Claim Missing Document
Check
Articles

Found 13 Documents
Search

Pengaruh Variasi Waktu, pH, dan Suhu Ekstraksi terhadap Kualitas Pewarnaan Ekstrak Kulit Buah Kakao pada Batik Katun dan Sutera Agus Haerudin; Vivin Atika; Isnaini Isnaini; Masiswo Masiswo; Yudi Satria; Guring Briegel Mandegani; Dwi Wiji Lestari; Tin Kusuma Arta
Dinamika Kerajinan dan Batik: Majalah Ilmiah Vol 37, No 1 (2020): Dinamika Kerajinan dan Batik : Majalah Ilmiah
Publisher : Balai Besar Kerajinan dan Batik

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22322/dkb.v37i1.6019

Abstract

Telah dilakukan penelitian aplikasi ekstrak kulit buah kakao pada batik yang bertujuan untuk mengetahui kualitas zat warna alam dari limbah kulit buah kakao untuk pewarnaan batik. Penelitian ini dilakukan dengan variasi suhu ekstraksi (60, 80 dan 100 ºC), variasi waktu ekstraksi (1jam, 2jam dan 3jam), variasi pH ekstraksi (asam pH 4, basa pH 10 dan netral pH 7), dan variasi jenis kain (katun dan sutera). Ekstrak diaplikasikan sebagai pewarna batik, kemudian diuji kualitas ketahanan luntur warnanya terhadap pencucian, ketuaan warna, serta bedawarna (CIE L*a*b*).  Hasil uji ketahanan luntur warna nilai rata-rata 4-5 menunjukkan kategori baik. Hasil uji ketuaan warna aplikasi ekstrak kulit buah kakao pada kain batik katun dan sutera tingkat ketuaan warna yang paling baik hasil perlakuan suhu ekstraksi 100ºC, pH basa 10, dan waktu ekstraksi 3 jam. 
PENGARUH KONSENTRASI ZAT PENGEMBAN PADA PEWARNAAN ALAM BATIK KAIN CAMPURAN CHIEF VALUE OF COTTON (CVC) Agus Haerudin; Dana Kurnia Syabana; Dwi Wiji Lestari
Dinamika Kerajinan dan Batik: Majalah Ilmiah Vol 33, No 2 (2016): Dinamika Kerajinan dan Batik: Majalah Ilmiah
Publisher : Balai Besar Kerajinan dan Batik

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22322/dkb.v33i2.1597

Abstract

Mekanisme pewarnaan alam pada batik untuk kain campuran chief value of cotton (CVC) membutuhkan suatu zat pengemban (Carrier)  yang berfungsi membuka pori-pori serat, sehingga dapat meningkatkan daya difusi zat warna pada serat, salah satu komersial zat pengemban yang umum digunakan adalah carrier T59. Sehingga tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh mana pengaruh penambahan konsentrasi  Carrier T59 pada pewarnaan alam batik kain campuran CVC, dilihat dari hasil evaluasi uji ketahanan luntur warna pada pencucian dan gosokan serta hasil uji ketuaan warna. Metode yang digunakan ekperimen variasi carrier T59 dengan dua perlakuan proses iring cuci dan tidak cuci. Dari hasil pengamatan didapatkan dimana penambahan konsentrasi carrier T59 memberikan pengaruh pada nilai uji ketahanan luntur warna terhadap pencucian, gosokan dan ketuaan warna konsentrasi carreir T59 yang paling baik pada konsentrasi 10 gram/liter. Tingkat ketuaan warna meningkat dengan ada penambahan konsentrasi carrier. Proses iring cuci dan tidak cuci setelah proses simultan tidak banyak memberikan pengaruh karena tidak ada kenaikan nilai uji yang signifikan.Kata kunci : Kain Campuran CVC, Zat Pengemban (Carrier), Zat Warna Alam, Batik. 
PEMANFAATAN ZAT WARNA ALAM DARI LIMBAH PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DAN KAKAO SEBAGAI BAHAN PEWARNA KAIN BATIK Titiek Pujilestari; Farida Farida; Endang Pristiwati; Agus Haerudin; Vivin Atika
Dinamika Kerajinan dan Batik: Majalah Ilmiah Vol 33, No 1 (2016): Dinamika Kerajinan dan Batik
Publisher : Balai Besar Kerajinan dan Batik

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22322/dkb.v33i1.1119

Abstract

ABSTRAKPenelitian pemanfaatan limbah perkebunan kelapa sawit dan kakao sebagai bahan pewarna pada batik bertujuan untuk menggali sumber daya alam limbah perkebunan yang belum dimanfaatkan dan mencoba bahan baku baru untuk pewarna batik. Limbah perkebunan cangkang kelapa sawit dan kulit buah kakao merupakan sisa hasil proses pengolahan yang tidak termasuk dalam produk utama yang dianggap berpotensi menjadi beban pencemaran lingkungan jika tidak dikelola dengan baik. Kegiatan ini dibatasi pada pengambilan zat warna dari cangkang kelapa sawit dan kulit buah kakao dengan memakai pelarut air dan pelarut organik. Zat warna alam yang diperoleh digunakan sebagai pewarna pembatikan pada kain katun dan sutera. Fiksasi dilakukan dengan tiga jenis fiksator yaitu tawas, kapur dan tunjung. Pewarnaan dilakukan pada kain katun dan sutera dengan sistem celupan dingin sebanyak enam kali. Pengujian dilakukan terhadap ketahanan luntur warna akibat pencucian dan gosokan, arah dan beda warna. Hasil pengujian ketahanan luntur warna terhadap pencucian dan gosokan rata-rata menunjukan hasil cukup sampai baik sekali (3-5). Nilai kelunturan warna terhadap pencucian pada kain katun dengan pewarna cangkang kelapa sawit lebih baik daripada kulit buah kakao. Arah warna cangkang kelapa sawit menunjukkan warna coklat muda sampai coklat tua, sedang kulit buah kakao memberikan arah warna abu-abu sampai coklat tua. Pembacaan uji beda warna diperoleh rata-rata warna berada pada daerah antara kuning ke merah. Kata Kunci: cangkang kelapa sawit, kulit buah kakao, warna alam, batik  ABSTRACTUtilization of plantation waste as batik dyes research aims to explore the plantation waste potential asraw materials for batik dyeing. Plantation waste of palmkernel shell and cocoa fruit peel are side products of the main process thatbecome environmental pollution if not managed properly. This activity is restricted to making dyes from palmkernel shells and cocoa fruit peel by using water solvent and organic solvent. Natural dyes obtained are used as batik dyes on cotton and silk. Fixation is done each with alum, lime and ferrosulphate. Dyeing on cotton and silk fabric is done with six times cold immersion. The testing are include color fastness of washing and rubbing, color shades and color difference. The test results of color fastness to washing and rubbing shows enough to excellent results (3-5). The average yield value of color fastness to washing in cotton cloth with palm kernel shells dyes is better than using cocoa peel dyes. The color shade of coconut shell dye is tanish to brownish, while cocoa peel is greyish to brownish. The color difference testing average result is color coordinate located between yellowish to reddish area. Keywords: palm kernel shell, cocoa peel, natural dye, batik.
Pengaruh Frekuensi Pencelupan dengan Metode Simultan terhadap Nilai Uji Ketuaan Warna, Ruang Warna dan Ketahanan Luntur Warna yang Dihasilkan pada Batik Menggunakan Ekstrak Kulit Buah Jalawe (Terminalia bellirica (gaertn) Roxb) Agus Haerudin; Tin Kusuma Arta; Masiswo Masiswo; Aprilia Fitriani; Euis Laela
Dinamika Kerajinan dan Batik: Majalah Ilmiah Vol 37, No 2 (2020): DINAMIKA KERAJINAN DAN BATIK : MAJALAH ILMIAH
Publisher : Balai Besar Kerajinan dan Batik

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22322/dkb.v37i2.6229

Abstract

Penelitian ini merupakan kegiatan lanjutan dari penelitian sebelumnya, dimana tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui pengaruh frekuensi pencelupan terhadap kualitas warna dari ekstrak kulit buah jalawe pada kain batik katun dengan metode simultan. Metode penelitian yang digunakan metode experimental dengan variasi frekuensi pencelupan 3, 6, 9, 12, 15, 18, 21, 24, 27 dan 30 kali pengulangan serta variasi mordan akhir tawas dan kapur. Uji kualitas warna yakni uji ketuaan warna, uji beda warna CIE L*,a*,b* dan uji ketahanan luntur warna pada sinar terang hari. Hasil penelitian diperoleh pengaruh frekuensi pencelupan terhadap nilai ketuaan warna K/S cukup signifikan berpengaruh, nilai ketuaan warna yang optimal dari mordan akhir tawas sebanyak 21 kali pencelupan, sedangkan dari mordan akhir kapur sebanyak 18 kali. Pengaruh frekuensi pencelupan pada nilai uji beda warna L*,a*,b* cukup signifikan berpengaruh, nilai L* terbaik dari mordan akhir tawas pada 30 kali pencelupan, sedangkan dari mordan akhir kapur 27 kali, nilai a* (+) terbesar dari mordan akhir tawas sebanyak 12 kali pencelupan, sedangkan dari mordan akhir kapur sebanyak 27 kali pencelupan, nilai b* (+) tertinggi dari mordan akhir tawas sebanyak 12 kali pencelupan, sedangkan pada mordan akhir kapur 24 kali pencelupan. Pengaruh frekuensi pencelupan terhadap nilai ketahanan luntur warna pada sinar terang hari tidak begitu signifikan yakni pada 6 kali pencelupan nilai ketahanan luntur warna yang optimal 4-5 dengan kategori baik.
LIMBAH SERUTAN KAYU MATOA (Pometia pinnata) SEBAGAI ZAT WARNA ALAM PADA KAIN BATIK SERAT SELULOSA Agus Haerudin; Farida Farida Farida
Dinamika Kerajinan dan Batik: Majalah Ilmiah Vol 34, No 1 (2017): DINAMIKA KERAJINAN DAN BATIK : MAJALAH ILMIAH
Publisher : Balai Besar Kerajinan dan Batik

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22322/dkb.v34i1.2759

Abstract

Potensi limbah sumber daya alam di Indonesia hususnya limbah kayu-kayuan sangat melimpah yang selama ini belum dimanfaatkan dan belum miliki nilai jual yang sangat tinggi, salah satunya serutan kayu matoa. Pada penelitian ini mencoba melakukan ekperimen limbah serutan kayu matoa dimanfaatkan sebagai sumber bahan baku zat warna alam yang akan diaplikasikan pada kain batik serat selulosa.Tujuan dari  penelitian ini ingin melihat arah warna yang dihasilkan dari ekstraksi limbah serutan kayu matoa dengan melakukan beberapa perlakuan variasi suhu ekstrkasi 75°C dan 100°C dengan pelarut air, dalam suasana larutan celup pH asam 4 dan pH basa 10, serta perlakuan mordan akhir tawas 70 g/l dan tunjung 30 g/l, dari hasil ekperiment dilakukan uji beda warna (L, a, b) dan uji ketahanan luntur warna pada pencucian.            Hasil uji beda warna (L,a,b) pencelupan kayu matoa pada kain katun menghasilkan beda warna dengan kain standar uji dimana secara visualisasi dengan perlakuan suasana celup pH asam dengan mordan akhir tawas menghasilkan arah warna coklat sedang, dan dengan perlakuan mordan akhir tunjung menghasilkan arah warna coklat tua. Pada perlakuan suasana larutan celup pH basa dengan perlakuan mordan akhir tawas menghasilkan arah warna coklat muda serta dengan perlakuan mordan akhir tunjung mendapatkan arah warna coklat sedang. Dari hasil uji ketahanan luntur warna pada pencucian secara umum nilai yang diperoleh 4-5 dalam kategori baik.  
KOMPOSISI LILIN BATIK (MALAM) BIRON UNTUK BATIK WARNA ALAM PADA KAIN KATUN DAN SUTERA Agus Haerudin; Vivin Atika
Dinamika Kerajinan dan Batik: Majalah Ilmiah Vol 35, No 1 (2018): Dinamika Kerajinan dan Batik : Majalah Ilmiah
Publisher : Balai Besar Kerajinan dan Batik

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22322/dkb.v35i1.3744

Abstract

Lilin batik (malam) biron merupakan jenis lilin batik yang digunakan pada proses mbironi (menutup sebagian ornamen pokok atau ornamen tambahan pada kain batik yang sudah berwarna). Proses mbironi memiliki peranan penting pada kualitas produk batik yang dihasilkan. Banyaknya produk batik warna alam yang memiliki kualitas kurang baik, dikarenakan terdapat rembesan warna akibat kurang baiknya kualitas lilin biron yang digunakan. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan komposisi lilin biron yang baik untuk produksi batik warna alam. Penelitian ini dilaksanakan dengan metode eksperimen acak menggunakan variasi komposisi bahan baku lilin biron yaitu paraffin dan lilin bekas. Prototipe lilin biron kemudian diaplikasikan pada kain katun dan sutera. Pengujian lilin biron meliputi uji titik leleh, identifikasi ketajaman motif dan warna, serta uji pelepasan lilin batik (pelorodan). Dari hasil penelitian diperoleh lilin batik biron yang mempunyai kualitas terbaik untuk kain katun adalah dengan formula 1 bagian kote, 5 bagian parafin, dan 4 bagian lilin batik bekas, adapun komposisi terbaik lilin batik biron untuk kain sutera dengan formula 2 bagian gondorukem, 5 bagian parafin, 14 bagian lilin batik bekas dan 1 bagian kendal.
KUALITAS PEWARNAAN BATIK MENGGUNAKAN BUBUK INDIGOFERA TINCTORIA DAN STROBILANTHES CUSIA Tin Kusuma Arta; Vivin Atika; Agus Haerudin; Isnaini Isnaini; Masiswo Masiswo
Dinamika Kerajinan dan Batik: Majalah Ilmiah Vol 36, No 2 (2019): Dinamika Kerajinan dan Batik : Majalah Ilmiah
Publisher : Balai Besar Kerajinan dan Batik

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22322/dkb.v36i2.5421

Abstract

Indigo adalah zat warna alam yang paling tua yang dikenal manusia. Indigo mempunyai peran besar dalam sejarah pewarnaan alami di dunia. Ketersediaan pewarna alami indigo di pasaran masih berbentuk pasta. Kelemahan yang dikeluhkan oleh pengrajin batik yakni daya simpan pasta indigo. Berdasarkan permasalahan diatas, diperlukan penelitian untuk membuat pewarna alami indigo dalam bentuk bubuk. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas hasil pewarnaan bubuk Indigofera tinctoria dan Strobilanthes cusia pada batik. Penelitian dilakukan dengan metode percobaan laboratorium secara rancang acak dengan 2 (dua) variabel tetap yaitu pengeringan menggunakan oven dan pewarnaan batik pada katun, kemudian 2 (dua) variabel berubah yaitu jenis indigo dan pereduksi. Jenis tanaman indigo yang digunakan yaitu Indigofera tinctoria dan Strobilanthes cusia, sedangkan pereduksi yang digunakan yaitu gula jawa dan tetes tebu. Parameter uji berupa ketuaan warna dan beda warna dilakukan untuk menguji kualitas warna pada batik. Bubuk indigo memiliki kualitas yang cukup untuk diaplikasikan pada produk batik. Uji FTIR menghasilkan hasil yang serupa antara bubuk Indigofera tinctoria dan Strobilanthes cusia. Bubuk Indigofera tinctoria dengan pereduksi tetes tebu menghasilkan warna paling tua dengan nilai K/S 1,73 dengan nilai beda warna L* = 37,62, a* = (-1,52) dan b* = (-14,87).
PENGARUH JENIS PELARUT TERHADAP HASIL EKSTRAKSI RUMPUT LAUT Gracilaria sp. SEBAGAI ZAT WARNA ALAM PADA KAIN BATIK KATUN DAN SUTERA Agus Haerudin; Titik Puji Lestari; Vivin Atika
Dinamika Kerajinan dan Batik: Majalah Ilmiah Vol 34, No 2 (2017): DINAMIKA KERAJINAN DAN BATIK : MAJALAH ILMIAH
Publisher : Balai Besar Kerajinan dan Batik

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22322/dkb.v34i2.3301

Abstract

Zat warna alam dapat diperoleh dengan cara ekstraksi menggunakan pelarut air maupun pelarut organik pada suhu tinggi atau rendah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh jenis pelarut terhadap hasil ekstraksi rumput laut Glacilaria sp yang digunakan untuk mencelup kain batik katun dan sutera menggunakan mordan akhir garam logam tawas, kapur, dan tunjung. Penelitian ini menggunakan variasi: jenis pelarut air pada suhu ekstraksi 90OC dan etanol teknis suhu 30OC. Selanjutnya hasil ekstraksi digunakan untuk mencelup kain batik katun dan sutera. Hasilnya dilakukan uji beda warna (L*,a*,b*), dan uji ketahanan luntur warna terhadap pencucian dan gosokan basah. Dari pengujian diperoleh hasil bahwa, celupan dengan pelarut air pada kain batik katun memberikan nilai L* 69,8 – 97,8; a* 0,2 – 10,7; b* 4,7 – 30,7 sedangkan celupan dengan kain batik sutera memberikan nilai L* 58,1 – 89,8; a* 0,0 – 5,6; b* 10,4 – 16,3. Nilai ketahanan luntur warna terhadap pencucian pada kain batik katun adalah 3 – 4 sampai 4 - 5, sedangkan pada kain batik sutera  4 sampai 4 – 5, sedangkan nilai untuk ketahanan luntur warna terhadap gosokan basah pada kain batik katun dan sutera adalah 4 sampai 4 – 5. Mordan akhir garam logam tawas menghasilkan arah warna muda coklat kekuningan, dan mordan akhir kapur menghasilkan arah warna sedang coklat kemerahan, serta mordan akhir tunjung menghasilkan arah warna tua coklat kebiruan. Berdasarkan hasil pengujian, jenis pelarut yang paling baik adalah air karena menghasilkan celupan terbaik pada kain batik sutera.
Effect Type Fixator on Batik with Natural Dyes of Green Betel Leaves (Piper Betle L) Dewi Kristiana; Siti Fatimah; Agus Haerudin
Prosiding University Research Colloquium Proceeding of The 15th University Research Colloquium 2022: Mahasiswa (Student Paper Presentation) A
Publisher : Konsorsium Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Perguruan Tinggi Muhammadiyah 'Aisyiyah (PTMA) Koordinator Wilayah Jawa Tengah - DIY

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (211.137 KB)

Abstract

Plants are one of the natural resources that can be used as natural textile dyes in Indonesia. Natural dyes in the textile industry, especially batik, can be used as an alternative to synthetic dyes to reduce the danger of waste generated from the production process. Green betel leaf can be used as a natural dye because it contains anthocyanin compounds. This study aims to see the different colors and color quality of green betel leaf extract. The method used is an experiment by creating a variety of fixative substances alum, lime and tunjung. The results showed that green betel leaf extract could be used for dyeing batik fabrics by the results of the L*, a*, b* color difference test and identification of color codes and color light through encycolorpedia. The color produced from green betel leaf extract at batik cloth with alum and lime fixator is Medium-light orange tunjung fixator orange. The results of the fastness test value for washing soap are on average 4 (good), and on dry rubbing, the average value is 4-5 (good), the oldest color is produced from the variation of the tunjung fixator. The interpretation of the fixator did not significantly affect the color produced and the color fastness to soap washing and dry rubbing.
PENGARUH FREKUENSI PENCELUPAN DAN JENIS MORDAN DARI EKSTRAK DAUN KETAPANG SEBAGAI PEWARNA ALAMI KAIN BATIK Irsya Qisti Awwalie; Tri Widayatno; Agus Haerudin
Narada : Jurnal Desain dan Seni Vol 9, No 2 (2022)
Publisher : Universitas Mercu Buana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22441/narada.2022.v9.i2.004

Abstract

Ketapang leaves contain tannin pigments of 11% -23% so that they can produce colors ranging from brownish yellow to dark brown. The purpose of this study was to determine how to process ketapang leaves into natural dyes for batik cloth and to determine the effect of dyeing frequency and type of mordant on color sharpness and color fastness. This study uses an experimental method, which is a method that is useful for finding the effect of certain treatments on the conditions to be controlled. The process starts from the selection of the extraction method, namely the reflux method, and the selection of the mordanting process, namely the provision of mordant at the end. The results showed that the effect of dyeing frequency and type of mordant on color sharpness using the L*, a*, b* color test was quite significant. The more the dyeing frequency, the darker the resulting color. The lowest L* value was 53.02 for lime mordant and 20.78 for tunjung mordant with 18 times of immersion frequency. The highest a* value was in lime mordant 12.15 with 18 times of immersion and 8.43 of tunjung mordant with 6 times of immersion. The highest b* value was 38.99 for lime mordant and 11.35 for tunjung mordant with 6 times of immersion frequency. The effect of the frequency of immersion and the type of mordant on the TLW test, namely washing soap and hot ironing dry did not have much significant effect. A good and optimal TLW value found in lime mordant and tunjung is 4 in the good category with 12 times the immersion frequency.