Claim Missing Document
Check
Articles

Found 28 Documents
Search

PENGARUH TEKNIK PEMUTIHAN PULP SULFAT TERHADAP MUTU PULP DAN LIMBAH CAIR Rena M Siagian; Han Roliadi; Kayano Purba; Melina Melina
Jurnal Penelitian Hasil Hutan Vol 17, No 2 (1999): Buletin Penelitian Hasil Hutan
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20886/jphh.1999.17.2.77-88

Abstract

Di Indonesia, pengolahan pulp kimia  berbahan baku kayu umunrnya menggunakan proses sulfat. Salah satu kelemahan proses sulfat ialah derajat kecerahan pulp yang rendah, sehingga memerlukan teknik pemutihan  yang efektif saat ini mulai dikembangkan teknik pemutihan pulp dengan  pengurangan  dan  atau  tanpa  penggunaan  klorin  elementer untuk  menekan  pencemaran lingkungan.Penelitian ini menggunakan kayu  ampupu (Eucalyptus urophylla)  dan  sampinur  bunga (Podocarpus sp.) asal dari Sumatera Utara. Pembuatan pulp menggunakan proses sulfat dengan kondisi pemasakan : alkali aktif 17%,  sulfiditas 25%, suhu maksimum 1700'C, waktu pemasakan 4 jam dan  bobot kayu  banding  larutan pemasak 1 : 4. Teknik pemutihan yang diterapkan adalah C/DEoDED. DEopDED. DEoDEpD dan CEHEH sebagai pembanding.Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada pulp kayu ampupu, modifikasi teknik pemutihan dari  CEHEH menjadi C/DEoDED. DEopDED dan DEoDEpD, menghasilkan rendemen pulp putih yang tidak  berbeda. Pada pulp  kayu  sampinur  bunga, perbedaan  teknik pemutihan menghasilkan rendemen pulp putih yang berbeda, tetapi semuanya di bawah rendemen yang umum diperoleh dengan proses kimia (<40%). Rendemen pulp putih kayu ampupu lebih tinggi dibandingkan pulp asal kayu sampinur bunga.Secara umum dapat dikatakan bahwa keteguhan pulp sampinur bunga lebih tinggi daripada pulp  ampupu.  Modifikasi  teknik  pemutihan CEHEH menjadi teknik  pemutihan  dengan pengurangan atau tanpa penggunaan klorin elementer  menghasilkan kekuatan lembaran pulp yang tidak berbeda .Nilai  BOD dan COD limbah cair pemutihan  asa/ kayu ampupu lebih rendah dan lebih baik daripada  asal  kayu sampinur  bunga. Modifikasi teknik pemutihan  konvensional  (CEHEH) dengan teknik pemutihan    tanpa penggunaan klor elementer , yaitu  DEopDED dan DEoDEpD dapat memperbaiki pH dan sisa klor dalam limbah cair pemutihan  pulp baik  pada kayu ampupu maupun sampinur bunga, namun belum memperbaiki nilai BOD dan COD.
PENELAAHAN SIFAT PRIORITAS PEMANFAATAN JENIS TANAMAN UNTUK KAYU BAKAR Rachman Effendi; Suwidji Basuki; Han Roliadi
Jurnal Penelitian Hasil Hutan Vol 4, No 4 (1987): Jurnal Penelitian Hasil Hutan
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20886/jphh.1987.4.4.35-40

Abstract

There is a need to classify fire  wood for flue/  based on energy content.   This research is conducted  to categorized fire wood species using discriminant  analysis.Data of which collected from  each of  research areas are plant  varieties for  fire  wood,  age classification,  annual  volume  increase,   specific gravity,  calor value and volume  of  extractive  elements.Variety of  woods used for fire  wood are Akasia  (Acacia   auriculiformis),   Akasia  (Acacia decurrens),  Kaliandra  (Calliandra  callothyrsus), Gamal  (Gliricidia  maculata),  Kemlandingan   (Leucaena  glauca),  Turi  (Sesbania   grandiflora)   and  Jati  (Tectona  grandis). For  the purpose   of analysis of the type of relationship  between  annual volume  increase (X1), specific  gravity  (X2),  calor value (X3),  volume  of extractive  elements (X4) and the adaptation order of plant  varieties for fire  wood is clasified by the discriminant function.The function is also used for  determining adaptation  order of utilization  of plant  varieties for fire  wood.Based on the discriminant  analysis it can be expressed  as:Yj = 0.2148X1j + 9.7184X2j + 0.7231 X3j - 6.7121 X4j..................................................................(1).                                               The result of average substitutions of annual volume increase, as specific gravity,  ca/or value increase and volume of extractive elements  decreased as described by the equation  (I).  It can be said that (the adaptation  order of plant  varieties for  fire  wood) produced  from   the most  to the least based on its number of heat of combustion  at the plantation  age 2, 3 and 4 years are Akasia   (Acacia decurrens), Akasia  (Acacia auriculiformis), Kaliandra  (Calliandra callethyrsus),   Gamal  (Gliricidia  maculata),  Kemlandingan  (Leucaena   glauca),  Turi  (Sesbania  grandiflora)   and  Jati (Tectona  grandis).
DAYA TAHAN 109 JENIS KAYU INDONESIA TERHADAP RAYAP TANAH (Coptotermes curvignathus Holmgren) Ginuk Sumarni; Han Roliadi
Jurnal Penelitian Hasil Hutan Vol 20, No 3 (2002): Buletin Penelitian Hasil Hutan
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20886/jphh.2002.20.3.177-185

Abstract

The resistance of 109 Indonesian wood against subterranean termite (Coptotermes curvignathus Holmgren) attack has been assesed. The wood species come from several regions in lndonesia. The woods were each cut to small samples measuring to 2.5-cm by 2.5-cm by 0.5-cm and subsequently exposed to 200 subterranean termite workers for four weeks.The results revealed that 68 out the 109 wood species (i.e.62.3 percent) were classified as themost durable (classes I and II): and the rest, i.e 41 species (37.8 percent), were classified as lower durability (i.e. classes Ill, IV, and V) and therefore in their application need a preservative treatment.
PEMANFAATAN KAYU MANGIUM (Acacia mangium Wild) SEBAGAI BAHAN BAKU PULP KERTAS KORAN Rena M Siagian; Han Roliadi; Bambang Prasetya; Didiek H Gunadi
Jurnal Penelitian Hasil Hutan Vol 16, No 4 (1999): Buletin Penelitian Hasil Hutan
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20886/jphh.1999.16.4.191-200

Abstract

Percobaan pembuatan pulp secara kimia-termomekanik (CTMP) dalam skala laboratorium telah dilakukan dengan menggunakan kayu mangium untuk tujuan kertas koran. Percobaan ini dilakukan untuk modifikasi pembuatan pulp secara termo-mekanik (TMP). Pemberian bahan kimia untuk tujuan pelunakan serpih dilakukan sebelum pemisahan serat pada suhu kamar dengan tekanan atmosflr. Bahan kimia yang digunakan adalah larutan NaOH sebanyak 0, 4 dan 8%. Serpih yang telah lunak diberi perlakuan uap pada suhu 140ºC dengan waktu bervariasi, yaitu 10, 15 dan 20 menit. Pemisahan serat dilaksanakan pada tekanan 2,2 Bar. Pemutihan pulp menggunakan hidrogen peroksida dalam dua tahap. Tahap pertama menggunakan konsentrasi peroksida 2% dan tairap kedua 4%. Pulp putih dijadikan lembaran setelah digiling sampai mencapai derajat kehalusan serat 200-300 ml CSF.Pelunakan serpih dengan alkali sebanyak 4% pada waktu kukus selama 10 menit memberikan rendemen pulp belum putih lebih tinggi daripada penggunaan alkali 0% atau disebut juga proses TMP konvensional walaupun waktu kukusnya lebih panjang (20 menit). Kondisi pengolahan tersebut juga menghasilkan serat yang hancur lebih sedikit dibandingkan dengan proses TMP. Sifat pulp CTMP dari kayu mangium dengan menggunakan alkali 4% dan waktu kukus 15 menit dapat memenuhi syarat Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk kertas koran, kecuali kekuatan sobeknya. Dibandingkan dengan pulp TMP, maka pulp CTMP dari kayu mangium dapat memberikan sifat keteguhan yang memadai, bagian serat yang hancur lebih sedikit serta kebutuhan energi lebih rendah.
Pengeluaran Sisa Kreosot dalam Tiang Listrik Bekas Pakai Menggunakan Perlakuan Uap Han Roliadi; Elvin T Choong
Jurnal Penelitian Hasil Hutan Vol 23, No 3 (2005): Jurnal Penelitian Hasil Hutan
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20886/jphh.2005.23.3.197-205

Abstract

Keberadaan sisa-sisa kreosot dalam produk kayu bekas pakai dan tak lagi digunakan, diantaranya tiang listrik bekas, dapat mengakibatkan kesulitan/masalah dalam pemanfaatannya menjadi produk berguna lain seperti: papan blok, papan partikel, papan serat, dan pulp/kertas. Maka sisa kandungan kreosot tersebut harus dihilangkan atau diturunkan menggunakan perlakuan khusus yang efektif. Sebelum perlakuan uap, tiang listrik tersebut perlu dibuat menjadi partikel-partikel berukuran kecil, antara lain serbuk gergaji sehingga memudahkan penguapan kreosot oleh uap.Perlakuan uap terhadap tiang listrik bekas pakai telah dicoba keefektifannya dalam menghilangkan/menurunkan sisa kandungan kreosotnya. Hasil menunjukkan bahwa perlakuan uap dapat menurunkan kandungan kreosot hingga 1,31 persen, untuk kandungan awal kreosotnya yang berbeda-beda. Tiang listrik dengan kandungan kreosot lebih tinggi membutuhkan waktu perlakuan uap lebih lama. Pada kandungan awal kresot tertentu atau sama, penurunan/pengeluaran kreosot pada batang/tiang listrik bekas yang berumur pakai lebih lama ternyata lebih dari pada tiang listrik berumur lebih muda. Pada berbagai umur, selanjutnya baik pada tiang listrik berumur lebih muda atau pun lebih tua, penurunan/pengeluaran kreosot juga lebih sulit, pada bagian dalam batang/tiang dibandingkan dari bagian yang lebih dekat permukaan batang/tiang.Perlakuan uap merupakan cara yang murah dan efisien menurunkan kandungan kreosot. Penurunan lebih lanjut kreosot yang tersisa dalam batang dapat dilakukan dengan cara lain, seperti dengan pelarut organik yang memerlukan biaya mahal dan penggunaan mikororganisme tertentu yang memerlukan waktu lebih lama.
KOMPONEN KIMIA SEPULUH JENIS KAYU TANAMAN DARI JAWA BARAT Gustan Pari; Han Roliadi; Dadang Setiawan; Saepuloh Saepuloh
Jurnal Penelitian Hasil Hutan Vol 24, No 2 (2006): Jurnal Penelitian Hasil Hutan
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20886/jphh.2006.24.2.89-101

Abstract

Tulisan ini mengemukakan hasil analisis komponen kimia 10 jenis kayu yang berasal dari hutan tanaman di Jawa Barat. Jenis kayu tersebut adalah ki sereh (Cinnamomum parthenoxylon Meissu), suren (Toona sureni Merr), ki bawang (Melia excelsa Jack.), pulai kongo (Alstonia kongoensis), tusam (Pinus merkusii Jungth), sengon buto (Entorolobium cyclo), kapur (Dryobalanops aromatica), salamander (Grevillia robusta A.cunn), mahoni (Switenia macrophylla King) dan ki lemo (Litsea cubeba Pers).Analisis yang dilakukan mencakup penetapan kadar holoselulosa, lignin, pentosan, abu, kelarutan dalam air dingin, air panas, alkohol benzena dan kelarutan dalam NaOH 1%. Analisis ini merupakan dasar untuk menetapkan kegunaan kayu tersebut terutama sebagai bahan baku pulp kertas.Hasil analisis memperlihatkan bahwa kadar holoselulosa berkisar antara 64,6 - 69,9%, lignin antara 26,0 - 30,9%, pentosan antara 15,6 - 18%, abu antara 0,2 - 0,9%, silika antara 0,1 - 0,5%. Kelarutan dalam air dingin antara 2,4 - 6,3%, air panas antara 3,0 - 7,3%, alkohol benzena antara 1,5 -5,75% dan kelarutan dalam NaOH 1% antara 9,1 - 20,7%.Semua jenis kayu yang diteliti mengandung kadar holoselulosa yang tinggi lebih dari 65% yaitu kayu ki sereh, suren, ki bawang, tusam, sengon buto, kapur, salamander, mahoni dan ki lemo, kecuali kayu pulai kongo yaitu 64,6%. Kadar lignin dan abu semua jenis kayu yang diteliti termasuk ke dalam kelas sedang, karena kadarnya ada di antara 18 - 33% untuk kadar lignin dan ada di antara 0,2 - 6,0% untuk kadar abu. Kadar pentosan semua jenis kayu yang diteliti termasuk kelas rendah karena kadarnya kurang dari 21%. Sedangkan kadar zat ekstraktifnya terutama kelarutan dalam alkohol benzena yang termasuk kelas sedang antara 2 - 4% adalah kayu suren, ki bawang, tusam dan ki lemo, dan yang termasuk ke dalam kelas tinggi lebih dari 4% yaitu kayu ki sereh dan pulai kongo, sedangkan yang termasuk kelas rendah kurang dari 2% yaitu kayu sengon buto, kapur, salamander dan mahoni.Berdasarkan atas nilai skor dan hasil uji BNJ (Beda nyata jujur) komponen kimia 10 jenis kayu asal Jawa Barat (Tabel 3) ternyata hanya kayu ki sereh dan pulai kongo yang tidak cocok untuk bahan baku pulp kertas, sedangkan ke delapan jenis kayu lainnya yang terdiri dari kayu  suren, ki bawang,  tusam, sengon buto, kapur, salamander mahoni dan kayu ki lemo cukup baik untuk digunakan sebagai bahan baku pembuatan pulp untuk kertas dengan menggunakan proses kimia, dan semikimia.
Ketahanan Tiang Listrik Bekas Pakai terhadap Kerusakan Biologis yang Dihubungkan dengan Sisa Kandungan Bahan Pengawet Kreosot didalamnya Han Roliadi; Chung Yun Hse; Elvin T Choong
Jurnal Penelitian Hasil Hutan Vol 17, No 3 (2000): Buletin Penelitian Hasil Hutan
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20886/jphh.2000.17.3.149-159

Abstract

Ketahanan kerusakan biologis tiang listrik bekas pakai dari kayu southern yellow pine yang diawetkan dengan kreosote, diteliti melalui percobaan simulasi kerusakan biologis (uji petak tanah) menggunakan jamur Neolentinus lepideus Fr., untuk menilai efektifitasnya terhadap kerusakan tersebut. Hal ini sehubungan dengan pemanfaatan tiang listrik dimaksud menjadi produk hasil olahan bermanfaat, seperti struktur kayu padat dan kayu majemuk. Temyata ketahanan kerusakan biologis tiang listrik baik yang telah berusia (masa pakai) 5 dan 25 tahun maupun yang masih baru diawetkan (segar) ada kaitannya dengan kandungan kreosotnya dan penyebarannya di dalam tiang tersebut. Selama masa pakai terjadi penurunan kandungan kreosot sedemikian rupa sehingga kandungan di bagian atas dan luar tiang tersebut lebih rendah dari pada bagian dalam atau bawahnya. Secara keseluruhan, kandungan kreosot dalam tiang listrik bermasa pakai 5 tahun lebilt rendah dari pada dalam tiang yang segar, tetapi lebih tinggi dan yang bermasa pakat 25 tahun. Pada kandungan kreosot di atas 14 persen, ketahanan kerusakan tiang listrik masih tinggi); akan tetapi di bawah 14 persen, ketahanannya menurun secara drastis. Oleh sebab itu, kadar kreosot 14 persen dianggap sebagai batas kritis. Selanjutnya kalau dihubungkan dengan batas kritis tersebut, ketahanau kerusakan biologis tiang listrtk bermasa pakai 5 tahun masih sebanding dengan tiang yang masih segar, sedangkan pada tiang bermasa pakai 25 tahun, terutama di bagian luamya ketahanannya jauh, jauh lebih rendah dan menvamai ketahanan kayu southern yellow pine yang tidak diawetkan. Lebih lanjut sekiranya dikaitkan dengan pemanfaatan kembali tiang bekas pakai tersebut menjadi produk hasil olahan kayu bermanfaat, nilai kandungan sisa kreosotnya perlu diperhatikan. Bagian dari tiang listrik berkandungan kreosot di alas 14 persen sesuat untuk struktur kayu padat guna pemakaian luar (udara terbuka). Untuk perakitan kayu majemuk, bagian tiang listrik berkandungan kreosot di atas 14 persen sebaiknya untuk bagian luar hasil perakitan tersebut, sedangkan bagian berkandungan kreosot di bawah 14 persen untuk bagian dalamnya.
KEMUNGKINAN PEMANFAATAN TANDAN KOSONG KELAPA SAWIT SEBAGAI BAHAN BAKU PEMBUATAN PAPAN SERAT BERKERAPATAN SEDANG Han Roliadi; Widya Fatriasari
Jurnal Penelitian Hasil Hutan Vol 23, No 2 (2005): Jurnal Penelitian Hasil Hutan
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20886/jphh.2005.23.2.101-109

Abstract

Tandan kosong kelapa sawit (TKKS) merupakan limbah padat industri minyak kelapa sawit dengan potensi cukup besar (2,5 juta ton per tahun), yang dewasa ini hanya dibuang di tempat, atau dibakar sehingga menimbulkan pencemaran lingkungan. Salah satu usaha dalam mengatasi hal tersebut adalah memanfaatkannya untuk pembuatan papan serat berkerapatan sedang (MDF), sebagaimana dilakukan melalui percobaan skala laboratoris secara batch. Pengolahan pulp TKKS untuk MDF menggunakan proses semi-kimia soda panas terbuka, diikuti dengan perendaman dalam larutan alkali pada suhu kamar, dan sesudahnya diolah secara mekanis menjadi pulp. Sebelum pembentukan lembaran MDF, pada pulp TKKS ditambahkan bahan pengikat/perekat fenol formaldehida (PF). Pembentukan lembaran menggunakan proses basah.Hasil percobaan menunjukkan bahwa perendaman alkali menghasilkan pulp TKKS dengan diameter serat dan lumen lebih besar, dan dinding serat lebih tipis, dibandingkan dengan tanpa perlakuan rendaman. Selanjutnya perendaman alkali ternyata berinteraksi dengan penggunaan perekat PF, sehingga menghasilkan lembaran MDF dengan kerapatan dan sifat kekuatan lebih tinggi; dan penyerapan air dan pengembangan tebal yang lebih rendah, dibandingkan dengan tanpa perendaman. Bebrapa sifat MDF memenuhi persyaratan standard FAO, yaitu kerapatan adalah, modulus patah dan kekuatan reakat internal. Yang belum memenuhi adalah pengembangan tebal, penyerapan air, modulus elastisitas, dan kekuatan memegang sekurup. Diharapkan bisa diperbaiki dengan penggunaan bahan penolak air dan lebih banyak bahan perekat.