hukum serta memberikan dasar normatif bagi reformulasi praktik perkawinan adat yang lebih adil, proporsional, dan sejalan dengan maqāṣid al-sharīʿah.]
Legal Reformulation of Religious Court Divorce Decisions in Indonesia Due to Religious Conversion (Apostasy) Based on Unification and Principles of Islamic Law Formation Annas, Syaiful; Al-Amruzi, M. Fahmi; Muzainah, Gusti
Pena Justisia: Media Komunikasi dan Kajian Hukum Vol. 24 No. 1 (2025): Pena Justisia
Publisher : Faculty of Law, Universitas Pekalongan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31941/pj.v24i2.6191

Abstract

Religious Courts as a manifestation of Islamic justice is reflected in its decisions that make Islamic law (fiqh) as a reference to its legal considerations. The difference in opinion of fiqh scholars regarding the application of divorce mechanisms due to the religious conversion of one of the parties, has implications for the birth of disparities in religious court decisions due to the absence of legal unification so as not to guarantee the realisation of justice, certainty and legal expediency in the decision. This research aims to explore and analyse the disparity in religious court decisions and to reformulate the law that is more appropriate in applying the divorce mechanism due to the religious conversion of one of the parties. This research is normative legal research, which is qualitative and uses a philosophical approach. The importance of legal unification so that there is no disparity in decisions will ensure the realisation of justice, certainty, and expediency, Moreover, religious court decisions as a manifestation of Islamic judicial decisions will become law for the community, therefore, it must also consider the principles in the formation of Islamic law