Rahmawati, Fita
Department Of Pharmacology And Clinical Pharmacy, Faculty Of Pharmacy, Universitas Gadjah Mada, Sekip Utara, Yogyakarta, Indonesia 55281

Published : 21 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 21 Documents
Search

Hubungan Drug Related Problems (DRPs) dan Outcome Pengobatan Pada Pasien Tuberkulosis Dengan Diabetes Melitus Tista Ayu Fortuna; Fita Rahmawati; Nanang Munif Yasin
JURNAL MANAJEMEN DAN PELAYANAN FARMASI (Journal of Management and Pharmacy Practice) Vol 11, No 2
Publisher : Faculty of Pharmacy, Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22146/jmpf.62602

Abstract

Tuberkulosis dan Diabetes adalah kondisi penyakit yang saling berkaitan sehingga diperlukan terapi agresif untuk mengatasinya. Adanya Drug Related Problems (DRPs) yang terjadi dapat mempengaruhi outcome pengobatan pasien Tuberkulosis-Diabetes Mellitus (TB-DM). Penelitian bertujuan untuk menganalisis hubungan terjadinya DRPs dan outcome pengobatan pasien TB-DM. Penelitian menggunakan rancangan kohort retrospektif. Pengambilan sampel dilakukan menggunakan consecutive sampling  melalui catatan rekam medik pasien TB-DM pada 9 Puskesmas di Kota Malang. Sejumlah 100 kasus pasien TB-DM yang menjalani pengobatan  tahun 2017 hingga 2020 yang memenuhi kriteria inklusi selanjutnya  dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok yang mengalami DRPs dan kelompok pasien yang tidak mengalami DRPs sejumlah masing-masing 48 pasien dan 52 pasien. Jenis DRPs mengikuti klasifikasi Cipolle 2004. Outcome pengobatan dinilai berdasarkan hasil tes BTA (Bakteri Tahan Asam) pada akhir masa pengobatan bulan kedua. Analisis data menggunakan statistik Chis-quare dilanjutkan analisis multivariat untuk menganalisis adanya variabel perancu yang diprediksikan dapat mempengaruhi outcome pengobatan pada penelitian ini. Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan antara kejadian DRPs dan outcome pengobatan pasien (p-value <0,05). Pasien dengan DRPs 5,41 kali lebih beresiko mengalami kegagalan terapi dibandingkan dengan pasien yang tidak mengalami DRPs (RR 5,417; 95% CI, 1,994-14,713). Keterlibatan farmasi klinis sangat diperlukan untuk mencegah dan menyelesaikan masalah terkait obat serta monitoring pengobatan pada pasien TB-DM yang ada di Puskesmas sehingga luaran pengobatan menjadi optimal
Hubungan Penggunaan Antihipertensi Terhadap Rekurensi pada Pasien Kanker Payudara non Metastasis Widyaningrum Utami; Kartika Widayati; Fita Rahmawati
Majalah Farmaseutik Vol 16, No 2 (2020)
Publisher : Faculty of Pharmacy, Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (371.558 KB) | DOI: 10.22146/farmaseutik.v16i2.48603

Abstract

Hipertensi merupakan jenis komorbid yang sering terjadi pada pasien kanker payudara. Beberapa penelitian sebelumnya menunjukan adanya hubungan antara antihipertensi terhadap kekambuhan (rekurensi) pasien kanker payudara, namun hasilnya belum konsisten. Tujuan penelitian untuk mengetahui hubungan antara penggunaan antihipertensi terhadap kejadian atau waktu rekurensi pada pasien kanker payudara.Penelitian menggunakan desain cohort resrosppective dengan melibatkan pasien sejumlah 120 penderita kanker payudara non metastasis terbagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok yang menggunakan antihipertensi (60 pasien) dan kelompok yang tidak menggunakan antihipertensi (60 pasien) yang memenuhi kriteria inklusi di RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta. Sumber data penelitian diperoleh dari rekam medik pasien tahun 2015 sampai 2018. Hubungan antara antihipertensi terhadap rekurensi dianalisis menggunakan Chi-square kemudian dilanjutkan dengan analisis survival dengan Kaplan-Meier dan cox-regresion. Waktu terjadinya rekurensi ditentukan dari waktu antara diagnosis dengan saat terjadinya sel kanker payudara yang tumbuh kembali. Hasil penelitian menunjukkan tidak terdapat hubungan antara obat antihipertensi dengan kejadian rekurensi pada pasien kanker payudara (HR 1.341; 95%CI 0.632-2.848, log rank test P=0.444). Begitu pula dengan jenis obat antihipertensi (ARB, CCB dan kombinasi keduanya) juga tidak berhubungan dengan kejadian rekurensi (p=0.279). Namun terdapat perbedaan mean recurrence time yaitu 40 bulan pada pasien kanker payudara dengan antihipertensi ARB tunggal (HR=1.427; 95%CI=0.527-3.859), 57 bulan dengan antihipertensi CCB tunggal (HR=0.696; 95%CI=0.257-1.884), dan 58.65 bulan dengan antihipertensi kombinasi.
Penyesuaian Dosis Obat pada Pasien Gagal Ginjal Kronis Rawat Inap di Rumah Sakit Kabupaten Tegal, Indonesia Santi Andriani; Fita Rahmawati; Tri Murti Andayani
Majalah Farmaseutik Vol 17, No 1 (2021)
Publisher : Faculty of Pharmacy, Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22146/farmaseutik.v17i1.48683

Abstract

Pemberian obat dengan dosis sesuai pada pasien Chronic Kidney Disease  (CKD ) penting dilakukan, salah satunya untuk memastikan luaran terapi obat yang optimal. Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan antara dose adjustment obat dan luaran terapi serta efisiensi biaya terapi obat dengan adanya dose adjustment pada pasien rawat inap dengan CKD.Jenis penelitian ini observasional dengan desain cross sectional. Sebanyak 200 rekam medis pasien rawat inap dengan CKD periode Januari – Desember 2017 di RSUD dr. Soeselo dan RSUD Suradadi Kabupaten Tegal dilibatkan dalam penelitian ini. Dose adjustment dihitung berdasarkan fungsi ginjal pasien, yang diestimasikan dengan laju filtrasi glomerular menggunakan formula Cockcroft-Gault. Hubungan antara dose adjustment obat dan luaran terapi menggunakan analisis Chi-square.Hasil penelitian menunjukkan terdapat 1882 obat yang diresepkan, 338 (17,93%) obat memerlukan dose adjustment pada pasien CKD. Dari  obat tersebut, 175 (51,78%) obat diberikan dengan dose adjustment,  sejumlah 118 (67,43%) obat menghasilkan luaran terapi membaik , 23 (15,52%)  obat tidak membaik  dan 34 (19,43%) obat tidak dapat dievaluasi. Sedangkan dari 163 obat tanpa dose adjustment, 103 (63,19%) obat menghasilkan luaran terapi membaik dan 40 (24,54%) obat tidak membaik dan 20 (12,27%) obat tidak dapat dievaluasi. Terdapat hubungan yang signifikan antara dose adjustment dengan luaran terapi obat pada pasien rawat inap dengan CKD (OR 1,922, 95% CI = 1,119-3,548, p= 0,018). Efisiensi biaya yang dapat dihasilkan dengan adanya dose adjusment pada penelitian ini sebesar Rp. 1.620.588,00.
Kepatuhan Penggunaan Obat pada Komunitas Pasien Lanjut Usia Dengan Penyakit Kronis di Kecamatan Muntilan Jawa Tengah Emerentiana Wikan; Fita Rahmawati; Izyan Abdul Wahab
Majalah Farmaseutik Vol 17, No 1 (2021)
Publisher : Faculty of Pharmacy, Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22146/farmaseutik.v17i1.49088

Abstract

Pasien lanjut usia dengan penyakit kronis yang mendapatkan terapi jangka panjang, memiliki risiko lebih tinggi untuk tidak patuh. Kepatuhan mempunyai arti penting untuk memastikan manfaat terapeutik diterima oleh pasien. Namun, kepatuhan terhadap obat selalu menjadi masalah, terutama di kalangan orang tua. Pasien lanjut usia dengan komorbiditas multipel, memiliki risiko ketidakpatuhan yang lebih tinggi karena mereka menerima lebih dari satu macam obat. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi tingkat kepatuhan pengobatan pada pasien lanjut usia dengan penyakit kronis. Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional observasional yang dilakukan selama bulan April - Juni 2019. Pengumpulan data dilakukan secara purposive sampling yang melibatkan 182 pasien lanjut usia suku Jawa di Kecamatan Muntilan, Jawa Tengah. Metode pill count digunakan untuk mengukur kepatuhan pasien. Pasien dengan tingkat kepatuhan rata-rata < 80 % dikategorikan sebagai tidak patuh. Hubungan antara faktor pasien lanjut usia dengan tingkat kepatuhan minum obat dianalisis menggunakan regresi sederhana. Dari hasil penelitian diperoleh tingkat kepatuhan pasien lanjut usia terhadap terapi penyakit kronis dikategorikan tidak patuh dengan rata-rata 65,53 % ± 26,86%, sementara faktor demografis dan faktor klinik lainnya dari pasien lanjut usia tidak terkait. Kesimpulan dari penelitian ini adalah kepatuhan minum obat pada pasien usia lanjut suku Jawa dikategorikan tidak patuh.
Evaluasi Regimen Dosis Amikasin dan Kejadian Efek Nefrotoksik Pada Penggunaan Antibiotik Amikasin di Rumah Sakit Yogyakarta Siti Rouchmana; Djoko Wahyono; Fita Rahmawati
Majalah Farmaseutik Vol 17, No 3 (2021)
Publisher : Faculty of Pharmacy, Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22146/farmaseutik.v1i1.60590

Abstract

Amikasin merupakan antimikroba golongan aminoglikosida yang efektif terhadap kuman gram negatif, namun memiliki efek samping pada ginjal (nefrotoksik). Pengaturan dosis yang tepat diperlukan untuk meminimalisir efek samping tersebut namun memberikan efek terapi yang maksimum. Penelitian bertujuan mengidentifikasi profil rasionalitas dosis amikasin dan mengetahui hubungan rasionalitas dosis amikasin dengan kejadian nefrotoksik pada pasien di rumah sakit di Yogyakarta. Penelitian ini menggunakan rancangan cohort retrospective dengan penelusuran data rekam medis pasien yang menjalani rawat inap tahun 2017-2018 dari dua rumah sakit di Yogyakarta (RS Bethesda Yogyakarta dan RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta) sejumlah 80 subjek. Kriteria subyek penelitian meliputi rekam medis pasien yang menggunakan antibiotik amikasin minimal selama 3 hari, terdapat informasi serum kreatinin minimal 2 kali yaitu sebelum dan selama atau sesudah mendapatkan terapi amikasin. Penentuan rasionalitas dosis amikasin berdasarkan rumus perhitungan Giusty Huyton dan referensi DIH (Drug Information Handbook). Data dianalisis secara statistik menggunakan uji Chi-square atau uji Fisher.  Hasil penelitian mendapatkan 43 (53,75%) pasien mendapatkan antibiotik amikasin dengan dosis rasional dan efek nefrotoksik ditemukan pada 6 pasien. Rasionalitas pendosisan amikasin tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan efek nefrotoksik (p=1,000). Berdasarkan hasil penelitian, perlunya peningkatan keterlibatan farmasis dalam penentuan dosis obat secara rasional masih diperlukan untuk meminimalisir kejadian efek samping obat yang tidak diharapkan mellaui pemantauan kadar serum kreatinin pasien selama penggunaan antibiotik aminoglikosida.
KAJIAN DRUG RELATED PROBLEMs PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN PEDIATRIK DI RSUD KOTA SEMARANG Willi Wahyu Timur; Lukman Hakim; Fita Rahmawati
Jurnal Farmasi Sains dan Praktis Vol 3 No 2 (2017)
Publisher : Universitas Muhammadiyah Magelang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31603/pharmacy.v3i2.1744

Abstract

Drug Related Problems (DRPs) merupakan masalah yang berhubungan dengan obat yang banyak terjadi di pelayanan kesehatan. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui profil kejadian DRPs, profil antibiotik yang mengalami DRPs, dan hubungan antara Drug Related Problems penggunaan antibiotik dengan luaran terapi. Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan rancangan retrospective cohort study. Subyek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi sebanyak 128 pasien, dimana terdapat 78 kejadian drug related problems pada 64 pasien dengan rincian sebagai berikut; indikasi tanpa obat 0 kejadian, obat tanpa indikasi yang sesuai 5 kejadian (6,41%), pemberian obat tidak tepat 1 kejadian (1,28%), dosis kurang 17 kejadian (21,79%), dosis lebih 7 kejadian (8,97%), adverse drug reaction 14 kejadian (17,95%), interaksi obat 33 kejadian (42,32%), dan kegagalan menerima obat 1 kejadian (1,28%). Terdapat dua antibiotik yang paling banyak mengalami DRPs, yaitu ceftriaxon dan cefotaxim. Pada uji Chi square didapatkan tidak ada hubungan antara jumlah kejadian DRPs terhadap luaran terapi dan lama waktu rawat inap (p>0,05).
Kontaminasi Bakteri Pada Pencampuran Sediaan Intravena dan Lingkungan Pencampuran Sediaan Intravena di Rumah Sakit Meilia Nhadia Amalia; Fita Rahmawati; Titik Nuryastuti
Majalah Farmaseutik Vol 18, No 4 (2022): in press
Publisher : Faculty of Pharmacy, Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22146/farmaseutik.v18i4.66407

Abstract

Pencampuran sediaan intravena yang tidak dilakukan secara aseptik berisiko tinggi menyebabkan infeksi nosokomial karena adanya kontaminasi bakteri. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis bakteri yang mengontaminasi sediaan intravena dan lingkungan pencampuran sediaan intravena. Penelitian ini dilakukan di RS Akademik UGM menggunakan desain cross sectional. Sejumlah 9 sampel uji kontaminasi bakteri yang terdiri dari 3 sampel sediaan intravena yang dicampurkan personel dari dua ruangan bangsal perawatan dan area Laminar Air Flow (LAF), sebanyak 4 sampel berupa bakteri dari swab telapak tangan dan mukosa hidung dari dua personel sebelum melakukan cuci tangan, dan 2 sampel berupa bakteri dari swab lingkungan pencampuran sediaan intravena. Kontaminasi bakteri dilihat melalui uji sterilitas metode inokulasi langsung dan identifikasi bakteri menggunakan reagen kit Analytical Profile Index (API) untuk bakteri gram negatif dan BBL Crystal untuk bakteri gram positif. Hasil penelitian ini tidak terdapat kontaminasi bakteri pada sediaan pencampuran intravena yang diuji sterilitasnya. Hasil swab tangan kedua personel ditemukan bakteri Staphylococcus epidermidis. Hasil swab mukosa hidung personel ditemukan bakteri Corynebacterium spp., Klebsiella pneumoniae, Kytococcus sedentarius, dan Staphylococcus epidermidis. Hasil swab lingkungan pada bangsal perawatan ditemukan bakteri Kytococcus sedentarius dan Staphylococcus epidermidis sedangkan di area clean room tidak ditemukan bakteri. Kontaminasi bakteri yang ditemukan bersifat patogen dan non patogen sehingga kebersihan personel maupun lingkungan perlu diperhatikan dalam proses pencampuran sediaan intravena
Gambaran Tingkat Pengetahuan pada Pasien yang Mendapatkan Terapi Warfarin Lina Wati Lubis; Fita Rahmawati; I Dewa Putu Pramantara
Majalah Farmaseutik Vol 18, No 4 (2022): in press
Publisher : Faculty of Pharmacy, Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22146/farmaseutik.v18i4.66925

Abstract

Keberhasilan penggunaan warfarin yang aman dan efektif dapat dicapai melalui pemberian informasi dan edukasi yang relevan sesuai dengan kebutuhan pasien. Informasi mengenai sejauh mana pemahaman pasien terhadap obat warfarin sangat diperlukan. Penelitian bertujuan mengidentifikasi tingkat pengetahuan pasien mengenai penggunaan obat antikoagulan warfarin. Penelitian ini merupakan studi prospektif cross-sectional yang melibatkan 83 pasien yang mendapatkan terapi warfarin di dua instalasi rawat jalan rumah sakit pemerintah. Modifikasi Oral Anticoagulant Knowledge (MOAK) yang telah reliabel dan valid digunakan untuk menilai pengetahuan pasien tentang warfarin. Hasil penelitian menunjukkan tingkat pengetahuan pasien tergolong rendah dengan rerata skor pengetahuan 28,5% (SD±19,07). Sejumlah 11 responden (13,3%) memiliki kategori rendah (rerata skor MOAK > 50%), 70 responden (84,3%) memiliki pengetahuan kategori sedang (rerata skor MOAK 50%-30%), dan 2 responden (2,4%) memiliki kategori baik (rerata skor MOAK < 30%). Pengetahuan yang paling dikuasai oleh pasien adalah pengetahuan mengenai indikasi obat warfarin (82,85%) sementara itu pengetahuan terendah adalah pada pertanyaan mengenai interaksi obat warfarin dengan vitamin K (12,85%) dan cara melakukan diet selama mengkonsumsi warfarin (12,85%). Mayoritas pengetahuan pasien tergolong masih rendah sehingga diperlukan peran yang lebih aktif dari tenaga kesehatan khususnya farmasi dalam memberikan informasi dan edukasi yang lebih berfokus kepada kesenjangan pengetahuan terbanyak yang dialami oleh pasien.
Rasionalitas Regimen Dosis Gentamisin Pada Pasien Rawat Inap Di RSUP Dr. Kariadi Semarang (Kajian Terhadap Efektivitas Terapi Dan Peningkatan Serum Kreatinin) Fita Rahmawati; Arroyani Asa Dilaga; Djoko Wahyono
Majalah Farmaseutik Vol 19, No 1 (2023)
Publisher : Faculty of Pharmacy, Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22146/farmaseutik.v19i1.67189

Abstract

Gentamisin merupakan antibiotik pada terapi empiris khususnya infeksi bakteri gram negatif. Gentamisin memiliki indeks terapi sempit serta bersifat nefrotoksik. Pencegahan nefrotoksisitas dan peningkatan efektivitas terapi gentamisin dapat dilakukan dengan penyesuaikan regimen dosis berdasarkan nilai klirens kreatinin pasien. Penelitian bertujuan mengevaluasi rasionalitas dosis gentamisin  serta mengetahui hubungan rasionalitas dosis dengan efektivitas terapi gentamisin dan efek peningkatan serum kreatinin.Penelitian ini menggunakan rancangan cross sectional  dilakukan di RSUP Kariadi Semarang. Sejumlah 129 rekam medis pasien rawat inap tahun 2018- 2019 dipilih menggunakan tehnik purpusive sampling. Kriteria inklusi meliputi usia pasien 18 tahun ke atas,  menggunakan gentamisin injeksi minimal 3 hari, terdapat data serum kreatinin minimal sebanyak dua kali (sebelum dan sesudah penggunaan injeksi gentamisin). Efektivitas terapi  terbagi menjadi membaik dan tidak membaik berdasarkan rekam medis pasien. Peningkatan serum kreatinin ditunjukkan dengan kenaikan sebesar 0,5 mg/dl atau lebih. Statistik bivariat Fisher exact test digunakan untuk mengetahui hubungan kedua variabel.Hasil penelitian menunjukkan dosis rasional terdapat pada 19 (14,73% ) pasien dimana 15 (11,63%) pasien  memberikan hasil terapi membaik dan terjadi  peningkatan sCr  lebih dari 0,5 mg/dl pada 5 (3,88 %) pasien. Sedangkan dosis tidak rasional terdapat pada 110 (85,27%) pasien dimana 52 (40,31%) pasien memberikan hasil terapi membaik dan 31 (24,03%) pasien  terjadi peningkatan sCr. Rasionalitas regimen dosis memiliki hubungan signifikan dengan efektitivitas terapi (p<0,05) namun tidak memiliki hubungan signifikan dengan peningkatan serum kreatinin   (p>0,05). Peran farmasis diperlukan dalam monitoring terapi pasien sehingga diharapkan dapat meningkatkan optimasi terapi dan menurunkan efek samping.
Perbandingan Luaran Klinik Penggunaan Sacubitril-Valsartan dengan ARB pada Pasien Gagal Jantung Febriana Trisnaputri Rahajeng; Fita Rahmawati; Probosuseno Probosuseno
Majalah Farmaseutik Vol 19, No 2 (2023)
Publisher : Faculty of Pharmacy, Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22146/farmaseutik.v19i2.67051

Abstract

Sacubitril-valsartan merupakan kelas pertama golongan angiotensin receptor-neprilysin inhibitor (ARNI) yang direkomendasikan sebagai pengganti angiotensin-converting enzyme inhibitors (ACEI) untuk menurunkan resiko kejadian hospitalisasi akibat penyakit kardiovaskuler dan kematian pada pasien gagal jantung dengan penurunan fraksi ejeksi yang masih bergejala walaupun sudah mendapatkan terapi optimal. Penelitian ini bertujuan membandingkan luaran klinik penggunaan terapi sacubitril-valsartan dengan ARB pada pasien gagal jantung.Penelitian ini menggunakan rancangan kohort retrospektif melibatkan 105 pasien dengan diagnosis gagal jantung dengan  LVEF ≤ 40% yang terbagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok terapi sacubitril-valsartan (26 orang) dan ARB (79 pasien) di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Data penelitian diperoleh dari rekam medik pasien tahun 2018-2019. Luaran klinik berupa kejadian hospitalisasi akibat penyakit kardiovaskuler dan adverse  event  yang diamati dalam waktu enam bulan sejak pertama kali diresepkan. Hubungan antara jenis terapi dengan luaran klinik dianalisis menggunakan Chi-square, analisis Kaplan-Meier dan cox regression.Hasil penelitian menunjukkan hospitalisasi akibat penyakit kardiovaskuler terjadi pada 80,7% kelompok sacubitril-valsartan dan 69,6% kelompok ARB (p=0,383). Pada analisis Kaplan-Meier didapatkan mean survival time kejadian hospitalisasi akibat penyakit kardiovaskuler kelompok sacubitril-valsartan 12,7 minggu dan ARB 15 minggu, dimana kelompok sacubitril-valsartan lebih cepat mengalami kejadian hospitalisasi namun tidak bermakna secara statistik (p=0,178; HR(95% CI): 0,717[0,433-1,186]). Adverse events yang timbul dari penggunaan sacubitril-valsartan berupa peningkatan serum kreatinin (satu kejadian), sedangkan pada ARB ditemukan peningkatan serum kreatinin (tujuh kejadian) dan hiperkalemi (lima kejadian). Luaran klinik kedua regimen memberikan hasil yang sama, pertimbangan biaya dan kondisi klinik pasien diperlukan sebagai dasar dalam pemilihan regimen