Latar Belakang: Risiko jatuh meningkat seiring bertambahnya usia, dan orang tua lebih rentan mengalami cedera akibat jatuh, yang sering memerlukan perhatian medis dan berpotensi menyebabkan kecacatan. Tujuan: Mengetahui prevalensi cedera akibat jatuh pada lansia dan pra-lansia, gambaran cedera, serta faktor risiko keparahan cedera berdasarkan data dari Health Demographic Surveillance System (HDSS) Sleman tahun 2016, 2017, 2019, dan 2021. Metode: Penelitian ini menggunakan metode deskriptif observasional dengan desain cross-sectional, menggunakan data sekunder dari HDSS Sleman untuk tahun 2016, 2017, 2019, dan 2021. Sampel penelitian terdiri dari 571 responden yang mengalami cedera akibat jatuh. Total sampling digunakan dalam penelitian ini. Hasil: Pada lansia, prevalensi cedera akibat jatuh adalah 0,85% (2016), 1,46% (2017), 1,19% (2019), dan 0,99% (2021). Pada pra-lansia, prevalensinya adalah 0,73% (2016), 1,24% (2017), 0,65% (2019), dan 0,57% (2021). Lecet dan memar adalah cedera yang paling umum (51,9% pada pra-lansia dan 47,6% pada lansia), terutama terjadi pada anggota gerak bawah. Didapatkan 76,7% dari kasus memerlukan perawatan medis, dengan proporsi yang lebih tinggi pada lansia yang dirawat oleh tenaga kesehatan. Sebanyak11,2% dari kasus menyebabkan kecacatan, terutama berupa bekas luka permanen. Komorbiditas dan faktor ekstrinsik (lokasi cedera) tidak menjadi faktor risiko keparahan cedera. Faktor sosiodemografi, terutama pekerjaan, mempengaruhi keparahan cedera. Kesimpulan: Prevalensi cedera akibat jatuh lebih tinggi pada lansia dibandingkan pra-lansia, dengan cedera yang paling sering berupa lecet/memar di anggota gerak bawah. Sebagian besar kasus memerlukan perawatan medis dan menyebabkan kecacatan. Pekerjaan merupakan faktor risiko signifikan untuk keparahan cedera. Penelitian serupa sangat baik dilakukan pada berbagai daerah di Indonesia untuk mendapatkan gambaran nasional. Kata Kunci: Cedera, Jatuh, Lansia, Pra-lansia, HDSS Sleman