Claim Missing Document
Check
Articles

Found 14 Documents
Search

NATURAL DISASTER AS THE REASON TO WRITING OFF BANKING CREDIT IN INDONESIA Siahaan, Rudy Haposan
Brawijaya Law Journal Vol 1, No 1 (2014): Legal and Development
Publisher : Faculty of Law, Universitas Brawijaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21776/ub.blj.2014.001.01.02

Abstract

Non-performing loans is a credit risk in the banking business. One of them is due to natural disasters and this is a force majeure  where the presence of unexpected events that occurred outside the fault of the debtor after entering into the agreement, these events preclude the debtor from fulfilling his achievements before debtor is declared to be negligent and therefore the debtor cannot be blamed and do not bear the risk for such events. Natural disasters are included in clause of force majeure. It must be explained the definition and criteria in the loan agreement in detail, as this brings the law result to writing off the debt (liabilities) to the creditor (Bank). The writing off bank credit as a result of natural disasters can be performed with the following reasons: a) The natural disaster was declared as a national disaster by the governments decision, b) Debtor bank including in the criteria that is directly affected by the disaster, and c) the obligation of reserving from the bank over loans given to debtor in the form of Loan Loss Provision (LLP). In addition to it, in practice, the non-legal factors settlement produce a new model law, therefore the writing off the non-performing due to natural disasters need strong legal basis within the framework of the legal system in the banking regulation in the form of legislation so that the force majeure clause of the Banking Credit Agreement has a binding force power.
Penyelesaian Sengketa Perbankan Melalui Mediasi Pasca Keluarnya UU Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan Siahaan, Rudy Haposan
DOKTRINA: JOURNAL OF LAW Vol 1, No 1 (2018): Doktrina:Journal of Law April 2018
Publisher : Universitas Medan Area

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (844.136 KB) | DOI: 10.31289/doktrina.v1i1.1610

Abstract

Pasca UU Nomor 21 Tahun 2011, penyelesaian sengketa perbankan wajib diselesaikan lebih dahulu oleh Pelaku Usaha Jasa Keuangan (Devisi Pengaduan  Konsumen yang wajib dimiliki oleh setiap Pelaku Jasa Keuangan termasuk Bank) dan apabila tidak tercapai kata sepakat maka dapat di selesaikan melalui Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa  yang tidak hanya mediasi tetapi juga ada ajudikasi dan arbitrase yang wajib dibentuk oleh Asosiasi Perbankan paling lambat tanggal 31 Desember 2015 dan apabila belum terbentuk maka nasabah dapat mengajukan permohonan fasilitasi sengketa kepada OJK. Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dengan tipe penelitian deskriptif. Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan normatif-terapan. Data yang digunakan adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Pengumpulan data dilakukan dengan cara studi pustaka dan studi dokumen. Pengolahan data dilakukan dengan cara pemeriksaan data, klasifikasi data dan sistematisasi data yang dianalisis secara kualitatif. Hasil penelitian Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa sektor perbankan juga harus memiliki penyelesaian sengketa berupa mediasi, ajudikasi, dan arbitrase. Mekanisme penyelesaian sengketa berupa mediasi menerapkan prinsip-prinsip aksesibilitas, idenpendensi, keadilan, dan afisiensi dan efektifitas, rangkai sistem perlindungan nasabah akan meningkatkan kepercayaan nasabah kepada Bank dan membawa dampak positif bagi perkembangan industri perbankan dalam mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berlanjut dan stabil. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 2 POJK Nomor 1/POJK.07/2014 tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan dilakukan melalui LAPSPI sebagai lembaga alternatif penyelesaian sengketa di sektor perbankan yang terdaftar dalam daftar LAPS yang ditetapkan OJK. Adapun sengketa yang dapat diselesaikan melalui LAPSPI haruslah berupa sengketa perdata yang timbul di antara para pihak terkait dengan perbankan. Bentuk-bentuk penyelesaian sengketa perbankan melalui LAPSPI berupa Mediasi, Ajudikasi, dan Arbitrase. Prosedur penyelesaian sengketa melalui LAPSPI dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara. Pertama, para pihak dapat memilih Mediasi sebagai awal penyelesaian sengketa, hasil Mediasi ini berupa Kesepakatan Perdamaian yang dapat dikuatkan ke dalam bentuk Akta Perdamaian untuk dapat dilaksanakan. Apabila Mediasi tidak berhasil, para pihak dapat melanjutkannya dengan Ajudikasi. Putusan Ajudikasi ini bersifat final dan mengikat para pihak apabila pemohon menerima putusan ajudikasi secara keseluruhan dan dalam hal ini maka putusan ajudikasi sudah dapat dilaksanakan. Kedua, para pihak dapat memilih Arbitrase sebagai penyelesaian sengketa yang pertama dan terakhir. Putusan Arbitrase harus terlebih dahulu didaftarkan  di pengadilan negeri  untuk dapat dilaksanakan. Pendaftaran ini merupakan  faktor terpenting  dalam pelaksanaan  putusan Arbitrase, karena tanpa pendaftaran  akan berakibat putusan tidak dapat dilaksanakan.Dengan terbentuknya LAPSPI ini, maka dapat memenuhi kebutuhan masyarakat untuk tersedianya mekanisme  penyelesaian sengketa di luar pengadilan dibidang jasa keuangan sektor Perbankan baik konvensional maupun syariah yang cepat, murah, adil dan efisien. Di samping itu penyelesaian sengketa perbankan di luar pengadilan tersebut dapat lebih baik karena penyelesaian sengketa dengan tetap memperhatikan karakteristik permasalahan dengan mengedepankan independensi dan kepatuhan pada peraturan perundang-undangan.
INSTRUMENT OF COMMAND DALAM PERJANJIAN KREDIT BANK Rudy Haposan Siahaan
Jurnal Paradigma Hukum Pembangunan Vol 2 No 02 (2017): Jurnal Paradigma Hukum Pembangunan
Publisher : Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25170/paradigma.v2i02.1901

Abstract

Dalam pemberian kredit, bank telah menyediakan blangko/formulir-formulir perjanjian kredit yang isinya telah disiapkan lebih dahulu dan kalaupun perjanjian kredit tersebut dibuat dalam akta notaris, notaris diminta untuk memberikan pedoman terhadap klausul dari model perjanjian kredit yang telah disiapkan oleh bank. Hal ini tentunya menimbulkan ketidakseimbangan dan rasa ketidakadilan bagi debitur bank, karena klausul-klausul dalam perjanjian kredit tersebut dibuat secara sepihak. Pengaturan mengenai perjanjian kredit sebagai perjanjian pokok sampai saat ini yang berupa undang-undang belum ada, sedangkan perjanjian pemberian jaminan sebagai perjanjian tambahan (accesoir) berupa UU Fidusia dan UU Hak Tanggungan telah diatur secara tegas dalam bentuk undang-undang, sehingga agak janggal bahwa di satu sisiperjanjian kredit sebagai perjanjian pokok pengaturannya belum diatur secara tegas, di sisi lain perjanjian pemberian jaminan pengaturannya telah diatur dalam undang-undang. Larangan penggunaan atas klausula baku seyogianya diberlakukan secara selektif, seperti klausula baku dalam perjanjian kredit tidak semua mengandung muatan negatif dan merugikan debitur bank karena banyak klausula dalam perjanjian kredit bank telah diterima dan lazim digunakan di dunia perbankan. Untuk itulah klausul dalam perjanjian kredit dapat dibuat dalam bentuk instrument of command atau perjanjian baku standar Pemerintah, sebagaimana mengenai hal inipun telah disebutkan dalam Rancangan Undang Undang (RUU) Perkreditan Perbankan yang menyebutkan perjanjian kredit dibuat secara tertulis dalam bentuk standar yang dibuat oleh Bank Indonesia dengan berasaskan pada kepercayaan, keadilan, kejujuran, transparan, kepatutan, kebiasaan, kesusilaan dan sesuai kepastian hukum. Namun sampai saat ini Rancangan Undang-Undang ini belum menjadi menjadi skala proritas dari legislasi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) padahal kredit perbankan telah menjadi kebutuhan masyarakat, pebisnis dan juga negara. Tulisan ini dibuat berdasarkan penelitian normatif yang menggunakan pendekatanstatute approach dan conceptual approach.
Penyelesaian Sengketa Perbankan Melalui Mediasi Pasca Keluarnya UU Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan Rudy Haposan Siahaan
DOKTRINA: JOURNAL OF LAW Vol 1, No 1 (2018): Doktrina:Journal of Law April 2018
Publisher : Universitas Medan Area

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31289/doktrina.v1i1.1610

Abstract

Pasca UU Nomor 21 Tahun 2011, penyelesaian sengketa perbankan wajib diselesaikan lebih dahulu oleh Pelaku Usaha Jasa Keuangan (Devisi Pengaduan  Konsumen yang wajib dimiliki oleh setiap Pelaku Jasa Keuangan termasuk Bank) dan apabila tidak tercapai kata sepakat maka dapat di selesaikan melalui Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa  yang tidak hanya mediasi tetapi juga ada ajudikasi dan arbitrase yang wajib dibentuk oleh Asosiasi Perbankan paling lambat tanggal 31 Desember 2015 dan apabila belum terbentuk maka nasabah dapat mengajukan permohonan fasilitasi sengketa kepada OJK. Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dengan tipe penelitian deskriptif. Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan normatif-terapan. Data yang digunakan adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Pengumpulan data dilakukan dengan cara studi pustaka dan studi dokumen. Pengolahan data dilakukan dengan cara pemeriksaan data, klasifikasi data dan sistematisasi data yang dianalisis secara kualitatif. Hasil penelitian Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa sektor perbankan juga harus memiliki penyelesaian sengketa berupa mediasi, ajudikasi, dan arbitrase. Mekanisme penyelesaian sengketa berupa mediasi menerapkan prinsip-prinsip aksesibilitas, idenpendensi, keadilan, dan afisiensi dan efektifitas, rangkai sistem perlindungan nasabah akan meningkatkan kepercayaan nasabah kepada Bank dan membawa dampak positif bagi perkembangan industri perbankan dalam mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berlanjut dan stabil. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 2 POJK Nomor 1/POJK.07/2014 tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan dilakukan melalui LAPSPI sebagai lembaga alternatif penyelesaian sengketa di sektor perbankan yang terdaftar dalam daftar LAPS yang ditetapkan OJK. Adapun sengketa yang dapat diselesaikan melalui LAPSPI haruslah berupa sengketa perdata yang timbul di antara para pihak terkait dengan perbankan. Bentuk-bentuk penyelesaian sengketa perbankan melalui LAPSPI berupa Mediasi, Ajudikasi, dan Arbitrase. Prosedur penyelesaian sengketa melalui LAPSPI dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara. Pertama, para pihak dapat memilih Mediasi sebagai awal penyelesaian sengketa, hasil Mediasi ini berupa Kesepakatan Perdamaian yang dapat dikuatkan ke dalam bentuk Akta Perdamaian untuk dapat dilaksanakan. Apabila Mediasi tidak berhasil, para pihak dapat melanjutkannya dengan Ajudikasi. Putusan Ajudikasi ini bersifat final dan mengikat para pihak apabila pemohon menerima putusan ajudikasi secara keseluruhan dan dalam hal ini maka putusan ajudikasi sudah dapat dilaksanakan. Kedua, para pihak dapat memilih Arbitrase sebagai penyelesaian sengketa yang pertama dan terakhir. Putusan Arbitrase harus terlebih dahulu didaftarkan  di pengadilan negeri  untuk dapat dilaksanakan. Pendaftaran ini merupakan  faktor terpenting  dalam pelaksanaan  putusan Arbitrase, karena tanpa pendaftaran  akan berakibat putusan tidak dapat dilaksanakan.Dengan terbentuknya LAPSPI ini, maka dapat memenuhi kebutuhan masyarakat untuk tersedianya mekanisme  penyelesaian sengketa di luar pengadilan dibidang jasa keuangan sektor Perbankan baik konvensional maupun syariah yang cepat, murah, adil dan efisien. Di samping itu penyelesaian sengketa perbankan di luar pengadilan tersebut dapat lebih baik karena penyelesaian sengketa dengan tetap memperhatikan karakteristik permasalahan dengan mengedepankan independensi dan kepatuhan pada peraturan perundang-undangan.
Juridicial Analysis on The Implementation of Fiduciary Collateral Execution in The Post-The Constituonal Court’s Ruling No. 18/PUU-XVII/2019 Cut Nabilla Sarika; Sunarmi Sunarmi; Dedi Harianto; Rudy Haposan Siahaan
Syiah Kuala Law Journal Vol 5, No 3: Desember 2021
Publisher : Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (487.194 KB) | DOI: 10.24815/sklj.v5i3.23030

Abstract

Fiduciary collateral as a type of collateral gives the rights of executorial to creditors to do parate execution on the object of fiduciary collateral when a debtor defaults. In practice, however, collateral misuses this right by seizing the collateral coercively and illegally. This becomes the basics for Judicial Review agains Article 15, paraghraphs 2 and 3 of Law No. 42/1999 on Fiduciary Collateral on January 6, 2020, and the Constitutional Court issued the Ruling No. 18/PUU-XVII/2019 which causes dispute in people. The research problems are whether the Constitutional Court’s Ruling is contrary to the collateral which gives easianess for the execution, how about the implementation of parate execution in the post – the Constituonal Court’s Ruling, and how about the legal consequence of debtor and creditor.The research use descriptive juridicial normative method. The data were gathered by conducting library research. The gathered data were analyzed qualitatively. The result of the analysis shows that Ruling does not impede the right of executing by creditors so that it is in accordance with the executorial right in fiduciary collateral, and creditors can still play their role in doing parate execution hen debitors default, on condition that debtors voluntarily hand in the fiduciary collateral. It may be difficult to do this in the foreclosure sale; therefore, it has to be certain in writing the clauses in the fiduciary contract. In this case, a Notary is required to add a clause about default in the contract and should refer to the Constituonal Court’s Ruling No. 18/PUU-XVII/2019 as the legal ground in writing fiduciary collateral contract.
NATURAL DISASTER AS THE REASON TO WRITING OFF BANKING CREDIT IN INDONESIA Rudy Haposan Siahaan
Brawijaya Law Journal : Journal of Legal Studies Vol. 1 No. 1 (2014): Legal and Development
Publisher : Faculty of Law, Universitas Brawijaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21776/ub.blj.2014.001.01.02

Abstract

Non-performing loans is a credit risk in the banking business. One of them is due to natural disasters and this is a force majeure where the presence of unexpected events that occurred outside the fault of the debtor after entering into the agreement, these events preclude the debtor from fulfilling his achievements before debtor is declared to be negligent and therefore the debtor cannot be blamed and do not bear the risk for such events. Natural disasters are included in clause of force majeure. It must be explained the definition and criteria in the loan agreement in detail, as this brings the law result to writing off the debt (liabilities) to the creditor (Bank). The writing off bank credit as a result of natural disasters can be performed with the following reasons: a) The natural disaster was declared as a national disaster by the government's decision, b) Debtor bank including in the criteria that is directly affected by the disaster, and c) the obligation of reserving from the bank over loans given to debtor in the form of Loan Loss Provision (LLP). In addition to it, in practice, the non-legal factors settlement produce a new model law, therefore the writing off the non-performing due to natural disasters need strong legal basis within the framework of the legal system in the banking regulation in the form of legislation so that the force majeure clause of the Banking Credit Agreement has a binding force power.
IMPLIKASI HUKUM RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM TERKAIT JUAL BELI SAHAM YANG TIDAK SESUAI DENGAN UNDANG-UNDANG PERSEROAN TEBATAS Rahmi Pambpha Patresia M; T. Keizerina Devi Azwar; Rudy Haposan Siahaan; Detania Sukarja
Notarius Vol 2, No 2 (2023): Volume 2 Number 2 Oktober 2023
Publisher : Magister Kenotariatan UMSU

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Jual beli saham pada Perseroan Terbatas dilakukan sesuai dengan Perseroan Terbatas, Anggaran Dasar dapat mengatur persyaratan keharusan menawarkan terlebih dahulu kepada pemegang saham dengan klasifikasi tertentu atau pemegang saham lainnya, jual beli saham tersebut juga mempunyai keharusan disetujui oleh organ Perseroan Terbatas yaitu Rapat Umum Pemegang Saham. Pelaksanaan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa diawali dengan proses pemanggilan merujuk pada Pasal 81 UUPT. Mekanisme peralihan hak atas saham Perseroan Terbatas dengan jual beli, waris, maupun pelelangan, segala bentuk peralihan hak atas sahamnya wajib dilakukan dengan akta pemindahan. Pelaksanaan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa terkait jual beli saham Perseroan Terbatas, Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa diawali dengan proses pemanggilan mengacu pada Pasal 82 UUPT. Ketidak sesuaian pelaksanaan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa terkait jual beli saham dengan adanya gugatan pada Pengadilan Tinggi, berimplikasi hukum batalnya akta PKR, seluruh RUPS termasuk perubahan Aaggaran Dasar Perseroan Terbatas. Kata kunci: implikasi, jual beli, saham, perseroan, terbatas
ANALISIS SANKSI BAGI NOTARIS YANG MELAKUKAN PELANGGARAN KODE ETIK DALAM UNDANG-UNDANG JABATAN NOTARIS (STUDI PUTUSAN NOMOR:491/PDT/2022/PT.MDN) Siregar, Muqtashidin Hidayat; Runtung, Runtung; Sinaga, Henry; Siahaan, Rudy Haposan
BULETIN KONSTITUSI Vol 5, No 1 (2024): Vol. 5, No. 1
Publisher : BULETIN KONSTITUSI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRAK Adanya kesamaan kewenangan atas sanksi yang diberikaan atas pelanggaran kode etik, dimana dalam Perubahan Kode Etik Notaris Kongres Luar Biasa Ikatan Notaris Indonesia Banten tahun 2015, Dewan Kehormatan Pusat berwenang untuk memberikan rekomendasi disertai usulan pemecatan sebagai Notaris kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Pengusulan pemecatan yang sama juga dinyatakan dalam Undang-Undang Jabatan Notaris yang menyatakan bahwa Majelis Pengawas Pusat dapat mengusulkan pemberian sanksi berupa pemberhentian tidak hormat kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Tesis ini membahas mengenai mekanisme pelaksanaan pengawasan dan pembinaan Notaris dan pemberian sanksi atas pelanggaran kode etik oleh Dewan Kehormatan Notaris dan Majelis Pengawas Notaris, dan sinergitas kedua lembaga tersebut dalam pemberian sanksi atas pelanggaran kode etik berkaitan dengan pengusulan pemecatan atau pemberhentian dengan tidak hormat sebagai Notaris kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif. Data yang digunakan untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Untuk memperoleh data sekunder, maka digunakan penelitian kepustakaan (library research), yang kemudian dilakukan wawancara dengan beberapa informan. Teori yang digunakan untuk penelitian ini adalah teori sistem hukum dan teori kewenangan.Hasil penelitian memberikan kesimpulan, sinergitas Dewan Kehormatan Notaris dan Majelis Pengawas Notaris hanya terlihat dalam hal pengawasan dan pembinaan, tetapi tidak dalam hal pemberian sanksi. Untuk itulah Dewan Kehormatan Notaris diharapkan dapat memeriksa terlebih dahulu pelanggaran kode etik, yang kemudian putusan Majelis Pengawas Notaris berisi melanggar kode etik berdasarkan Undang-Undang Jabatan Notaris, tetapi juga kode etik berdasarkan Kode Etik Notaris.Saran-saran yang dapat diberikan adalah dibuatnya suatu peraturan menteri yang mengatur mengenai pelaksanaan dari kedua kewenangan yang dimiliki oleh Dewan Kehormatan Notaris dan Majelis Pengawas Notaris, meningkatkan kerjasama dan koordinasi dalam hal pengawasan, pembinaan dan pemberian sanksi atas pelanggaran kode etik dan Majelis Pengawas Notaris dapat mempertimbangkan keikutsertaan Dewan Kehormatan Notaris dalam memeriksa pelanggaran kode etik yang diterima. Agar putusan yang diberikan tidak hanya melanggar kode etik berdasarkan Undang-Undang Jabatan Notaris, tetapi juga kode etik berdasarkan Kode Etik Notaris.
Sinkronisasi BPJS Kesehatan dalam Pendaftaran Peralihan Hak Tanah: Studi Kasus di Kantor Badan Pertanahan Nasional Kota Medan Sitorus, Kristin Lusyana; Kamello, Tan; Siahaan, Rudy Haposan; Agusmidah, Agusmidah
Journal of Law & Policy Review Vol 2, No 1 (2024): Journal of Law & Policy Review, June 2024
Publisher : Mahesa Research Center

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.34007/jlpr.v2i1.450

Abstract

Terbitnya Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2022 mewajibkan pembeli untuk terdaftar di BPJS Kesehatan dalam pendaftaran peralihan hak tanah karena jual beli, menambahkan persyaratan baru. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi sinkronisasi regulasi keanggotaan BPJS Kesehatan dalam pendaftaran peralihan hak tanah, implementasi persyaratan oleh Kantor Badan Pertanahan Nasional Kota Medan, dan penundaan pelaksanaan. Penelitian normatif melibatkan wawancara dan studi literatur, menganalisis bahan hukum primer, sekunder, dan tersier secara kualitatif. Temuan menunjukkan sinkronisasi vertikal tidak praktis untuk Instruksi Presiden sebagai regulasi kebijakan. Sinkronisasi horizontal antara Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 dan Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Nomor 24 Tahun 2011 kurang relevan. Kantor Badan Pertanahan Nasional Kota Medan awalnya menerapkan persyaratan kartu BPJS Kesehatan, namun surat edaran pada 18 Agustus 2022 mengindikasikan penundaan, menunjukkan ketidakselarasan. Penundaan sesuai karena Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2022 tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Namun, surat edaran tidak menyebutkan durasi penundaan, menimbulkan ketidakpastian hukum dan masalah manfaat.
Penyelesaian Kredit Macet Terkait Adanya Tagihan Utang Pajak Debitur di Bank BRI Kantor Cabang Medan Thamrin Arfandi, Muhammad; Ginting, Budiman; Barus, Utary Maharany; Siahaan, Rudy Haposan
Journal of Law & Policy Review Vol 2, No 1 (2024): Journal of Law & Policy Review, June 2024
Publisher : Mahesa Research Center

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.34007/jlpr.v2i1.447

Abstract

The implementation of mortgage execution, execution (parate execution) must be based on a promise to sell under one's own power as regulated in Article 1178 paragraph (2) of the Civil Code, so that it is an implementation of an agreement and accompanied by a mortgage deed grosse which is intended "For the sake of Justice Based on the Almighty Godhead" This research is descriptive analytical in nature. The type of research used in this thesis is empirical legal research. Types and sources of data that will be used secondary and primary data. Data analysis was carried out to answer the problems studied using qualitative methods. Research using qualitative methods starts from assumptions about reality or social phenomena that are unique and complex. There is a certain regularity or pattern in it, but it is full of variations (diversity) in the facts contained in the problem being studied. Settlement of bad credit related to mortgage rights at Bank BRI Medan Thamrin Branch is preceded by steps taken by the bank to collect outstanding payments from debtors who have bad credit. The collection process is carried out through warning letters, telephone calls, or direct visits to debtors. If the debtor has not paid his obligations, the bank will then take steps to sell the assets through auction for the debtor's bad credit collateral. Regarding bills from taxpayers who are debtors of BRI Bank Medan Thamrin Branch, then if a taxpayer has an unpaid tax bill and he is a bank debtor, then the bank can withdraw funds from the taxpayer's bank account to pay the tax bill. This can be done based on a Tax Assessment Letter (SKP) issued by the tax authority which stipulates that the taxpayer must pay a certain tax bill. Settlement of debtors' bad debts at Bank BRI is related to taxpayers' tax debt claims against debtors. In an effort to provide legal certainty, the debtor's collateral object can be executed by the bank and then the sales proceeds are divided proportionally to the bank for bank credit debts and the tax office. on taxpayer debt.