This study analyzes the regulation and legal consequences of exoneration clauses in e-commerce contracts under Indonesian law, emphasizing the tension between freedom of contract and the doctrine of abuse of circumstances (misbruik van omstandigheden). The issue arises from the widespread use of standard clauses in digital contracts that often include exoneration clauses limiting business actors’ liability and harming consumers. Using a normative juridical method with statutory and conceptual approaches, this research examines the Civil Code (KUHPerdata), the Consumer Protection Law (UUPK), and the Electronic Information and Transactions Law (UU ITE). The findings show that exoneration clauses are legally invalid — both normatively (null and void by operation of law) and substantively (voidable due to defect of will) — because they are contrary to the principles of good faith and fairness. The study contributes novelty by positioning exoneration clauses not merely as contractual issues but as manifestations of structural inequality and coercion in electronic transactions. It proposes the reconstruction of legal norms to explicitly prohibit exoneration clauses that exploit consumer dependence while maintaining contractual freedom within ethical limits. Strengthening regulatory supervision and consumer protection mechanisms is crucial to ensure justice, balance, and public trust in Indonesia’s digital trade ecosystem. Penelitian ini menganalisis pengaturan dan akibat hukum klausula eksonerasi dalam kontrak e-commerce menurut hukum positif Indonesia, dengan menyoroti ketegangan antara asas kebebasan berkontrak dan doktrin penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden). Permasalahan ini muncul dari maraknya penggunaan klausula baku dalam kontrak digital yang kerap memuat klausula eksonerasi yang membatasi tanggung jawab pelaku usaha dan merugikan konsumen. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif melalui pendekatan perundang-undangan dan konseptual, penelitian ini menelaah KUHPerdata, Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK), serta Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Hasil penelitian menunjukkan bahwa klausula eksonerasi tidak sah baik secara normatif (batal demi hukum) maupun substantif (dapat dibatalkan karena cacat kehendak) karena bertentangan dengan asas iktikad baik dan keadilan. Kebaruan penelitian ini terletak pada pemaknaannya terhadap klausula eksonerasi bukan sekadar sebagai persoalan kontraktual, melainkan sebagai bentuk ketimpangan struktural dan pemaksaan dalam transaksi elektronik. Penelitian ini merekomendasikan rekonstruksi norma hukum untuk melarang secara tegas klausula eksonerasi yang mengeksploitasi ketergantungan konsumen, dengan tetap menjaga kebebasan berkontrak dalam batas etika. Penguatan regulasi dan mekanisme perlindungan konsumen menjadi penting untuk mewujudkan keadilan, keseimbangan, dan kepercayaan publik terhadap ekosistem perdagangan digital di Indonesia.