Claim Missing Document
Check
Articles

Found 17 Documents
Search

The Implementation of the Juvenile Justice System in Terrorism: Indonesia Case Rd. Yudi Anton Rikmadani; Puguh Aji Hari Setiawan
Jurnal Kajian Pembaruan Hukum Vol 2 No 1 (2022): January-June 2022
Publisher : University of Jember, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.19184/jkph.v2i1.27642

Abstract

ABSTRACT: This research aims to review the right to child protection as well as the implementation of the Juvenile Criminal Justice System (SPPA) based on court rulings. Behind the research is concern about the increasing number of children involved in terrorist networks in Indonesia. Some of them have been sentenced to prison for terrorism plots. The implementation of the SPPA Act and the PA Act has become a reference for law enforcement in addition to counter-terrorism legislation. The crime of terrorism is a crime that must be addressed immediately because it threatens the state, but the state remains obliged to ensure the fulfillment of the right to child protection during the judicial process with special protection. With the involvement of a child that is in relevance to the child protection act, it is a complex matter that needs to be resolved with a special analysis of law, due to its nature. This study examines court rulings with normative juridical methods to get significantly achieved results. In addition, this study also adds secondary resources such as article journals, books, reports, and any source that has relevance to the study. The results of the study found that the special protection of children in the Crime of Terrorism has not been met, by not considering the child as a victim, because of the actions he did the influence of persuasion as revealed in court. In addition, law enforcement does not seek diversion as mandated in the SPPA. To conclude the court's decision does not consider the regulations on PA and has not fully implemented the SPPA. KEYWORDS: Legislation on Terrorism, Children's Rights, Law Enforcement, Juvenile Justice.
IMPLEMENTASI VARIATION ORDER SEBAGAI KLAUSUL DERIVATIF TERHADAP RUANG LINGKUP TANGGUNG JAWAB PARA PIHAK TERKAIT DENGAN KEBERLANGSUNGAN DAN PELAKSANAAN PERJANJIAN Puguh Aji Hari Setiawan
SETARA : Journal Ilmu Hukum Vol 1, No 1 (2018): SETARA : Journal Ilmu Hukum
Publisher : SETARA : Journal Ilmu Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (394.876 KB)

Abstract

Dalam pelaksanaan kontrak konstruksi sering terjadi perubahan. Perubahan tersebut sangat lumrah terjadi karena keinginan dari Pengguna Jasa yang timbul selama pelaksanaan dari suatu proyek konstruksi yang disebabkan antara lain karena diinginkannya perubahan lingkup pekerjaan, perubahan spesifikasi teknik, perubahan jenis material, perubahan perencanaan arsitektural, perubahan metode kerja, percepatan pekerjaan, dan lain-lain.Variation Ordersebagai klausul derivative akan berkedudukan sebagai suatu rujukan atas adanya perubahan tertentu atas klausul kontrak awal. Kemungkinan atas adanya perubahan tersebut memang seolah-olah dilembagakan oleh para pihak. Namun demikian, ruang lingkup perubahan dan implementasinya terkadang belum dapat dipastikan pada tahap awal pembuatan kontrak. Selaras dengan salah satu syarat sahnya perjanjian sesuai dengan Pasal 1320 KUHPer ayat (3), yaitu mengenai “hal tertentu”, maka ketidakpastian atas perihal tertentu dari kontrak dapat menimbulkan potensi masalah atau setidak-tidaknya menimbulkan multi penafsiran. Dalam praktik dan perkembangannya, meskipun Variation Order telah dilembagakan oleh para pihak untuk mengakomodir berbagai perubahan yang mungkin terjadi terhadap kontrak awal, namun tetap saja berpotensi besar terhadap adanya permasalahan atau sengketa. Hal tersebut disebabkan karena adanya perbedaan penafsiran atas ruang lingkup pelaksanaan perubahan, administrasi kontrak yang kurang cermat, prosedur pengajuan Variation Order yang tidak sesuai, profesionalisme para pihak yang kurang, dan lain-lain. Kata Kunci: Variation Order, perjanjian, tanggungjawab para pihak
PENGATURAN PIDANA KEBIRI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA SEKSUAL TERHADAP ANAK DI BAWAH UMUR Puguh Aji Hari Setiawan; Asmanah Asmanah
SETARA : Jurnal Ilmu Hukum Vol 2, No 1 (2019): SETARA : Jurnal Ilmu Hukum
Publisher : Universitas Bung Karno

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (3300.736 KB) | DOI: 10.59017/setara.v2i1.210

Abstract

Pengaturan pidana kebiri kepada pelaku kekerasan seksal terhadap anak dibawah umur dengan menggunakan kimia dan alat deteksi elektronik terhadap pelaku pidana seksual dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2016 ternyata menimbulkan berbagai polemik di masyarakat, tidak akan menyelesaikan akar permasalahan dari kejahatan seksual terhadap anak.Kejahatan seksual terhadap anak ditetapkan sebagai kejatuhan luar biasa karena kejahatan ini mengandung mengancam dan membahayakan jiwa anak. Untuk itu, lanjut dia, ruang lingkup Undang-undang Nomor 17 Tahun 2016 ini mengatur pemberatan pidana pidana tambahan dan tindakan lain bagi pelaku kekerasan terhadap anak dan pencabulan dengan syarat-syarat tertentu.Penerapan pidana kebiri kepada pelaku kekerasan seksual terhadap anak dibawah umur dalam perspektif antara Undang-undang Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014 dan Perppu Nomor 1 Tahun 2016 kemudian dirubah menjadi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016.
PERLINDUNGAN HUKUM KEPADA ANAK TERHADAP KEJAHATAN PELECEHAN SEKSUAL Heppy Lades Sidabutar; Didik Suhariyanto; Puguh Aji Hari Setiawan
SETARA : Jurnal Ilmu Hukum Vol 3, No 1 (2022): SETARA : Jurnal Ilmu Hukum
Publisher : Universitas Bung Karno

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.59017/setara.v3i1.312

Abstract

ABSTRAKPencabulan yang dilakukan terhadap anak kerap terjadi di masyarakat dan tidak jarang berdampak pada psikologis dan perkembangan anak tersebut. Terbukti dari kasus pencabulan anak menurut KPAI pada tahun 2021 mencapai 5.953 kasus. Salah satu contohnya ialah kasus seorang anak perempuan bernama Isnawati baru berusia 16 tahun dan telah diputusan sesuai dengan putusan No. 507/Pid.Sus/2014/PN. JKT.BAR yang dimana Majelis Hakim menggunakan KUHP serta Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam penerapan pertimbangannya sehingga timbulah pertanyaan bagaimana efektifitas penerapan daripada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak serta dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, terhadap pelaku tindak pidana pelecehan seksual dan perlindungan hukum kepada anak ? dan bagaimana tindak pidana dan sanksi pidana pencabulan terhadap anak di bawah umur dalam KUHP dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak serta Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dikaitkan dengan putusan No. 507/Pid.Sus/2014/PN.JKT.BAR ?. Efektifitas pengaturan mengenai tindak pidana persetubuhan terhadap anak di bawah umur menurut hukum yang berlaku di Indonesia seperti Kitab Undang-undang Hukum Pidana pasal 285, 286 dan 287 ayat (1) serta di dalam Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yaitu dalam pasal 81 ayat (1) dan (2) menurut penulis dalam penegakannya harus lebih dipertegas agar dapat memberikan kepastian dan perlindungan terhadap korban anak serta dapat berguna agar korban-korban yang tidak berani bersuara dapat bersuara dan melaporkan tindakan-tindakan pencabulan dalam lingkungan masyarakat Dalam perkara tindak pidana persetubuhan bila melihat Putusan No. 507/Pid.Sus/2014/PN.JKT.BAR penulis sependapat dengan Majelis Hakim, dikarenakan penerapan pasal-pasal tersebut telah memberikan keadilan dan kepastian hukum terhadap korban. Kata Kunci                : Pencabulan, Perlindungan Hukum, Efektifitas ABSTRACTSexual abuse committed against children often occurs in society and often has an impact on the psychology and development of these children. It is evident from cases of child abuse according to KPAI in 2021 reaching 5,953 cases. One example is the case of a girl named Isnawati, who was only 16 years old and has been sentenced in accordance with decision no. 507/Pid.Sus/2014/PN.JKT.BAR where the Panel of Judges used the Criminal Code and Law Number 23 of 2002 concerning Child Protection in the application of its considerations so that the question arose of how effective the application of Law Number 23 of 2002 concerning Child Protection as well as with the enactment of Law Number 12 of 2022 concerning Crimes of Sexual Violence, against perpetrators of crimes of sexual harassment and legal protection for children? and how criminal acts and criminal sanctions for sexual abuse of minors in the Criminal Code and Law Number 23 of 2002 concerning Child Protection and Law Number 12 of 2022 concerning Crimes of Sexual Violence are related to decision No. 507/Pid.Sus/2014/PN.JKT.BAR?. The effectiveness of the regulation regarding the criminal act of intercourse with a minor according to the laws in force in Indonesia such as the Criminal Code, articles 285, 286 and 287 paragraph (1) as well as in Law No. 23 of 2002 concerning Child Protection, namely in article 81 paragraphs (1) and (2) according to the author, the enforcement must be more stringent so that it can provide certainty and protection for child victims and can be useful so that victims who don't dare to speak up can speak up and report acts of obscenity within the community. crime of intercourse if you see Decision No. 507/Pid.Sus/2014/PN.JKT.BAR the author agrees with the Panel of Judges, because the application of these articles has provided justice and legal certainty for victimsKeywords                    : Obscenity, Legal Protection, Effectiveness
PEMBUKTIAN HAKIM DALAM TINDAK PIDANA PERKOSAAN PEREMPUAN DENGAN KEKERASAN DAN ANCAMAN Juri Frasiska; Didik Suhariyanto; Puguh Aji Hari Setiawan
SETARA : Jurnal Ilmu Hukum Vol 3, No 2 (2022): SETARA : Jurnal Ilmu Hukum
Publisher : Universitas Bung Karno

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.59017/setara.v3i2.351

Abstract

Abstract The crime of rape with violence and threats requires valid evidence to prove it, at least two valid pieces of evidence to form a judge's conviction. If the evidence is lacking, then it can be done by making a Visum et Repertum. The problems discussed in this study are how the judge proves the crime of rape with violence and threats and how justice is enforced by the judge in proving the crime of rape with violence and threats. The research method used is normative juridical legal research and empirical juridical research. The results showed that the Banjarmasin High Court judge in Decision Number 42/PID/2017/PT.BJM had ruled out very important evidence from the case, so that the conclusion drawn was that there was no evidence of the crime of rape. The strength of the visum et repertum proof in the crime of rape is at the investigation level, the strength of the visum et repertum proof is one of the pieces of evidence that can corroborate or prove that a crime of rape has occurred. Judges must examine progressively the evidence for elements of violence and threats of violence which are no longer only interpreted as violence or threats of physical violence, or injuries suffered by victims. Judges must be able to provide the fairest decision for victims. Keywords: judge's evidence, women's rape, violence and threats.  Abstrak Tindak pidana perkosaan dengan kekerasan dan ancaman memerlukan alat bukti sah dalam pembuktiannya, minimal dua alat bukti yang sah dalam membentuk keyakinan hakim. Jika alat buktinya kurang, maka dapat dilakukan dengan membuat Visum et Repertum. Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah bagaimana pembuktian hakim dalam tindak pidana perkosaan dengan kekerasan dan ancaman dan bagaimana penegakan keadilan oleh hakim dalam pembuktian terhadap tindak pidana perkosaan perempuan dengan kekerasan dan ancaman. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum yuridis normatif dan penelitian hukum yuridis empiris. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hakim Pengadilan Tinggi Banjarmasin dalam Putusan Nomor 42/PID/2017/PT.BJM telah mengenyampingkan bukti yang sangat penting dari kasus tersebut, sehingga kesimpulan yang diambil adalah tidak terbuktinya tindak pidana tindak pidana perkosaan. Kekuatan pembuktian visum et  repertum dalam  tindak  pidana  perkosaan adalah pada  tingkat  penyidikan,  kekuatan  pembuktian Visum  et  Repertum merupakan salah  satu  alat bukti  yang  menguatkan  atau  dapat  memfaktakan  bahwa  telah  terjadi  tindak pidana perkosaan. Hakim harus mengkaji secara progresif pembuktian unsur kekerasan dan ancaman kekerasan yang tidak lagi hanya dimaknai sebagai kekerasan atau ancaman kekerasan fisik, ataupun luka yang dialami oleh korban hakim harus mampu memberikan putusan yang seadil-adilnya bagi korban. Kata Kunci: Pembuktian Hakim, Perkosaan Perempuan, Kekerasan dan Ancaman.
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI INVESTOR YANG MENGALAMI KERUGIAN TIDAK SAH AKIBAT PRAKTIK INSIDER TRADING DI PASAR amran rabani zubaidi; Puguh Aji Hari Setiawan; Dewi Iryani
SETARA : Jurnal Ilmu Hukum Vol 4, No 1 (2023): SETARA : Jurnal Ilmu Hukum
Publisher : Universitas Bung Karno

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.59017/setara.v4i1.397

Abstract

Perlindungan hukum bagi investor sudah ada ketentuannya dalam Undang Undang Nomor 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal (UUPM). Pelanggar praktik insider trading merupakan sebuah pelanggaran yang dapat merugikan para investor secara tidak sah sulitnya pembuktian insider trading dikarenakan kurang terperincinya UUPM mengenai orang kedua, ketiga, dan seterusnya apakah termasuk insider trading dan informasi yang tidak disengaja termasuk insider trading atau bukan upaya penindakan insider trading juga dilakukan melalui pengembalian dana yang dirugikan melalui peraturan OJK nomor 65/POJK.04/2020 tentang pengembalian keuntungan tidak sah dan dana kompensasi kerugian investor di bidang pasar modal. Metode penelitian yang digunakan data penelitian ini adalah penelitian hukum bersifat yuridis normatif memanfaatkan hasil-hasil temuan ilmu hukum empiris yang berdasarkan putusan pengadilan dan kasus-kasus hukum melalui dukungan perundang-undangan. Dalam desain penelitian tesis menggunakan pendekatan Perundang-Undangan dan pendekatan kasus. Disamping itu juga digunakan data primer sebagai pendukung data sekunder. Dari hasil penelitian Perlindungan hukum bagi investor yang mengalami kerugian tidak sah akibat praktik insider trading menurut UUPM bersifat preventif dan represif di mana OJK sebagai badan yang mengawasi dan mempunyai fungsi penyelenggaraan sistem pengaturan kegiatan di sektor pasar modal secara preventif mengharuskan melakukan pembinaan, pengawasan serta memberikan jaminan hukum terhadap investor. Di mana selama ini masih terjadi kasus insider trading kewenangan OJK untuk melakukan pemeriksaan merupakan salah satu perwujudan tindakan represif dari OJK untuk mengatasi pelanggaran yang terjadi di sektor pasar modal. Aturan hukum UUPM dapat disanksi administratif dan perdata dalam pasal 102 dan 111. Kepastian Hukum bagi investor yang mengalami kerugian tidak sah akibat praktik insider trading menurut UUPM diterapkan dalam  POJK Nomor 65/POJK.04/2020 menjadi bagian perlindungan hukum bagi investor dan membuktikan adanya kepastian hukum selain UUPM. Dengan tujuan agar pihak yang melakukan pelanggaran tidak dapat menikmati keuntungan yang diperolehnya secara tidak sah.
Perlindungan Preventif Ondel-Ondel Sebagai Ikon Budaya Betawi Najmi Ismail; Puguh Aji Hari Setiawan; Hartana Hartana
RIO LAW JURNAL Vol 4, No 1 (2023): Februari-Juli
Publisher : Universitas Muara Bungo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36355/rlj.v4i1.1024

Abstract

Indonesia is a developing country which is very rich in Traditional Cultural Expressions which can be considered as a very valuable asset. One of the traditional cultural expressions in Indonesia comes from the DKI Jakarta province, namely Ondel-Ondel. The study was conducted to look at preventive protection efforts carried out by the Provincial Government of DKI Jakarta to protect Ondel-Ondel as Traditional Cultural Expressions and also Betawi Cultural Icons as the state's responsibility as the holder of the Copyright for Traditional Cultural Expressions which is mandated by Law Number 28 of 2014 about Copyright. This study uses a normative juridical approach with descriptive analytical research specifications. The data collection technique used was in the form of a literature study to obtain materials or secondary data in the form of primary legal materials and secondary legal materials which were analyzed qualitatively. Based on the results of the research, it was concluded that the DKI Jakarta Culture Office in carrying out preventive protection of Ondel-Ondel by taking inventory of Ondel-Ondel as Copyrights for Traditional Cultural Expressions and Intangible Cultural Heritage and coaching Ondel-Ondel perpetrators by conducting workshops and Ondel-Ondel performances in the public.
Tinjauan Yuridis Hukum Perlindungan Anak Terhadap Pelaku Kejahatan Seksual Terhadap Anak Di Indonesia Yusuf H Hemuto; Puguh Aji Hari Setiawan; Gradios Nyoman Tio Rae
SETARA : Jurnal Ilmu Hukum Vol 4, No 1 (2023): SETARA : Jurnal Ilmu Hukum
Publisher : Universitas Bung Karno

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.59017/setara.v4i1.411

Abstract

Perkembangan pidana denda sebagai sanksi yang modern dan humanistis telah mendapatkan perhatian dunia, disebabkan penggunaan sanksi penjara mulai mencapai titik jenuh. Karena tidak mengurangi kejahatan, bahkan kejahatan semakin bertambah. Sementara penggunaan pemidanaan dengan pendekatan pembalasan melalui sstem penjara tidak memberikan solusi yang memuaskan. Pidanan denda atau penjara mendapatkan perhatian untuk yang semakin menarik untuk diteliti, ditelaah, guna pencapaian tujuan pemidanaan pada masyarakat modern. Dalam konteks perlindungan terhadap anak, terutama sanksi kebiri kimia bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak, sangat menarik untuk dibahas dewasa ini. Pengebirian kimia itu sendiri berfungsi sebagai metode sterilisasi, mengurangi libido seksual pelaku dan pengobatan untuk kondisi medis tertentu serta tujuan yang ingin dicapai yaitu retribution, deterrence, (pencegahan), incapacitation (ketidakmampuan), rehabilitation (rehabilitasi). Pakar kriminolog berpendapat jika tujuan dimaksud tidak dicapai secara keseluruhan, maka masih dianggap lebih baik daripada memberlakukan hukum penjara. Dalam tinjauan yuridisnya, setelah mengalami berbagai perubahan dari tahun ketahun, lahirlah Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 dimana untuk perlindungan terhadap anak terdapat pasal 81, 82 serta pasal 81A yang memperberat sanksi bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak yakni hukuman mati, penjara seumur hidup maksimal 20 tahun penjara. Peratuaran ini juga mengatur tiga sanksi yaitu tindakan kebiri kimia, pengumuman identitas ke public serta pemasangan alat deteksi elektronik. Langkah pemerintah dalam kebijakannya membuat peraturan tentang perlindungan anak ini, perlu diapresiasi sebagai upaya membangun sistem hukum nasional Indonesia kearah yang lebih baik. Upaya ini merupakan usaha untuk menjamin perlindungan hukum kepada setiap warga Negara tak terkecuali anak. Anak adalah asset bangsa, oleh karena itu kesejahteraan terhadap anak harus ditingkatkan. Kata Kunci : kejahatan seksual, perlindungan anak, kebiri kimia
Uniform Customs And Practice For Documentary Credits (Ucp) 600 Sebagai Pilihan Hukum Penyelesaian Sengketa Letter Of Credit Dalam Transaksi Perdagangan Internasional Maradona Sinuraya; Puguh Aji Hari Setiawan; Hartana Hartana
VERITAS Vol 9 No 2 (2023): VERITAS
Publisher : Jurnal Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Islam As-Syafi'iyah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.34005/veritas.v9i2.3114

Abstract

Sengketa letter of credit merupakan sengketa yang salah satunya disebabkan karena adanya penolakan pembayaran atas invoice yang diajukan oleh eksportir oleh Bank Penerbit yang dikarenakan adanya suatu discrepancy pada dokumen pengapalan yang dipresentasikan oleh eksportir. Pilihan hukum dalam penyelesaian sengketa Letter of Credit mempunyai peranan penting dalam menentukan hukum yang harus dipergunakan dalam suatu perjanjian internasional. Dalam tesis ini dipergunakan dua teori hukum yang relevan dengan permasalahan yang diteliti, yakni teori lex mercatoria sebagai teori pertama, dan teori pilihan hukum sebagai teori kedua. Teori lex mercatoria dipilih sebagai teori pertama, karena penggunaan lex mercatoria sebagai hukum internasional yang mendasari pelaksanaan kontrak perdagangan internasional. Dalam pelaksanaan kontrak perdagangan internasional, tidak selamanya berjalan dengan lancar dan bisa saja terjadi sengketa diantara para pihak. Maka apabila terjadi sengketa terutama terkait dengan sengketa letter of credit dalam kaitannya dengan transaksi perdagangan internasional, dimana para pihak berasal dari negara yang berbeda yang terikat dengan hukum dari negara masing-masing, sebagai teori kedua dipergunakan teori pilihan hukum. Metode yang digunakan dalam Penulisan ini adalah Penulisan hukum normatif yang dilakukan sebagai upaya untuk mendapatkan data yang diperlukan sehubungan dengan permasalahan. Data yang digunakan adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. Di samping itu juga digunakan data primer sebagai pendukung data sekunder. Untuk analisis data dilakukan dengan metode analisis yuridis kualitatif. Hasil Penulisan yang diperoleh adalah (1) Hukum nasional Indonesia belum mengatur penyelesaian sengketa letter of credit yang menggunakan lex mercatoria sebagai pilihan hukumnya, Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata dalam sistem hukum Indonesia memberikan kebebasan para pihak memilih sendiri hukum yang hendak dipergunakan. (2) Hakim di Indonesia masih bersikap ’kasuistik’ dalam menyelesaikan sengketa letter of credit, berbeda dengan ’sikap konsisten’ hakim di luar negeri khususnya di negara-negara yang tergabung dalam common law system yang telah memiliki Hukum L/C. Untuk itu disarankan agar dapat mempertimbangkan penyusunan hukum L/C Internasional untuk Indonesia. Idealnya hukum L/C Indonesia dibuat dalam bentuk undang-undang, namun dalam upaya percepatan realiasasi pelaksanaan yang tidak memerlukan petunjuk pelaksanaan lebih lanjut, hukum L/C dapat dibuat dalam bentuk Peraturan Bank Indonesia. Terciptanya kepastian hukum akan mempertahankan bahkan meningkatkan kepercayaan dunia bisnis terhadap L/C sebagai alat pembayaran.
Politik Hukum Pengisian Jabatan Gubernur Bupati Dan Walikota Sebagai Kepala Pemerintah Daerah Dendy Derajat Utama; Didik Suhariyanto; Puguh Aji Hari Setiawan
Innovative: Journal Of Social Science Research Vol. 3 No. 4 (2023): Innovative: Journal Of Social Science Research
Publisher : Universitas Pahlawan Tuanku Tambusai

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31004/innovative.v3i4.4138

Abstract

Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah Pertama, Bagaimana kewenangan penunjukan pengisian kekosongan jabatan Gubernur, Bupati dan Walikota oleh Kementerian Dalam Negeri atas berlakunya Undang-Undang No 10 Tahun 2016 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Kedua, Bagaimana kepastian hukum pengisian kekosongan jabatan Gubernur, Bupati dan Walikota terhadap penundaan Pemilihan Kepala Daerah serentak sampai tahun 2024. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum yuridis normatif dengan pendekatan Pendekatan undang-undang (statute approach) Pendekatan konseptual (conceptual approach). Bahan hukum dalam penelitian ini dibagi menjadi tiga sumber bahan hukum yaitu data primer, sekunder dan tersier. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Penunjukan (Pj) Kepala Daerah merupakan kewenangan Kementerian Dalam Negeri yang kemudian (Pj) mendapatkan kewenangan melalui mandat yang bersumber dari kewenangan atributif dan delegatif Menteri Dalam Negeri. Karena, pada atribusi terjadi pemberian wewenang pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yaitu Undang-undang (UU) No. 10 Tahun 2016 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang. Legitimasi atau kepastian hukum (Pj) penjabat kepala daerah diturunkan dari amanat atau perintah undang-undang Pasal 201 ayat (10) dan ayat (11) UU 10/2016.  Berlandaskan pada Pasal 201 ayat (10) menunjuk kepada pemberlakuan hukum yang jelas, tetap, konsisten dan konsekuen dalam pengaturan pelaksanaan Pilkada serentak secara nasional pada tahun 2024.