Claim Missing Document
Check
Articles

Found 13 Documents
Search

Deconstructing Gender and Class Discourse in Satirical Cinematic Language through de Beauvoirian Lens Rahman, Fadhlur; Yuzar, Ella; Kholid, Mohammad; Nurlaila, Nurlaila
Saree: Research in Gender Studies Vol. 7 No. 1 (2025): Saree: Research in Gender Studies
Publisher : Pusat Studi Gender dan Anak - PSGA (Center for Gender and Child Studies) Institut Agama Islam Negeri Lhokseumawe, Aceh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47766/saree.v7i1.4887

Abstract

This paper aims to explore the utilization of Simone de Beauvoir’s feminist-philosophical theory in a contemporary media context, specifically in Ruben Östlund's film Triangle of Sadness, to gain a comprehensive understanding of the mechanism of gender and class identity construction. The critical discourse analysis was then employed to analyse the data, allowing for the identification of language and symbolic patterns that reflect patriarchal and capitalist social norms. De Beauvoir’s theories of gender and class act as the theoretical foundation for this paper, comprehend the constitution of identity as socially constructed, and provide a critical analytical tool for unravelling how established norms organize hierarchies and divisions of power within society. The results show that Triangle of Sadness is a satirical narrative that effectively deconstructs gender and class social structures. Through de Beauvoirian’s analytical lens, the film demonstrates how extreme situation that challenge dominant norms could shake social constructions of identity. Scenes ranging from an argument over who pays for dinner to power dynamics on a cruise ship, vividly demonstrate how gender and class shape identity and social interactions. This study affirms that de Beauvoirian’s theoretical framework remains relevant and pertinent for re-interpreting contemporary media discourse, particularly in comprehending the tension and conflict between social structures.   Abstrak Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan pemahaman yang lebih dalam tentang mekanisme pembentukan identitas gender dan kelas melalui teori feminisme-filosofis Simone de Beauvoir dalam konteks media kontemporer, khususnya melalui film Triangle of Sadness yang disutradarai oleh Ruben Östlund. Data dikumpulkan melalui analisis teks naskah film, artikel dan ulasan kritis. Studi ini kemudian menggunakan analisis wacana kritis untuk menganalisis penggunaan bahasa dan pola simbolik yang mencerminkan standar sosial, kapitalis dan patriarki. Pemikiran de Beauvoir menjadi landasan teoretis untuk memahami konstruksi identitas dan sosial, dan menjadi alat analisis kritis untuk mengungkap bagaimana norma-norma yang mapan mengatur hierarki dan pembagian kekuasaan di komunitas atau masyarakat. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa film Triangle of Sadness memupuk narasi satir secara efektif dan mendekonstruksi struktur sosial dan kelas. Film ini menunjukkan juga bagaimana situasi ekstrem yang menantang norma-norma dominan dapat mengubah pemahaman sosial tentang identitas kelas dan jender. Adegan-adegan yang ditunjukkan dalam film, seperti perdebatan panjang antara pasangan (tentang siapa yang harus membayar makan malam), hingga pergolakan dominasi struktur sosial dan dinamika kekuasaan di dalam kapal pesiar memberikan interpretasi baru dalam konstruksi sosial yang sebenarnya. Sehingga, kerangka teori feminisme-filosofis de Beauvoir masih sangat relevan dan tepat untuk menafsirkan kembali wacana, terutama dalam konteks pemahaman konflik dan ketegangan antara struktur sosial.
English acculturation in food and coffee shop naming: Examining its impact on local languages Zurriyati, Zurriyati; Rahman, Fadhlur; Yuzar, Ella; Perangin-angin, Alemina Br.
Studies in English Language and Education Vol 12, No 2 (2025)
Publisher : Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24815/siele.v12i2.36206

Abstract

The proliferation of the English language has resulted in the blending of the English language and culture into the national and indigenous languages of emerging countries, including Indonesia. Although most people in North Aceh, Indonesia, are Acehnese, some restaurants and coffee shops are named in English. This study explores how English acculturation in the naming of food and coffee shops affects the visibility and preservation of local languages in this area. Using Berrys acculturation framework, the research categorizes naming practices into assimilation, integration, and isolation, analyzing how English, Indonesian, and Acehnese elements are blended or separated in commercial branding. Data were gathered through interviews with business owners and customers, as well as observations of shop names and menus. The findings reveal that assimilation is the most dominant strategy, reflecting a preference for English-language branding as a symbol of modernity and prestige, particularly among younger entrepreneurs. However, some businesses still adopt integrated or local naming conventions to retain cultural identity. These practices have sociolinguistic implications, as the increased dominance of English may marginalize the Acehnese language in public spaces. The study calls for culturally responsive language planning to ensure a balance between global appeal and local heritage in commercial language use.
Language, Power and Identity: Deciphering Language Hegemony through Bourdieu's Symbolic Power Rahman, Fadhlur; Asirah, Asirah; Saputra, Nizar; Yuzar, Ella
LITERATUR : Jurnal Bahasa dan Sastra Vol. 7 No. 1 (2025): LITERATUR: Jurnal Bahasa dan Sastra
Publisher : Program Studi Tadris Bahasa Indonesia Institut Agama Islam Negeri Lhokseumawe

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47766/literatur.v7i1.6176

Abstract

This study examining language as a complex field of power, rather than merely a neutral means of communication. Every form of language use—whether words, dialects, or accents—contains political, historical, and social connotations that reflect and reinforce power hierarchies. In the era of globalization, the dominance of hegemonic languages such as English, as well as national languages such as Indonesian, has led to the marginalization of minority languages, affecting group identities and shifting cultural landscapes. Using a qualitative approach, this study explores the hidden meanings behind language practices and uncovers the power relations involved. Pierre Bourdieu's theory of symbolic power is used to understand language as a form of social capital that has symbolic value in the structure of society. The analysis compares the context of English hegemony globally and in Indonesia, as well as the position of Indonesian and regional languages in the national sphere. The findings highlight the importance of an additive multilingualism approach in language policy to ensure social justice and equitable distributed linguistic capital. Thus, language is posited not merely as a tool of communication but as a crucial instrument of power in social dynamics. Abstrak Penelitian ini mengkaji bahasa sebagai ranah kekuasaan yang kompleks, bukannya sekadar alat komunikasi netral. Setiap bentuk penggunaan bahasa—baik kata-kata, dialek, maupun aksen—mengandung konotasi politik, historis, dan sosial yang mencerminkan dan memperkuat hierarki kekuasaan. Di era globalisasi sekarang ini, dominasi bahasa-bahasa hegemonik seperti Bahasa Inggris, serta bahasa nasional seperti Indonesia, telah menyebabkan marginalisasi bahasa-bahasa minoritas, yang berdampak pada identitas kelompok dan mengubah lanskap budaya. Dengan pendekatan kualitatif, penelitian ini mengeksplorasi makna tersembunyi di balik praktik bahasa dan mengungkap hubungan kekuasaan yang terlibat. Teori "symbolic power" Pierre Bourdieu digunakan untuk memahami bahasa sebagai bentuk modal sosial yang memiliki nilai simbolik dalam struktur masyarakat. Analisis membandingkan konteks hegemoni bahasa Inggris secara global dan di Indonesia, serta posisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah dalam lingkup nasional. Temuan studi ini menyoroti pentingnya pendekatan multilingualisme aditif dalam kebijakan bahasa untuk memastikan keadilan sosial dan distribusi modal linguistik yang merata. Dengan demikian, bahasa tidak hanya dipandang sebagai alat komunikasi, tetapi juga sebagai instrumen kekuasaan yang krusial dalam dinamika sosial.