Claim Missing Document
Check
Articles

Found 23 Documents
Search

Gambaran Pasien Tuli Mendadak di Bagian THT-KL RSUP Dr. M. Djamil Padang Hedo Hidayat; Yan Edward; Noza Hilbertina
Jurnal Kesehatan Andalas Vol 5, No 2 (2016)
Publisher : Fakultas Kedokteran, Universitas Andalas

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25077/jka.v5i2.532

Abstract

AbstrakTuli mendadak adalah penurunan pendengaran sensorineural yang berlangsung dalam waktu kurang dari 72 jam. Penyakit ini merupakan salah satu kegawatdaruratan neurotologi dan memerlukan penatalaksanaan dini untuk menghindari kecacatan yang dapat ditimbulkan. Tujuan penelitian ini adalah melihat gambaran kejadian tuli mendadak di Bagian THT-KL RSUP Dr. M.Djamil. Ini merupakan penelititan deskriptif retrospektif dengan menggunakan data rekam medik di RSUP Dr. M. Djamil Padang selama tahun 2010 sampai tahun 2013. Didapatkan hasil sebanyak 26 kasus yang masuk kriteria inklusi pada periode tersebut. Sebaran umur penderita dari 8 sampai 79 tahun, dengan distribusi terbanyak pada usia 40 – 60 tahun. Faktor resiko yang ditemukan berupa hipertensi dan diabetes melitus sama besar yaitu 11,54%. Gejala klinis terdiri atas tinitus (76,92%), diikuti vertigo (38,46%), dan rasa penuh di telinga (15,38%). Pasien terbanyak pada derajat ketulian sangat berat (38,46%), kemudian derajat sedang berat dan berat (23,08%), diikuti derajat ringan (11,54%) dan sedang (3,85%). Distribusi onset terapi terbanyak pada 0 – 7 hari (50,00%), kemudian onset > 14 hari (30,77%) dan onset 8 – 14 hari (19,23%). Perbaikan pendengaran ditemukan sama banyak pada kategori sangat baik dan baik sebanyak 6 kasus dan diikuti kategori sembuh satu kasus. Dari penelitian ini dapat dikatakan tidak hanya satu faktor yang menentukan perbaikan tuli mendadak.Kata kunci: tuli mendadak, retrospektif, gejala klinis1Mahasiswa FK Unand, 2Bagian Pulmonologi FK Unand, 3Bagian Patologi Anatomi FK UnandAbstractSudden deafness is a sensorineural hearing loss  in less than 72 hours. Sudden deafness is a neurotological emergency and requiring an early management to avoid the defects that can be caused. The objective of  this study was to see cases of sudden deafness in Dr. M. Djamil General Hospital. This was a descriptive research with retrospective design using medical record data in Dr. M. Djamil General Hospital in Padang during 2010 to 2013. From the research, 26 cases were obtained that can meet the inclusion criteria in the period. The age ranged from 8 to 79 years old, with most distributions at age 40-60 years old. Risk factors, hypertension and diabetes mellitus, were found equally 11,54%. Clinical symptoms consisted of tinnitus (76,92%), followed by vertigo (38,46%), and ear fullness (15,38%). Using grades of hearing impairment, most of patients were classified profound impairment (38,46%), then moderate and moderate severe impaitment (23,08%), followed by slight (11,54%) and moderate impairment (3,85%). Most therapeutic onset distribution is 0-7 days (50,00%), > 14 days onset (30,77%) and onset 8-14 days (19,23%). Hearing improvement was found equally in very good and good category (6 cases) and followed by recover category (1 case). It can be conclude that there were many factors can affect hearing improvement in sudden deafness case.Keywords: sudden deafness, retrospective, clinical symptoms
Neurofibroma Telinga Tengah dengan Otitis Media Supuratif Kronis Arsia Dilla Pramita; Jacky Munilson; Yan Edward
Jurnal Kesehatan Andalas Vol 7 (2018): Supplement 2
Publisher : Fakultas Kedokteran, Universitas Andalas

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25077/jka.v7i0.833

Abstract

Pendahuluan: Neurofibroma adalah tumor saraf yang cukup sering dijumpai, tetapi hanya beberapa kasus yang melibatkan telinga tengah yang pernah dilaporkan. Kasus: Dilaporkan seorang perempuan berusia 51 tahun dengan keluhan telinga kiri berair, hilang timbul sejak 30 tahun yang lalu. Pasien dilakukan tindakan timpanomastoidektomi dinding utuh telinga kiri, intraoperatif ditemukan jaringan granulasi beserta jaringan berpapil-papil di liang telinga. Hasil patologi anatomi adalah neurofibroma dengan kalsifikasi. Kesimpulan: Neurofibroma merupakan suatu tumor yang dapat muncul dimana saja di tubuh. Adanya neurofibroma bersamaan dengan OMSK diduga akibat peranan inflamasi yang mencetuskan timbulnya tumor. Tatalaksana dan follow up yang baik dapat memberikan hasil yang memuaskan.
Penatalaksanaan Kolesteatom Eksterna dengan Timpanomastoidektomi Dinding Runtuh Rimelda Aquinas; Yan Edward
Jurnal Kesehatan Andalas Vol 8, No 4 (2019): Online December 2019
Publisher : Fakultas Kedokteran, Universitas Andalas

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25077/jka.v8i4.1116

Abstract

Kolesteatom adalah massa kistik dengan epitel skuamosa, berisi keratin yang proliferatif dan bisa menyebabkan terjadinya destruksi tulang. Kolesteatom eksterna adalah kolesteatom yang terdapat di kanalis akustikus eksternus. Timpanomastoidektomi dinding runtuh adalah tindakan operasi pada kasus kolesteatom eksterna untuk eradikasi kolesteatom, mencegah terjadinya komplikasi dan mempertahankan pendengaran. Dilaporkan satu kasus kolesteatom eksterna pada wanita usia 21 tahun yang meluas ke kavum mastoid dan menimbulkan defek pada kanalis akustikus eksternus. Pada pasien dilakukan tindakan timpanomastoidektomi dinding runtuh telinga kiri. Operasi timpanomastoidektomi dinding runtuh yang dilakukan pada kasus kolesteatom eksterna dengan perluasan ke kavum mastoid memberikan hasil yang baik. Kontrol secara rutin diperlukan untuk mencegah terjadinya rekurensi.
Terapi Medikamentosa pada Paralisis Saraf Fasialis Akibat Fraktur Tulang Temporal Jacky Munilson; Yan Edward; Dedy Rusdi
Jurnal Kesehatan Andalas Vol 4, No 1 (2015)
Publisher : Fakultas Kedokteran, Universitas Andalas

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25077/jka.v4i1.237

Abstract

AbstrakPendahuluan: Paralisis saraf fasialis merupakan salah satu komplikasi fraktur tulang temporal. Fraktur tulang temporal dapat berupa fraktur longitudinal, transversal maupun campuran. Paralisis saraf fasialis lebih banyak ditemukan pada fraktur tulang transversal dibandingkan longitudinal. Penatalaksanaan paralisis saraf fasialis akibat fraktur tulang temporal masih kontroversi, dapat berupa terapi medikamentosa maupun terapi bedah. Metode: Satu kasus paralisis saraf fasialis akibat fraktur temporal longitudinal tahun yang ditatalaksana dengan terapi medikamentosa. Hasil: Terdapat peningkatan fungsi saraf pasialis dengan terapi medikamentosa pada paralisis parsial saraf fasialis akibat fraktur temporal longitudinal. Diskusi: Penatalaksanaan paralisis saraf fasialis akibat fraktur tulang temporal masih merupakan hal yang kontroversial. Pasien dengan paralisis parsial (House Brackmann II-V) cukup dilakukan observasi dan terapi dengan steroid berupa prednison, sedangkan pada paralisis komplit (House Brackmann VI), terapi medikamentosa dengan steroid dapat dikombinasikan dengan terapi bedah berupa dekompresi atau grafting. Pertimbangan untuk melakukan pembedahan tergantung dari pemeriksaan CT Scan dan tes elektrofisiologisKata kunci: Paralisis saraf fasialis, fraktur tulang temporal, terapi medikamentosaAbstractFacial nerve paralysis is one of the temporal bone fracture complications. Temporal bone fracture is classified as longitudinal, transversal and mixed type. Facial nerve paralysis is more common in transversal rather than longitudinal type. The treatment of facial nerve paralysis due to temporal bone fracture still remain controversial, whether its medical therapy or surgical approach.Methode: One case of facial nerve paralysis caused by longitudinal type of temporal bone fracture has been treated by medical therapy. Result: There is an increase of facial nerve function treated with medical therapy in a case of partial nerve paralysis due to longitudinal type of temporal bone fracture. Discussion: Management of facial nerve paralysis due to temporal bone fracture is still controversial. Patient with partial paralysis (House Brackmann II-V) treated with observation and medical therapy using steroid, whereas complete paralysis (House Brackmann VI) treated with medical therapy using steroid, combine with decompression and grafting surgery. Considerations for surgery depend on computed tomography and electrophysiology examination.Keywords: Facial nerve paralysis, temporal bone fracture, medical therapy
Diagnosis dan Penatalaksanaan Tragus Asesorius dan Stenosis Liang Telinga pada Hemifasial Mikrosomia Al Hafiz; Jacky Munilson; Effy Huriyati; Yan Edward; Sylvia Rachman; Gunawan Yudhistira
Jurnal Kesehatan Andalas Vol 5, No 1 (2016)
Publisher : Fakultas Kedokteran, Universitas Andalas

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25077/jka.v5i1.482

Abstract

Abstrak           Hemifasial mikrosomia (HFM) adalah diagnosis paling sering pada lesi wajah asimmetris dan merupakan kelainan kongenital wajah terbanyak kedua. HFM merupakan malformasi kongenital dimana terdapat defisiensi jaringan lunak dan tulang pada satu sisi wajah dan gangguan perkembangan telinga, terutama telinga luar. Diagnosis ditegakkan berdasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan radiologis. HFM memiliki manifestasi klinis yang beragam, dan dipertimbangkan mendapatkan penatalaksanaan komprehensif yang melibatkan rekontruksi medik luas.               .           Sebuah kasus hemifasial mikrosomia dengan tragus asesorius dan stenosis liang telinga kanan dilaporkan pada perempuan berusia 13 tahun dan telah dilakukan rekonstruksi tragus dan kanaloplasti. Kata kunci: hemifasial mikrosomia, lesi wajah asimmetris, rekontruksi tragus, kanaloplasti. AbstractHemifacial microsomia (HFM) is the most frequent diagnosis in asymmetry facial lesions and the top second facial congenital lesion. HFM is a congenital malformation in which there is a deficiency of soft tissue and bone on one side of the face and malformation of the ear, especially outer ear. The diagnosis is based on history, physical examination, and radiological finding. HFM had various clinical manifestation and considered to comprehensive management involving extensive medical reconstruction. A hemifacial microsomia case with right tragal assesoria and ear canal stenosis has been reported in girl aged 13 years old and have performed tragus reconstruction and canaloplasty. Keywords:  hemifacial microsomia, asymmetrical facial lession, tragus reconstruction, canaloplasty
Otomycosis Dolly Irfandy; Yan Edward; Dolly Irfandy
Jurnal Kesehatan Andalas Vol 1, No 2 (2012)
Publisher : Fakultas Kedokteran, Universitas Andalas

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25077/jka.v1i2.59

Abstract

AbstrakOtomikosis adalah salah satu kondisi yang umum ditemukan di klinik THT. Penyakit ini merupakantantangan dan menimbulkan rasa frustrasi bagi pasien dan dokter ahli THT. Hal ini disebabkan pengobatan yangmemerlukan waktu lama dan rerata kekambuhan yang tinggi.Dilaporkan satu kasus otomikosis pada seorang wanita umur 41 tahun. Diagnosis ditegakkan berdasarkananamnesis, pemeriksaan fisik dan tes KOH. Dari pemeriksaaan laboratorium ditemukan Aspergillus niger sebagaipenyebab. Dengan terapi pembersihan liang telinga dan obat oles telinga kombinasi gentian violet terdapatperbaikan.Kata kunci: Otomikosis, Aspergillus sp, TerapiAbstractOtomycosis is one of the common conditions encountered in a general otolaryngology clinic. The diseaseprocess a challenging and frustrating entity for both patients and otolaryngologists for it requires long termtreatment and recurrence rate remains. One case of otomycosis in a 41 years old woman is reported. Thediagnosis was based on anamnesis, physical examination and KOH test. From laboratory examination, Aspergillusniger was isolated as etiologic agent. With the treatment of ear toilet and combination of Gentian violet animprovement was observed.Keywords: Otomycosis, Aspergillus sp,Therapy
Otitis Media Supuratif Kronis Tipe Kolesteatom dengan Komplikasi Meningitis dan Paresis Nervus Fasialis Perifer Jenny Tri Yuspita Sari; Yan Edward; Rossy Rosalinda
Jurnal Kesehatan Andalas Vol 7 (2018): Supplement 4
Publisher : Fakultas Kedokteran, Universitas Andalas

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25077/jka.v7i0.931

Abstract

Pendahuluan: Otitis Media Supuratif Kronis (OMSK) tipe kolesteatom merupakan penyakit dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi akibat komplikasinya. Kolesteatom dapat menyebabkan erosi tulang dan kerusakan struktur-struktur di sekitarnya sehingga terjadi komplikasi. Kombinasi antibiotik dan tindakan bedah timpanomastoidektomi menjadi modalitas utama penatalaksanaan kasus OMSK dengan komplikasi. Laporan Kasus: Dilaporkan satu kasus seorang laki-laki 18 tahun dengan keluhan sakit kepala hebat disertai dengan penurunan kesadaran dan wajah mencong. Pada pasien terdapat riwayat telinga berair dan penurunan pendengaran. Pasien didiagnosis sebagai OMSK auris dektra dengan kolesteatom disertai komplikasi meningitis dan paresis nervus fasialis perifer. Pasien diterapi dengan antibioik dosis tinggi dan dilakukan tindakan timpanomastoidektomi dinding runtuh dengan dekompresi nervus fasialis. Kesimpulan: Penatalaksaan segera dan tepat pada OMSK dengan komplikasi dapat meningkatkan angka kesembuhan dan mencegah kematian.
Otitis Media Supuratif Kronis Tipe Kolesteatom dengan Komplikasi Sekuele Stroke Akibat Meningoensefalitis Debby Apri Grecwin; Yan Edward
Jurnal Kesehatan Andalas Vol 8, No 3 (2019): Online September 2019
Publisher : Fakultas Kedokteran, Universitas Andalas

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25077/jka.v8i3.1062

Abstract

Otitis media supuratif kronis tipe kolesteatom bisa menyebabkan komplikasi ekstrakranial dan intrakranial. Meningitis merupakan komplikasi intrakranial dari otitis media supuratif kronis yang paling sering terjadi. Meningitis bakteri dapat menyebabkan terjadinya stroke. Terapi medikamentosa dengan antibiotik intravena spektrum luas dan tindakan operasi akan memberikan outcome yang baik. Dilaporkan seorang pasien anak laki-laki usia 13 tahun dengan diagnosis otitis media supuratif kronis auris dekstra tipe kolesteatom dengan komplikasi sekuele stroke akibat meningoensefalitis yang ditatalaksana dengan terapi medikamentosa dan timpanomastoidektomi dinding runtuh. Penatalaksanaan otitis media supuratif kronis tipe kolesteatom dengan komplikasi sekuele stroke akibat meningoensefalitis terdiri dari terapi medikamentosa yang adekuat dan timpanomastoidektomi dinding runtuh untuk menghilangkan sumber infeksi di telinga tengah.
Diagnosis dan Tatalaksana Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV) Horizontal Berdasarkan Head Roll Test Yan Edward; Yelvita Roza
Jurnal Kesehatan Andalas Vol 3, No 1 (2014)
Publisher : Fakultas Kedokteran, Universitas Andalas

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25077/jka.v3i1.31

Abstract

AbstrakLatar belakang: Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV) merupakan vertigo yang dicetuskan oleh perubahan posisi kepala atau badan terhadap gaya gravitasi. Diagnosis BPPV ditegakkan berdasarkan anamnesis dan manuver provokasi. Sering kali terjadi kesalahan dalam menegakkan diagnosis BPPV yang berakibat terhadap penatalaksanaan vertigo yang tidak adekuat. Tujuan: Untuk menjelaskan bagaimana diagnosis dan tatalaksana BPPV Kanalis Horizontal. Kasus: Seorang laki-laki berusia 56 tahun yang didiagnosis sebagai BPPV Kanalis Horizontal kiri tipe kanalolithiasis apogeotropik. Penatalaksanaan: Dilakukan barbeque maneuver terapi reposisi kanalith. Kesimpulan: Penatalaksanaan BPPV adalah berdasarkan lokasi kanal yang terlibat dengan terapi reposisi kanalith.Kata kunci: BPPV, kanalis horizontal, kanalolithiasis apogeotropik.AbstractBackground: Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV) is vertigo that provoked by a position change of the head or body to the gravitation. The diagnosis of BPPV can be established by anamnesis and provocation maneuver. However, because BPPV frequently is misdiagnosed, it will implicate to an adequate therapeutic. Purposes: Explaining how to diagnose and manage a Horizontal Canal BPPV. Case : a man, 56 ages which diagnosed as a Left Horizontal Canal BPPV apogeotropic canalolithiasis type. Management: A barbeque maneuver was performed as canalith reposition treatment. Conclution: The management of BPPV is based on the involved canal with canalith repositioning treatment.Keywords: BPPV, horizontal canal, apogeotropic canalolithiasis.
Penggunaan Tetes Telinga Serum Autologous dengan Amnion untuk Penutupan Perforasi Membran Timpani Hidayatul Fitria; Yan Edward
Jurnal Kesehatan Andalas Vol 1, No 1 (2012)
Publisher : Fakultas Kedokteran, Universitas Andalas

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25077/jka.v1i1.8

Abstract

Abstrak Latar Belakang: Gangguan pendengaran atau ketulian mempunyai dampak yang merugikan bagi penderita , keluarga, masyarakat maupun negara. Salah satu penyebab ketulian yang sering dijumpai adalah radang telinga tengah, terutama yang disertai perforasi membran timpani yang menetap. Penutupan perforasi membran timpani dapat dilakukan dengan operatif dan konservatif. Secara konservatif sudah banyak cara yang dilakukan. Salah satunya dengan mengkaustik tepi perforasi dengan menggunakan silver nitrat untuk membuat luka baru, kemudian digunakan amnion sebagai jembatan (bridge) dan faktor regulasi yang terdapat pada tetes telinga serum autologous. Tujuan: Untuk menjelaskan gambaran penggunaan amnion sebagai jembatan dan tetes telinga serum autologous sebagai faktor regulasi. Tinjauan pustaka: Penutupan perforasi membran timpani dapat dilakukan secara konservatif salah satunya dengan menggunakan tetes telinga serum autologous sebagai faktor regulator, amnion sebagai jembatan dan penggunaan silver nitrat pada tepi perforasi untuk membuat luka baru. Serum autologous memiliki asselerator pertumbuhan yaitu epidermal growth factor (EGF) , transforming growth factor β1 (TGF- β1) dan fibronektin. Asselerator pertumbuhan ini dapat kita temukan pada penyembuhan membran timpani normal. Sedangkan membran amnion adalah jaringan semi transparan tipis yang membentuk lapisan terdalam membran fetus dengan susunan membran basalis yang tebal dan jaringan stroma avaskuler. Membran amnion mempercepat pembentukan epitel normal dengan menekan pembentukan jaringan fibrosis. Sel epitel amnion memproduksi faktor pertumbuhan seperti fibroblast growth factor dan transforming growth factor beta. Faktor pertumbuhan akan membantu komunikasi antara epitel dan sel fibroblast stroma untuk menekan proliferasi dan diferensiasi jaringan fibrosis. Kesimpulan: Diperlukan tiga elemen pada penutupan perforasi membran timpani yaitu faktor regulasi, jembatan (bridge) dan membuat luka baru pada tepi perforasi. Kata kunci: tetes telinga serum autologous, membran amnion, perforasi membran timpani Abstract Background: Hearing loss or deafness have an adverse impact on patients, families, communities and the country. One cause of deafness that often met is middle ear inflammation, especially those with persistent tympanic membrane perforation. Closure of tympanic membrane perforation can be performed with operative and conservative. The conservatives have done with a lot of ways. One of them is cauterize edge of perforation by using silver nitrate to make a new wound, then used the amnion as a bridge and regulatory factors present in autologous serum eardrops. Objective: To describe the use of amnion as a bridge and autologous serum eardrops as a regulatory factor. Literature review: Closure of tympanic membrane perforation conservatively can be done either by using the autologous serum eardrops as a factor regulator, amnion as a bridge and the use of silver nitrate on the edge of the perforation to create a new wound. Autologous serum have asselator growth of Epidermal Growth Factor (EGF), Transforming Growth Factor β1 (TGF-β1) and fibronectin. Asselerator growth factor can be found on normal tympanic membrane healing. While the amniotic membrane is semi-transparant thin tissue that forms the deepest layer of fetal membranes with formation of a thick basement membrane and tissue stroma avaskuler. Amniotic membrane accelerate the formation of normal epithelial tissue by pressing the formation of fibrosis. Amniotic epithelial cells produce growth factors such as fibroblast growth factor and transforming growth factor beta. Growth factors will help the communication between epithelial and stromal fibroblast cells to suppress proliferation and differentiation of tissue fibrosis. Conclusion: It takes three elements on the closure of tympanic membrane perforation factor regulation, bridge and make new cuts on the edge of the perforation. Keywords: autologous serum eardrops, amnion membrane, tympanic membrane perforation