Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search
Journal : Jurnal Ilmu Lingkungan

Pengaruh Penambahan Gliserol Mentah Limbah Industri Biodiesel Terhadap Produksi Biogas dari Kotoran Sapi Menggunakan Anaerobic Digester Sistem Batch Nelsy Mariza Syahyuda; Fadjar Goembira; Shinta Silvia
Jurnal Ilmu Lingkungan Vol 20, No 3 (2022): July 2022
Publisher : School of Postgraduate Studies, Diponegoro Univer

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14710/jil.20.3.465-473

Abstract

Biogas adalah gas yang dihasilkan oleh aktivitas anaerobik dalam menguraikan bahan organik dengan kandungan utama metana (CH4) dan karbon diokasida (CO2). Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh gliserol mentah dengan campuran kotoran sapi dalam memproduksi biogas. Digester menggunakan sistem batch skala laboratorium. Variasi pada penelitian ini adalah campuran kotoran sapi dengan penambahan gliserol mentah sebanyak 0, 4, 8, dan 12%. Semua variasi dengan volume total 350 mL. Pengukuran volume biogas dilakukan setiap hari. Pengukuran konsentrasi CH4 dan CO2 diukur menggunakan alat Geotech Biogas 5000 analyzer. Parameter yang diukur adalah COD, BOD, TS dan VS dan untuk pH diukur di awal serta di akhir proses. Suhu lingkungan diukur setiap hari dengan interval waktu selama 30 menit menggunakan alat Weather Station model PCE-FWS 20. Hasil penelitian menunjukkan lama waktu yang dibutuhkan untuk memproduksi biogas adalah 14 hari. Volume biogas tertinggi adalah 836 mL, pada variasi penambahan gliserol mentah 12%. Gliserol mentah yang ditambahkan memiliki COD 475,2 mg/L, BOD 133,22 mg/L, TS 20% dan VS 14,8%. Konsentrasi CH4 tertinggi juga didapatkan dari variasi penambahan gliserol mentah 12% yaitu 44,1%. Sedangkan volume biogas terendah adalah 292 mL pada digester tanpa penambahan gliserol mentah. Konsentrasi CH4 terendah didapatkan pada variasi penambahan gliserol mentah 8% yaitu 15,5%. Identifikasi bakteri yang berperan dalam proses produksi biogas berdasarkan uji biokimia dengan Bergey’s manual adalah genus Bacillus. Bakteri ini berperan dalam proses pendegradasi bahan organik yang ada di dalam digester. ABSTRACTBiogas is a gas produced by anaerobic activity in decomposing organic matter with the main content of methane (CH4) and carbon dioxide (CO2). This study aims to analyze the effect of crude glycerol with a mixture of cow dung in producing biogas. The digester used in this research was a laboratory-scale batch system. The variation in this study was a mixture of cow dung with the addition of 0, 4, 8, and 12% crude glycerol. All variations with a total volume of 350 mL. The measurement of the biogas volume was carried out every day. Measurements of CH4 and CO2 concentrations were measured using a Geotech Biogas 5000 analyzer. The COD, BOD, TS, and VS, and pH parameters were measured at the beginning and the end of the process. With parameters COD 475.2 mg/L, BOD 133.22 mg/L, TS 20%, and VS 14.8%. The ambient temperature was measured every 30 minutes using a PCE-FWS 20 Weather Station model. The results showed that the length of time needed to produce biogas was 14 days. The highest biogas volume was 836 mL, when 12% cured glycerol was added. The highest CH4 concentration of 44,1% was also obtained from variations in the addition of 12% crude glycerol. The lowest biogas volume of 292 mL was obtained from the absence of crude glycerol in the reactor. The lowest CH4 concentration was found in the variation of the addition of 8% crude glycerol, namely 15.5%. Identification of bacteria that play a role in the biogas production process based on biochemical tests using Bergey's manual is the Bacillus genus. These bacteria contribute in these bacteria contribute in organic matter degradation inside the digester.
Analisis Ketersediaan, Kebutuhan dan Kualitas Air Pada DAS Batang Merao Sri Rahayu Ningsih; Eri Gas Ekaputra; Fadjar Goembira
Jurnal Ilmu Lingkungan Vol 18, No 3 (2020): November 2020
Publisher : School of Postgraduate Studies, Diponegoro Univer

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14710/jil.18.3.545-555

Abstract

Sungai Batang Merao dimanfaatkan sebagai sumber air baku air bersih PDAM, sumber energi alternatif PLTMH, sumber air irigasi dan kebutuhan masyarakat sehari-hari di Kabupaten Kerinci dan Kota Sungai Penuh. Terganggunya kawasan hulu DAS berdampak terhadap pasokan dan kualitas air ke daerah tengah dan hilir. Ketebatasan ketersediaan air bersih dan penurunan kualitas air antara lain disebabkan oleh adanya kegiatan penambangan pasir dan batu di kawasan hulu, terjadinya konversi lahan dari lahan pertanian menjadi lahan terbangun terutama di daerah bantaran dan sempadan sungai serta pemanfaatan sungai sebagai tempat pembuangan limbah cair domestik dan peternakaan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif. Analisis ketersediaan air menggunakan metode debit andalan (Q80) dan kebutuhan air dihitung berdasarkan kebutuhan air pada sektor domestik, non domestik, pertanian, peternakan dan perikanan. Analisis status mutu air menggunakan metode indeks pencemaran (IP) untuk melihat kondisi kualitas air Sungai Batang Merao sesuai dengan KepmenLH Nomor 115 Tahun 2003. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan ketersediaan air DAS Batang Merao adalah sebesar 22.70 m3/detik dan total kebutuhan sebesar 26.71 m3/detik. Status mutu air Sungai Batang Merao berdasarkan nilai indeks pencemaran (IP) berada dalam kondisi tercemar ringan dengan kisaran nilai indeks 2,41 – 6,43 berdasarkan baku mutu air kelas II PP No. 82 Tahun 2001 dengan parameter TSS, BOD, COD, T-Pospat, Nitirit, Minyak dan Lemak serta MBAS melebihi nilai baku mutu. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa kualitas air Sungai Batang Merao tidak layak untuk dikonsumsi dan tidak seusi dengan peruntukannya sebagai sumber air baku air bersih. Ketersediaan sumber daya air DAS Batang Merao tidak dapat memenuhi kebutuhan air masyarakat pada DAS Batang Merao dengan neraca air dalam kondisi defisit sebesar 4.01 m3/detik.ABSTRACTThe Batang Merao River is used as a source of raw water for PDAM, an alternative energy source for PLTMH, a source of irrigation water and daily needs of the people in Kerinci Regency and Sungai Penuh City. The disruption of the upstream watershed area has an impact on the supply and water quality to the middle and downstream areas. Limited availability of clean water and a decrease in water quality are due to, among others, sand and rock mining activities in the upstream area, the conversion of land from agricultural land to developed land, especially in riverbanks and river boundaries and the use of rivers as a place for disposal of domestic liquid waste and livestock. The method used in this research is descriptive quantitative. Analysis of water availability uses the reliable discharge method (Q80) and water needs are calculated based on water needs in the domestic, non-domestic, agriculture, livestock and fisheries sectors. Analysis of water quality status using the pollution index (IP) method to see the condition of the water quality of the Batang Merao River in accordance with KepmenLH No. 115/2003. Based on the results of the study, the availability of water in the Batang Merao watershed is 22.70 m3/second and the total demand is 26,71 m3/second. The status of the Batang Merao River water quality based on the value of the pollution index (IP) is in a lightly polluted condition with an index value range of 2,41 – 6,43 based on class II water quality standards PP No. 82/2001 with parameters TSS, BOD, COD, T-Pospat, Nitrite, Oil and Fat and MBAS exceeding the quality standard value. Based on this, it can be concluded that the water quality of the Batang Merao River is not suitable for consumption and is not compatible with its designation as a source of raw water. The availability of water resources in the Batang Merao watershed cannot meet the water needs of the community in the Batang Merao watershed with the water balance in a deficit of 4,01 m3/second.
Analisis Konsentrasi PM2,5, CO, dan CO2, serta Laju Konsumsi Bahan Bakar Biopelet Sekam Padi dan Jerami pada Kompor Biomassa Fadjar Goembira; Debby Maurine Aristi; Defri Nofriadi; Nilda Tri Putri
Jurnal Ilmu Lingkungan Vol 19, No 2 (2021): Agustus 2021
Publisher : School of Postgraduate Studies, Diponegoro Univer

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14710/jil.19.2.201-210

Abstract

Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis konsentrasi PM2.5, CO dan CO2 dalam ruangan ketika dilakukan penggunaan bahan bakar biopelet pada sebuah kompor biomassa, serta menghitung laju konsumsi bahan bakar tesebut. Pengujian menggunakan metode water boiling test (WBT) untuk mensimulasikan proses memasak yang terbagi ke dalam 3 fase, yaitu cold start (CS)/fase dingin, hot start (HS)/fase panas, dan simmering (SM)/fase mendidih. Biopelet dibuat dari limbah sekam dan jerami padi. Pengukuran PM2,5 dilakukan menggunakan low volume air sampler (LVS) yang dilengkapi dengan elutriator untuk memisahkan partikel berukuran di atas 2,5 mikron dan filter fiberglass untuk menangkap partikel berukuran kurang dari 2,5 mikron pada kecepatan aliran udara 3,5 liter per menit. Sedangkan pengukuran CO dan CO2 menggunakan Portable Air Quality Monitor. Didapatkan konsentrasi PM2,5 biopelet sekam padi pada fase CS, HS, dan SM berturut-turut 33,13,30,81, dan 24,76 μg/Nm3, sedangkan untuk biopelet jerami padi diperoleh 23,29, 29,98, dan 30,42 μg/Nm3.Terkait konsentrasi CO, pada ketiga fase berturut-turut untuk biopelet sekam padi yaitu 5,29, 5,14, dan 6,09 ppm, sedangkan untuk biopelet jerami padi didapatkan 6,13, 5,86, dan 5,67 ppm. Terakhir, pengukuran konsentrasi CO2 biopelet sekam padi yaitu 436,74, 451,71, dan 472,82 ppm, sedangkan pada biopelet jerami padi terukur 419,87, 417,93, dan 453,43 ppm, pada ketiga fase berturut-turut. Konsentrasi PM2,5, gas CO dan CO2 biopelet masih memenuhi baku mutu udara indoor sesuai dengan PERMENKES/1077/2011. Rasio CO/CO2 berada di bawah nilai 0,02 yang menunjukkan pembakaran bahan bakar biopelet menghasilkan karbon monoksida yang kecil sehingga terjadi pembakaran sempurna. Laju konsumsi bahan bakar biopelet lebih kecil dibandingkan jika digunakan biomassa yang belum diolah menjadi biopelet. ABSTRACTThis research was conducted to analyse indoor PM2.5, CO dan CO2 concentrations during the use of biopellet fuel in a biomass stove, and to calculate the fuel consumption rate. Water boiling test (WBT) was used to simulate cooking activities, which comprises of three phases, i.e., cold start (CS), hot start (HS), and simmering (SM). The biopellet was made from rice husk and straw wastes. PM2.5 were measured by using a low volume air sampler (LVAS) that was equipped with an elutriator to separate particulates with more than 2.5-micron size and a fiberglass filter to trap particulates with less than 2.5-micron size at air flow rate of 3.5 liter per minute. Meanwhile, a portable air quality monitor was used to measure CO dan CO2. It was found that PM2.5 concentrations for rice husk biopellet during CS, HS, and SM were, respectively, 33.13,30.81, and 24.76 μg/Nm3. While those for rice straw biopellet were 23.29, 29.98, and 30.42 μg/Nm3. Regarding CO concentrations during the three phases for rice husk biopellet were, respectively, 5.29, 5.14, and 6.09 ppm, whilst for the rice straw biopellet the concentrations were 6.13, 5.86, and 5.67 ppm. Lastly, the CO2 measurements for rice husk biopellet were 436.74, 451.71, and 472.82 ppm, while those for rice husk biopellet were 419.87, 417.93, and 453.43 ppm, during the three phases correspondingly. All PM2.5, CO and CO2 gas concentrations still met indoor air quality standard, in accordance with Minister of Health Regulation Number 1077/2011. Moreover, the CO/CO2 ratios were below 0.02, which indicates that the combustion of the biopellet fuels emited small amount of carbon monoxide, thus, perfect combustion were achieved. The biopellet fuel consumption rates were smaller than those of virgin biomasses that had not been converted into biopellet
Analisis Nilai Manfaat Teknologi Methane Capture bagi Pabrik Kelapa Sawit Fhardi Suganda; Fadjar Goembira; Mahdi Mahdi
Jurnal Ilmu Lingkungan Vol 22, No 2 (2024): March 2024
Publisher : School of Postgraduate Studies, Diponegoro Univer

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14710/jil.22.2.551-564

Abstract

Dalam upaya membatasi kenaikan suhu global 1,5 derajat Celsius pada tahun 2050, peserta COP26 pada November 2021 sepakat untuk menurunkan akumulasi gas metana. Gas metana merupakan salah satu gas rumah kaca yang memberikan dampak yang besar bagi peningkatan pemanasan global. Potensi reduksi gas metana di Indonesia terdapat pada teknologi menangkap gas metana (methane capture) dari limbah cair yang bersumber dari pabrik pengolahan kelapa sawit. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar reduksi gas metana yang bisa ditangkap oleh teknologi methane capture serta mengetahui nilai finansial pemanfaatan gas metana baik dari sisi finansial perusahaan maupun bagi lingkungan hidup. Penelitian ini menggunakan metode mixed method explanatory. Dari aspek lingkungan, pemanfaatan methane capture mampu menangkap gas metana sebanyak 17.517,79 t-CO2e (93,81%) pada kolam anaerobik. Valuasi ekonomi dari gas metana diperoleh dalam NPV adalah sebesar Rp. 31.219.230.000 selama 20 tahun umur ekonomisnya yang dihitung dari nilai ISCC Insentif. Nilai ini menjadi semakin besar, yakni Rp. 63.808.660.000 apabila gas metana tersebut dimanfaatkan untuk membangkit tenaga listrik. Namun, perusahaan akan merugi apabila tidak mendapatkan ISCC insentif dari pasar Eropa dan Amerika Serikat, yakni NPV menjadi sebesar Rp. -6.444.990.000. Kerugian ini lebih besar dibandingkan dengan perusahaan yang menggunakan pembangkit listrik diesel yang berbahan bakar fosil, yakni dengan NPV Rp. -4.857.560.000. Ada selisih sebesar Rp. -1.587.430.000 yang menjadi disinsentif bagi perusahaan kelapa sawit dalam menggunakan teknologi methane capture. Apabila diterapkan pajak karbon untuk pabrik kelapa sawit yang tidak menggunakan teknologi methane capture, berdasarkan UU nomor 7 tahun 2021, maka pembebanan biaya yang lebih besar sehingga nilai NPV Rp. -15.446.640.000 dibanding sebelum diterapkannya pajak karbon.