Eva Decroli
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Andalas, RSUP Dr. M. Djamil, Padang 25163, Indonesia

Published : 26 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 26 Documents
Search

Krisis Tiroid pada Wanita Multipara Usia 42 Tahun Garri Prima Decroli; Eva Decroli
Jurnal Kesehatan Andalas Vol 8, No 1 (2019): Online Maret 2019
Publisher : Fakultas Kedokteran, Universitas Andalas

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25077/jka.v8i1.988

Abstract

Krisis tiroid selama kehamilan dapat mengancam nyawa ibu maupun janin. Kematian pada ibu disebabkan karena terjadinya henti jantung dan kematian janin disebabkan oleh keguguran, berat badan lahir rendah, kelahiran premature, preeklamsi dan malformasi kongenital. Dilaporkan seorang wanita multipara 42 tahun yang telah dikenal hipertiroid datang dengan penurunan kesadaran sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit, usia kehamilan 20 minggu. sebelumnya pasien mengeluhkan palpitasi, demam, berkeringat, tremor, diare, dan sesak nafas. Berdasarkan pemeriksaan fisik, pasien tampak delirium, dengan tekanan darah 110/50 mmHg, nadi 115 kali/menit, dan suhu 38,4oC. Pada pemeriksaan mata tampak Rosenbach dan Enroth. Tanda oftalmopati Graves adalah NOSPEC 1. Berdasarkan palpasi kelenjar tiroid, ukuran 9 x 5 x 2 cm, difus, dan simetris.Pada pemeriksaan fisik ditemukan kardiomegali dan hepatomegali. Skor index Wayne adalah 22 (hipertiroid) dan Skor Burch dan Wartofsky adalah 60 (krisis tiroid). Pemeriksaan laboratorium menunjukkan kadar FT4 43,49 pmol/L, tyroid-stimulating hormone (TSH) 0,1 UIU/mL, dan peroksida anti-tiroid (anti-TPO) 0,31 IU/mL (negatif). Pemeriksaan USG tiroid menunjukkan struma difusa. Pasien mendapat terapi 600 mg PTU dan diikuti dengan 200 mg PTU empat kali sehari. Propanolol 40 mg sehari, Deksametason 40 mg sehari melalui intravena, dan Iodin Lugol empat kali sehari. Selama pengobatan, kondisi klinis pasien membaik, krisis tiroid teratasi dan keadaan janin dalam keadaan baik.
FAKTOR RISIKO PASIEN NEFROPATI DIABETIK YANG DIRAWAT DI BAGIAN PENYAKIT DALAM RSUP DR. M. DJAMIL PADANG Harie Satria ES; Eva Decroli; Afriwardi Afriwardi
Jurnal Kesehatan Andalas Vol 7, No 2 (2018)
Publisher : Fakultas Kedokteran, Universitas Andalas

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25077/jka.v7i2.794

Abstract

Diabetes melitus yang tidak terkontrol akan menyebabkan terjadinya berbagai komplikasi kronik, baik mikrovaskuler maupun makrovaskuler. Penyakit akibat komplikasi mikrovaskular yang dapat terjadi pada pasien diabetes yaitu retinopati dan nefropati diabetik. Nefropati Diabetik adalah komplikasi diabetes melitus pada ginjal yang dapat berakhir sebagai gagal ginjal. Penyakit ginjal (nefropati) merupakan penyebab utama kematian dan kecacatan pada diabetes melitus. Tujuan penelitian ini adalah melihat gambaran faktor risisko yaitu tekanan darah, glukosa darah dan kadar lipid pada penderita diabetes melitus tipe II di RSUP Dr. M. Djamil Padang tahun 2013. Metode yang digunakan adalah deskriptif retrospektif dengan desain cross sectional terhadap 37 sampel pasien diabetes melitus tipe II yang dilaksanakan pada bulan September sampai Oktober 2015 di bagian rekam medis RSUP Dr. M. Djamil Padang. Subjek penelitian ini adalah sampel penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dalam penelitian dan kemudian disajikan dalam tabel distribusi dan frekuensi. Hasil penelitian menunjukkan 70,3% pasien nefropati diabetik mengalami hipertensi. Gambaran glukosa darah pasien nefropati diabetik didapatkan bahwa sebesar 70,1% pasien nefropati diabetik memiliki glukosa darah sewaktu yang cukup tinggi ( >200 mg/dl). Gambaran kadar lipid darah pasien nefropati diabetik didapatkan sebesar 94,6% pasien nefropati diabetik mengalami dislipidemia.
Hubungan Jumlah Komplikasi Kronik Dengan Derajat Gejala Depresi Pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Di Poliklinik Rsup Dr. M. Djamil Padang Try Rahmi Lussii Karsuita; Eva Decroli; Delmi Sulastri
Jurnal Kesehatan Andalas Vol 5, No 3 (2016)
Publisher : Fakultas Kedokteran, Universitas Andalas

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25077/jka.v5i3.600

Abstract

AbstrakKomplikasi akibat penyakit Diabetes Melitus (DM) dapat menyebabkan terjadinya perubahan psikologis, salah satunya adalah gejala depresi pada pasien DM. Tujuan penelitian ini adalah menentukan perbedaan jumlah komplikasi kronik pada setiap derajat depresi pada pasien DM tipe 2. Penelitian ini menggunakan desain analitik observasional yang dilaksanakan dari Maret sampai Mei 2014 di Poliklinik RSUP Dr. M. Djamil Padang. Sampel dalam penelitian ini terdiri dari 76 pasien DM. Jumlah komplikasi kronik diketahui dengan melihat rekam medik pasien, sedangkan derajat gejala depresi dinilai dengan wawancara menggunakan kuesioner Beck Depression Inventory (BDI) II. Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang mengalami gejala depresi sebanyak 27 orang (35,5%). Derajat gejala depresi normal atau minimal sebanyak 64,5%, derajat ringan sebanyak 27,6% dan derajat sedang sebanyak 7,9%. Gejala depresi pada responden dengan satu komplikasi sebesar 6,9%, dengan dua komplikasi 42,4%, dengan tiga komplikasi 88,8 % dan empat komplikasi sebesar 60%. Setelah dilakukan analisis dengan uji Kruskal Wallis didapatkan bahwa terdapat perbedaan rerata jumlah komplikasi kronik pada setiap derajat depresi pada pasien DM tipe 2 (p < 0,001).Kata kunci: diabetes melitus tipe 2, gejala depresi, komplikasi kronikAbstractComplications due to diabetes disease can cause psychological changes, such as depression symptom. The objective of this study was to reveal the difference of the number of chronic complications on every single degree of depression in patients with type 2 diabetes. This was an analytic study that carried out from March to May 2014 in the polyclinic of RSUP Dr. M. Djamil Padang. The subject consisted of 76 diabetic patients. The number of chronic complications was identified by looking at the medical record of patients, whereas the degree of depressive symptom assessed by interview using a questionnaire BDI II. The results showed that respondents having depression symptom are made up by 27 people (35.5%). The amount of normal or minimal depression was 64.5%, mild depression is 27.6 %, and 7.9% for moderate depression. Depression symptoms on the respondents that having one complication is 6.9%, 42.4% for two complications, 88% for three complications and 60% for four complications. Kruskal Wallis test showed that there is the difference of the mean of chronic complication on every single degree of depression.Keywords: :type 2 diabetes mellitus, depression symptoms, chronic complications
The Effect of Thionamide to TRH, TSH, IL-4, T-REG, and Anti-TPO in Graves’ Disease Eva Decroli; Dwitya Elvira; Dinda Aprilia
Indonesian Journal of Pharmacy Vol 30 No 2, 2019
Publisher : Faculty of Pharmacy Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Skip Utara, 55281, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (774.604 KB) | DOI: 10.14499/indonesianjpharm30iss2pp122-127

Abstract

The most common cause of hyperthyroidism is Graves' disease. TRH and TSH are hormonal factors that modulate and control thyroid function in Graves' disease. In the immunological aspect, Graves' disease is played by the role of T-reg, IL-4, and anti-TPO. Graves' disease treatment goal is to inhibit thyroid hormone secretion by administering thionamide. The evaluation of this treatment is its hormonal and immunological aspects. To describe the effect of thionamide on serum TRH, TSH, IL-4, T-reg, and anti-TPO levels in Graves' disease. This study is a clinical trial study in 25 study participants. All study participants were given thionamide, namely PTU 300mg for three months and blood samples were taken for laboratory tests. Serum TRH, TSH, IL-4, T-reg FOXP3, and anti-TPO levels were examined by ELISA. The mean levels at the beginning and after three months of therapy are: serum TRH 92.589pg/mL and 115.944pg/mL; serum TSH 0.041mU/L and 0.223mU/L; serum IL-4 19.759pg/mL and 23.040pg/mL; T-reg FOXP3 gene polymorphism 0.621ng/mL and 0.518 ng/mL; serum anti-TPO 2697.539pg/mL and 2604.710pg/mL. Increased levels of serum TRH and TSH levels were statistically significant. The change in serum IL-4, T-reg FOXP3 gene polymorphism, and anti-TPO levels were not statistically significant. The administration of thionamide in Graves' disease for three months will significantly decrease Wayne index and serum FT4 levels, increase serum TRH and TSH levels.
Pengaruh Radioterapi Terhadap Kadar TSH dan T4 pada Pasien Tumor Ganas Kepala dan Leher Ade Chandra; Sukri Rahman; Al Hafiz; Eva Decroli; Hafni Bachtiar
Oto Rhino Laryngologica Indonesiana Vol 48, No 2 (2018): Volume 48, No. 2 July - December 2018
Publisher : PERHATI-KL

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (283.248 KB) | DOI: 10.32637/orli.v48i2.238

Abstract

Latar belakang: Tumor ganas kepala dan leher adalah tumor ganas yang berasal dari epitel traktus aerodigestif atas. Radioterapi adalah salah satu modalitas talaksana pada tumor ganas kepala dan leher. Kelenjar tiroid akan terpapar radioterapi selanjutnya merangsang terjadinya kelainan pada kelenjar tiroid. Hipotiroid merupakan efek samping yang paling umum terjadi akibat radioterapi. Diagnosis hipotiroid ditegakkan melalui pemeriksaan laboratorium yaitu didapatkan peningkatan TSH dan penurunan T4. Tujuan: Mengetahui pengaruh radioterapi terhadap kadar TSH dan T4 pasien tumor ganas kepala dan leher di RSUP Dr. M. Djamil, Padang. Metode: Analitik cross sectional dengan desian pre and post test only pada                            10 responden tumor ganas kepala dan leher. Sampel berupa darah vena yang dihitung kadar TSH dan T4 menggunakan alat Vidas 3. Data dianalisis dengan uji t berpasangan. Hasil analisis statistik dinyatakan bermakna bila didapatkan hasil p<0,05. Hasil: Nilai rerata kadar TSH sebelum dan setelah radioterapi didapatkan 0,57 ± 0,512 µIU/ml. Nilai rerata kadar T4 sebelum dan setelah radioterapi didapatkan 0,721 ± 0,508 µg/dL. Uji t bepasangan didapatkan peningkatan rerata kadar TSH setelah radioterapi dengan p = 0,004 yang menunjukkan peningkatan bermakna rerata kadar TSH setelah radioterapi dan didapatkan penurunan rerata kadar T4 setelah radioterapi dengan p = 0,001 yang menunjukkan penurunan bermakna rerata kadar T4 setelah radioterapi. Kesimpulan: Terdapat peningkatan bermakna rerata kadar TSH serta penurunan rerata kadar T4 sebelum dan setelah radioterapi pada pasien tumor ganas kepala dan leher walau belum melewati nilai normal.ABSTARCTBackground: Head and neck cancers are malignancies that originate from upper aerodigestive tract epithelium. Radiotherapy is one of the modalities treatments for head and neck cancer. Thyroid glands which exposed by radiotherapy, furthermore can induce abnormalities. Hypothyroid is a most common abnormality that occur after radiotherapy. Diagnosis hypothyroidism can be established through laboratory examination that is obtained an increased levels of TSH and decreased levels of T4. Purpose: To determine effect radiotherapy on levels of TSH and T4 in patients with head and neck cancer in Dr. M. Djamil Hospital, Padang.     Methods: Cross sectional analytic study with pre and post test only on 10 respondents with head and neck cancer. Samples taken from venous blood then TSH and T4 were counted with Vidas 3. Data was analyzed with paired t-test. The statistical result was significant with p<0,05.             Result: Mean value of TSH before and after radiotherapy is 0,57 ± 0,512 µUI/ml. Mean value of T4 before and after radiotherapy is 0,721 ± 0,508 µg/dL. From paired t-test resulted an increase of TSH mean value after radiotheraphy with p = 0,004 which implies a significant enhancement of TSH mean value after radiotheraphy and decreasing T4 mean value after radiotheraphy with p = 0,001 which implies a significant deflation of T4 mean value after radiotheraphy. Conclusions: There was significant enhancement of TSH mean and significant deflation of T4 mean value before and after radiotherapy on patients with head and neck cancer even still within normal value.  Keywords: Radiotheraphy, TSH, T4, head and neck cancer.
KADAR APOLIPOPROTEIN B 100 SERUM PADA PENDERITA NEFROPATI DIABETIKUM Eva Decroli
Majalah Kedokteran Andalas Vol 38, No 2 (2015): Published in September 2015
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Andalas

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (460.429 KB) | DOI: 10.22338/mka.v38.i2.p99-107.2015

Abstract

AbstrakPenelitian ini bertujuan untuk mengetahui kadar Apolipoprotein B 100 serum pada penderita nefropati diabetikum. Metode penelitian ini dengan desain cross sectional yang bersifat deskriptif analitik. Populasi adalah semua pasien yang menderita diabetes mellitus tipe 2 yang dirawat di bagian penyakit dalam atau kontrol ke poliklinik khusus metabolik endokrin RSU Dr. M. Djamil Padang. Sampel penelitian adalah pasien diabetes mellitus tipe 2 dengan proteinuria positif yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi yang diambil secara konsekutif. Sampel penelitian diambil dari darah vena dalam keadaaan puasa selama 12 jam. Pemeriksaan apolipoprotein B 100 serum dilakukan di laboratorium klinik swasta, dengan menggunakan metode imunoturbidimetri. Albumin creatinin ratio merupakan perbandingan kadar albumin urin terhadap kreatinin urin dengan metode pemeriksaan imunoturbidimetri. Pada penelitian ini didapatkan rerata kadar Apolipoprotein B 100 serum yaitu 86,10 mg/dl (nilai normal 66-101 mg/dl) dengan standar deviasi 27,997. Simpulan: Tidak terdapat peningkatan kadar apolipoprotein B 100 serum pada penderita nefropati diabetikum.AbstractThis study aims to examine Apolipoprotein B 100 serum level in diabetic nephropathy patient. Study design was cross sectional with analytic descriptive. Population is all type 2 diabetes mellitus inpatient and outpatient in internal medicine M Djamil hospital. Sample is all type 2 diabetes mellitus consecutive patient with positive proteinuria and fullfilled inclusion and exclusion criteria. Vein blood was taken after 12 hours-fasting. Apolipoprotein B 100 serum check at non-governmental laboratory by immunoturbidimetry methode. Albumin creatinin ratio check by immunoturbidimetry methode. Result: Apolipoprotein B 100 serum level is 86.10 mg/dl (normal value 66-101 mg/dl) with standar deviation 27.997. Conclusion: There is no significant enhancement of apolipoprotein B 100 serum level in diabetic nephropathy patient.
COVID-19 dengan Komorbid Tuberkulosis Paru dan Diabetes Melitus Muthia Faurin; Fauzar Fauzar; Roza Kurniati; Alexander Kam; Eva Decroli
Jurnal Ilmu Kesehatan Indonesia Vol 1 No 3 (2020): November 2020
Publisher : Fakultas Kedokteran, Universitas Andalas

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1149.558 KB) | DOI: 10.25077/jikesi.v1i3.466

Abstract

A 61-year-old man was admitted a confirmed COVID-19 with comorbid pulmonary tuberculosis and type 2 diabetes mellitus. The patient was given favipiravir therapy, category 1 of antituberculosis drug, and insulin therapy. The patient responded well to therapy with improved clinical and laboratory indicators. Key words: COVID-19, pulmonary tuberculosis, diabetes mellitus
Characteristics of Non-Alcoholic Fatty Liver Disease Patients at Dr. M. Djamil General Hospital Padang Husna Yetti; Nada Utami Prahastiwi; Restu Susanti; Eva Decroli; Saptino Miro
The Indonesian Journal of Gastroenterology, Hepatology, and Digestive Endoscopy Vol 21, No 3 (2020): VOLUME 21, NUMBER 3, December 2020
Publisher : The Indonesian Society for Digestive Endoscopy

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (571.035 KB) | DOI: 10.24871/2132020171-176

Abstract

Background: Non-Alcoholic Fatty Liver Disease (NAFLD) is emerging as chronic liver disease, both in developed and developing countries. NAFLD affects up to 25% population worldwide. The incidence of NAFLD associated with various risk factors supporting the development of the fatty liver. This study aim is to know the characteristics of NAFLD patients.Method: Retrospective study was conducted from medical records to find the characteristics of patients diagnosed with NAFLD  at Dr. M. Djamil General Hospital from January 2016 – December 2018.Results: Seventy-seven patients were diagnosed with NAFLD. The majority of  NAFLD patients were male and female at 36-45 years old and female at 65 years old. Unemployed females were more prevalent compared to males. Dyslipidemia was the most component of a metabolic syndrome found in NAFLD patients. From laboratory findings, 55.56% of patients have increased aspartate aminotransferase (AST) levels, while 52.78%  have increased alanine aminotransferase (ALT) levels. Ultrasonography used widely as a diagnostic device to detect NAFLD. Pharmacological therapy based on American Asociation for the Study of Liver Disease (AASLD) recommendation that used widely to treat patients with NAFLD was statin.Conclusion: The incidence of NAFLD was found to vary in different age ranges and sexes. Dyslipidemia occurred in most of NAFLD patients. AST and ALT levels increased in about half of the patients. Abdomen ultrasound as a diagnostic modality that was widely used.
Mekanisme Molekuler Dari Resistensi Insulin Pada Diabetes Melitus Tipe Dua Eva Decroli
Majalah Kedokteran Andalas Vol 45, No 4 (2022): Online October 2022
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Andalas

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25077/mka.v45.i4.p610-618.2022

Abstract

Diabetes melitus merupakan kelainan endokrin yang paling sering ditemukan. Salah satu patofisiologi utamanya adalah resistensi jaringan target terhadap insulin. Pada tahap seluler, resistensi insulin adalah adanya kemampuan yang tidak adekuat dari insulin signaling pada reseptor insulin terhadap molekul pada proses aksi insulin. Sekuensi patofisiologi yang tepat yang menyebabkan resistensi insulin masih belum banyak diketahui. Tujuan: Untuk mengetahui mekanisme molekuler dari resistensi insulin pada diabetes melitus tipe dua. Metode: Artikel ini ditulis berdasarkan studi kepustakaan yang berhubungan dengan mekanisme molekuler dari resistensi insulin pada diabetes melitus tipe dua. Hasil:  Banyak molekul yang terlibat dalam pengolahan intraseluler dari insulin signaling yang diperankan oleh insulin, IRS-2, PKB, protein Foxo dan P85 subunit PI-3 kinase. Disfungsi-disfungsi dari molekul ini menyebabkan resistensi insulin in vivo. Identifikasi defek signaling dan pemahaman hubungan kompleks dari faktor yang berbeda dalam memodulasi sensitivitas insulin yang merupakan prasyarat penting untuk pengembangan senyawa anti-diabetes baru dan lebih spesifik. Simpulan: Dengan menjelaskan mekanisme molekuler pada insulin signaling yang bertanggung jawab untuk resistensi insulin, dapat dipahami sebagian besar dari resistensi insulin secara molekuler.
Capaian Pelaksanaan Empat Pilar Pengelolaan Diabetes Melitus di Wilayah Kerja Puskesmas Mungo Muhammad Luthfi; Eva Decroli; Firdawati Firdawati
Jurnal Ilmu Kesehatan Indonesia Vol 3 No 1 (2022): Maret 2022
Publisher : Fakultas Kedokteran, Universitas Andalas

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25077/jikesi.v3i1.869

Abstract

Latar Belakang: Angka kejadian diabetes melitus selalu meningkat setiap tahun akibat faktor genetik dan pola hidup yang tidak sehat. Pengelolaan yang tidak tepat akan mempengaruhi kualitas hidup pasien akibat adanya komplikasi. Untuk mencegahnya, dibutuhkan pengelolaan diabetes melitus yang terdiri atas manajemen glukosa, terapi nutrisi, aktivitas fisik serta penggunaan fasilitas kesehatan. Objektif: Mengetahui persentase capaian pelaksanaan empat pilar pengelolaan diabetes melitus dan karakteristik pasien diabetes melitus di wilayah kerja Puskesmas Mungo pada tahun 2022 Metode: Penelitian ini merupakan survey deskriptif kuantitatif menggunakan kuesioner DSMQ (diabetes self-management questionnaire) terhadap pasien diabetes melitus yang berada di wilayah kerja Puskesmas Mungo yang telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Hasil: Terdapat 101 responden yang telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dalam penelitian ini. Mayoritas responden merupakan perempuan (76,2%) dan berusia ≥60 tahun (55,4%). Pendidikan terakhir responden sebagian besar merupakan tamatan SD/sederajat (27,7%). Mayoritas responden tidak bekerja (51,5%) dan terdiagnosis diabetes melitus selama kurang dari 5 tahun (49,5%). Mayoritas responden tidak pernah mengalami hipoglikemia (90,1%), tidak memiliki alat pengukur gula darah sendiri (88,1%) dan menggunakan obat antidiabetes oral (87,1%). Mayoritas responden melakukan manajemen glukosa (59,4%), kontrol diet (37,6%) dan perawatan kesehatan (55,4%) dengan baik, namun mayoritas responden melaksanakan aktivitas fisik yang buruk (46,5%). Berdasarkan seluruh indikator DSMQ, mayoritas responden melaksanakan self-management dalam kategori cukup 46,5%. Kesimpulan: Mayoritas responden telah melakukan manajemen glukosa, kontrol diet dan perawatan kesehatan dengan baik. Namun aktivitas fisik dinilai buruk.