Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search

Denda Damai: Hukuman Tanpa Pembuktian | Peace Fines: Punishment Without Proof Siddiq, Nakzim Khalid; Tresna D, Lalu Panca
Indonesia Berdaya Vol 6, No 2 (2025)
Publisher : UKInstitute

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47679/ib.20251130

Abstract

Abstrak. Pada prinsipnya dalam penegakan hukum, tidak seorangpun dapat dipidana tanpa adanya kesalahan yang telah terbukti secara sah dan meyakinkan berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap sebagaimnana keberlakuan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) dalam hukum acara pidana.  Tujuan  dari  penelitian ini  adalah  untuk  mengkaji  denda damai termasuk sebagai hukuman dan dasar kewenangan Jaksa Agungmenjatuhkan denda damai. Metode penelitian yang diaplikasikan adalah penelitian  hukum normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan dan konseptual. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Sejalan dengan konsep pidana denda, upaya optimalisasi penegakan hukum pidana yang berorientasi pada keadilan restoratif (restorative justice), melalui perubahan undang-undang kejaksaan terbaru, Jaksa Agung memiliki tugas dan wewenang menggunakan denda damai dalam tindak pidana ekonomi. Denda dami merupakan penghentian perkara di luar pengadilan dengan membayar denda yang disetujui oleh Jaksa Agung. Dengan demikian, denda damai merupakan hukuman finansial yang diberikan oleh kejaksaan terhadap seseorang yang telah melakukan tindak pidana ekonomi sebagai bentuk penerapan asas oportunitas yang dimiliki oleh Jaksa Agung. Jaksa memiliki kewenangan mutlak untuk menggunakan denda damai atas dasar prinsip Restorative Justice. Hal ini jika disandingkan dengan teori kewenangan, maka dapat dianalisis bahwa kewenangan jaksa agung dalam memberlakukan denda damai atas dasar keadilan restoratif merupakan bentuk kewenangan atribusi yakni kewenangan yang bersumber dari hukum positif atau peraturan perundang-undangan. Abstract. In principle, within the enforcement of law, no individual may be subjected to criminal punishment without proven fault that has been legally and convincingly established by a court decision with permanent legal force, in accordance with the presumption of innocence principle in criminal procedural law. The aim of this research is to examine whether peace fines constitute a form of punishment and to explore the legal basis for the Attorney General’s authority to impose such fines. The research method applied is normative legal research, utilising both statutory and conceptual approaches. The findings of this study indicate that, in line with the concept of criminal fines, efforts to optimise the enforcement of criminal law oriented towards restorative justice, through recent amendments to the prosecution law, have vested the Attorney General with the duty and authority to apply peace fines in economic crimes. A peace fine is a means of terminating a case outside of court by paying a fine agreed upon by the Attorney General. Thus, a peace fine constitutes a financial sanction imposed by the prosecution on an individual who has committed an economic crime, as a form of application of the discretionary principle held by the Attorney General. The Attorney General possesses absolute authority to employ peace fines based on the principle of restorative justice. When juxtaposed with the theory of authority, it can be analysed that the Attorney General’s authority to implement peace fines on the grounds of restorative justice represents a form of attributional authority, namely authority derived from positive law or statutory regulations.
Edukasi Hukum: Membangun Kesadaran Pelajar Terkait Bats Usia Minimal Perkawinan Untuk Mencegah Perkawian Dini Anugerahayu, Ayang Afira; Setiawan, Muhammad Rifaldi; Permata S, Nathania; Susilawati, Ika Yuliana; Tresna D, Lalu Panca; Ahwan, Ahwan
Jurnal Risalah Kenotariatan Vol. 6 No. 1 (2025): Jurnal Risalah Kenotariatan
Publisher : Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29303/risalahkenotariatan.v6i1.351

Abstract

Anak-anak adalah harapan masa depan bangsa, sehingga sudah menjadi tanggung jawab kita bersama untuk memastikan mereka mendapatkan hak tumbuh kembang yang layak dan optimal. Sayangnya, fenomena pernikahan usia anak masih menjadi isu serius, termasuk di Indonesia, khususnya di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), yang tercatat sebagai salah satu daerah dengan angka pernikahan anak yang cukup tinggi. Kondisi ini mendorong kami, para dosen dari Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Ilmu Sosial, dan Ilmu Politik, untuk turut ambil bagian dalam upaya pencegahan melalui penyebaran informasi hukum kepada masyarakat. Kami merasa perlu hadir dan berkontribusi dengan memberikan edukasi hukum terkait batas usia minimal pernikahan dan pencegahan pernikahan dini, menggunakan metode ceramah sebagai sarana edukatif yang mudah dipahami. Kami berharap kegiatan ini dapat membuka wawasan siswa mengenai usia ideal untuk melakukan pernikahan serta memberi pemahaman tetang langkah-langkah yang dapat diambil agar dapat berperan aktif sebagai pelopor pencegahan pernikahan dini.
Pembaharuan Aturan Larangan Kepemilikan Tanah Pertanian Secara Absentee di Indonesia Louk Fanggi, Prandy Arthayoga; Tresna D, Lalu Panca; Muhammad, Ade Sultan
Private Law Vol. 5 No. 2 (2025): Private Law Universitas Mataram
Publisher : Faculty of Law, University of Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29303/prlw.v5i2.7212

Abstract

 Penelitian ini menagalisa dan mengkaji apakah apakah aturan larangan kepemilikan tanah absentee masih relevan dengan konsidi situasi saat ini. hal ini bertujuan untuk menawarkan pembaharuan aturan larangan kepemilikan tanah pertanian secara absentee di Indonesia. Penelitian ini adalah penelitian normatif dan dibantu dengan data empiris dengan menggunakan pendekatan perundangundangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach) dalam tulisan ini. dalam tulisan ini mengahasilkan hasil, pertama, bahwa ratio legis dari adanya larangan kepemilikan tanah absentee ialah agar tanah pertanian dapat dikerjakan dan dikelola secara berkelanjutan (aktif) oleh pemiliknya guna mendapatkan hasil yang maksimal hal ini sebagai bentuk perwujudan asas tanah pertanian harus dikerjakan seacara aktif oleh pemiliknya sebagaimana termuat dalam Pasal 10 UUPA. Perlu adanya langkah pengawasan dan langkah pencegaha berupa penolakan berkas yang akan didaftarkan hal ini dilakukan oleh kantor pertanahan kabupaten atau kota guna mencegah adanya praktik pendaftaran tanah absentee yang saat ini masih kerap terjadi. Kedua, relevansi mengenai larangan kepemilikan tanah absentee di Indonesia sudah tidak relevan dengan kondisi saat ini dikarenakan kondisi peraturan perundang-unadang yang lahir enam puluh tahun yang lalu sudah tidak sesuai dengan kondisi masyarakat saat ini. Peraturan tentang larangan kepemilikan tanah absentee perlu adanya pembaharuan yang sebelumnya kepemilikan tanah pertanian hanya boleh tingkat kecamatan, diganti atau dicabut dengan adanya peraturan perundang-undangan yang baru sehingga kepemilikan tanah pertanian dapat dilonggarkan menjadi tingkat kabupaten atau kota sehingga peraturan perundang-undangan yang baru dapat beradaptasi dengan kondisi yang terus berkembang secara dinamis dan menyawab semua permasalahan yang timbul semakin kompleks.
Comparison of the Implementation of the Principle of Dominus Litis in Indonesia, Usa, and Macau Tresna D, Lalu Panca; Anugerah, Ayang Afira
JIHAD : Jurnal Ilmu Hukum dan Administrasi Vol 7, No 3 (2025): JIHAD : Jurnal Ilmu Hukum Dan Administrasi
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.58258/jihad.v7i3.9428

Abstract

In various countries, prosecutors are central figures in the administration of criminal justice because they have the authority to determine cases (dominus litis) to be forwarded to court. Comparative study of the application of the dominus litis principle in Indonesia with other countries. Normative legal research with a Statutory and comparative approach. The application of the Dominus Litis Principle in the Criminal Procedure Code is contained in Article 1 Number (6) letters a and b; 139, as well as the principle of functional differentiation in Articles 14 and 137, based on the position and function of prosecutors in the criminal justice system regulated in Article 140 paragraph (2); Law Number 11 of 2021 concerning Amendments to Law Number 16 of 2004. Prosecutors in Indonesia are in the Executive Institution, Investigative Authority is limited to special crimes; The scope of criminal, civil and administrative prosecution is in the hands of the State and is not dual in nature, namely the Prosecutor and Macau are in the hands of the Judiciary, authorized to conduct investigations, criminal and civil prosecutions which are dual in nature, namely the Prosecutor and the United States are in the hands of the Department of Justice, have investigative authority, prosecution arrangements in the form of Federal and state prosecutions
Pembaharuan Aturan Larangan Kepemilikan Tanah Pertanian Secara Absentee di Indonesia Louk Fanggi, Prandy Arthayoga; Tresna D, Lalu Panca; Muhammad, Ade Sultan
Private Law Vol 5 No 2 (2025): Private Law Universitas Mataram
Publisher : Faculty of Law, University of Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29303/prlw.v5i2.7212

Abstract

 Penelitian ini menagalisa dan mengkaji apakah apakah aturan larangan kepemilikan tanah absentee masih relevan dengan konsidi situasi saat ini. hal ini bertujuan untuk menawarkan pembaharuan aturan larangan kepemilikan tanah pertanian secara absentee di Indonesia. Penelitian ini adalah penelitian normatif dan dibantu dengan data empiris dengan menggunakan pendekatan perundangundangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach) dalam tulisan ini. dalam tulisan ini mengahasilkan hasil, pertama, bahwa ratio legis dari adanya larangan kepemilikan tanah absentee ialah agar tanah pertanian dapat dikerjakan dan dikelola secara berkelanjutan (aktif) oleh pemiliknya guna mendapatkan hasil yang maksimal hal ini sebagai bentuk perwujudan asas tanah pertanian harus dikerjakan seacara aktif oleh pemiliknya sebagaimana termuat dalam Pasal 10 UUPA. Perlu adanya langkah pengawasan dan langkah pencegaha berupa penolakan berkas yang akan didaftarkan hal ini dilakukan oleh kantor pertanahan kabupaten atau kota guna mencegah adanya praktik pendaftaran tanah absentee yang saat ini masih kerap terjadi. Kedua, relevansi mengenai larangan kepemilikan tanah absentee di Indonesia sudah tidak relevan dengan kondisi saat ini dikarenakan kondisi peraturan perundang-unadang yang lahir enam puluh tahun yang lalu sudah tidak sesuai dengan kondisi masyarakat saat ini. Peraturan tentang larangan kepemilikan tanah absentee perlu adanya pembaharuan yang sebelumnya kepemilikan tanah pertanian hanya boleh tingkat kecamatan, diganti atau dicabut dengan adanya peraturan perundang-undangan yang baru sehingga kepemilikan tanah pertanian dapat dilonggarkan menjadi tingkat kabupaten atau kota sehingga peraturan perundang-undangan yang baru dapat beradaptasi dengan kondisi yang terus berkembang secara dinamis dan menyawab semua permasalahan yang timbul semakin kompleks.