Claim Missing Document
Check
Articles

Found 14 Documents
Search

Sistem Pengaturan Hukum Wasiat dalam Hukum Kewarisan Indonesia Perspektif Kuhperdata dan Kompilasi Hukum Islam Fachrul, Fachrul; Paikah, Nur; Zubair, Asni
Jurnal Ar-Risalah Vol. 5 No. 1 (2025): Volume 5 Nomor 1 Tahun 2025
Publisher : Institut Agama Islam Negeri Bone

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30863/arrisalah.v5i1.5796

Abstract

Penelitian  ini bertujuan untuk mengetahui persamaan dan perbedaan sistem pengaturan  hukum wasiat dalam hukum kewarisan Indonesia perspektif KUHPerdata dan Kompilasi Hukum Islam dan untuk mengetahui menyelesaikan masalah sistem pengaturan hukum wasiat dalam hukum kewarisan Indonesia perspektif KUHPerdata dan Kompilasi Hukum Islam.Jenis penelitian yaitu penelitian  Library Research dengan menggunakan   pendekatan yuridis normatif dan pendekatan kemaslahatan. Data yang telah dikumpulkan kemudian di analisis secara deksriptif komparatif.Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan bahwa Perbedaan wasiat yang ditemukan penulis dalam KUHPerdata yaitu (1) pewasiat sudah mencapai umur 18 tahun (2) Orang yang diberi wasiat itu ahli waris atau menunjuk seseorang (3) benda yang diwasiatkan meliputi seluruh aktiva dan pasiva (4) redaksi wasiat berupa akta otentik , baik dengan akta umum atau akta rahasia (5) Batasan wasiat tidak boleh mengurangi bagian mutlak ahli waris (6) Bentuk wasiat ada wasiat umum, wasiat yang dibuat sendiri oleh pewasiat dan dititipkan pada Notaris, wasiat tertutup atau rahasia. Perbedaan wasiat dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yaitu: (1) pewasiat berumur 21 tahun, (2) orang yang diberi wasiat orang yang tidak termasuk ke dalam golongan ahli waris, (3) Benda yang di wasiatkan berupa hasil pemanfaatan suatu benda tertentu,(4) redaksi wasiat dilakukan secara lisan atau tertulis dihadapan dua orang saksi atau di hadapan notaris (5) Batasan wasiat maksimal 1/3 dari harta warisan, (6) Bentuk wasiat lisan dan tertulis atau di hadapan Notaris. Kedua dalam ketentuan wasiat menurut KUHPerdata terdapat aturan mengenai bagian mutlak, yaitu pewaris tidak diperbolehkan menetapkan sesuatu, baik selaku pemberian antara yang masih hidup maupun selaku wasiat. Ahli waris yang berhak akan legitieme portie disebut legitimaris. Jadi yang termasuk legitimaris adalah ahli waris keluarga sedarah dalam garis lurus ke bawah dan lurus ke atas. Berarti yang tidak berhak terhadap legitieme portie jadi dapat disingkirkan oleh pewaris melalui wasiat yang dibuatnya. Ketentuan Kompilasi Hukum Islam (KHI) tentang ketentuan wasiat adalah Islam  menetapkan wasiat tidak boleh para ahli waris pewaris.
Penolakan Harta Warisan Oleh Ahli Waris Perspektif Hukum Islam dan KUH Perdata Zubair, Asni; Arfhan, Muhammad; Leleang, Andi Tenri
Shautuna: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Perbandingan Mazhab VOLUME 6 ISSUE 2, MAY 2025
Publisher : Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24252/shautuna.v6i2.55298

Abstract

This research discusses the legal implications of the rejection of inherited property in the perspective of Islamic law and the Indonesian civil law system (Civil Code). In Islamic law, the rejection of inherited property is understood as the resignation of an heir or several heirs from their right to receive a share of the inheritance, provided that it can be accompanied by the provision of compensation either from the inherited property itself or from other heirs, as stipulated in Article 183 of the Compilation of Islamic Law (KHI). Meanwhile, in the Civil Code Article 1057-1058, the refusal is made expressly through an official statement before the Registrar of the District Court in the jurisdiction where the inheritance is open. This research uses a normative juridical method with a comparative approach to analyze the doctrines of classical Islamic inheritance law and the provisions of positive Indonesian legislation. The results show that in Islamic law, rejection does not erase the status of heirs, but only serves as a voluntary relinquishment of rights. In contrast, in the civil law system, rejection causes a person to be considered never to be an heir so that all rights and obligations, including the obligation to pay off the testator's debt, are canceled. This difference indicates a difference in legal philosophy: Islamic law emphasizes family management and balance of justice between heirs, while civil law emphasizes procedural certainty and protection of third parties, especially creditors. This study emphasizes the importance of harmonizing the principles of the two legal systems within the framework of Indonesia's pluralistic inheritance law to prevent inheritance disputes.
TOLERANSI HUKUM ISLAM TERHADAP SISTEM KEWARISAN ADAT DI INDONESIA Tarmizi, Tarmizi; Zubair, Asni
ADHKI: JOURNAL OF ISLAMIC FAMILY LAW Vol. 4 No. 2 (2022): ADHKI: Journal of Islamic Family Law
Publisher : Indonesian Association of Islamic Family Law Lecturers

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37876/adhki.v4i2.98

Abstract

Masyarakat Indonesia umumnya memilih sistem adat dalam pembagian harta warisan meskipun mayoritas beragama Islam yang juga memiliki sistem kewarisan yaitu farāiḍ. Penelitian ini bertujuan mengkaji toleransi hukum Islam terhadap penerapan sistem kewarisan adat melalui sifat keluwesannya dan memberi batasan pelaksanaan agar tidak bertentangan dengan ketentuan hukum Islam. Penelitian ini merupakan penelitian pustaka dengan mengumpulkan hasil-hasil penelitian yang membahas berbagai sistem kewarisan adat, kemudian data diolah dan dianalisis secara deskriptif kualitatif untuk menguraikan toleransi hukum Islam terhadap sistem waris adat. Terdapat beberapa sistem kewarisan adat di Indonesia yaitu pembagian ketika pewaris masih hidup melalui hibah dan wasiat, pembagian dengan cara perdamaian atau musyawarah, pembagian dengan mengutamakan anak laki-laki tertua dan pembagian dengan mengutamakan anak perempuan (sistem matrilineal). Sistem tersebut tidak sesuai dengan sistem kewarisan Islam, namun hukum Islam memberikan toleransi dengan beberapa catatan. Hibah dihitung sebagai warisan masih dibolehkan sebagaimana Pasal 211 KHI, wasiatpun dibolehkan asal tidak melebihi sepertiga dari harta warisan. Begitujuga perdamaian dan musyawarah dibolehkan asal disepakati setiap ahli waris yang menyadari bagiannya. Adapun anak tertua laki-laki boleh mendapat paling banyak bagian selama dsetujui ahli waris lainnya. Sedangkan sistem kewarisan matrilineal di Minangkabau tidak bertentangan dengan hukum Islam karena adanya pembagian harta pusaka tinggi dan pusaka rendah.
Penggantian Ahli Waris Menurut Tinjauan Hukum Islam Zubair, Asni; Lebba, Lebba
Asy-Syir'ah: Jurnal Ilmu Syari'ah dan Hukum Vol 42 No 2 (2008)
Publisher : UINSunan Kalijaga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/ajish.v42i2.113

Abstract

Penggantian  ahli  waris  dalam  Kompilasi Hukum Islam dimaksudkan untuk memberi jalan keluar bagi  cucu  yang  terhalang  menerima  harta  warisan. Masalahnya  adalah  tidak  ada  penjelasan  yang  memadai tentang  penggantian  ahli  waris  yang  dimaksudkan, sehingga dapat menimbulkan interpretasi yang beragam. Tulisan  ini  berupaya  hendak  menelusuri  penggantian ahli  waris  dalam  hukum  Islam.  Dalam kitab-kitab fikih juga  terdapat  istilah  penggantian  tempat  atau penggantian  ahli  waris  yang  diperuntukkan  untuk  ahli waris zaw  al-arham.  Adapun  yang  menyerupai penggantian  ahli  waris  dalam  Kompilasi  Hukum  Islam adalah lembaga  wasiat wajibahyang berlaku di Mesir dan beberapa negara muslim lainnya.