Abstrak: Tulisan ini membahas secara komprehensif tentang hakikat dan hikmah ibadah puasa perspektif Ali Ahmad Al-Jurjawi, baik dari sisi spiritual, sosial, maupun kesehatan terutama dalam menekan hawa nafsu perkawinan. Puasa tidak hanya dilihat sebagai kewajiban ritual, tetapi juga sebagai sarana penyucian jiwa (tazkiyatun nafs) yang mengantarkan manusia pada derajat takwa. Tujuan penelitian untuk mengkaji bagaimana puasa berfungsi sebagai bentuk penghambaan kepada Allah SWT, menumbuhkan kesabaran, menguatkan kontrol diri, serta mendekatkan manusia kepada nilai-nilai ketuhanan. Selain itu, puasa juga dipaparkan memiliki manfaat ilmiah di bidang kesehatan, seperti detoksifikasi, peningkatan sistem imun, dan pengendalian metabolisme tubuh. Metode yang digunakan dalam tulisan ini bersifat deskriptif kualitatif dengan pendekatan analisis isi terhadap sumber-sumber primer Al-Qur’an, hadis, dan pemikiran Ali Ahmad Al- Jurjāwi. Hasil pembahasan menunjukkan bahwa Puasa menurut Ali Ahmad Al- Jurjāwi bukan sekadar menahan lapar dan haus, melainkan sebuah ibadah yang mengandung hikmah mendalam terkait waktu dan kesabaran. Waktu puasa menjadi momen spiritual yang sarat makna, sementara kesabaran dalam menahan nafsu mengajarkan pengendalian diri, peningkatan kualitas spiritual, dan kedekatan dengan Allah SWT. Puasa juga berfungsi sebagai penepis sifat kebinatangan dan sarana pembentukan karakter manusia yang lebih mulia dan ikhlas dalam beribadah. Dengan demikian, hikmah waktu dan kesabaran dalam puasa menurut Ali Ahmad Al-Jurjāwi adalah pembelajaran mendalam tentang disiplin spiritual dan moral yang menghubungkan manusia dengan Tuhan dan sesama secara harmonis. Kontribusi penelitian ini secara teoritis ini juga dapat diimplementasikan dalam kehidupan keluarga Muslim sebab relevan dalam konsep hukum keluarga Islam. Kata Kunci: Puasa, Sabar, Seks dalam Keluarga, At-Tasyrī‘wa Falsafatuhu, Al-Jurjāwi Abstract:. This paper offers a comprehensive exploration of the essence and wisdom of fasting (ṣawm) from the perspective of Ali Ahmad al-Jurjāwī, examining its spiritual, social, and health dimensions—particularly its role in curbing marital desires. Fasting is not merely viewed as a ritual obligation, but as a means of spiritual purification (tazkiyat al-nafs) that elevates the human soul toward the attainment of taqwā (God-consciousness). The study aims to investigate how fasting functions as an act of servitude to Allah SWT, cultivating patience, strengthening self-control, and drawing individuals closer to divine values. Beyond its spiritual significance, fasting is also presented as having scientific benefits in the realm of health, including detoxification, immune system enhancement, and metabolic regulation. This research employs a qualitative descriptive method with a content analysis approach, drawing upon primary sources such as the Qur’an, Hadith, and the thought of Ali Ahmad al-Jurjāwī. The findings reveal that fasting, according to al-Jurjāwī, is not limited to abstaining from food and drink, but is a profound act of worship imbued with wisdom related to time and patience. The fasting period becomes a spiritually charged moment, while the endurance of desire fosters self-restraint, spiritual refinement, and closeness to Allah SWT. Moreover, fasting serves to suppress animalistic tendencies and contributes to the formation of noble character and sincerity in worship. Thus, the wisdom of time and patience in fasting, as articulated by Ali Ahmad al-Jurjāwī, offers deep lessons in spiritual and moral discipline, harmonizing the human relationship with both God and fellow beings. The theoretical contribution of this study is also applicable to Muslim family life, as it aligns with the principles of Islamic family law. Keywords: Fasting, Patience, Sex in the Family, At-Tasyrī‘wa Falsafatuhu, Al-Jurjāwi