Claim Missing Document
Check
Articles

Found 10 Documents
Search

TRADISI KAHAWOTINO LAMBU (MENEMPATI RUMAH BARU) PADA ETNIS MUNA DI DESA KORIHI, KECAMATAN LOHIA, KABUPATEN MUNA Samsul Samsul; La Ode Dirman; Rahman Samusu; Sitti Hermina
Journal Idea of History Vol 4 No 2 (2021): Volume 4 Nomor 2, Juli - Desember 2021
Publisher : Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Halu Oleo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33772/history.v4i2.1458

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) menggambarkan eksistensi tradisi kahawotino lambu pada etnis Muna di Desa Korihi Kecamatan Lohia, Kabupaten Muna; 2) menjelaskan pola pewarisan tradisi kahawotino lambu di Desa Korihi Kecamatan Lohia Kabupaten Muna. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Sumber data dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah observasi atau pengamatan, yaitu peneliti terjun langsung ke lapangan untuk memperoleh data dan mengumpulkan data. Proses pada kegiatan ini lebih ditekankan pada ketelitian dalam eksistensi dan pola pewarisan tradisi kahawotino lambu. Wawancara dilakukan dengan menggali informasi secara mendalam tentang eksistensi dan pola pewarisan tradisi kahawotino lambu di Desa Korihi, Kecamatan Lohia, Kabupaten Muna dengan informan yang telah ditentukan. Dokementasi dilakukan agar dapat memperkuat data hasil dari wawancara dan observasi. Teknik penentuan informan dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik purposive sampling. Data dianalisis dengan teknik reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tradisi kahawotino lambu merupakan tradisi memasuki rumah baru yang dilakukan oleh suku Muna ketika hendak menempati rumah baru. Tradisi ini oleh suku Muna dianggap sebagai salah satu bentuk rasa syukur kepada Allah Swt., atas rahmat dan rezeki. Tanggapan generasi muda terhadap tradisi kahawotino lambu saat ini, yaitu generasi muda sudah tidak terlalu mempercayai adanya kepercayaan terhadap nenek moyang, mereka beranggapan bahwa tradisi tersebut sudah tidak penting lagi dan mereka lebih mengikuti perkembangan zaman dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Adapun pola pewarisan tradisi kahawotino lambu di Desa Korihi Kecamatan Lohia Kabupaten Muna terdiri dari tiga cara, yaitu (1) melalui keluarga, (2) dengan berguru, dan (3) pewarisan dalam pertunjukan.
TUTURAN RITUAL MO’OOLI PADA PEMBUKAAN LAHAN BARU PERLADANGAN MASYARAKAT MORONENE DESA HUKAEA-LAEYA KECAMATAN LANTARI JAYA KABUPATEN BOMBANA Asep Sunandar; La Ode Dirman; Nurtikawati Nurtikawati
LISANI: Jurnal Kelisanan, Sastra, dan Budaya Vol 1 No 2 (2018): Volume 1 Nomor 2, Juli-Desember 2018
Publisher : Jurusan Tradisi Lisan, Fakultas Ilmu Budaya, Univeritas Halu Oleo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33772/lisani.v1i2.852

Abstract

Penelitian ini dianalisis menggunakan metode penelitian kualitatif. Data dalam penelitian ini diperoleh melalui pengamatan dan wawancara mendalam yang didukung dengan dokumentasi dan perekaman/video. Teknik penentuan informan dalam penelitian ini adalah tokoh adat dan Tumpuroo (dukun). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ritual adat Mo’ooli dilaksanakan oleh beberapa orang di sebuah tempat yang dianggap keramat karena terdapat makam leluhur. Beberapa hal yang harus disiapkan sebagai pe’oli adalah dua pasang sarung (sarung laki-laki dan sarung perempuan), dua pasang pakaian (pakaian laki-laki dan pakaian perempuan), daun sirih (bite), buah pinang (wua), kapur sirih (ngapi), tembakau (ahu), kulit jagung (kulimpuhu). Pe’oli dipersembahkan sebagai syarat untuk melaksanakan sebuah hajat baik pribadi maupun kelompok masyarakat Moronene agar mendapat restu dari Sangia/Ntiwonua sehingga terhindar dari marabahaya. Pesan disampaikan secara langsung dalam bentuk tuturan mantra. Jenis serangga yang datang di sekitar tempat pelaksanaan ritual adat Mo’ooli menjadi pertanda diterima atau tidaknya permohonan izin/restu. Proses yang dilalui dalam pelaksanaan ritual adat Mo’ooli memperlihatkan harmoni komunikasi antara hamba dan gustinya.
UPACARA HAROA BHANTEA PADA MASYARAKAT KULISUSU Naswati Naswati; La Ode Dirman; Rahmat Sewa Suraya
LISANI: Jurnal Kelisanan, Sastra, dan Budaya Vol 1 No 2 (2018): Volume 1 Nomor 2, Juli-Desember 2018
Publisher : Jurusan Tradisi Lisan, Fakultas Ilmu Budaya, Univeritas Halu Oleo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33772/lisani.v1i2.854

Abstract

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui dan mendeskripsikan proses, fungsi dan makna dalam pelaksanaan upacara haroa bhantea pada masyarakat Kulisusu di desa Tomoahi Kecamatan Kulisusu Kabupaten Buton Utara. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2018. Metode penelitian yang digunakan adalah metode analisis deskriptif kualitatif. Dalam penelitian ini dihadirkan informan yang berasal dari pemimpin upacara (Moji), dan tokoh masyarakat, yang diambil secara sengaja (purposive sampling). Pengumpulan data dilakukan melalui teknik observasi (pengamatan), wawancara, dan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses pelaksanaan Haroa Bhantea pada masyarakat Tomoahi, masih melakukan Haroa Bhantea dengan menyiapkan sesajen seperti ketupat, rokok, kapur, daun sirih, buah pinang, dan salea, untuk dipersembahkan kepada rumah jaga (Bhantea) dan para Sangia. Serta fungsi upacara sebagai bentuk sosialisasi antara sesama masyarakat Tomoahi maupun Moji dengan roh-roh halus Sedangkan makna upacara terdiri dari tiga cakupan yaitu makna religi yang percaya kepada adanya roh-roh halus yang memiliki kesaktian, makna sosial sebagai bentuk terjalinnya sosialisasi antara satu dengan yang lain, dan makna simbolik yang terdapat dalam setiap sesajen maupun benda-benda dalam Haroa Bhantea.
TRADISI HERAPO-RAPO PADA ORANG WANCI DESA WAHA KECAMATAN WANGI-WANGI KABUPATEN WAKATOBI Faris Faris Faris; La Ode Dirman; Sitti Hermina
LISANI: Jurnal Kelisanan, Sastra, dan Budaya Vol 3 No 1 (2020): Volume 3 Nomor 1, Januari-Juni 2020
Publisher : Jurusan Tradisi Lisan, Fakultas Ilmu Budaya, Univeritas Halu Oleo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33772/lisani.v3i1.1013

Abstract

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Waha Kecamatan Wangi-wangi Kabupaten Wakatobi dengan tujuan untuk mengetahui proses pelaksanaan dan makna simbolik yang terkandung dalam tradisi Herapo-rapo pada suku Buton di Desa Waham Kecamatan Wangi-Wangi, Kabupaten Wakatobi. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik pengamatan (observasi), wawancara mendalam dan studi dokumentasi. Tradisi Herapo-rapo dilakukan pada saat bulan Ramadhan. Proses pelaksanaan tradisi Herapo-rapo memiliki beberapa tahap yaitu (1) tahap persiapan, (2) tahap pelaksanaan, dan (3) tahap perempuan menjual kacang yang sudah disangrai sambil menunggu laki-laki yang singgah membeli kacang tersebut. Makna simbolik dalam tradisi Herapo-rapo ini yaitu makna alat dan bahan tradisi Herapo-rapo tersebut berupa kacang sangrai, meja, kursi, lampu pelita. Secara umum makna tradisi Herapo-rapo yaitu agar cepat mendapatkan jodoh atau pasangan hidup.
TRADISI KALOSARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA TANAH DI KECAMATAN BAITO KABUPATEN KONAWE SELATAN shinta arjunita saputri; La Ode Dirman; La Ode Ta'alami; Arie Toursino Hadi
LISANI: Jurnal Kelisanan, Sastra, dan Budaya Vol 3 No 2 (2020): Volume 3 Nomor 2, Juli-Desember 2020
Publisher : Jurusan Tradisi Lisan, Fakultas Ilmu Budaya, Univeritas Halu Oleo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33772/lisani.v3i2.1112

Abstract

Penelitian ini membahas bagaimana tradisi Kalosara digunakan dalam penyelesaian sengketa tanah pada masyarakat kecamatan Baito dengan fokus pada makna dan fungsinya. Penelitian ini merupakan tipe penelitian kualitatif dengan metode wawancara dan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa makna Kalosara dalam penyelesaian sengketa tersebut dilihat dalam hubungan analogi antara makna benda-benda penyusun Kalosara (anyaman segiempat, rotan, kain putih, daun sirih, dan buah pinang) dengan realitas yang ada, dalam hal ini sengketa tanah. Makna benda-benda tersebut merepresentasikan gagasan ideal dalam kehidupan masyarakat Tolaki termasuk dalam mencari resolusi dalam sengketa tanah. Adapun fungsi yang ditemukan adalah media pemaksa, media pemersatu, dan media perdamaian.
TRADISI PENGOBATAN SAPULEI PADA MASYARAKAT DESA GUNUNG SEJUK: KAJIAN BENTUK, FUNGSI, DAN EKSISTENSI PENGOBATAN Ayyuh S Ayyuh S; La Ode Dirman; Rahmat Sewa Suraya
LISANI: Jurnal Kelisanan, Sastra, dan Budaya Vol 4 No 1 (2021): Volume 4 Nomor 1, Januari-Juni 2021
Publisher : Jurusan Tradisi Lisan, Fakultas Ilmu Budaya, Univeritas Halu Oleo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33772/lisani.v4i1.1172

Abstract

Tradisi sapulei adalah tradisi yang berasal dari Desa Gunung Sejuk yang digunakan untuk mengobati penyakit kulit yang disebut humendeno. Adapun bentuk dari humendeno yaitu kalumera, kukusewa, dan kawincu yang disebabkan olweh pergantian musim dan rewu (kesalahan atau kotoran) orang tua di masa lalu atau saat mengandung si pasien selama Sembilan bulan, dengan tujuan untuk mengeluarkan penyakit dari tubuh pasien sehingga tidak menetap dalam tubuh. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan bentuk, fungsi, dan menganalisis eksistensi pengobatan sapulei pada masyarakat Desa Gunung Sejuk Kecamatan Sampolawa Kabupaten Buton Selatan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskripsi dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa bentuk pengobatan sapulei yaitu pelaksanaannya menggunakan beberapa media seperti air (e’e), santan kelapa (santa kunde’e), dan minyak tawon (mina goso). Eksistensi sapulei memiliki aspek bertahan yaitu fungsi solidaritas dan fungsi religi yang menjadi faktor sapulei dapat bertahan. Aspek terancam punah yaitu adanya sistem pengobatan modern yang menyebabkan perubahan pola pikir masyarakat.
PENGEMBANGAN KEARIFAN LOKAL SEBAGAI BASIS PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT DI KELURAHAN BENUA NIRAE KECAMATAN ABELI KOTA KENDARI La Ode Dirman; Syahrun Syahrun; Erens Elvianus Koodoh; Raemon Raemon; Alias Alias
LISANI: Jurnal Kelisanan, Sastra, dan Budaya Vol 4 No 2 (2021): Volume 4 Nomor 2, Juli-Desember 2021
Publisher : Jurusan Tradisi Lisan, Fakultas Ilmu Budaya, Univeritas Halu Oleo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33772/lisani.v4i2.1434

Abstract

Kearifan lokal merupakan kekayaan lokal suatu daerah. Kearifan lokal memiliki berbagai macam potensi seperti dapat dikembangkan sebagai sumber ekonomi kreatif masyarakat. Kendati demikian, kearifan lokal itu belum secara maksimal dimanfaatkan dan diberdayakan sebagai kekuatan peningkatan ekonomi masyarakat. Oleh karena itu melalui kegiatan program Pengabdian KKN tematik ini dipandang perlu sebagai langkah kongktir dalam menempatkan kearifan lokal sebagai bagian penting dalam usaha pengembangan ekonomi rakyat. Adapun metode pendekatan yang digunakan dalam program ini yakni metode Ceramah, tanya jawab, partisipatif dan Fokus Group Diskusi (FGD). Ceramah sebagai langkah awal pengenalan dan pembentukan pengetahuan kognitif masyarakat. Hal tersebut dilakukan sebagai motivasi awal di dalam mengembangkan kreatifitas kearifan lokal dalam meningkatkan kualitas perekonomian masyarakat Kelurahan Benua Nirae. Adapun hasil yang diperoleh adalah masyarakat mampu memanfaatkan kearifan lokal sebagai sumber kegiatan ekonomi masyarkat yakni dengan berhasil menambah nilai tambah ubi kayu menjadi kuliner khas benua nirae. Selain itu, masyarakat pengrajin tenun dapat menciptakan inovasi produk dengan membuat baju dan kain selempang berbahan tenun.
Tradisi Pengobatan Sapulei Pada Masyarakat Desa Gunung Sejuk Ayyuh S Ayyuh S; La Ode Dirman; Rahmat Sewa Suraya
LISANI: Jurnal Kelisanan, Sastra, dan Budaya Vol 5 No 1 (2022): Volume 5 Nomor 1, Januari-Juni 2022
Publisher : Jurusan Tradisi Lisan, Fakultas Ilmu Budaya, Univeritas Halu Oleo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33772/lisani.v5i1.1661

Abstract

The sapulei tradition is a tradition originating from the village of Gunung Sejuk wich is used to treat a skin disease called humendeno. The purpose of this study was to describe the form of traditional sapulei medicane. To analyze the function of the sapulei tradition. The method used in the research is descriptive method using a qualitative approach. Data collection techniques are carried out through interviews, observation, and documentation. The technique of determining informants in this study was carried out by purpose sampling. Activities in data analysis are collecting data, presenting data and drawing conclusions. The results of this study indicate that the form of sapulei treatment is its implementation using several nedia such as water (e’e), coconut milk (kunde’e coconut milk), and rubbing oli (mina goso). The existence of the sapulei tradition is a function of solidarity and a function of religion ehich is a factor of survival of sapulei. The aspect of being threatned with extinction is the existence of a modern medical system that causes change in peolple’s mindets.
Ritual Tuko Belai (Peletakan Tiang Raja) di Desa Darawa Kecamatan Kaledupa Selatan Kabupaten Wakatobi Noor Astikalmira; La Ode Dirman; Nurtikawati Nurtikawati
LISANI: Jurnal Kelisanan, Sastra, dan Budaya Vol 5 No 2 (2022): Volume 5 Nomor 2, Desember 2022
Publisher : Jurusan Tradisi Lisan, Fakultas Ilmu Budaya, Univeritas Halu Oleo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33772/lisani.v5i2.1919

Abstract

The study was conducted in the village of Darawa, South Kaledupa District, Wakatobi Regency with the aim of describing the process of performing the tuko belai ritual (placement of the king's pole) in the village of Darawa, South Kaledupa District, Wakatobi Regency and explaining the symbolic meanings contained in it. The research method used was qualitative with the determination of informants using snowball sampling, then data was obtained through observation, interviews, and communication and then analyzed. The results of this research showed that the process of performing the tuko belai ritual consists of the initial stage, implementation, and final stage. The tuko belai ritual has the meaning of avoiding evil spirits or supernatural creatures that can disturb the life of the inhabitants of the house later, as a repeller of misfortune (Bala'a), a prayer for safety (doa selamat), blessed with health, blessed with prosperity, and given a long life.
Motif-Motif Tenun di Desa Mabolu Kecamataan Lohia Kabupaten Muna La Ode Kadir; La Ode Dirman; La Ode Marhini
LISANI: Jurnal Kelisanan, Sastra, dan Budaya Vol 6 No 1 (2023): Volume 6 No 1, Juni 2023
Publisher : Jurusan Tradisi Lisan, Fakultas Ilmu Budaya, Univeritas Halu Oleo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33772/lisani.v6i1.2835

Abstract

                The objectives of this study were (1) to find out what knowledge is known by the community about woven cloth motifs ini mabolu Village. Lohia District, Muna Regenci. (2) To describe the function of Woven fabric of Motifs in Mabolu Village, Lohia District, Regenci. This research uses a qualitative descriptive method. The research location chosen was in mabolu Village. Lohia District, Muna Regency. Data collection techniques were carried out by direct  observation  (observation), interviewsto purposive. Data were analyzed in three stages, namely; (1) data editing, (2) data review, (3) drawing conclusions. Informants in this study amounted to 5 people, data collection in this study was carried out using observation techniques, interviews and documentation which were then analyzed descriptively qualitatively. The resultsof this study are; (1) knowledge the community regarding motives there are 12 motifs along with the groups that use them, namely the bhia-bhia motif for walaka, the samasili motif for kaomu, the lante-lante motif for maradika or small people, the kambeano bhontu motif for walaka, the bhotu motif for kaomu, the kambeano sirikaea motif for kaomu, bharalu motif for walaka, kambeano kuni motif for kaomu, manggo-manggopa motif for kaomu, mosituli motif for kaomu, ledha motif for walaka, kambeano bhanggai motif for kaomu, (20 There are 3 functions of the wuna woven sarong, namely for prayer, sleeping and for sacred events.