Abstract. Fintech lending, operated by PT iGrow Resources Indonesia, has become one of the innovative solutions in providing easier and faster access to financing for the community. By utilizing technology, fintech lending allows individuals and small businesses to obtain loans without having to go through the complicated and lengthy processes that are common in traditional financial institutions. However, behind this convenience, there are significant challenges related to the application of the principle of utmost good faith in the standard contract used in the transaction. This research uses a normative juridical method with a descriptive-analytical approach to explore the issues that arise in the practice of fintech lending, particularly with regard to standardized contracts. The data collected includes secondary data, such as relevant laws and regulations, legal literature, and related documents. Through this analysis, it was found that some clauses in iGrow's standardized contracts, such as risk transfer and lack of transparency, are potentially harmful to lenders. These clauses can create dissatisfaction among lenders and undermine the principle of fairness in transactions, which should be the cornerstone of any agreement. Despite the legal protection regulations set out in POJK Number 6/POJK.07/2022, which includes preventive and repressive mechanisms, unfair practices can still occur. Abstrak. Fintech lending, yang dioperasikan oleh PT iGrow Resources Indonesia, telah menjadi salah satu solusi inovatif dalam memberikan akses pembiayaan yang lebih mudah dan cepat bagi masyarakat. Dengan memanfaatkan teknologi, fintech lending memungkinkan individu dan usaha kecil untuk mendapatkan pinjaman tanpa harus melalui proses yang rumit dan panjang seperti yang biasa terjadi di lembaga keuangan tradisional. Namun, di balik kemudahan ini, terdapat tantangan yang signifikan terkait penerapan prinsip utmost good faith dalam kontrak baku yang digunakan dalam transaksi. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan deskriptif-analitis untuk mengeksplorasi isu-isu yang muncul dalam praktik fintech lending, khususnya yang berkaitan dengan kontrak baku. Data yang dikumpulkan mencakup data sekunder, seperti peraturan perundang-undangan, literatur hukum, dan dokumen terkait yang relevan. Melalui analisis ini, ditemukan bahwa beberapa klausula dalam kontrak baku iGrow, seperti pengalihan risiko dan kurangnya transparansi, berpotensi merugikan lender. Klausula-klausula ini dapat menciptakan ketidakpuasan di kalangan lender dan menggugurkan prinsip keadilan dalam transaksi, yang seharusnya menjadi landasan dalam setiap perjanjian. Meskipun terdapat regulasi perlindungan hukum yang diatur dalam POJK Nomor 6/POJK.07/2022, yang mencakup mekanisme preventif dan represif, praktik yang tidak adil tetap bisa terjadi.