Claim Missing Document
Check
Articles

Found 12 Documents
Search

PERKEMBANGAN PENAFSIRAN DELIK MAKAR DALAM KUHP DI INDONESIA Yuni Ristanti; Lalu Parman; Ufran Ufran
Kertha Semaya : Journal Ilmu Hukum Vol 10 No 1 (2021)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (429.27 KB) | DOI: 10.24843/KS.2021.v10.i01.p03

Abstract

Tujuan penelitian untuk mengetahui dan mengenalisis perkembangan penafsiran delik Makar dalam KUHP di Indonesia. Adapun metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif. Hasil penelitian diperoleh bahwa makar terdapat pada pasal 87, 104, 106, 107, 110 KUHP. Permulaan perbuatan makar dalam KUHP sudah disebut sebagai delik makar. Pengertian makar berdasarkan penafsiran hakim pada masa pemerintahan presiden Joko Widodo adalah ancaman membunuh presiden melalui sosial media dan makar menggulingkan pemerintah melalui materi gugatan atau disebut makar melalui pengadilan. Segala bentuk perbuatan selama tujuannya untuk makar sesuai pasal-pasal 104, 106, 107 KUHP disebut sebagai delik makar. The purpose of the study was to identify and identify the development of the interpretation of the Makar offense in the Indonesian Criminal Code. The research method used is normative legal research. The results showed that treason is found in articles 87, 104, 106, 107, 110 of the Criminal Code. The beginning of the act of treason in the Criminal Code is already referred to as a treason offense. The definition of treason based on the interpretation of judges during the reign of President Joko Widodo is the threat to kill the president through social media and treason to overthrow the government through lawsuits or called treason through the courts. All forms of action as long as the purpose is to commit treason in accordance with articles 104, 106, 107 of the Criminal Code are referred to as treason offenses.
KONSEP PENYERTAAN DALAM TINDAK PIDANA PENCURIAN MENURUT KUHP Hariyanto Hariyanto; Lalu Parman; Ufran Ufran
Kertha Semaya : Journal Ilmu Hukum Vol 9 No 12 (2021)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (436.172 KB) | DOI: 10.24843/KS.2021.v09.i12.p10

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis konsep penyertaan dalam Pasal 55 KUHP serta untuk menganalisis Penerapan konsep penyertaan dalam putusan hakim terkait tindak pidana pencurian. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian normatif dengan pendekatan konseptual (conceptual approach); pendekatan kasus (case approach); dan pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach) terkait isu hukum. Hasil penelitian ini adalah Penerapan konsep Penyertaan dalam Putusan Pengadilan Negeri Tais Nomor 51/Pid.B/2017/PN Tas. Dalam bentuk penganjuran (uitlokking). Pertimbangan hakim tidak menjelaskan pola hubungan antar pelaku sehingga terjadi suatu penyertaan dalam bentuk menganjurkan (uitlokking). Dalam putusan tersebut yang terjadi bukan merupakan suatu tindak pidana pencurian, melainkan penganjuran dalam tindak pidana pencurian yang berakhir dengan suatu percobaan (pooging). Selain dalam Putusan Pengadilan Negeri Tais Nomor 51/Pid.B/2017/PN Tas. Penerapan konsep penyertaan dalam putusan tindak pidana pencurian dapat dilihat dalam Pengadilan Negeri Baturaja Nomor :628/Pid.B/2015/PN.BTA dalam bentuk menyuruh melakukan (doen plegen). Putusan tersebut bukan merupakan menyuruh melakukan (doen plegen) melainkan merupakan suatu penganjuran (uitlokking). Karena dalam putusan tersebut, pelaku langsung atau pelaku materiel tidak memiliki kesalahpahaman (dwaling) terhadap unsur dari delik yang dilakukan. This study aims to analyze the concept of inclusion in Article 55 of the Criminal Code and to analyze the application of the concept of inclusion in the judge's decision related to the crime of theft. The method used in this research is a normative research method with a conceptual approach; case approach; and the statute approach related to legal issues. The results of this study are the application of the concept of participation in the Tais District Court Decision Number 51/Pid.B/2017/PN Tas. In the form of recommendation (uitlokking). The judge's consideration did not explain the pattern of relations between the actors so that there was an inclusion in the form of recommending (uitlokking). In the decision, what happened was not a criminal act of theft, but a suggestion in a criminal act of theft which ended with a trial (pooging). Apart from the Tais District Court Decision Number 51/Pid.B/2017/PN Tas. The application of the concept of inclusion in the decision on the crime of theft can be seen in the Baturaja District Court Number: 628/Pid.B/2015/PN.BTA in the form of ordering to do (doen plegen). The decision is not an order to do it (doen plegen) but is a suggestion (uitlokking). Because in the decision, the direct perpetrator or material perpetrator did not have a misunderstanding (dwaling) of the elements of the offense committed.
IDENTIFIKASI PENGGOLONGAN KEJAHATAN BIOTERORISME DALAM PERSPEKTIF TINDAK PIDANA TERORISME Hardiyanti Astuti; Lalu Parman; Ufran Ufran
Kertha Semaya : Journal Ilmu Hukum Vol 9 No 12 (2021)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (415.983 KB) | DOI: 10.24843/KS.2021.v09.i12.p20

Abstract

Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengidentifikasi dan menganalisis Bioterorisme dalam Perspektif Undang-Undang Pemeberantasan Tindak Pidana Terorisme. Jenis penelitian yang digunakan yakni penelitian hukum normatif. Hasil penelitian yang didapatkan bahwa pada undang-undang anti terorisme di Indonesia, pembahasan mengenai tindakan yang dikategorikan sebagai Bioterorisme hanya dibahasa secara general, adapun beberapa tindakan yang bisa dikategorikan sebagai bioterorisme dalam UU tersebut seperti : mengembangkan, menyimpan, mengirim, menjual maupun melepaskan agen biologi potensial sebagai senjata biologis. The purpose of this study is to identify and analyze Bioterism in the Perspective of the Law on the Eradication of Criminal Acts of Terrorism. The type of research used is normative legal research. The results of the research that get are that in the anti-terrorism law in Indonesia, discussions about actions that are categorized as bioterrorism are only discussed in general terms, while some actions that can be categorized as bioterrorism in the law are: developing, storing, sending, selling or releasing agents. potential as a biological weapon.
PENERAPAN KETENTUAN TINDAK PIDANA KORUPSI BERDASARKAN SEMA NOMOR 3 TAHUN 2018 Dena Murdiawati; Lalu Parman; ufran ufran
Jurnal Dinamika Sosial Budaya Vol 23, No 1 (2021): Juni (2021)
Publisher : Universitas Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26623/jdsb.v23i1.2924

Abstract

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis Penerapan Tindak Pidana Korupsi berdasarkan SEMA Nomor 3 Tahun 2018 serta Implikasi Yuridis terhadap kepastian dan keadilan Hukum. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian Normatif yang dilakukan dengan meneliti bahan Pustaka dan peraturan-peraturan yang terkait dengan Penerapan Tindak Pidana Korupsi berdasarkan SEMA Nomor 3 Tahun 2018 serta Implikasi Yuridis SEMA Nomor 3 Tahun 2018 terhadap kepastian hukum dan keadilan. Pendekatan yang dilakukan adalah Pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Teori yang digunakan adalah teori Kepastian hukum, teori keadilan dan teori hierarki peraturan perundang-undangan Hasil penelitian ini menunjukan bahwa Penerapan Tindak Pidana Korupsi pada pasal 2 dan pasal 3 berdasarkan SEMA Nomor 3 Tahun 2018 tidak digantungkan berdasarkan kualitas pribadi seseorang tetapi dilihat berdasarkan kerugian negara yang ditimbulkan apabila kerugian negara diatas Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah) maka akan dikenakan Pasal 2 dan jika kerugian keuangan negara dibawah Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah) akan dikenakan Pasal 3. Kemudian bagaimanakah Implikasi Yuridisi dari Sema Nomor 3 Tahun 2018 terhadap keadilan dan kepastian hukum.
Analisis Sosio Yuridis Terhadap Penyimpangan Dalam Pengadaan Barang Dan Jasa Rodliyah Rodliyah; Lalu parman
Journal Kompilasi Hukum Vol. 4 No. 2 (2019): Jurnal Kompilasi Hukum
Publisher : Universitas Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29303/jkh.v4i2.10

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tentang: (1) bentuk penyimpangan dalam pelaksanaan pengadaan barang dan jasa, (2) sanksi bagi pelaku yang melakukan penyimpangan dalam pengadaan barang dan jasa. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif-empiris, dengan pendekatan undang-undang (statute approah), pendekatan konseptual (conceptual approach), dan pendekatan sosiologis (sociological approach). Bentuk penyimpangan dalam pengadaan barang/jasa, yaitu kriteria penerimaan barang biasa, volume barang yang tidak sama dengan yang tertulis di dokumen lelang, jaminan pasca jual palsu, tidak sesuai spek dan kualifikasi teknis, adanya contract change order di tengah pengerjaan, dan memungkinkan terjadinya perubahan spek dan kualifikasi pekerjaan. Potensi berada pada lingkup Badan Anggaran DPR, Pokja Pengadaan Barang/Jasa, PPK, Kantor Kas Negara, dan pengawasan. Sanksi yang dijatuhkan kepada penyedia barang yang melakukan pelanggaran ter-hadap kontrak pengadaan barang/jasa adalah (1) sanksi digugurkan dalam pemilihan, (2) sanksi pencairan jaminan, (3) sanksi daftar hitarn, (4) sanksi ganti kerugian; dan/atau (5) sanksi denda.
KONSEP PENCABULAN VERBAL DAN NON VERBAL DALAM HUKUM PIDANA Eka Ayuningtyas; Rodliyah .; Lalu Parman
Jurnal Education and Development Vol 7 No 3 (2019): Vol.7.No.3.2019
Publisher : Institut Pendidikan Tapanuli Selatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1314.591 KB) | DOI: 10.37081/ed.v7i3.1261

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis Konsep Pencabulan Verbal dan Non Verbal Dalam Hukum Pidana, Hal ini dikarenakan Konsep Pencabulan Verbal dan Non Verbal Dalam Hukum Pidana tidak diatur secara spesifik dalam hukum Pidana terutama konsep pencabulan Verbal. Penelitian ini merupakan penelitian normatif dengan pendekatan perundang-undangan, konseptual, dan Kasus. Berdasarkan hasil penelitian yang disimpulkan Konsep Pencabulan dan/atau Kekerasan seksual Ringan berupa seksual secara Verbal ruanglingkup diantaranya komentar verbal, gurauan, porno, siulan, ejekan, dan secara non verbal diantaranya ekspresi wajah, gerakan tubuh ataupun perbuatan lainnya yang meminta perhatian seksual yang tidak dikehendaki korban bersifat melecehkan dan atau menghina korban. Konsep Pencabulan Verbal yang dapat dijangkau dalam KUHP pada Buku II Bab XIV diantaranya Tindakan melanggar kesusilaan secara terbuka (Pasal 281 ke-1), Tindakan menyebarluaskan materi asusila (Pasal 282), dan Tindakan mempermudah akses materi asusila (Pasal 283). Sedangkan Konsep Pencabulan Non Verbal dalam Bentuk Tindakan Percabulan termuat di KUHP diantaranya, Pasal 292, Pasal 293,Pasal 294, Pasal 294 (2) ke-1, Pasal 294 (2) ke-2,Pasal 295 (1) ke-1, Pasal 295 (1) ke-2, Pasal 295 (2), dan Pasal 296, (Empat belas bentuk kejahatan pencabulan) dapat dijangkaunya pencabulan non verbal yang menekankan aspek merusak tindakan percabulan.
PENYALAHGUNAAN WEWENANG DALAM PENERBITAN SERTIFIKAT HAK MILIK DI DALAM KAWASAN HUTAN (PERSPEKTIF HUKUM PIDANA TINDAK PIDANA KORUPSI) Edi Wansen; Amiruddin .; Lalu Parman
Jurnal Education and Development Vol 8 No 1 (2020): Vol.8.No.1.2020
Publisher : Institut Pendidikan Tapanuli Selatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (781.172 KB)

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan menganalisis konsep Penyalahgunaan Wewenang dalam Penerbitan Sertifikat Hak Milik di dalam Kawasan Hutan (perspektif hukum pidana tindak pidana korupsi) dan Pembuktian Penyalahgunaan Wewenang Dalam Penerbitan Sertifikat Hak Milik di Dalam Kawasan Hutan. Adapun hasil penelitian ini adalah bahwa Penerbitan sertifikat hak milik di dalam kawasan hutan, maka ruang lingkup tindakan atau perbuatan yang dilakukan baik oleh Pemohon maupun Panitia A adalah segala perbuatan atau tindakan yang melawan hukum atau berupa penyalahgunaan wewenang yang memenuhi unsur delik tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang RI Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 tahun 2001. Pembuktian kesalahan Penyalahgunaan Wewenang dalam Penerbitan Sertifikat Hak Milik di Dalam Kawasan Hutan seperti yang telah diputuskan dalam Putusan Pengadilan Negeri Mataram. Bahwa unsur penyalahgunaan wewenang tergambar dari adanya fakta bahwa Panitia A sebenarnya telah mengetahui adanya Kawasan Hutan Sekaroh, tetapi tidak meminta rekomendasi dari Dinas Kehutanan Provinsi Nusa Tenggara Barat sehingga menerbitkan 31 (tiga puluh satu) sertifikat hak milik (SHM) yang terdiri dari 22 (dua puluh dua) sertifikat hak milik yang seluruhnya masuk dalam Kawasan Hutan Sekaroh, 7 (tujuh) sertifikat hak milik yang sebagian masuk dalam Kawasan Hutan Sekaroh, dan hanya 2 (dua) sertifikat hak milik yang berada di luar Kawasan Hutan Sekaroh, yang berdasarkan norma hukum penerbitan sertifikat hak milik untuk tanah yang berada dalam kawasan hutan seharusnya dilaksanakan berdasarkan Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan karena status tanah tersebut terlebih dahulu harus dilepaskan sebagai kawasan hutan.
FUNGSI PREVENTIF SEKSI PENGAMANAN PEMBANGUNAN STRATEGIS PADA KEJAKSAAN TINGGI NUSA TENGGARA BARAT DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI Fajrin Irwan Nurmansyah; Amiruddin .; Lalu Parman
Jurnal Education and Development Vol 8 No 1 (2020): Vol.8.No.1.2020
Publisher : Institut Pendidikan Tapanuli Selatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (696.46 KB)

Abstract

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui Bagaimana pelaksanaan tugas dan fungsi Seksi Pengamanan Pembangunan Strategis dan Bagaimana pengaruh eksistensi Seksi Pengamanan Pembangunan Strategis pada Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Barat dalam tindak pidana korupsi. Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum empiris. Metode Pendekatan yang digunakan Pendekatan Sosiologi (Sociological Approach), Pendekatan Perundang-undangan (Statue Approach) dan Pendekatan Konsep (Conceptual Approach). Analisis data dilakukan dengan cara kualitatif yaitu dengan mengaitkan, membandingkan data primer dengan data sekunder antara persepsi, pandangan/pendapat, testimoni, dll. dari informan dengan konsep-konsep, teori-teori yang berkaitan dengan obyek penelitian dari informan Kepala Seksi Pengamanan Pembangunan. Tugas dan Fungsi Seksi Pengamanan Pembangunan Strategis baru diatur dalam Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor PER-006/A/JA/07/2017 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia, agar peraturannya diatur dalam undang-undang untuk lebih memperkuat lagi Tugas dan Fungsi Seksi Pengamanan Pembangunan Strategis. Agar Seksi Pengamanan Pembangunan Strategis pada Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Barat secara langsung melakukan pengawalan dan pengamanan terhadap proyek pembangunan strategis tanpa harus adanya permohonan pengawalan dan pengamanan supaya pencegahan tindak pidana korupsi menjadi maksimal.
Tindakan Maladministrasi Dalam Perspektif Tindak Pidana Korupsi Muhammad Anshori Sudirman; Amiruddin Amiruddin; Lalu Parman
Pagaruyuang Law Journal Volume 3 Nomor 2, Januari 2020
Publisher : Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31869/plj.v3i2.1952

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualifikasi tindakan maladministrasi dalam tindak pidana korupsi dan untuk mengetahui modus operandi tindakan maladministrasi dalam tindak pidana korupsi. Penelitian ini merupakan jenis penelitian normatif (Normative Legal Research), dengan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (Statute Approach), pendekatan konseptual (Konseptual Approach), dan pendekatan kasus (Case Approach). Adapun hasil penelitian ini adalah Kualifikasi tindakan maladministrasi dalam tindak pidana korupsi terletak pada mens rea (sikap batin) dari pelaku meladministrasi. Setiap pelaku maladministrasi yang berniat untuk melakukan tindakannya dengan tujuan untuk memperkaya diri sendiri, orang lain, atau suatu korporasi, dan berakibat pada kerugian keuangan negara dan perekonomian negara, maka tindakan tersebut merupakan tindak pidana korupsi. Setiap modus operandi tindakan maladministrasi dalam tindak pidana korupsi adalah perilaku dan perbuatan melawan hukum, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang itu, kelalaian, pengabaian kewajiban Hukum, dalam penyelenggaraan pelayanan publik, dilakukan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan, menimbulkan kerugian materiil dan/atau immaterial, bagi masyarakat dan orang perseorangan.
Kewenangan Penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang pada Komisi Pemberantasan Korupsi Dilla Pratiwi Puji Rahayu; Lalu Parman; Zainal Asikin
Indonesia Berdaya Vol 4, No 2 (2023)
Publisher : UKInstitute

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47679/ib.2023470

Abstract

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaturan mengenai kewenangan penuntutan perkara tindak pidana pencucian uang hasil tindak pidana korupsi di Indonesia dan menganalisis konsekuensi yuridis terhadap kewenangan penuntutan kewenangan penuntut umum menurut Pasal 68 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahandan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian Normatif yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka dan peraturan yang terkait dengan kewenangan penuntut umum menurut Pasal 68 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahandan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan perundang-undangan, pendekatan konseptual dan pendekatan kasus. Teori yang digunakan adalah teori kepastian hukum dan teori kewenangan. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa kewenangan melakukan penuntutan pada perkara tindak pidana pencucian uang terbatas yang tindak pidana asalnya adalah tindak pidana korupsi menurut pasal 6 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 dapat dilakukan oleh jaksa penuntut umum dari kejaksaan dan jaksa penuntut umum dari KPK apabila tindak pidana asalnya tindak pidana korupsi. Konsekuensi yuridis kewenangannya melakukan penuntutan tindak pidana pencucian uangĀ  sah menurut hukum karena berdasarkan sinkronisasi horizontal peraturan perundang-undangan lainnya dikaitkan dengan asas Lex Specialis Derogat Legi Generali, kewenangan melakukan penuntutan pada perkara TPPU yang tindak pidana asalnya adalah tindak pidana korupsi menurut Undang -Undang Nomor 19 Tahun 2019 dapat dilakukan oleh jaksa penuntut umum dari kejaksaan dan jaksa penuntut umum dari KPK apabila tindak pidana asalnya terbatas hanya tindak pidana korupsi.