Masturyono Masturyono
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG)

Published : 9 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 9 Documents
Search

LINEASI PATAHAN GEOLOGI BERDASARKAN DISTRIBUSI HIPOSENTER RELOKASI DI WILAYAH JAWA Supriyanto Rohadi; Masturyono Masturyono
Jurnal Meteorologi dan Geofisika Vol 16, No 3 (2015)
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengembangan BMKG

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (5662.642 KB) | DOI: 10.31172/jmg.v16i3.290

Abstract

Penentuan hiposenter gempabumi sebelum relokasi biasanya menggunakan metode single even determination (SED). Hiposenter gempabumi yang diperoleh dengan metode tersebut umumnya masih mengandung kesalahan akibat struktur model kecepatan di permukaan bumi yang tidak termodelkan. Pada penelitian ini dilakukan relokasi hiposenter menggunakan metode tomografi double-difference (tomoDD), metode ini mampu meningkatkan akurasi posisi hiposenter karena mampu mereduksi kesalahan akibat struktur model di permukaan yang tidak termodelkan. TomoDD adalah program tomografi yang melakukan inversi lokasi hiposenter dan struktur kecepatan secara simultan dengan menggunakan data waktu tiba absolut dan waktu tiba diferensial. Data gempabumi yang digunakan berasal dari katalog BMKG, yaitu gempabumi yang terekam bulan April 2009 hingga Februari 2011di wilayah Jawa, dengan batas lintan 5⁰ LS - 11⁰ LS dan batas bujur 105⁰ BT - 115⁰ BT, serta interval kedalaman 2 km hingga 684 km. Jumlah stasiun seismograf yang digunakan adalah 36 stasiun. Relokasi gempabumi mengindikasikan dengan jelas lineasi geologi beberapa patahan geologi lokal, seperti: Jawa Barat Fault Zone, Pelabuhan Ratu Fault Zone, patahan geologi Cimandiri, dan patahan geologi di selat Sunda. Relokasi gempabumi di zona patahan geologi Opak terbagi menjadi dua kelompok atau klaster, yaitu distribusi sumber pada patahan geologi Opak dan distribusi sumber gempabumi di timur patahan geologi Opak. Single Event Determination (SED) method is generally used for Earthquake hypocenter determination. Earthquake hypocenter which is obtained by these methods generally still contains errors as a result of an unmodeled surface velocity structure. In this research, the hypocenter relocation using the double-difference tomography (tomoDD) method is conducted. This method can improve the accuracy of the hypocenter position since it can reduce the error due to unmodeled surface velocity structure. TomoDD is a tomography program that simultaneously inverts event locations and velocity structure by using absolute and differential arrival time data. Earthquake data used came from BMKG catalogs, with the earthquake were being recorded from April 15, 2009, to April 15, 2009, in Java, latitude boundary5⁰S-11⁰S, longitude105⁰E-115⁰E, and the depth interval ranged from 2 to 684 km. The total numbers of seismograph stations are 36 stations. The relocation of earthquakes indicates the existence of geological lineation of some local faults, such as Fault Zone West Java, Pelabuhan Ratu, Cimandiri Fault, and Fault in Sunda strait. Relocation of earthquakes in Opak fault zones was divided into two clusters, which are the seismicity distribution around Opak fault and seismicity distribution east of Opak fault.
KAJIAN KERENTANAN TANAH BERDASARKAN ANALISIS HVSR DI DAERAH SEMBURAN LUMPUR SIDOARJO DAN SEKITARNYA, JAWA TIMUR, INDONESIA Karyono Karyono; Ildrem Syafri; Abdurrokhim Abdurrokhim; Masturyono Masturyono; Supriyanto Rohadi; Januar Arifin; Ajat Sudrajat; Adriano Mazzini; Soffian Hadi; Agustya Agustya
Jurnal Meteorologi dan Geofisika Vol 17, No 1 (2016)
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengembangan BMKG

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (3965.322 KB) | DOI: 10.31172/jmg.v17i1.398

Abstract

Aluvium merupakan fitur geologi yang memiliki sifat rentan terhadap pengaruh gempabumi. Daerah Porong dan sekitarnya tempat semburan Lumpur Sidoarjo (Lusi) terjadi merupakan daerah dataran yang ditutupi oleh endapan aluvium Delta Brantas, sehingga daerah ini merupakan zona lemah yang rentan terhadap pengaruh gempabumi. Hal ini diperkuat dengan adanya sesar Watukosek di daerah tersebut. Dengan tujuan untuk membuktikan hal tersebut maka dilakukan observasi seismik dengan cara memasang 71 stasiun pengamat gempabumi temporal yang tersebar di daerah Sidoarjo dan sekitarnya. Hasil analisis Horizontal Vertical Spectral Ratio (HVSR) terhadap data seismik diperoleh sebaran frekuensi natural bawah permukaan lebih rendah di daerah Lusi yaitu 0,4Hz. Hasil analisis juga mengungkap bahwa di daerah tersebut mempunyai amplifikasi tanah sebesar 5,2 dan tingkat kerentanan tanah sebesar 56, lebih tinggi dibandingkan dengan daerah lain di sekitarnya. Karena letaknya di zona lemah, maka berimplikasi bahwa Lusi menjadi sensitif terhadap gangguan luar misalnya dampak kejadian gempabumi menjadi lebih besar pada daerah ini. Alluvium is a geological feature characterized by high risk vulnerability influenced by the earthquakes. Porong and surrounding areas where the eruption of Lumpur Sidoarjo’s (Lusi) occurred are areas covered by alluvium sediment of Brantas Delta, as consequences this area is a weak zone characterized by high risk vulnerability as well. This is also supported by the present of Watukosek fault system in this area. To proved, we deployed 71 temporary seismic stations distributed in and around Sidoarjo area. The Horizontal Vertical Spectral Ratio (HVSR) analysis revealed that the natural frequency in Lusi area is about 0.4Hz, this is lower than other part areas. The analysis also revealed that this area has soil amplification about 5.2 and soil vulnerability index about 56, these are higher compared with other part areas. These results support that this area is a weak zone. Because of its location in a weak zone, this implies that Lusi became sensitive to external perturbation for example the earthquake events would have greater impact to this area.
RELOKASI HIPOSENTER GEMPABUMI WILAYAH JAWA MENGGUNAKAN TEKNIK DOUBLE DIFFERENCE Bambang Sunardi; Supriyanto Rohadi; Masturyono Masturyono; Sri Widiyantoro; Sulastri Sulastri; Pupung Susilanto; Thomas Hardy; Wiko Setyonegoro
Jurnal Meteorologi dan Geofisika Vol 13, No 3 (2012)
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengembangan BMKG

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (638.777 KB) | DOI: 10.31172/jmg.v13i3.133

Abstract

Relokasi hiposenter gempabumi penting dilakukan untuk mendapatkan lokasi gempabumi dengan ketelitian yang tinggi, diperlukan untuk pemetaan kerawanan gempabumi, studi struktur kecepatan, analisis seismisitas untuk studi global maupun studi lokal dan dalam analisis struktur detail seperti halnya identifikasi zona patahan dan sebaran serta orientasi patahan mikro. Salah satu teknik yang sekarang ini digunakan untuk merelokasi gempabumi adalah algoritma double difference (perbedaan ganda). Relokasi dilakukan terhadap data gempabumi BMKG yang terjadi di wilayah Jawa yang terletak pada 105°-115°BT dan 4°–12°LS. Jumlah gempabumi sebanyak 1352 kejadian. Jaringan stasiun  pencatat yang dipergunakan sebanyak 47 buah. Hasil relokasi menunjukkan pergeseran hiposenter lebih dari 50 km sebanyak 7 gempabumi. Pergeseran hiposenter menyebar ke segala arah dan tidak memiliki kecenderungan ke arah tertentu, namun demikian perubahan hiposenter terbanyak ke arah barat. Relokasi gempabumi dengan kedalaman awal 10 km menunjukkan pergeseran yang random. Relokasi menggunakan hypoDD menunjukkan peningkatan kualitas bila dilihat dari distribusi residual.  Relocation of earthquake hypocenter is important for obtaining an very accurate earthquake location which is needed for mapping of earthquakes vulnerability, velocity structure study, global and local studies of seismicity analysis and detail structural analysis as well as identification of the fault zone, distribution and orientation of microfracture. One technique currently used to relocate earthquakes is double difference algorithm. Relocation performed on BMKG earthquake data that occurred on Java region, located on 105°-115°E and 4°-12°S. The total number of earthquakes are 1352 events. We used 47 recording station networks. Hypocenter relocation results showed 7 earthquakes shift more than 50 km. Shift in hypocenter spread in all directions and do not have a tendency, however, most hypocenter changes to west. Relocation of initial depth 10 km earthquakes showed random shifst. Relocation using hypoDD showed an increase in quality when viewed from the residual distribution.
EFEK TAPAK LOKAL PADA DAERAH KERUSAKAN AKIBAT GEMPABUMI BOGOR 9 SEPTEMBER 2012 Drajat Ngadmanto; Pupung Susilanto; Boko Nurdiyanto; Suliyanti Pakpahan; Masturyono Masturyono
Jurnal Meteorologi dan Geofisika Vol 14, No 3 (2013)
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengembangan BMKG

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (349.694 KB) | DOI: 10.31172/jmg.v14i3.162

Abstract

Gempabumi bermagnitudo 4,8 SR mengguncang Bogor dan sekitarnya pada Minggu 9 September 2012.  Gempabumi ini berpusat di 6.70o LS dan 106,64o BT, dengan kedalaman 10 km. Akibatnya lebih dari 500 rumah dilaporkan mengalami kerusakan yang tersebar di Kabupaten Bogor dan Sukabumi. Kerusakan terparah terjadi di desa Cibunian dan Purwabakti, Kecamatan Pamijahan, Bogor. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek tapak lokal di daerah kerusakan akibat gempabumi Bogor 9 September 2012 berdasarkan pengukuran mikrotremor. Pengambilan data mikrotremor pada penelitian ini dilakukan di 13 titik di desa Cibunian dan Purwabakti yang merupakan daerah yang mengalami kerusakan paling parah akibat gempabumi Bogor. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan portable digital seismograph 3 komponen dengan durasi pengukuran selama 30 menit dan frekuensi sampling 100 Hz. Pengolahan data menggunakan metode HVSR (Horizontal to Vertical Spectrum Ratio) dengan software Geopsy. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa nilai frekuensi predominan (fo) di daerah penelitian berkisar antara 1,0 – 7,2 Hz, sementara itu variasi faktor amplifikasi (A) antara 1,0 – 4,1 dimana sebagian besar nilai < 3. Variasi nilai indeks kerentanan seismik (Kg) berkisar antara 0,4 – 8,9 yang menggambarkan bahwa daerah penelitian mempunyai tingkat kerentanan yang relatif rendah apabila terjadi gempabumi. Sedangkan nilai ground shear strain yang terhitung berkisar 2x10-4 – 3x10-3, yang mengindikasikan goncangan yang tidak terlalu besar di daerah penelitian.  Hal ini menunjukkan bahwa kerusakan parah yang terjadi di beberapa lokasi, bukan karena fenomena efek tapak lokal, melainkan lebih dominan disebabkan oleh konstruksi dan kualitas bangunan yang kurang baik. On September 9, 2012, an M4.8 earthquake struck the Bogor region, in which the epicenter was determined by BMKG at 6.70°S and 106.64°E, with a depth 10 km. The earthquake affected more than 500 building in Bogor and Sukabumi were damage. The worst damage occurred in Cibunian and Purwabakti in Pamijahan District, Bogor. This research aims to determine the local site effect due to the Bogor earthquake based on microtremor measurements. Microtremor measurements conducted at 13 points in Cibunian and Purwabakti, using a digital portable seismograph 3 components with 30 minutes duration measurement and 100 Hz sampling frequency. Data processing use HVSR (Horizontal to Vertical Spectrum Ratio) method on Geopsy software. The results show that predominant frequency (fo) ranged from 1.0 to 7.2 Hz, while the variation of amplification factor (A) between 1.0 to 4.1 with most values <3. Variation of seismic vulnerability index value (Kg) ranged from 0.4 to 8.9 which illustrates that the study area has a relatively low level of earthquake vulnerability. The ground shear strain values varied from 2x10-4 to 3x10-3, which indicates that the shake is not too large. This suggests that the severe damage is not because of local site effects phenomenon, but more dominant due to the low quality of the building's strength and construction.
STUDI AWAL PENYUSUNAN SKALA INTENSITAS GEMPABUMI BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA Muzli Muzli; Masturyono Masturyono; Jaya Murjaya; Mochammad Riyadi
Jurnal Meteorologi dan Geofisika Vol 17, No 2 (2016)
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengembangan BMKG

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (19016.177 KB) | DOI: 10.31172/jmg.v17i2.440

Abstract

Untuk mengukur dampak gempabumi terhadap infrastruktur dan kondisi lainnya selama ini Indonesia menggunakan skala intensitas gempabumi menurut Modified Mercalli Intensity (MMI). Skala ini cukup kompleks dengan dua belas tingkatan dan kondisi bangunan yang ada sekarang sudah tidak sesuai dengan kondisi saat skala tersebut diperkenalkan. Oleh karena itu perlu adanya skala intensitas gempabumi yang lebih sederhana, mudah dipahami dan disesuaikan dengan kondisi infrastruktur yang ada saat ini di Indonesia dengan tetap mengacu pada nilai parameter ilmiah lainnya. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika menggagas penyusunan skala intensitas gempabumi BMKG (SIG-BMKG) dengan skala I-V. Dengan mempunyai lima skala ini, SIG-BMKG menjadi lebih sederhana dan mudah dipahami masyarakat serta tetap mengakomodir keterangan dampak yang ditimbulkan gempabumi dan parameter saintifik lainnya. Perbandingan penggunaaan skala intensitas MMI dan SIG-BMKG terhadap beberapa kasus gempabumi yaitu gempabumi Sorong tanggal 24 September 2015 dengan magnitudo 6,8, Gempabumi Sumbawa Barat tanggal 12 Februari 2016 dengan magnitudo 6,6 dan Gempabumi Painan, Sumatera Barat tanggal 2 Juni 2016 dengan magnitudo 6,6, menunjukkan bahwa SIG-BMKG dapat diimplementasikan dengan relatif lebih mudah dan akurat dibandingkan dengan skala MMI. In order to measure the impact of a strong earthquake, the intensity scale is normally used. Up to now Indonesia uses the scale of Modified Mercalli Intensity (MMI). The MMI scale is relatively complicated with the twelve levels and the current development of modern building design is not suitable anymore for the scale as it was introduced for the first time. Therefore, it is necessary to have a universal but simple intensity scale, easy to be implemented and suitable for current typical buildings but also reflects the scientific parameters. Indonesia as one of the countries which is very prone of significant or destructive earthquakes, should have a new and more representative intensity scale which is suitable for the typical buildings in Indonesia. Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) proposes the scale of intensity i.e. the Earthquake Intensity Scale of BMKG (SIG-BMKG) with the scales from I to V. With these five scales, SIG-BMKG is much simple and easier to be used but could describe most of typical impacts. The comparison of MMI and SIG-BMKG scales to several cases of significant earthquakes is implemented for the 2015, Mw 6.8 Sorong earthquake, the 2016, Mw 6.6 Sumbawa Barat earthquake and the 2016, Mw 6.6 Painan, West Sumatra earthquake. The results show that the SIG-BMKG scale can be implemented relatively easier with better accuracy than MMI scale.
QUALITATIVE INTERPRETATION OF THE GRAVITY CHANGED AROUND LUSI, PORONG, SIDOARJO Masturyono Masturyono; Agustya Adimarta
Jurnal Meteorologi dan Geofisika Vol 12, No 1 (2011)
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengembangan BMKG

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31172/jmg.v12i1.84

Abstract

Bekerjasama dengan LAPINDO, BMKG melakukan pengukuran gavitasi di sekitar LUSI. Pengukuran dilakukan empat kali di 171 titik, dengan interval waktu rata-rata 24 hari antara dua pengukuran berturutan. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan micro-gravimeter Scientrex CG-5, dengan tujuan untuk meneliti perubahan gravitasi disekitar LUSI yang disebabkan oleh keluarnya lumpur panas  ke atas permukaan bumi. Untuk itu penulis hanya memperhitungkan koreksi pasang surut dan koreksi drift saja, sebelum menghitung besarnya perubahan untuk tiap-tiap titik. Perubahan gravitasi Δg, didefinisikan sebagai selisih antara pengukuran sebelumnya dengan dengan pengukuran saat itu. Dari 4 kali pengukuran dapat dibuat 3 buah peta distribusi Δg. Pola nilai Δg yang negatif berbentuk hampir bulat, dengan pusatnya tidak berimpit dengan  pusat semburan lumpur panas, tetapi tergeser kearah Barat dan Barat Laut. Nilai maksimum Δg nya adalah sekitar -0,311 mgal, -0,243 mgal, dan -0,273 mgal untuk peta perubahan gravitasi pertama (Δg1), kedua (Δg2) dan ketiga (Δg3) berturut- turut. Dengan membandingkan subsiden yang ada di lokasi dan nilai Δg, dapat disimpulkan bahwa perubahan nilai gravitasi tersebut disebabkan oleh dua hal yaitu penurunan elevasi (subsiden) dan juga pengurangan densitas batuan. Sehingga dapat diperkirakan subsiden akan terjadi lagi di sebelah Barat dan Barat Laut dari pusat semburan lumpur panas. In collaboration with Lapindo, BMKG measured the micro-gravity around LUSI. The measurements were conducted at 171 points. Each point was measured 4 times with time interval between two consecutive measurement is 24 days, in average. The measurements were using micro-gravimeter Scientrex CG-5, intended to investigate the gravity changed caused by the hot- mud outflows in LUSI. Authors applied the tide and drift correction before calculating the gravity changed. The gravity changed (Δg) is defined as the difference between the previous and the recent gravity measurement for each point. The pattern of negative (Δg) are in circular shapes, in which the location of the center is not co-located with the source of hot-mud outflow, but displaced to the west and to the north west. The maximum (Δg) in this area are -0.311 mgal -0.243 mgal and -0.273 mgal for the first (Δg1), second (Δg2) and third (Δg3), respectively. By comparing the occurrence of subsidence on sites and the value of the Δg, the changed of gravity is caused by both the subsidence and the decrease of density. Therefore, it can be predicted that the subsidence around Porong may be expanded to the West and North west of the mud outflow center.
LINEASI PATAHAN GEOLOGI BERDASARKAN DISTRIBUSI HIPOSENTER RELOKASI DI WILAYAH JAWA Supriyanto Rohadi; Masturyono Masturyono
Jurnal Meteorologi dan Geofisika Vol. 16 No. 3 (2015)
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengembangan BMKG

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31172/jmg.v16i3.290

Abstract

Penentuan hiposenter gempabumi sebelum relokasi biasanya menggunakan metode single even determination (SED). Hiposenter gempabumi yang diperoleh dengan metode tersebut umumnya masih mengandung kesalahan akibat struktur model kecepatan di permukaan bumi yang tidak termodelkan. Pada penelitian ini dilakukan relokasi hiposenter menggunakan metode tomografi double-difference (tomoDD), metode ini mampu meningkatkan akurasi posisi hiposenter karena mampu mereduksi kesalahan akibat struktur model di permukaan yang tidak termodelkan. TomoDD adalah program tomografi yang melakukan inversi lokasi hiposenter dan struktur kecepatan secara simultan dengan menggunakan data waktu tiba absolut dan waktu tiba diferensial. Data gempabumi yang digunakan berasal dari katalog BMKG, yaitu gempabumi yang terekam bulan April 2009 hingga Februari 2011di wilayah Jawa, dengan batas lintan 5⁰ LS - 11⁰ LS dan batas bujur 105⁰ BT - 115⁰ BT, serta interval kedalaman 2 km hingga 684 km. Jumlah stasiun seismograf yang digunakan adalah 36 stasiun. Relokasi gempabumi mengindikasikan dengan jelas lineasi geologi beberapa patahan geologi lokal, seperti: Jawa Barat Fault Zone, Pelabuhan Ratu Fault Zone, patahan geologi Cimandiri, dan patahan geologi di selat Sunda. Relokasi gempabumi di zona patahan geologi Opak terbagi menjadi dua kelompok atau klaster, yaitu distribusi sumber pada patahan geologi Opak dan distribusi sumber gempabumi di timur patahan geologi Opak. Single Event Determination (SED) method is generally used for Earthquake hypocenter determination. Earthquake hypocenter which is obtained by these methods generally still contains errors as a result of an unmodeled surface velocity structure. In this research, the hypocenter relocation using the double-difference tomography (tomoDD) method is conducted. This method can improve the accuracy of the hypocenter position since it can reduce the error due to unmodeled surface velocity structure. TomoDD is a tomography program that simultaneously inverts event locations and velocity structure by using absolute and differential arrival time data. Earthquake data used came from BMKG catalogs, with the earthquake were being recorded from April 15, 2009, to April 15, 2009, in Java, latitude boundary5⁰S-11⁰S, longitude105⁰E-115⁰E, and the depth interval ranged from 2 to 684 km. The total numbers of seismograph stations are 36 stations. The relocation of earthquakes indicates the existence of geological lineation of some local faults, such as Fault Zone West Java, Pelabuhan Ratu, Cimandiri Fault, and Fault in Sunda strait. Relocation of earthquakes in Opak fault zones was divided into two clusters, which are the seismicity distribution around Opak fault and seismicity distribution east of Opak fault.
KAJIAN KERENTANAN TANAH BERDASARKAN ANALISIS HVSR DI DAERAH SEMBURAN LUMPUR SIDOARJO DAN SEKITARNYA, JAWA TIMUR, INDONESIA Karyono Karyono; Ildrem Syafri; Abdurrokhim Abdurrokhim; Masturyono Masturyono; Supriyanto Rohadi; Januar Arifin; Ajat Sudrajat; Adriano Mazzini; Soffian Hadi; Agustya Agustya
Jurnal Meteorologi dan Geofisika Vol. 17 No. 1 (2016)
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengembangan BMKG

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31172/jmg.v17i1.398

Abstract

Aluvium merupakan fitur geologi yang memiliki sifat rentan terhadap pengaruh gempabumi. Daerah Porong dan sekitarnya tempat semburan Lumpur Sidoarjo (Lusi) terjadi merupakan daerah dataran yang ditutupi oleh endapan aluvium Delta Brantas, sehingga daerah ini merupakan zona lemah yang rentan terhadap pengaruh gempabumi. Hal ini diperkuat dengan adanya sesar Watukosek di daerah tersebut. Dengan tujuan untuk membuktikan hal tersebut maka dilakukan observasi seismik dengan cara memasang 71 stasiun pengamat gempabumi temporal yang tersebar di daerah Sidoarjo dan sekitarnya. Hasil analisis Horizontal Vertical Spectral Ratio (HVSR) terhadap data seismik diperoleh sebaran frekuensi natural bawah permukaan lebih rendah di daerah Lusi yaitu 0,4Hz. Hasil analisis juga mengungkap bahwa di daerah tersebut mempunyai amplifikasi tanah sebesar 5,2 dan tingkat kerentanan tanah sebesar 56, lebih tinggi dibandingkan dengan daerah lain di sekitarnya. Karena letaknya di zona lemah, maka berimplikasi bahwa Lusi menjadi sensitif terhadap gangguan luar misalnya dampak kejadian gempabumi menjadi lebih besar pada daerah ini. Alluvium is a geological feature characterized by high risk vulnerability influenced by the earthquakes. Porong and surrounding areas where the eruption of Lumpur Sidoarjo’s (Lusi) occurred are areas covered by alluvium sediment of Brantas Delta, as consequences this area is a weak zone characterized by high risk vulnerability as well. This is also supported by the present of Watukosek fault system in this area. To proved, we deployed 71 temporary seismic stations distributed in and around Sidoarjo area. The Horizontal Vertical Spectral Ratio (HVSR) analysis revealed that the natural frequency in Lusi area is about 0.4Hz, this is lower than other part areas. The analysis also revealed that this area has soil amplification about 5.2 and soil vulnerability index about 56, these are higher compared with other part areas. These results support that this area is a weak zone. Because of its location in a weak zone, this implies that Lusi became sensitive to external perturbation for example the earthquake events would have greater impact to this area.
STUDI AWAL PENYUSUNAN SKALA INTENSITAS GEMPABUMI BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA Muzli Muzli; Masturyono Masturyono; Jaya Murjaya; Mochammad Riyadi
Jurnal Meteorologi dan Geofisika Vol. 17 No. 2 (2016)
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengembangan BMKG

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31172/jmg.v17i2.440

Abstract

Untuk mengukur dampak gempabumi terhadap infrastruktur dan kondisi lainnya selama ini Indonesia menggunakan skala intensitas gempabumi menurut Modified Mercalli Intensity (MMI). Skala ini cukup kompleks dengan dua belas tingkatan dan kondisi bangunan yang ada sekarang sudah tidak sesuai dengan kondisi saat skala tersebut diperkenalkan. Oleh karena itu perlu adanya skala intensitas gempabumi yang lebih sederhana, mudah dipahami dan disesuaikan dengan kondisi infrastruktur yang ada saat ini di Indonesia dengan tetap mengacu pada nilai parameter ilmiah lainnya. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika menggagas penyusunan skala intensitas gempabumi BMKG (SIG-BMKG) dengan skala I-V. Dengan mempunyai lima skala ini, SIG-BMKG menjadi lebih sederhana dan mudah dipahami masyarakat serta tetap mengakomodir keterangan dampak yang ditimbulkan gempabumi dan parameter saintifik lainnya. Perbandingan penggunaaan skala intensitas MMI dan SIG-BMKG terhadap beberapa kasus gempabumi yaitu gempabumi Sorong tanggal 24 September 2015 dengan magnitudo 6,8, Gempabumi Sumbawa Barat tanggal 12 Februari 2016 dengan magnitudo 6,6 dan Gempabumi Painan, Sumatera Barat tanggal 2 Juni 2016 dengan magnitudo 6,6, menunjukkan bahwa SIG-BMKG dapat diimplementasikan dengan relatif lebih mudah dan akurat dibandingkan dengan skala MMI. In order to measure the impact of a strong earthquake, the intensity scale is normally used. Up to now Indonesia uses the scale of Modified Mercalli Intensity (MMI). The MMI scale is relatively complicated with the twelve levels and the current development of modern building design is not suitable anymore for the scale as it was introduced for the first time. Therefore, it is necessary to have a universal but simple intensity scale, easy to be implemented and suitable for current typical buildings but also reflects the scientific parameters. Indonesia as one of the countries which is very prone of significant or destructive earthquakes, should have a new and more representative intensity scale which is suitable for the typical buildings in Indonesia. Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) proposes the scale of intensity i.e. the Earthquake Intensity Scale of BMKG (SIG-BMKG) with the scales from I to V. With these five scales, SIG-BMKG is much simple and easier to be used but could describe most of typical impacts. The comparison of MMI and SIG-BMKG scales to several cases of significant earthquakes is implemented for the 2015, Mw 6.8 Sorong earthquake, the 2016, Mw 6.6 Sumbawa Barat earthquake and the 2016, Mw 6.6 Painan, West Sumatra earthquake. The results show that the SIG-BMKG scale can be implemented relatively easier with better accuracy than MMI scale.