Claim Missing Document
Check
Articles

Found 17 Documents
Search

The correlation between Leptin Levels and Onset of Preeclampsia Roza Sriyanti; Johanes C. Mose; Masrul Masrul; Netti Suharti
Andalas Obstetrics And Gynecology Journal Vol 4, No 2 (2020)
Publisher : Universitas Andalas

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25077/aoj.4.2.139-144.2020

Abstract

The purpose of this study is to find the correlation between leptin levels and the onset of preeclampsi. This study used a cross sectional comparative study design that conducted in May 2018 - April 2019 in the SMF / Obstetrics and Gynecology department of RSUP dr. M. Djamil Padang, RSUD Achmad Mochtar, RSUD Solok, RST Reksodiwiryo. We used consecutive sampling method which consists of 69 pregnant women who fulfill the inclusion and exclusion criteria. Leptin level tests were done using ELISA method. The average level of leptin in early-onset preeclampsia is found to be the highest when compared to the late-onset preeclampsia and normal pregnancy, 64.07 ± 78.27 vs. 30.46 ± 31.99 vs. 16.61 ± 24.49. This differentiation is highly significant with the ANOVA statistical test (p <0.05). There is a significant correlation between leptin levels with the onset of preeclampsia.Keywords: preeclampsia early onset, preeclampsia late onset, leptin levels
Identifikasi Bakteri Escherichia coli dalam Air Minum Galon pada Kantin yang ada di Universitas Andalas Padang Muhammad Rayhan Braja Gitawama; Netti Suharti; Nora Harminarti
Jurnal Kesehatan Andalas Vol 10, No 1 (2021): Online March 2021
Publisher : Fakultas Kedokteran, Universitas Andalas

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25077/jka.v10i1.1507

Abstract

The National Food and Drug Agency has controlled the refill drinking water in drinking water depots and also controlled food at school canteens ranging from elementary, junior high, to high school, but the National Food and Drug Agency never do food quality controlling in canteens at universities. Objectives: To identified the contamination by coliform and E. coli bacteria in drinking water at Andalas University canteen. Methods: This research was descriptive to identify coliform bacteria on  15 drinking water at the Andalas University faculty canteens.  Samples were taken directly using a sterile bottle, while data analysis using Most Probable Number  (MPN)  tables 5-1-1 and the presence of E. coli bacteria colonies from drinking water samples. Results: 9 of 15 water samples were contaminated by coliform bacteria with the highest MPN index of 240/100 ml that was found in 2 samples. From 9 samples containing coliform bacteria, all of them were found to contain E. coli bacteria. Conclusion: Most of the samples were contaminated by coliform and E. coli bacteria. Drinking water served using a kettle was more contaminated than drinking water served using gallons.Keywords: Coliform, Escherichia coli, MPN
Hubungan Kadar Vitamin D dan Cathelicidin Plasma dengan Kejadian Infeksi Tuberkulosis pada Anak dengan Kontak BTA Positif Lola Lusita; Finny Fitri Yani; Netti Suharti
Sari Pediatri Vol 17, No 3 (2015)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp17.3.2015.200-4

Abstract

Latar belakang. Vitamin D dan cathelicidin berperan penting dalam sistem imun alamiah terhadap kuman tuberkulosis. VitaminD memediasi sintesis cathelicidin, melalui ekspresi vitamin D nuclear reseptor (VDR) sehingga cathelicidin dapat membunuhkuman mycobacterium tuberculosis.Tujuan. Melihat hubungan kadar vitamin D dan cathelicidin dengan kejadian infeksi tuberkulosis pada anak yang kontak denganpenderita tuberkulosis dewasa BTA positif.Metode. Penelitian cross sectional dengan sampel dibedakan antara terinfeksi tuberkulosis dengan yang tidak terinfeksi tuberkulosis.Sampel dilakukan pengukuran kadar vitamin D, yaitu kadar 25(OH)D dan cathelicidin plasma. Analisis statistik denganmenggunakan chi square, T-test, Mann-Whitney U, dan uji korelasi Spearman’s.Hasil. Anak terinfeksi tuberkulosis dengan gizi kurang 58%. Sumber kontak dengan BTA positif tiga anak yang terinfeksituberkulosis 54%. Tidak terdapat defisiensi vitamin D. Rerata kadar vitamin D anak terinfeksi dan tidak terinfeksi tuberkulosisberturut-turut 24,93±7,42 dan 24,66±6,23 ng/mL (p=0,868). Kadar cathelicidin rendah terdapat pada 62,5% anak yang terinfeksituberkulosis. Pada anak yang terinfeksi dan tidak terinfeksi tuberkulosis berturut-turut 149,76±160,76 dan 190,74±184,95 ng/mL (p=0,139). Tidak terdapat hubungan kadar vitamin D dan cathelicidin plasma pada anak dengan kontak BTA positif (p=0,135dan r=-0,183)Kesimpulan. Kadar cathelicidin pada anak yang tidak terinfeksi tuberkulosis cenderung lebih tinggi dibandingkan anak yang tidakterinfeksi, walaupun secara statistik tidak terdapat perbedaan yang bermakna.
FAKTOR-FAKTOR YANG BERKORELASI DENGAN KADAR ANTIBODI ANTITETANUS PADA IBU HAMIL Yussie Ater Merry; Netti Suharti
Jurnal Ilmu Keperawatan dan Kebidanan Vol 8, No 2 (2017): JURNAL ILMU KEPERAWATAN DAN KEBIDANAN
Publisher : Universitas Muhammadiyah Kudus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26751/jikk.v8i2.295

Abstract

Kadar antibodi antitetanus pada ibu hamil dipengaruhi berbagai faktor, yaitu: umur, interval vaksinasi Tetanus toksoid (TT)-1 – TT-2, TT-1, TT-2 – waktu pemeriksaan dan kadar Hb. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor – faktor yang berkorelasi dengan kadar antibodi antitetanus pada ibu hamil. Disain penelitian cross sectional, observasional terhadap 67 ibu hamil di wilayah kerja puskesmas Lubuk Buaya, Nanggalo dan Ambacang Kuranji kota Padang, bulan Juni - Desember 2015, teknik consecutive sampling. Kadar antibodi diukur menggunakan metode Indirect ELISA di Laboratorium Biomedik Universitas Andalas. Uji normalitas data dengan Kolmogorov-Smirnov, Spearman untuk korelasi antara umur, interval: TT-1 – TT-2, TT-1, TT-2 – waktu pemeriksaan, kadar Hb dengan kadar antibodi dan uji Kruskal Walis untuk menilai perbedaan kadar antibodi berdasar interval TT-1 – waktu pemeriksaan serta uji regresi linier untuk menentukan faktor determinan yang berkorelasi dengan kadar antibodi.Hasil penelitian menunjukkan terdapat korelasi negatif yang sangat lemah, tidak signifikan antara umur  dengan kadar antibodi (r=-0,076 p=0,540), terdapat korelasi positif lemah dan signifikan antara: interval TT-1 – TT-2 (r= 0,353, p = 0,003), korelasi positif kuat dan signifikan antara TT-1, TT-2 waktu pemeriksaan (r=0,696 p = 0,000 dan r= 0,729 p= 0,000) dengan kadar antibodi. Terdapat korelasi positif sangat lemah antara kadar Hb dengan kadar antibodi (r=0,200 p=0,104). Kesimpulan penelitian, faktor determinan yang berkorelasi dengan kadar antibodi antitetanus adalah: interval TT-1 – TT-2 dan TT-2 – waktu pemeriksaan
Hubungan Jumlah Eosinofil dengan Ukuran Polip Nasal dan Karakteristik Pasien yang Didiagnosis di Sentra Diagnostik PA FK-UNAND Tahun 2017-2019 Salma Yuri Khairunnisa; Tofrizal Tofrizal; Netti Suharti
Jurnal Ilmu Kesehatan Indonesia Vol 2 No 1 (2021): Maret 2021
Publisher : Fakultas Kedokteran, Universitas Andalas

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1678.277 KB) | DOI: 10.25077/jikesi.v2i1.291

Abstract

Background: Nasal polyps is a soft masses filled with fluid in nasal mucosa. The incidence is not high, but nasal polyps are related with inflammatory process. Factors that can affect nasal polyps are eosinophils, polyp size, age and gender of the patient. Objective: This study aims to discuss the association between eosinophils with polyp size, age and gender of polyp patient. Methods: The type of this study was an analytic using a cross sectional approach. This research took place from February- October 2020 in the Pathology Anatomy Diagnostic Central of Faculty of Medicine, Andalas University with 19 total sample and this study used total sampling technique. Results: The results based on bivariate analysis of Chi-Square test between amount of eosinophils with polyp size, age and gender of polyps patients have p values (p = 0, 036), (p = 0.264), (p = 1, 00). Conclusion: There is a significant relationship between eosinophils and polyp size. There is no significant relationship between eosinophils with age and gender of patients with nasal polyps in the Pathology Anatomy Diagnostic Central of Faculty of Medicine, Andalas University in 2017- 2019.
Kajian Literatur: Efektivitas Antiseptik Yang Mengandung Chlorhexidine Gluconate Terhadap Bakteri MRSA Farinda Amalya Hakiman; Netti Suharti; Elizabeth Bahar
Jurnal Ilmu Kesehatan Indonesia Vol 2 No 2 (2021): Juni 2021
Publisher : Fakultas Kedokteran, Universitas Andalas

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (565.138 KB) | DOI: 10.25077/jikesi.v2i2.553

Abstract

Latar Belakang: Chlorhexidine gluconate merupakan antiseptik yang sering digunakan untuk mencegah penyebaran infeksi karena luasnya cakupan antiseptik tersebut dalam membunuh bakteri. Antiseptik ini juga sering digunakan untuk mencegah penyebaran infeksi beberapa bakteri MDRO, salah satunya bakteri MRSA. Akan tetapi, seringnya penggunaan antiseptik tersebut dikhawatirkan dapat meningkatkan resistensi bakteri MRSA terhadap chlorhexidine gluconate. Objektif: Studi ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas antiseptik dengan kandungan chlorhexidine gluconate terhadap bakteri strain MRSA. Metode: Kajian literatur naratif ini menggunakan artikel hasil pencarian Google Scholar dan PubMed dengan kata kunci “Methicillin Resistant Staphylococcus aureus”, “MRSA”, “Anti-Infective Agents, Local”, dan “Chlorhexidine gluconate” yang diterbitkan dalam 10 tahun terakhir (2010-2020), dan menggunakan Bahasa Inggris. Artikel yang tidak bisa didapatkan secara lengkap dan literature review dieksklusi. Artikel kemudian dinilai menggunakan critical appraisal checklist untuk dikaji. Hasil: Hasil pencarian menampilkan 355 artikel, dimana 345 artikel dieliminasi berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi, sehingga didapatkan 8 artikel. Delapan artikel yang ditinjau terdiri dari empat studi terkontrol acak, dua studi laboratorium, satu uji hewan, dan satu studi observasional. Kesimpulan: Penelitian ini mendapatkan 8 literatur untuk dikaji. Lima literatur melaporkan bahwa chlorhexidine gluconate menurunkan prevalensi infeksi bakteri MRSA, walaupun dua literatur menyatakan bahwa penurunan tersebut tidak signifikan. Tiga literatur lain melaporkan adanya penurunan sensitivitas bakteri MRSA terhadap chlorhexidine gluconate, terutama pada isolat yang diidentifikasi memiliki gen qacA/B atau gen smr. Background: Chlorhexidine gluconate is an antiseptic that can prevent infection because of its broad-spectrum antimicrobial activity. It can prevent MDRO infection, including MRSA. However, frequent use of chlorhexidine gluconate may result in the emergence of MRSA with reduced susceptibility or even resistance against it. Objective: This study aims to determine the effectiveness of an antiseptic containing chlorhexidine gluconate against MRSA. Methods: A literature search of PubMed and Google Scholar was performed with keywords such as “Methicillin Resistant Staphylococcus aureus”, “MRSA”, “Anti-Infective Agents, Local”, and “Chlorhexidine gluconate”. Articles published from the last 10 years in English were included. Articles that were not available in full text as well as literature reviews were excluded. These articles were appraised using critical appraisal checklist for review. Results: We identified 355 articles, of which 345 were eliminated based on the inclusion and exclusion criteria, leaving 8 articles. These eight articles consisted of four randomized controlled studies, two laboratory studies, one animal study, and one observational study. Conclusion: Five studies reported that chlorhexidine gluconate reduces rate of MRSA infection, although two studies stated that the rates are not significant. Three studies reported reduced susceptibility against chlorhexidine gluconate in MRSA isolates with qacA/B or smr genes.
EFEKTIVITAS PENGGUNAAN APLIKASI PASTA GIGI YANG DIFORMULASI ZINC DAN SUPLEMEN ORAL ZINC SETELAH SCALLING DAN ROOT PLANNING TERHADAP KADAR TISSUE INHIBITOR OF MATRIX METALLOPROTEINASE-1 SALIVA PADA GINGIVITIS Fildzah Nurul Fajrin; Haria Fitri; Nila Kasuma; Netti Suharti
B-Dent: Jurnal Kedokteran Gigi Universitas Baiturrahmah Volume 6, Nomor 2, Desember 2019
Publisher : Universitas Baiturrahmah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (304.323 KB) | DOI: 10.33854/jbd.v6i2.266

Abstract

Pendahuluan: Terapi pertama gingivitis adalah scaling and root planning (SRP). Terapi ini berfungsi untuk menghilangkan plak dan kalkulus penyebab inflamasi gingiva, namun SRP memiliki keterbatasan yaitu tidak dapat mengeliminasi seluruh bakteri patogen periodontal pada area yang sulit diakses saat instrumentasi. Oleh karena itu dibutuhkan terapi tambahan seperti pemberian imunomodulator untuk meningkatkan keberhasilan SRP. Zinc telah dikenal sebagai imunomodulator. Unsur ini merupakan katalisator dari enzim yang berperan dalam proses degradasi kolagen dan penyembuhan gingivitis yaitu Tissue Inhibitor Matrix Metalloproteinase-1 (TIMP-1). Sebagai terapi penyembuhan gingivitis, zinc digunakan dalam bentuk suplemen (sistemik) dan sebagai bahan tambahan dalam pasta gigi (topikal). Penulis bertujuan untuk membandingkan efektifitas aplikasi zinc yang berbeda terhadap konsentrasi TIMP-1 pada saliva pasien gingivitis setelah scalling and root planning. Metode: Subjek penelitian adalah siswa siswa MAN 2 Padang yang menderita gingivitis sedang dan parah berdasarkan pemeriksaan Gingival Index dan bleeding on probing. Subjek terdiri dari 3 kelompok yaitu kelompok dengan aplikasi pasta gigi zinc citrate 2% setelah SRP (grup 1), kelompok SRP tanpa tambahan perlakuan (grup 2), dan kelompok suplementasi zinc sulfat 20 mg (grup 3) setelah SRP. Masing-masing kelompok terdiri dari 11 orang. Scalling and root planning dilakukan pada subjek yang terjaring. Pasta gigi dan suplemen zinc diberikan pada grup 1 dan 3 selama 14 hari. Setelah perlakuan, saliva subjek penelitian dikumpulkan dengan unstimulated method. Kadar TIMP-1 saliva dianalisis dengan metode ELISA di Laboratorium Biomedik FK UNAND. Analisa statistik dilakukan dengan software SPSS 17 dengan uji ANOVA dan Bonferroni.  Hasil: Terdapat perbedaan yang bermakna antar kelompok perlakuan (p<0.05). Kelompok yang paling menunjukkan peningkatan TIMP-1 yang signifikan adalah grup 1 (p< 0.05). Terdapat perbedaan signifikan antara grup 1 dengan grup 2. Tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara grup 2 dengan grup 3, dan grup 1 dengan grup 3 (p>0.05). Simpulan: Penggunaan zinc secara topikal lebih efektif meningkatkan penyembuhan gingivitis setelah SRP dari pada penggunaan zinc secara sistemik. Introduction: The first therapy of gingivitis is scaling and root planning (SRP). This therapy functions to remove plaque and calculus that cause gingival inflammation, but SRP has limitations that cannot eliminate all periodontal pathogenic bacteria in areas that are difficult to access when instrumentation. Therefore, additional therapy is needed such as immunomodulatory administration to increase the success of SRP. Zinc has been known as an immunomodulator. This element is a catalyst of enzymes that play a role in the process of collagen degradation and healing of gingivitis, namely Tissue Inhibitor Matrix Metalloproteinase-1 (TIMP-1). As a healing therapy for gingivitis, zinc is used as a supplement (systemic) and as an additive in toothpaste (topical). The authors aimed to compare the effectiveness of different zinc applications to TIMP-1 concentrations in the saliva of gingivitis patients after scaling and root planning. Methods: The research subjects were students of MAN 2 Padang who suffered from moderate and severe gingivitis based on gingival index and bleeding on probing examination. Subjects consisted of 3 groups, namely the group with the application of 2% zinc citrate toothpaste after SRP (group 1), SRP group without additional treatment (group 2), and zinc sulphate supplementation group 20 mg (group 3) after SRP. Each group consists of 11 people. Scaling and root planning were done on netted subjects. Toothpaste and zinc supplements were given in groups 1 and 3 for 14 days. After the treatment, the saliva of the research subjects was collected by an unstimulated method. TIMP-1 saliva content was analysed by the ELISA method in the Biomedical Laboratory of the UNAND FK. Statistical analysis was performed with SPSS 17 software with ANOVA and Bonferroni tests. Results: There were significant differences between treatment groups (p <0.05). The group that most showed a significant increase in TIMP-1 was group 1 (p <0.05). There were significant differences between group 1 and group 2. There were no significant differences between group 2 and group 3, and group 1 with group 3 (p> 0.05). Conclusion: Topical use of zinc is more effective at improving the healing of gingivitis after SRP than systemic use of zinc.
EFEK PEMBERIAN ZINK PASCA SCALING ROOT PLANNING TERHADAP KADAR MMP-8 SALIVA PADA PASIEN GINGIVITIS Haria Fitri; Fildzah Nurul Fajrin; Nila Kasuma; Netti Suharti
B-Dent: Jurnal Kedokteran Gigi Universitas Baiturrahmah Volume 6, Nomor 2, Desember 2019
Publisher : Universitas Baiturrahmah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33854/jbd.v6i2.268

Abstract

Pendahuluan: Gingivitis adalah penyakit periodontal yang ringan dengan tanda gejala klinis berupa gingiva berwarna merah, membengkak dan mudah berdarah tanpa ditemukan kerusakan tulang alveolar. MMP-8 telah dikaitkan dengan diagnosis penyakit periodontal, keparahan peradangan periodontal, perkembangan dan tindak lanjut pengobatan. Zink dapat menjadi kombinasi dalam terapi periodontal pasca scaling root planning. Penulis bertujuan untuk mengetahui efek pemberian suplemetasi zink dan obat kumur mengandung zink terhadap kadar MMP-8 pasca scaling root planning pada pasien gingivitis. Metode: Subjek penelitian adalah siswa remaja umur 16-18 tahun, menderita gingivitis sedang dan gingivitis berat berdasarkan parameter pemeriksaan Gingival Index dan Bleeding on Probing. Teknik pengambilan sampel menggunakan metode Matching. Subjek dibagi menjadi tiga kelompok perlakuan. Kadar MMP-8 saliva diperiksa dengan mengguankan ELISA kit. Efek pemberian suplementasi zink dan obat kumur mengandung zink terhadap penurunan rerata kadar MMP-8 dibandingkan dengan kelompok kontrol. Hasil: Secara statistik tidak ada perbedaan yang bermakna (p>0,05), tetapi rerata kadar MMP-8 pada kelompok suplementasi zink lebih rendah dibanding kelompok obat kumur mengandung zink dan kelompok kontrol. Simpulan: Terapi kombinasi zink memberikan efek penyembuhan yang baik terhadap gingivitis pasca scaling root planning dibandingkan dengan initial terapi scaling root planning saja, tetapi tidak terdapat perbedaan efek pemberian suplementasi zink dan obat kumur zink pasca scaling root planning terhadap kadar MMP-8 saliva pada pasien gingivitis.
Peran Lactobacillus pada Diabetes Melitus Tipe 2 M. Andhika Dwi Putra; Netti Suharti; Fika Tri Anggraini
Jurnal Ilmu Kesehatan Indonesia Vol 3 No 1 (2022): Maret 2022
Publisher : Fakultas Kedokteran, Universitas Andalas

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25077/jikesi.v3i1.351

Abstract

Latar Belakang: Peran Lactobacillus pada Diabetes Melitus tipe 2 telah banyak diteliti. Namun, hal-hal mengenai mekanisme dan efek dari Lactobacillus dalam mengontrol dan mencegah morbiditas DM tipe 2 belum diketahui sepenuhnya. Objektif: Studi literatur dilakukan untuk mengetahui lebih lanjut efek dan mekanisme yang berperan dari Lactobacillus pada DM tipe 2 dalam mengontrol dan mencegah morbiditas DM tipe 2. Metode: Studi literatur naratif ini mendalami berbagai literatur studi in vitro, in vivo, dan Randomized Controlled Trial (RCT) mengenai peran Lactobacillus terhadap DM tipe 2. Pencarian literatur dilakukan melalui database elektronik Pubmed dan Google Scholar berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi yang telah ditetapkan. Hasil: Terdapat total 48 literatur yang ditinjau. Lactobacillus berperan dalam memodulasi mikrobiota di intestinal, menekan disfungsi sel β serta resistansi insulin pada hepar, otot, jaringan adiposa. Perbaikan profil glukosa, lipid, Homeostatic Model Assessment of Insulin Resistance (HOMA-IR) pada mencit dan pasien menjadi indikator adanya peran Lactobacillus. Peran ini didukung melalui sifanya dalam mengurangi status inflamasi dan stres oksidatif. Kesimpulan: Lactobacillus dapat mengontrol DM tipe 2. Diperlukan penelitian lebih lanjut hal-hal yang berhubungan dengan dosis, frekuensi, bentuk pemberian, metabolit, spesies, serta penelitian yang lebih luas pada pasien DM tipe 2.
Sensitivitas dan Spesifisitas GeneXpert pada Sputum Pasien Suspek Tuberkulosis Paru Yasmin Nasywa; Netti Suharti; Yusticia Katar
Jurnal Ilmu Kesehatan Indonesia Vol 3 No 2 (2022): Juni 2022
Publisher : Fakultas Kedokteran, Universitas Andalas

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25077/jikesi.v3i2.839

Abstract

Latar Belakang: Indonesia menempati urutan kedua setelah India sebagai negara dengan penderita TB terbanyak. Waktu pemeriksaan yang lama menjadi faktor yang menghambat upaya penanggulangan TB. Objektif: Penelitian bertujuan untuk mengetahui sensitivitas dan spesifisitas GeneXpert pada pasien suspek TB paru. Metode: Penelitian menggunakan pendekatan cross sectional. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah total sampling, yaitu semua subjek yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dipilih sebagai sampel sebanyak 98 sampel. Data yang digunakan adalah data sekunder. Pengolahan dan analisis data dengan uji diagnostik yang akan disajikan dalam bentuk tabel 2x2. Hasil: Pada penelitian didapatkan sebagian besar pasien suspek tuberkulosis paru berada di kelompok usia 21-30 tahun (26,5%) dengan kasus terbanyak pada laki-laki yaitu 61 orang (62,2%). Dari hasil kultur dengan Lowenstein Jensen ditemukan 51 orang (52%) kultur positif dan 47 orang (48%) kultur negatif. GeneXpert memiliki sensitivitas 96%, spesifisitas 98%, nilai duga positif 98%, dan nilai duga negatif 96%. Kesimpulan: Berdasrakan penelitian ini, GeneXpert memiliki sensitivitas, spesifisitas, nilai duga negatif, dan nilai duga positif yang tinggi dan waktu pemeriksaan yang lebih cepat.