Isngadi Isngadi
Bagian Anestesiologi Dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran, Universitas Brawijaya/ RSUD Dr. Saiful Anwar Malang

Published : 40 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 40 Documents
Search

Perbandingan Efek Pemberian Ondansetron dan Petidin Intravena untuk Mencegah Menggigil Pasca Anestesi Umum Arie Zainul Fatoni; Isngadi Isngadi; Wiwi Jaya
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 6, No 2 (2014): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14710/jai.v6i2.7718

Abstract

Latar belakang : Menggigil merupakan komplikasi yang sering terjadi pasca tindakan anestesi umum yang berdampak tidak nyaman pada pasien dan menimbulkan berbagai resiko. Oleh sebab itu, menggigil perlu dicegah atau diatasi. Sampai saat ini obat yang paling sering digunakan di RSSA adalah petidin. Akan tetapi petidin mempunyai efek samping mual, muntah dan depresi napas. Ondansetron merupakan antagonis 5-HT3 yang mempunyai efek anti mual, anti muntah dan anti menggigil.Tujuan : Mengetahui perbedaan efek pemberian ondansetron 0.1 mg/kgbb dengan petidin 0.4 mg/kgbb intravena untuk mencegah menggigil pasca anestesi umum.Metode : Penelitian eksperimental dengan rancangan “single blind true experimental design” pada 32 pasien dengan usia 18 – 40 tahun yang menjalani operasi 1 – 3 jam dengan anestesi umum. Pada akhir operasi, pasien dibuat bernafas spontan. Dua puluh menit sebelum ekstubasi, pasien dibagi menjadi dua kelompok : kelompok I mendapatkan petidin 0.4 mg/kgbb dan kelompok II mendapatkan ondansetron 0.1 mg/kgbb. Ekstubasi dilakukan setelah pasien bernafas spontan adekuat dan refleks laring sudah ada. Pasca ekstubasi pasien diberi oksigen 8L/menit. Tanda vital, efek samping dan kejadian menggigil dicatat tiap lima menit selama 30 menit. Uji statistik dilakukan dengan menggunakan Mann Whitney, dengan derajat kemaknaan yaitu nilai p< 0.05.Hasil : Data karakteristik pasien antara kedua kelompok tidak berbeda bermakna (p>0.05). Kejadian menggigil pada kelompok I terjadi pada 4 pasien (25%), menggigil derajat 1 pada 3 pasien dan sisanya derajat 2. Pada kelompok II, 3 pasien (18.75%) mengalami kejadian menggigil, menggigil derajat 1 pada 2 pasien dan sisanya derajat 2. Kejadian dan derajat menggigil antara kedua kelompok tidak berbeda bermakna (p>0.05). Suhu membran timpani kelompok I dan kelompok II juga tidak bermakna (p>0.05). Dua pasien (12.5%) pada kelompok I mengalami mual sedangkan pada kelompok II tidak didapatkan efek samping (p=0.151) tetapi secara statistik tidak berbeda bermakna (p>0.05).Kesimpulan : Petidin 0.4 mg/kgbb dan ondansetron 0.1mg/kgbb mempunyai efek yang sama dalam mencegah menggigil pasca anestesi umum.
Perbedaan Tekanan Balon Pipa Endotrakeal Setelah Perubahan Posisi Supine ke Lateral Decubitus Anton Wuri Handayanto; Hari Bagianto; Isngadi Isngadi
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 5, No 1 (2013): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (658.276 KB) | DOI: 10.14710/jai.v5i1.6554

Abstract

Latar belakang: Tekanan balon pipa endotrakeal (ETT) akan menimbulkan komplikasi bila diberikan lebih atau kurang dari batas aman yang direkomendasikan. Perubahan tekanan ini, dapat disebabkan oleh perubahan posisi.Tujuan: Penelitian ini bertujuan mengetahui perbedaan tekanan balon ETT setelah perubahan posisi supine ke lateral decubitus.Metode: Penelitian ini merupakan uji klinis eksperimental untuk mengetahui perbedaan tekanan balon ETT setelah perubahan posisi supine ke lateral decubitus pada pasien yang menjalani anestesi umum. Sampel diambil dengan cara consecutive sampling dalam satu kelompok (n=40). Variabel yang diukur pada penelitian ini adalah tekanan balon ETT pada saat posisi supine dan pada saat setelah posisi lateral decubitus.Hasil: Didapatkan sampel sebanyak 40 subjek. Rerata tekanan balon ETT pada posisi supine adalah 25±0,00 mmHg dan pada posisi lateral decubi tus 31,3±2,88 mmHg. T erdapat perbedaan yang signifikan pada tekanan balon ETT saat diposisikan supine dan lateral decubitus (p=0,00), dimana pada saat diposisikan lateral decubitus tekanan balon ETT lebih tinggi daripada tekanan balon ETT saat diposisikan supine.Simpulan: Terdapat perbedaan yang signifikan pada tekanan balon ETT setelah perubahan posisi pasien dari supine ke lateral decubitus. Perubahan posisi ini terbukti dapat meningkatkan tekanan balon ETT. Berdasarkan penelitian ini, disarankan perlu penggunaan alat pengukur tekanan balon ETT pada setiap tindakan anestesi umum dengan intubasi ETT khususnya untuk operasi yang memerlukan posisi pasien lateral decubitus, guna memastikan tekanan balon ETT selalu dalam batas aman. Sehingga komplikasi akibat tekanan balon ETT diluar batas aman tidak terjadi dan keamanan pasien tetap terjaga.
Anesthesia Management for Section Cesarean Delivery in Patient with Severe Mitral Stenosis Fanniyah Fanniyah; Isngadi Isngadi
Solo Journal of Anesthesi, Pain and Critical Care (SOJA) Vol 2, No 1 (2022): April 2022
Publisher : Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20961/soja.v2i1.55441

Abstract

Background: Heart defects in pregnancy is one main nonobstetric factor causing morbidity and mortality in pregnant women. Mitral stenosis is common in pregnancy. The choice of anesthetic management has to consider hemodynamics, type of heart disease, and drugs used. Neuraxial anesthesia has been significantly used because it is considered safer than general anesthesiaCase: A 26-year-old woman with gestational age 32-34 weeks with severe mitral stenosis, moderate mitral regurgitation, severe tricuspid regurgitation, pulmonary hypertension, pericardial effusion, and atrial fibrillation underwent cesarean section with a low dose of spinal anesthesia using 5mg bupivacaine heavy 0.5% and Fentanyl 50 mcg. The sensory and motoric block was achieved in 5 minutes. Hemodynamic was stable during the perioperative phase. There was no heart failure or postoperative hemodynamic deterioration.Conclusion: Low-dose spinal anesthesia using 5 mg of bupivacaine and fentanyl adjuvant can be used in cesarean section in patients with severe mitral stenosis due to rapid onset, adequate block level, stable hemodynamic, block duration, and healthy born babies.Keywords: Pregnancy; mitral stenosis; C-section; neuraxial block; low dose
Perbandingan Outcome Teknik Spinal Anestesi Dosis Rendah Dibandingkan Dosis Biasa pada Sectio Caesarea Darurat Di Rumah Sakit dr. Saiful Anwar Vidya Sulistyawan; Isngadi Isngadi; Ristiawan Muji Laksono
Journal of Anaesthesia and Pain Vol 1, No 2 (2020): May
Publisher : Faculty of Medicine, Brawijaya University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21776/ub.jap.2020.001.02.02

Abstract

Latar belakang: Sectio caesarea (SC) adalah operasi darurat terbanyak pada obstetrik. Spinal anestesia direkomendasikan untuk section cesarean. Akan tetapi, ffek samping spinal anestesia tersering (hipotensi) dapat menimbulkan efek samping fetomaternal. Spinal anestesia dosis rendah diduga dapat mengurangi efek samping spinal anestesia. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui perbandingan outcome spinal anestesia dosis rendah dibanding dosis biasa pada operasi section cesarean darurat.Metode: Penelitian ini merupakan studi retrospektif pada 119 pasien yang menjalani  SC dengan spinal anestesia. Kelompok A mendapat bupivacaine heavy 5mg + adjuvant (dosis rendah), kelompok B mendapat bupivacaine heavy 7,5mg + adjuvant (dosis rendah), kelompok C mendapat bupivacaine heavy >8mg + adjuvant (dosis biasa). Outcome diteliti yaitu tekanan darah dan nadi ibu menit ke 0,3,6,9. waktu capai ketinggian blok T10-T6, Bromage score, dan Apgar score bayi. Data penelitian dianalisa statistik menggunakan uji normalisasi dan homogenitas, Korelasi Spearman, One-Way ANOVA, Kruskal wallis dan Mann Whitney dengan p≤0,05.Hasil:  Tidak ada beda yang signifikan antara tekanan darah dan nadi pada menit ke 0,3,6, dan 9, waktu capai Bromege 2-3 (p ≥ 0,05), waktu capai T10-T6 (p≥ 0,05) dan Apgar score pada ketiga kelompok penelitian. Akan tetapi waktu kembali Bromage 0 kelompok spinal dosis rendah  dan dosis biasa memiliki beda yang signifikan (p  ≤0,05).Kesimpulan: Outcome tekanan darah, nadi, waktu capai blok T10-T6, bromege score 2-3, Apgar score tidak berbeda signifikan pada spinal anestesia dosis rendah dibanding dosis biasa. Waktu kembali bromege 0 berbeda signifikan pada spinal anestesia dosis rendah dibandingkan dosis biasa.
Pengaruh Penggunaan Alcohol Swab Terhadap Tingkat Kontaminasi Bakteri pada Blade Laringoskop di Kamar Operasi Sentral Rumah Sakit Saiful Anwar Buyung Hartiyo Laksono; Isngadi Isngadi; Muhammad Rizqan Khalidi
Journal of Anaesthesia and Pain Vol 1, No 1 (2020): January
Publisher : Faculty of Medicine, Brawijaya University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21776/ub.jap.2020.001.01.03

Abstract

Latar belakang: Infeksi nosokomial masih menjadi masalah di dunia kesehatan dengan angka kejadian infeksi yang cukup tinggi. Salah satu penyebab tingginya infeksi nosokomial adalah penggunaan peralatan yang terkontaminasi bakteri. Laringoskop merupakan salah satu alat yang banyak mengalami kontak langsung dengan pasien pembedahan dan memiliki potensi sebagai agen pembawa kontaminan. Belum ada standard internasional maupun nasional untuk desinfeksi atau dekontaminasi laringoskop. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan teknik alcohol swab terhadap tingkat kontaminasi blade laringoskop di kamar operasi rumah sakit umum Dr. Saiful Anwar Malang.Metode: Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental. Sampel penelitian adalah 32 buah blade laringoskop yang dibagi menjadi kelompok. Kelompok kontrol/ kelompok I (n=16) tidak diberi perlakuan alcohol swab dan kelompok perlakuan/ kelompok II (n=16) diberi perlakuan alcohol swab. Analisis bakteri dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya. Analisis data menggunakan uji One-Way ANOVA pada software SPSS 16.0. Hasil: Jumlah kontaminasi bakteri pada kelompok kontrol signifikan lebih tinggi (75%) dibandingkan kelompok perlakuan (35,5%)(p<0,05). Blade laringoskop yang mendapat perlakuan alcohol swab memiliki tingkat kontaminasi bakteri yang lebih rendah daripada blade laringoskop yang tidak mendapat perlakuan alcohol swab.Kesimpulan: Alcohol swab 70% dapat digunakan untuk memaksimalkan proses desinfeksi dengan cara menurunkan tingkat kontaminasi bakteri.
Anesthesia Management in Patient with Uncorrected Double Outlet Right Ventricle Underwent Cesarean Section: Serial Case Report Ilham Fadlilah; Ruddi Hartono; Isngadi Isngadi
Journal of Anaesthesia and Pain Vol 3, No 1 (2022): January
Publisher : Faculty of Medicine, Brawijaya University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21776/ub.jap.2022.003.01.06

Abstract

Background: Double outlet right ventricle (DORV) is a rare cardiac condition in which the heart demonstrates single ventricle physiology. Pregnancy complicates cyanotic heart disease as the decrease in systemic vascular resistance (SVR) worsens the right-to-left shunt. The effect worsens by neuraxial anesthesia for cesarean delivery. Anesthesia for these patients needs understanding for the physiology of DORV in order to maintain stable hemodynamics. Heart defect still become non obstetric main factor causing morbidity and mortality in pregnant woman.Case: We present three case of parturients with DORV scheduled for cesarean section. Elective caesarean section was scheduled using spinal anesthesia hyperbaric bupivacain combined with fentanyl.  Hemodynamic during operation was stable.Conclusion: Low dose spinal anesthesia performed in this patient did not cause hypotension and minimal hemodynamic changes because the intensity of the sympathetic block was lower.
Transversus Abdominis Plane Block sebagai Analgesia Post-operatif pada Pasien Sectio Caesarea dengan Stenosis Mitral Berat Eko Nofiyanto; Ristiawan Muji Laksono; Isngadi Isngadi
Journal of Anaesthesia and Pain Vol 1, No 2 (2020): May
Publisher : Faculty of Medicine, Brawijaya University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21776/ub.jap.2020.001.02.06

Abstract

 Latar belakang: Pasien pasca seksio sesarea dapat mengalami nyeri postoperatif dengan rerata skor nyeri 4,7 (skala 10). Komplikasi nyeri postoperatif pada pasien dengan komorbid kardiak dapat mengakibatkan disfungsi organ kardiopulmoner. Transversus abdominis plane block (TAP blok) sebagai blok saraf perifer memberikan analgesia pada dinding abdomen anterior. Studi kasus ini bertujuan untuk mengetahui skala nyeri post operatif, waktu mobilisasi dan lama hari rawat inap serta komplikasi kardiak post operatif pada pasien seksio sesarea dengan komorbid kardiak stenosis mitral berat  yang diberikan TAP blok sebagai bagian multimodal analgesiaKasus: Pasien perempuan 31 tahun, kehamilan ke 2, usia kehamilan 34-36 minggu dengan Pre eklampsia berat, stenosis mitral berat, regurgitasi mitral ringan, regurgitasi trikuspid sedang,regurgitasi pulmonal ringan, ejection fraction (EF) 79,11%, hipertensi pulmonal high probability, Gagal  jantung stadium B fungsional II. Menjalani tindakan seksio sesarea, dengan regional anestesi Sub Arachnoid Block. Setelah operasi dilakukan TAP blok bilateral dipandu ultrasound dengan regimen Ropivacaine 0,25% total volume 30 cc. Monitoring hemodinamik post operatif dilakukan di ruang rawat intensif. Pasien diamati skala nyeri selama dirawat, waktu mobilisasi dan lama hari rawat inap. Dari hasil pengamatan didapatkan hemodinamik stabil, skala nyeri 0-1 selama di rawat tanpa tambahan analgesia opioid, mobilisasi aktif dimulai hari ke 2, dan lama rawat inap selama 4 hari.Kesimpulan: TAP Blok sebagai bagian dari multimodal analgesia memberikan analgesia yang aman dan efektif pada pasien seksio sesarea dengan komorbid kardiak stenosis mitral berat, mencegah komplikasi kardiak, menurunkan penggunaan opioid, mempercepat waktu mobilisasi dan hari rawat inap sama dengan pasien normal. 
Manajemen Anestesi pada Pasien dengan Sindroma Eisenmenger yang Menjalani Seksio Sesarea Dewi Puspitorini Husodo; Scarpia P; Rachma C; Isngadi Isngadi
Jurnal Anestesi Obstetri Indonesia Vol 1 No 1 (2018): September
Publisher : Indonesian Society of Obstetric Anesthesia and Critical Care (INA-SOACC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47507/obstetri.v1i1.22

Abstract

Pendahuluan sindroma Eisenmenger adalah penyakit jantung bawaan sianotik, termasuk di dalamnya hipertensi pulmonal dengan bidirectional maupun R-L shunt. Penurunan resistensi pembuluh darah sistemik dalam kehamilan akan meningkatan derajat R-L shunt. Mortilitas maternal pada kehamilan dengan sindroma Eisenmenger dilaporkan sekitar 30–70%. Wanita 35 tahun, gravida 32–33 minggu dengan atrial septal defect (ASD )sekundum 1,5cm, regurgitasi tricuspid berat, regurgitasi pulmonal sedang, pulmonal hipertensi berat, ejection fraction (EF) 34%, gagal jantung stage C fungsional klas III, sindroma Eisenmenmenger, saturasi preinduksi 90% dengan non rebreathing mask (NRM) 10 lpm. Kasus kedua, wanita gravida 32 minggu dengan ASD sekundum, regurgitasi trikuspid berat, regurgitasi pulmonal sedang, EF 13%, gagal jantung stage C fungsional klas IV, sindroma Eisenmenger, saturasi preindukasi 66% dengan non rebreathing mask (NRM) 10 lpm. Keduanya menjalani seksio sesarea dengan anestesi umum. Pada kasus pertama, didapatkan atonia uteri yang menyebabkan perdarahan masif dan penurunan tiba-tiba pada alirah darah balik sistemik yang berujung pada kematian. Pada kasus kedua, pasien tidak dapat beradaptasi dengan aliran darah balik uterus setelah bayi lahir. Hal tersebut menyebabkan penurunan saturasi dan hipotensi yang menurunkan tekanan ventrikel kanan, yang berujung pada kematian. Sebagai simpulan, kehamilan dengan sindroma Eisenmenger memiliki insidensi kematian tinggi. Penanganan intensif multidisiplin diperlukan baik dalam operasi elektif dan gawat darurat. Baik anestesi umum maupun regional memiliki kelebihan dan kekurangan tergantung kondisi pasien saat datang. Anesthesia Management in Eisenmenger Syndrome Patient Underwent Caesarean Section Abstract Eisenmenger syndrome is a cyanotic congenital heart disease that includes pulmonary hypertension with reversed or bidirectional shunt. The decreased of systemic vascular resistance is associated with pregnancy increases the degree of right to left shunting. The maternal mortality rate of pregnancy in the presence of Eisenmenger syndrome is reported 30–70%. Female 35yo, gravida 32-33 weeks with secundum ASD 1,5cm, severe tricupid regurgitation, moderate pulmonal regurgiation, severe pulmonal hypertension, ejection fraction (EF) 34%, heart failure stage C functional class III, Eisenmenger syndrome, preinduction oxygen saturation 90% on non rebreathing mask 10 lpm. Second case, 32 weeks pregnant woman with secundum ASD, severe tricupid regurgitation, moderate pulmonal regurgiation, EF 13%, heart failure stage D functional class IV, Eisenmenger syndrome, saturation preinduction 66% on NRM 10 lpm. Both of them undergoing section caesaria with general anesthesia. In first case, uterine atony that leads to massive bleeding makes sudden decrease in systemic vascular resistence and may result in sudden death. In second case, the patient can not adapt the uterine back flow after delivery that makes the saturation decrease and sudden hypotention which make insufficient right ventricular pressure leading to mortality. As conclusion, pregnancy with Eisenmenger syndrome has high mortality incidence. Multidicipline high care treatment is needed for this case, both in elective and emergency setting. Both general and regional anesthesia have advantage and disadvantage, depends on the patient condition.
Atrial Septal Defect dengan Hipertensi Pulmonal Berat yang Dijadwalkan untuk Seksio Sesarea Muhammad Rodli; Isngadi Isngadi
Jurnal Anestesi Obstetri Indonesia Vol 1 No 1 (2018): September
Publisher : Indonesian Society of Obstetric Anesthesia and Critical Care (INA-SOACC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47507/obstetri.v1i1.24

Abstract

Kelainan jantung kongenital dan sistem kardiovaskular terjadi pada 7 sampai 10 per 1.000 kelahiran hidup (0,7%–1,0%). Penyakit jantung kongenital adalah bentuk penyakit bawaan yang paling umum dan sekitar 30% dari semua kejadian penyakit bawaan. Cacat jantung kongenital yang paling sering terabaikan pada masa kanak-kanak adalah Atrial Septal Defect (ASD) sekundum. Resiko operasi non-jantung akan meningkat jika ditemukan gagal jantung, hipertensi pulmonal dan sianosis. Dilaporkan kasus primigravida berumur 33 tahun, dengan usia kehamilan 32–34 minggu yang menjalani seksio sesarea. Pada pemeriksaan fisik didapatkan nadi 100 x/menit (reguler), tekanan darah 115/74 mmHg, saturasi oksigen 90-94% dengan suplemen oksigen 10 L/menit, edema pada kedua tungkai, tekanan vena jugular (JVP) tidak meningkat. Hasil laboratorium dalam batas normal. Hasil echocardiografi menunjukkan adanya ASD sekundum (berdiameter 2–3 cm), bidirectional shunt dominan kanan ke kiri (sindroma Eisenmenger), regurgitasi trikuspid, hipertensi pulmonal berat dengan perkiraan tekanan sistolik ventrikel kanan 109 mmHg dan ejeksi sistolik ventrikel kiri 67%. Teknik anestesi yang digunakan adalah anestesi epidural. Dilakukan pemasangan kateter vena sentral untuk memantau tekanan vena sentral. Regimen epidural yang digunakan adalah bupivacaine plain 0,3% dan fentanyl 50 mcg total volume 15 ml dengan teknik titrasi. Selama seksio sesarea, tekanan darah stabil, detak jantung dan saturasi oksigen baik. Pasien dipantau di ruang pemulihan selama 1 jam dan kemudian dipindahkan ke ICU dan dipulangkan pada hari ke 10 pasca operasi. Kesimpulan, pasien dengan ASD dan hipertensi pulmonal yang menjalani seksio sesarea dapat dilakukan anestesi epidural dengan teknik titrasi. Atrial Septal Defect with Severe Pulmonary Hypertension was Scheduled for Cesarean Section Abstract Congenital abnormalities of the heart and cardiovascular system occur in 7 to 10 per 1,000 of live births (0.7 - 1.0%). Congenital heart disease is the most common form of congenital diseases and amounted to approximately 30% of all incidents of congenital diseases. Congenital heart defects are most often neglected in childhood is secundum atrial septal defect (ASD). The risk for non-cardiac surgery would increase if found heart failure, pulmonary hypertension and cyanosis. A 33-years old primigravida, in labor at 32-34 weeks of gestation who underwent caesarean section under epidural anesthesia. On physical examination pulse was 100 x/min, blood pressure was 115/74 mmHg, oxygen saturation was 90-94% with oxygen supplement 10 L/min, bilateral pitting pedal edema was present. All the laboratory results within normal limits. 2D Echo results osteum secundum ASD (2-3 cm in diameter), bidirectional shunt dominan right to left shunt (Eisenmenger’s syndrome), Tricuspid Regurgitation, Severe Pulmonary Hypertension with an estimated right ventricle systolic pressure of 109 mmHg and left ventricle systolic ejection fraction of 67%. The anesthetic technique was epidural anesthesia. We performed central venous catheter to monitoring central venous pressure. The epidural regimens used were bupivacaine plain 0,3% and fentanyl 50 mcg total volume 15 ml with titration techniques. During cesarean section, patient was stable blood pressure, heart rate and oxygen saturation. Patient was monitored in recovery room for 1 hour and then transferred to ICU and discharged on 10th postoperative day. Conclusion, patients with ASD and severe pulmonary hipertention, we can perform epidural anesthesia with titration techniques.
Low Dose Spinal dan Epidural untuk Seksio Sesarea Pasien dengan Patent Ductus Arteriosus Devi Ariani; Isngadi Isngadi
Jurnal Anestesi Obstetri Indonesia Vol 2 No 1 (2019): Maret
Publisher : Indonesian Society of Obstetric Anesthesia and Critical Care (INA-SOACC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47507/obstetri.v2i1.30

Abstract

Wanita hamil dengan penyakit jantung bawaan terjadi perubahan hemodinamik peningkatan kardiovaskular, perhatian dan terapi yang khusus dibutuhkan. Penambahan obat opioid meningkatkan dosis anestesi lokal, hemodinamik stabil, meningkatkan efek analgetik. Kasus: Satu, wanita 26 tahun gravida 30–32 minggu, PDA besar L-R shunt, hipertropi konsentrik ventrikel kiri, trivial atrium regurgitasi, pulmonal regurgitasi sedang, trikuspid regurgitasi sedang, pulmonal hipertensi berat, EF 57%. Dua, wanita 22 tahun gravida 37–38 minggu, preterm premature rupture of membrane, PDA besar L-R shunt, pulmonal hipertensi berat, penurunan fungsi sistolik ventrikel kiri, EF 54%, bekas seksio sesarea. Keduanya menggunakan teknik regional anestesi dosis rendah. Pembahasan: Teknik menggunakan combine spinal epidural (CSE) dengan spinal 5 mg bupivacain heavy 0,5% dan fentanyl 50 mcg, epidural bupivacain 0,125% dan fentanyl 30 mcg meningkatkan anestesi untuk seksio sesarea, dan hemodinamik stabil pada pasien kelainan katup. Opioid intratekal mereduksi anestesi lokal dan hipotensi, kemampuan anestesi terjaga. Simpulan: Dosis rendah CSE dengan 5 mg bupivacain heavy 0,5 % dan 50 mcg, dengan epidural bupivacain 0,125% dan fentanyl 30 mcg adekuat untuk pasien seksio sesarea dengan kelainan jantung. Low-dose Spinal and Epidural Patients for Caesarean Section Patients with Patent Ductus Arteriosus Abstract Pregnant women with congenital heart diseases hemodynamic changes during pregnancy increasing cardiovascular, it’s need attention and special treatment. Opiod addition scan decrease the dose of local anesthetic drugs, prevent hemodynamic fluctuation, increase the analgesia effect. Case: First case, female 26 years with gravida 30-32 weeks with large PDA Left to Right shunt, consentrik left ventrikel hipertrophy, trivial atrium regurgitation, moderate pulmonal regurgitation, moderate tricuspid regurgitation, severe pulmonal hypertension, EF 57%. Second case, female 22 years with gravida 37-38 weeks, PPROM , large PDA Left to Right shunt, pulmonal hypertension severe, function systolic left ventrikel decreasing, EF 54%, former section caesaria. Both of them undergoing section caesaria with low dose regional anesthesia. Discussion: In this case with used CSE with Spinal 5 mg Bupivacaine heavy 0,5 % and fentanyl 50 mcg, Epidural bupivacain 0,125 % and fentanyl 30 mcg provided adequate anaesthesia for section cesarean delivery, and haemodynamic stability in patient with valvular cardiac disease. The synergism between intrathecal opioid sareductionin the dose of local anaesthetic and reduce hypotension, while still maintaining adequate anaesthesia. Conclussion: Low dose CSE with 5 mg bupivacaine heavy 0,5% and fentanyl 50 mcg, and epidural bupivacain 0,125% and fentanyl 30 mcg provided adequate for sectio cesarian patient with cardiac disease, with stable of haemodynamic.