Rama Nusjirwan
Department Of Surgery, Faculty Of Medicine, Universitas Padjadjaran/Dr. Hasan Sadikin General Hospital, Bandung

Published : 12 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 12 Documents
Search

Bixa Orellana L Leaf infusion as an Anti-inflammatory Agent in Carrageenan-induced Wistar Rats Yusuf, Sabrina Munggarani; Rohmawaty, Enny; Nusjirwan, Rama
Althea Medical Journal Vol 1, No 2 (2014)
Publisher : Althea Medical Journal

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (712.412 KB)

Abstract

Background: One of the characteristics of inflammation is swelling or edema. Inflammation can be treated with traditional medicine, such as Bixa orellana L. Bixa orellana L leaf  contains flavonoid and tannin responsible for its anti-inflammatory effect. This study was conducted to analyse the ability of Bixa orellana L leaf infusion (BOLI) to suppress paw edema in carrageenan-induced Wistar rats.Methods: This study was conducted in the Animal Laboratory of Department of Pharmacology and Therapy Faculty of Medicine Universitas Padjadjaran in October 2012. Bixa orellana L leaves were procured from Lembang, Bandung, and were botanically identified at the Herbarium of Universitas Padjadjaran, Jatinangor. Thirty female Wistar rats were randomly divided into five groups. Group 1 was given 5 mL aquades as a control, three groups received BOLI with 0,09 g; 0,18 g; and 0,36 g dosage respectively; and group 5 was given 0,9 mg diclofenac. At 1 hour after treatment, all rats were induced by carrageenan injection subcutaneously. Paw edema changes were quantified at 0, 1, 2, 3, 4, 5, 6, and 24 hour afterwards. Data were analysed using Kruskal-Wallis and Mann-Whitney testResults: Based on paw edema inhibition percentage, 0.18 g of BOLI was shown most effective (16.97%) compared to 0.09 g (10.96%) and 0.36 g (7.50%). Interestingly, no significant differences of anti-inflammatory effect were observed between groups that were treated with 0,18 g of BOLI and diclofenac (p > 0,005).Conclusions: The BOLI can suppress inflammation comparable to diclofenac. The effective dosage is 0.18 g/200 g BW/day.[AMJ.2014;1(1):7–12]Keywords: anti-inflammatory, Bixa orellana L leaf, paw edema Infusa Daun Kesumba (Bixa Orellana L) sebagai Anti Inflamasi pada Tikus Wistar yang Diinduksi Carrageenan Latar Belakang: Salah satu ciri khas dari peradangan atau inflamasi adalah adanya pembengkakan atau edema. Peradangan dapat diobati  dengan obat tradisional, seperti Kesumba (Bixa orellana). Daun Kesumba diketahui mengandung flavonoid dan tanin yang berfungsi sebagai anti-inflamasi. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis kemampuan infusa daun kesumba (Bixa orellana) (BOLI) dalam mengurangi edema tungkai pada kaki tikus Wistar yang diinduksi Carrageenan.Metode: Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Hewan Departemen Farmakologi dan Terapi di Rumah Sakit Umum Dr. Hasan Sadikin Bandung pada bulan Oktober 2012. Daun Kesumba (Bixa Orellana) diperoleh dari Lembang, Bandung, dan diidentifikasi botani di Herbarium Universitas Padjadjaran, Jatinangor. Tiga puluh tikus Wistar betina secara acak dibagi menjadi lima kelompok. Kelompok kontrol negatif diberi 5 mL aquades, tiga kelompok menerima BOLI dengan 0,09 g; 0,18 g; dan masing-masing 0,36 g dosis; sedangkan kelompok kontrol positif diberikan 0,9 mg diklofenak. Pada 1 jam setelah pengobatan, semua tikus diinduksi oleh subkutan injeksi karagenan. Perubahan edema (Paw) yang diukur pada 0, 1, 2, 3, 4, 5, 6, dan 24 jam sesudahnya. Data dianalisis denganmenggunakanKruskal-Wallis dan uji Mann-Whitney.Hasil: Berdasarkan persentase pengurangan edema tungkai, kelompok 0,18g BOLI terlihat paling efektif (16,9%) dibandingkan dengan 0,09 g (10,9%) dan 0,36 g (7,5%). Tidak ada perbedaan yang signifikan dari efek anti-inflamasi yang diamati antara kelompok-kelompok yang diobati dengan 0,18 g BOLI dan diklofenak (p> 0.005).Simpulan: Infusa Daun Kesumba (Bixaorellana) dapat menekan peradangan sama baiknya dengan diklofenak. Dosis efektif adalah 0,18 g /200 g BB / hari.Kata kunci: anti-inflamasi, daun kesumba (Bixaorellana), edema tungkai DOI: 10.15850/amj.v1n2.347
Faktor-faktor Prediktor Mortalitas 30 Hari pada Pasien dengan Efusi Pleura Maligna yang Telah Dilakukan Chest Tube Thoracostomy di RSUP DR. Hasan Sadikin Hendro, Immanuel; Nusjirwan, Rama; Hapsari, Putie
Jurnal llmu Bedah Indonesia Vol 47 No 1 (2019): Artikel Penelitian
Publisher : Ikatan Ahli Bedah Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46800/jibi-ikabi.v47i1.15

Abstract

Latar Belakang: Efusi pleura maligna (EPM) adalah salah satu bentuk infiltrasi dan metastasis suatu kanker. Adanya EPM menunjukkan penyakit keganasan sudah berada pada tahap lanjut. Hal ini akan mempengaruhi kualitas hidup pasien serta mengindikasikan angka harapan hidup rendah. Dengan angka harapan hidup yang berkisar antara beberapa hari hingga 12 bulan, pasien kanker stadium lanjut akan menderita dari segi fisik, psikososial, dan spiritual, karenanya pengobatan bersifat paliatif dan fokus pada perbaikan kualitas hidup. Tatalaksana pasien dengan EPM adalah melakukan drainase cairan pleura, yang dapat dilakukan dengan chest tube thoracostomy (CTT) atau torakosintesis. Beberapa faktor dipercaya berpengaruh pada tingkat mortalitas pasien dengan EPM yang dilakukan CTT. Penelitian ini untuk mengetahui faktor- faktor prediktor mortalitas 30 hari pasien dengan EPM yang dilakukan CTT. Metode: Penelitian ini adalah studi kohort prospektif terhadap pasien EPM dan dilakukan CTT di RSUP Dr. Hasan Sadikin (RSHS) selama periode Desember 2017 – April 2018. Dilihat asal tumor, leukositosis, anemia, hipoprotein cairan pleura, kadar pH cairan pleura, skor performa ECOG, dan asidosis respiratorik, kemudian pasien di observasi selama 30 hari. Selanjutnya dilakukan uji statistik bivariat dengan uji Chi-Square dan Fisher, kemudian dilakukan uji statistik multivariat dengan menggunakan regresi logistik. Hasil: Terdapat 34 pasien EPM yang memenuhi syarat penelitian, mayoritas pasien hidup, yaitu sebanyak 23 pasien (67,6%). Rata-rata usia pasien yang hidup adalah 48,09 ± 16,209 tahun, sedangkan yang meninggal adalah 42,18 ± 18,110 tahun. Rata-rata lama rawat pasien yang hidup adalah 31,70 ± 11,392 hari, sedangkan yang meninggal adalah 6,64 ± 4,154 hari. Pada pasien EPM yang meninggal didapatkan beberapa faktor yang memiliki hubungan bermakna dengan angka mortalitas, yaitu asal tumor (p = 0,044), leukositosis (p = 0,039), anemia (p = 0,039), hipoprotein cairan pleura (p < 0,01), kadar pH cairan pleura (p < 0,01), dan skor performa ECOG (p < 0,01), sedangkan asidosis respiratorik tidak memiliki hubungan yang bermakna terhadap angka mortalitas (p = 0,549). Simpulan: Asal tumor, leukositosis, anemia, hipoprotein cairan pleura, kadar pH cairan pleura dan skor performa ECOG dapat dijadikan sebagai prediktor mortalitas 30 hari pada pasien dengan EPM yang dilakukan CTT.
Perbandingan Sensitivitas dan Spesifisitas Lung Organ Failure Score (LOFS) dan Thoracic Trauma Severity Score (TTSS) terhadap Pemakaian Ventilator pada Pasien Trauma Multipel disertai Trauma Tumpul Toraks Setiawan, Gideon; Murni, Tri Wahyu; Nusjirwan, Rama; Sobarna, Rachim
Jurnal llmu Bedah Indonesia Vol 47 No 1 (2019): Artikel Penelitian
Publisher : Ikatan Ahli Bedah Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46800/jibi-ikabi.v47i1.21

Abstract

Latar Belakang: Trauma multipel adalah cedera pada dua atau lebih sistem organ yang mengancam jiwa dan memerlukan perawatan di ruang ICU yang tersedia monitor, tenaga medis terampil, dan ventilator bila diperlukan. Namun ruang ICU tidak selalu ada, sehingga sebagian pasien akan dirawat di ruang HCU dan rawat biasa. Trauma multipel yang disertai trauma toraks akan meningkatkan mortalitas dan morbiditas. Penilaian awal serta tatalaksana harus dilaksanakan dengan akurat dan secepat mungkin. Penggunaan skor trauma dapat membantu untuk menentukan risiko gagal napas. Dengan mengetahui perbandingan sensitivitas dan spesifisitas skor LOFS dan TTSS, klinisi dapat mengetahui risiko gagal napas yang memerlukan ventilator. Metode: Penelitian ini merupakan suatu penelitian yang bersifat prospektif observasional untuk menilai perbandingan sensitivitas dan spesifisitas skor LOFS dan TTSS pada pasien trauma multipel yang disertai trauma tumpul toraks. Subjek penelitian adalah pasien yang masuk ke IGD RSUP DR. Hasan Sadikin Bandung periode 1 Januari 2017 – 31 Maret 2018 dengan metode simple random sampling. Pasien dilakukan survei primer dan dilakukan resusitasi, kemudian dinilai skor LOFS dan TTSS. Hasil: Terdapat 83 pasien yang memenuhi kriteria inklusi. Rancangan penelitian dirancang secara cross sectional. Analisis data memakai kurva ROC ( Receiver Operating Characteristic ). Trauma toraks yang paling sering terjadi adalah kontusio paru sebesar 74,7% dengan trauma penyerta terbanyak adalah trauma kepala sebanyak 54,4%. Prevalensi pemakaian ventilator dengan perawatan ruang ICU sebesar 25,3%. Skor LOFS memilki sensitivitas 85,1% dan spesifisitas 94,4%. Sedangkan skor TTSS memiliki nilai sensitivitas 83,3% dan spesifisitas 77,8%. Simpulan: Skor LOFS memiliki sensitivitas dan spesifisitas lebih tinggi dibandingkan skor TTSS dan bermakna secara statistik.
Bixa Orellana L Leaf infusion as an Anti-inflammatory Agent in Carrageenan-induced Wistar Rats Sabrina Munggarani Yusuf; Enny Rohmawaty; Rama Nusjirwan
Althea Medical Journal Vol 1, No 2 (2014)
Publisher : Faculty of Medicine Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (712.412 KB)

Abstract

Background: One of the characteristics of inflammation is swelling or edema. Inflammation can be treated with traditional medicine, such as Bixa orellana L. Bixa orellana L leaf  contains flavonoid and tannin responsible for its anti-inflammatory effect. This study was conducted to analyse the ability of Bixa orellana L leaf infusion (BOLI) to suppress paw edema in carrageenan-induced Wistar rats.Methods: This study was conducted in the Animal Laboratory of Department of Pharmacology and Therapy Faculty of Medicine Universitas Padjadjaran in October 2012. Bixa orellana L leaves were procured from Lembang, Bandung, and were botanically identified at the Herbarium of Universitas Padjadjaran, Jatinangor. Thirty female Wistar rats were randomly divided into five groups. Group 1 was given 5 mL aquades as a control, three groups received BOLI with 0,09 g; 0,18 g; and 0,36 g dosage respectively; and group 5 was given 0,9 mg diclofenac. At 1 hour after treatment, all rats were induced by carrageenan injection subcutaneously. Paw edema changes were quantified at 0, 1, 2, 3, 4, 5, 6, and 24 hour afterwards. Data were analysed using Kruskal-Wallis and Mann-Whitney testResults: Based on paw edema inhibition percentage, 0.18 g of BOLI was shown most effective (16.97%) compared to 0.09 g (10.96%) and 0.36 g (7.50%). Interestingly, no significant differences of anti-inflammatory effect were observed between groups that were treated with 0,18 g of BOLI and diclofenac (p > 0,005).Conclusions: The BOLI can suppress inflammation comparable to diclofenac. The effective dosage is 0.18 g/200 g BW/day.[AMJ.2014;1(1):7–12]Keywords: anti-inflammatory, Bixa orellana L leaf, paw edema Infusa Daun Kesumba (Bixa Orellana L) sebagai Anti Inflamasi pada Tikus Wistar yang Diinduksi Carrageenan Latar Belakang: Salah satu ciri khas dari peradangan atau inflamasi adalah adanya pembengkakan atau edema. Peradangan dapat diobati  dengan obat tradisional, seperti Kesumba (Bixa orellana). Daun Kesumba diketahui mengandung flavonoid dan tanin yang berfungsi sebagai anti-inflamasi. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis kemampuan infusa daun kesumba (Bixa orellana) (BOLI) dalam mengurangi edema tungkai pada kaki tikus Wistar yang diinduksi Carrageenan.Metode: Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Hewan Departemen Farmakologi dan Terapi di Rumah Sakit Umum Dr. Hasan Sadikin Bandung pada bulan Oktober 2012. Daun Kesumba (Bixa Orellana) diperoleh dari Lembang, Bandung, dan diidentifikasi botani di Herbarium Universitas Padjadjaran, Jatinangor. Tiga puluh tikus Wistar betina secara acak dibagi menjadi lima kelompok. Kelompok kontrol negatif diberi 5 mL aquades, tiga kelompok menerima BOLI dengan 0,09 g; 0,18 g; dan masing-masing 0,36 g dosis; sedangkan kelompok kontrol positif diberikan 0,9 mg diklofenak. Pada 1 jam setelah pengobatan, semua tikus diinduksi oleh subkutan injeksi karagenan. Perubahan edema (Paw) yang diukur pada 0, 1, 2, 3, 4, 5, 6, dan 24 jam sesudahnya. Data dianalisis denganmenggunakanKruskal-Wallis dan uji Mann-Whitney.Hasil: Berdasarkan persentase pengurangan edema tungkai, kelompok 0,18g BOLI terlihat paling efektif (16,9%) dibandingkan dengan 0,09 g (10,9%) dan 0,36 g (7,5%). Tidak ada perbedaan yang signifikan dari efek anti-inflamasi yang diamati antara kelompok-kelompok yang diobati dengan 0,18 g BOLI dan diklofenak (p> 0.005).Simpulan: Infusa Daun Kesumba (Bixaorellana) dapat menekan peradangan sama baiknya dengan diklofenak. Dosis efektif adalah 0,18 g /200 g BB / hari.Kata kunci: anti-inflamasi, daun kesumba (Bixaorellana), edema tungkai DOI: 10.15850/amj.v1n2.347
Hemoglobin Level Decrease after Open Heart Surgery in a Tertiary Hospital in Indonesia Anabella Nifulea; Reza Sudjud Widianto; Rama Nusjirwan
Althea Medical Journal Vol 7, No 3 (2020)
Publisher : Faculty of Medicine Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15850/amj.v7n3.1924

Abstract

Background: Open heart surgery is usually performed by connecting the heart to a cardiopulmonary bypass (CPB) machine. The use of the CPB machine may decrease the hemoglobin level and a very low hemoglobin levelcould cause seriouscomplications.This study aimed to explore the decrease in hemoglobin level after open heart surgery.Methods: A cross-sectional retrospective descriptive study was conducted on medical records of patients underwent coronary artery bypass graft (CABG) surgery and heart valve surgery in a tertiary hospital in Indonesia in  2018. The total sampling method was deployed to all medical records of patients underwent CABG surgery (n=25) and patients underwent heart valve surgery (n=3).Results: The decrease in hemoglobin level among young-adult female patients after heart valve surgery was 6.8 g/dl. The average decrease in mid-adult male and female patients after CABG surgery were 6 g/dl and 5.8 g/dl, respectively, and, after the heart valve surgery, the levels were 8.5 g/dl and 5.4 g/dl, respectively. The average decrease in Hb level among late-adult male and female patients after CABG surgery was 6.1 g/dl and 5.4 g/dl, respectively.Conclusion: Hemoglobin level decreases after an open heart surgery. Therefore, observation on the hemoglobin level to prevent complications and to facilitate early treatment is necessary.
Faktor-faktor Prediktor Mortalitas 30 Hari pada Pasien dengan Efusi Pleura Maligna yang Telah Dilakukan Chest Tube Thoracostomy di RSUP DR. Hasan Sadikin Immanuel Hendro; Rama Nusjirwan; Putie Hapsari
Jurnal llmu Bedah Indonesia Vol. 47 No. 1 (2019): Maret 2019
Publisher : Ikatan Ahli Bedah Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46800/jibi-ikabi.v47i1.15

Abstract

Latar Belakang: Efusi pleura maligna (EPM) adalah salah satu bentuk infiltrasi dan metastasis suatu kanker. Adanya EPM menunjukkan penyakit keganasan sudah berada pada tahap lanjut. Hal ini akan mempengaruhi kualitas hidup pasien serta mengindikasikan angka harapan hidup rendah. Dengan angka harapan hidup yang berkisar antara beberapa hari hingga 12 bulan, pasien kanker stadium lanjut akan menderita dari segi fisik, psikososial, dan spiritual, karenanya pengobatan bersifat paliatif dan fokus pada perbaikan kualitas hidup. Tatalaksana pasien dengan EPM adalah melakukan drainase cairan pleura, yang dapat dilakukan dengan chest tube thoracostomy (CTT) atau torakosintesis. Beberapa faktor dipercaya berpengaruh pada tingkat mortalitas pasien dengan EPM yang dilakukan CTT. Penelitian ini untuk mengetahui faktor- faktor prediktor mortalitas 30 hari pasien dengan EPM yang dilakukan CTT. Metode: Penelitian ini adalah studi kohort prospektif terhadap pasien EPM dan dilakukan CTT di RSUP Dr. Hasan Sadikin (RSHS) selama periode Desember 2017 – April 2018. Dilihat asal tumor, leukositosis, anemia, hipoprotein cairan pleura, kadar pH cairan pleura, skor performa ECOG, dan asidosis respiratorik, kemudian pasien di observasi selama 30 hari. Selanjutnya dilakukan uji statistik bivariat dengan uji Chi-Square dan Fisher, kemudian dilakukan uji statistik multivariat dengan menggunakan regresi logistik. Hasil: Terdapat 34 pasien EPM yang memenuhi syarat penelitian, mayoritas pasien hidup, yaitu sebanyak 23 pasien (67,6%). Rata-rata usia pasien yang hidup adalah 48,09 ± 16,209 tahun, sedangkan yang meninggal adalah 42,18 ± 18,110 tahun. Rata-rata lama rawat pasien yang hidup adalah 31,70 ± 11,392 hari, sedangkan yang meninggal adalah 6,64 ± 4,154 hari. Pada pasien EPM yang meninggal didapatkan beberapa faktor yang memiliki hubungan bermakna dengan angka mortalitas, yaitu asal tumor (p = 0,044), leukositosis (p = 0,039), anemia (p = 0,039), hipoprotein cairan pleura (p < 0,01), kadar pH cairan pleura (p < 0,01), dan skor performa ECOG (p < 0,01), sedangkan asidosis respiratorik tidak memiliki hubungan yang bermakna terhadap angka mortalitas (p = 0,549). Simpulan: Asal tumor, leukositosis, anemia, hipoprotein cairan pleura, kadar pH cairan pleura dan skor performa ECOG dapat dijadikan sebagai prediktor mortalitas 30 hari pada pasien dengan EPM yang dilakukan CTT.
Perbandingan Sensitivitas dan Spesifisitas Lung Organ Failure Score (LOFS) dan Thoracic Trauma Severity Score (TTSS) terhadap Pemakaian Ventilator pada Pasien Trauma Multipel disertai Trauma Tumpul Toraks Gideon Setiawan; Tri Wahyu Murni; Rama Nusjirwan; Rachim Sobarna
Jurnal llmu Bedah Indonesia Vol. 47 No. 1 (2019): Maret 2019
Publisher : Ikatan Ahli Bedah Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46800/jibi-ikabi.v47i1.21

Abstract

Latar Belakang: Trauma multipel adalah cedera pada dua atau lebih sistem organ yang mengancam jiwa dan memerlukan perawatan di ruang ICU yang tersedia monitor, tenaga medis terampil, dan ventilator bila diperlukan. Namun ruang ICU tidak selalu ada, sehingga sebagian pasien akan dirawat di ruang HCU dan rawat biasa. Trauma multipel yang disertai trauma toraks akan meningkatkan mortalitas dan morbiditas. Penilaian awal serta tatalaksana harus dilaksanakan dengan akurat dan secepat mungkin. Penggunaan skor trauma dapat membantu untuk menentukan risiko gagal napas. Dengan mengetahui perbandingan sensitivitas dan spesifisitas skor LOFS dan TTSS, klinisi dapat mengetahui risiko gagal napas yang memerlukan ventilator. Metode: Penelitian ini merupakan suatu penelitian yang bersifat prospektif observasional untuk menilai perbandingan sensitivitas dan spesifisitas skor LOFS dan TTSS pada pasien trauma multipel yang disertai trauma tumpul toraks. Subjek penelitian adalah pasien yang masuk ke IGD RSUP DR. Hasan Sadikin Bandung periode 1 Januari 2017 – 31 Maret 2018 dengan metode simple random sampling. Pasien dilakukan survei primer dan dilakukan resusitasi, kemudian dinilai skor LOFS dan TTSS. Hasil: Terdapat 83 pasien yang memenuhi kriteria inklusi. Rancangan penelitian dirancang secara cross sectional. Analisis data memakai kurva ROC ( Receiver Operating Characteristic ). Trauma toraks yang paling sering terjadi adalah kontusio paru sebesar 74,7% dengan trauma penyerta terbanyak adalah trauma kepala sebanyak 54,4%. Prevalensi pemakaian ventilator dengan perawatan ruang ICU sebesar 25,3%. Skor LOFS memilki sensitivitas 85,1% dan spesifisitas 94,4%. Sedangkan skor TTSS memiliki nilai sensitivitas 83,3% dan spesifisitas 77,8%. Simpulan: Skor LOFS memiliki sensitivitas dan spesifisitas lebih tinggi dibandingkan skor TTSS dan bermakna secara statistik.
Peranan Sistem Penilaian CAVeA2T2 dalam Memprediksi Maturasi Fistula Radiosefalika Ratna Astri Andhini; Teguh Marfen Djajakusumah; Putie Hapsari; Rama Nusjirwan
Jurnal llmu Bedah Indonesia Vol. 48 No. 1 (2020): Juni 2020
Publisher : Ikatan Ahli Bedah Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46800/jibi-ikabi.v48i1.54

Abstract

Latar Belakang. Berdasarkan panduan National Kidney Foundation-Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (NKF/KDOQI), fistula radiosefalika merupakan pilihan utama akses vaskular pada pasien yang menjalani hemodialisis. Fistula dikatakan matur apabila sesuai dengan rule of six (laju aliran >600mL/menit, diameter ?6mm dan berjarak sekitar ?6mm dari permukaan kulit). Sistem penilaian CAVeA2T2 (akses vena sentral ipsilateral, usia >73 tahun, vena <2,2mm, riwayat angioplasty pada tungkai bawah, dan tidak ditemukannya thrill intraoperatif) memiliki potensi dalam menilai maturasi fistula radiosefalika. Metode. Desain analitis menggunakan metode kohort prospektif dengan consecutive sampling untuk menilai perananan sistem penilaian CAVeA2T2 dalam memprediksi maturasi fistula radiosefalika. Populasi terjangkau adalah pasien gagal ginjal terminal (GGT) yang datang ke poliklinik Bedah Vaskular RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung dan RSKG Ny.R.A.Habibie yang akan menjalani operasi fistula radiosefalika. Uji statistik menggunakan uji univariat untuk dekskripsi data. Sampel dikelompokkan berdasarkan skor CAVeA2T2 (skor <2 dan ?2) dan status maturasi fistula (matur/non matur) kemudian dianalisis melalui perbandingan antar kelompok melalui model bivariat. Selanjutnya analisis untuk menguji hipotesis melalui analisis Chi-Square Fisher dengan batas kemaknaan 0,05. Hasil. Didapatkan 24 pasien (perbandingan laki-laki dan perempuan adalah 1:1) yang dilakukan analisis dengan rentang usia 21-76 tahun, rerata tekanan sistolik 149,2 (±28,4) mmHg. Didapatkan sitem penilaian CAVeA2T2 memiliki peranan dalam memprediksi maturasi fistula radiosefalika dengan probabilitas kesalahan statistik sebesar p<0,01 dan koefisien kontingensi sebesar C=0,674. Derajat peranan sistem penilaian CAVeA2T2 terhadap maturasi fistula radiosefalika tergolong sangat kuat berdasarkan klasifikasi Guilford. Kesimpulan. Sistem penilaian CAVeA2T2 memiliki peranan dalam memprediksi maturasi fistula radiosefalika. (ISSN 2723-7494 J Bedah Indonesia. 2020;48:15-37)
Pengaruh Kadar C-Reactive Protein Serum Preoperatif terhadap Maturasi Fistula Radiosefalika Dionisius Panji Wijanarko; Teguh Marfen Djajakusumah; Putie Hapsari; Rama Nusjirwan
Jurnal llmu Bedah Indonesia Vol. 48 No. 1 (2020): Juni 2020
Publisher : Ikatan Ahli Bedah Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46800/jibi-ikabi.v48i1.58

Abstract

Latar Belakang. Penyakit ginjal kronis merupakan masalah kesehatan masyarakat global dengan prevalensi dan insidensi Gagal Ginjal Terminal (GGT) yang meningkat. Riset Kesehatan Dasar Indonesia menyatakan perawatan penyakit ginjal menjadi beban kedua tertinggi pembiayaan BPJS. Penganti fungsi ginjal yang umum dilakukan adalah hemodialisis (HD) sehingga akses vaskular menjadi hal penting dalam penanganan GGT. Fistula arteriovena (AVF) radiosefalika merupakan pilihan akses HD yang utama. Respon endotel merupakan aspek penting dari remodeling pembuluh darah yang diperlukan untuk keberhasilan AVF. C-Reactive Protein (CRP) yang bersirkulasi tinggi dapat menyebabkan disfungsi endotel sehingga diduga memiliki nilai prediksi terhadap maturasi AVF. Metode. Desain analitik menggunakan metode kohort prospektif dengan consecutive sampling untuk menilai bagaimana pengaruh kadar CRP serum preoperatif terhadap maturasi AVF. Sampel diambil dari pasien GGT yang datang ke poliklinik Bedah RSUP Hasan Sadikin dan RSKG Ny.R.A.Habibie Bandung yang akan menjalani operasi AVF radiosefalika. Tes statistik menggunakan uji univariat untuk dekskripsi data. Perbedaan kadar CRP serum preoperatif berdasarkan perbedaan status maturasi AVF dianalisis melalui perbandingan kadar CRP serum preoperatif antar kelompok maturasi AVF melalui model bivariat uji t independen. Selanjutnya analisis untuk menguji hipotesis melalui analisis regresi logistik dengan batas kemaknaan 0,05. Hasil. Didapatkan 24 pasien (12 laki-laki, 12 perempuan) yang dilakukan analisis dengan rerata usia 45 (±16) tahun, rerata tekanan sistolik 149,2 (±28,4)mmHg. Didapatkan kadar CRP serum preoperatif berpengaruh negatif secara signifikan terhadap maturasi AVF dengan probabilitas kesalahan statistik sebesar p = 0,0285 (<0,05) dengan koefisien determinasi Nagelkerke (Nagelkerke R Squared) sebesar 71,1%. Derajat kuatnya pengaruh kadar CRP serum preoperatif terhadap maturasi AVF tergolong kuat/tinggi berdasarkan klasifikasi Guilford yaitu 0,843 (0,70 – 0,90). Kesimpulan. Terdapat pengaruh kadar CRP serum preoperatif terhadap maturasi fistula radiosefalika. Semakin tinggi kadar CRP serum preoperatif, semakin rendah probabilitas maturasi fistula radiosefalika. (ISSN 2723-7494 J Bedah Indonesia. 2020;48:70-89)
Traumatic diaphragm rupture treated with left anterolateral thoracotomy approach: a case report Aulia Novariza Fahman; Rama Nusjirwan; Euis Maryani; Navy Laksmono
Journal of Indonesia Vascular Access Vol. 2 No. 2 (2022): (Available Online: December 2022)
Publisher : Indonesian Vascular Access Association (IVAA)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51559/jinava.v2i2.21

Abstract

Background: Traumatic diaphragmatic rupture (TDR) is a life-threatening condition due to the herniation of abdominal organs into pleural cavities. Rupture can occur in patients with major blunt or penetration trauma of the lower chest. Blunt TDR is usually caused by momentary high energy damage and is associated with severe trauma. This study aims to evaluate our hospital's experience with managing patients with blunt TDR, including its incidence, modes of diagnosis, operative treatments, postoperative outcomes, and factors predictive of patient outcomes. Case Report: A 44 years old man was referred to our hospital complaining of dyspnea. Eleven hours before his admission, he was riding his motorcycle, fell to the road, and hit the tree on his left chest. After the accident, he feels dyspnea, chest pain, and abdominal pain. The patient was brought to the nearest hospital and underwent a chest x-ray and left chest tube insertion, with initial production was blood 1700 ml. On examination, there was an increased respiratory rate, a visible bruise of the posteroinferior left chest near the left flank and a pre-installed chest tube thoracostomy on the left chest. Chest x-ray showed an intrathoracic herniation of abdominal viscera, the "collar sign" appeared, and the abdomen x-ray showed the left upper quadrant abdominal organ displaced into the left thorax cavity. Thus suspected, the underlying condition of TDR in this patient. We decided to perform left anterolateral thoracotomy and continued with laparotomy and splenectomy Conclusion: TDR is a rare case. The trauma may include shearing a stretched diaphragm, avulsion from a muscular insertion point, or increased abdominal pressure exceeding the bursting pressure of the diaphragm. Intra-abdominal organ injuries are more common than intrathoracic injuries. Initial operative approaches were laparotomy and thoracotomy.