Claim Missing Document
Check
Articles

Found 15 Documents
Search

Sophia, A Female Robot With Artificial Intelligence In View of Sociology of Government Ratna Indriasari; Amalia Syauket
KRTHA BHAYANGKARA Vol. 18 No. 1 (2024): KRTHA BHAYANGKARA: APRIL 2024
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta Raya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31599/krtha.v18i1.1649

Abstract

Sophia, a humanoid robot in the form of a woman who is equipped with artificial intelligence Sophia is good at numbers, performing repetitive tasks, interacting, communicating, and displaying attractive facial expressions. numbers, performing repetitive tasks, interacting and communicating in an interesting way as well as displaying facial expressions with various emotions. facial expressions with various emotions. AI in the context of sociology has unwittingly changed social life. social life. The existence of AI in the implementation of e-Government changes the pattern of communication in public services, affecting the socio-cultural ties that exist in the society. services, affecting previously strong socio-cultural ties and forming new communities. This phenomenon reflects the parameters of modernity, indicating changes in the order of the social system due to technological interference. This qualitative research aims to find out how the form of Social Interaction in Artificial Intelligence-Based Public Services (AI)-based Public Services is formed. Social Interaction of Artificial Intelligence-Based Public Services (AI) from the perspective of the sociology of government? The results The results concluded that AI is able to complete work without direct human interaction, or directly with humans. The use of AI technology in public services has potential benefits, such as increasing efficiency, service quality, and benefits for the community. Through the system Automated Customer service, Big Data Analysis for Decision Making, Security Detection Kiiminal Detection, Efficient Transportation Administration, Better Health Care and Diagnosis Society is increasingly responsive to the utilization of AI in public services, this is driven by increasing public awareness of the benefits of AI and the risks associated with AI utilization, such as loss of workers.
Sita Jaminan Terhadap Harta Waris Koruptor: Pendekatan Nuansa Procedural Perdata Guna Memaksimalkan Pengembalian Aset Menuju Good Governance Amalia Syauket
Bhara Justisia Vol 2 No 1 (2025): June 2025
Publisher : Faculty of Law Universitas Bhayangkara Jakarta Raya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31599/j72r8b58

Abstract

Upaya pengembalian asset negara yang dicuri melalui tindak pidana korupsi cenderung tidak mudah untuk dilakukan.Upaya untuk menekan angka kejahatan korupsi dengan menggunakan ketentuan pidana saja ternyata masih meninggalkan berbagai kendala. Oleh karena itu diperlukan Langkah hukum dengan mengadopsi konsep hukum perdata guna memaksimalkan pengembalian asset salah satunya melalui sita jaminan, dengan memperhatikan prinsip GG. Penelitian yuridis normative-studi kasus digunakan untuk merespon rumusan penelitian, 1. terhadap asset harta waris dari pelaku korupsi apakah dapat dilakukan gugatan perdata? 2.bagaimana bentuk pertanggungjawaban ahli warisnya?. Berdasarkan hasil pembahasan dapat diketahui 1. bahwa para ahli waris dapat dituntut secara perdata terhadap asset harta waris tersebut jika terbukti harta tersebut dari hasil korupsi,yang dibuktikan oleh Penuntut Umum untuk mengembalikan asset negara yang wajib dikembalikan.  Namun bila tidak terbukti bukan dari hasil korupsi maka ahli waris tidak dapat dituntut untuk mengembalikan kerugian negara, 2. Ahli waris bertanggung jawab secara tanggung renteng-secara proporsional bagian harta warisnya- atas kerugian keuangan negara yang ditimbulkan oleh pewaris-koruptor,berdasar Putusan pengadilan sebagai bentuk supremasi hukum.
Perlindungan Hukum Terhadap Warga Negara Indonesia Atas Penguasaan Hak Milik Tanah Berdasarkan Perjanjian Nominee Puput Ariyanti; Amalia Syauket; Lukman Hakim
Al-Zayn: Jurnal Ilmu Sosial, Hukum & Politik Vol 3 No 4 (2025): 2025
Publisher : Yayasan pendidikan dzurriyatul Quran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.61104/alz.v3i4.2114

Abstract

Praktik perjanjian nominee dalam kepemilikan hak milik tanah oleh Warga Negara Asing (WNA) menimbulkan kerentanan hukum bagi Warga Negara Indonesia (WNI) yang dijadikan perantara. Penelitian ini bertujuan menganalisis bentuk perlindungan hukum yang diberikan kepada WNI dalam perjanjian nominee. Metode penelitian menggunakan pendekatan yuridis normatif melalui statute approach, conceptual approach, serta analisis putusan pengadilan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perjanjian nominee dinyatakan batal demi hukum karena bertentangan dengan asas nasionalitas, asas kepastian hukum, dan asas fungsi sosial hak atas tanah, sebagaimana ditegaskan dalam Putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor 274/Pdt.G/2020/PN Dps. Perlindungan hukum yang diberikan mencakup pembatalan akta nominee, penegasan hak milik atas nama WNI, penolakan klaim WNA, serta penguatan sertifikat hak milik sebagai bukti otentik. Putusan tersebut sekaligus memperkuat kedaulatan agraria Indonesia dan memberi preseden penting dalam menolak praktik penyelundupan hukum. Implikasi penelitian ini menegaskan pentingnya regulasi yang lebih tegas dan pengawasan administratif yang konsisten untuk melindungi WNI dan menjaga kedaulatan tanah nasional
THE PRESIDENT'S ANXIETY WHEN HE DOES NOT HAVE MAJORITY SUPPORT IN PARLIAMENT Johan Akbari; Amalia Syauket
Bhayangkara Law Review ##issue.vol## 1 ##issue.no## 1 (2024): June 2024
Publisher : Faculty of Law, Universitas Bhayangkara Jakarta Raya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31599/sfhsw754

Abstract

The president's decision immediately after being elected is how the state government to be run obtains the majority support in parliament (DPR RI). This confusion is natural considering that the presidential system must involve the people's representative institution as a form of democratic government and simultaneously implement the indirect democratic system. In the context of the power relationship between the president and the House of Representatives, sometimes it causes turmoil when the president/vice president is not supported by the majority of the House of Representatives, even to the point of worrying that impeachment may be carried out. The author uses a qualitative approach with a secondary database-document analysis with an instrumental case study of the 2009-2014 Presidential Administration to find out what are the reasons for the president's upset when he does not have the majority support in Parliament and what is the solution. The results of the study show that the reason for President SBY's upset is that he is worried that there will be a political impasse due to political tensions. The solution to overcome the chaos so that there is no political stalemate, with President SBY's accommodating-compromising attitude towards political parties in Parliament. This attitude is possible because of the pragmatic and transactional attitude as the ideological relationship of political parties which tend to be moderate and centripetal-to to national integration.
Penerapan Prinsip Keadilan Restoratif Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Pencurian Melalui Hukum Adat Manggarai Implikasi Terhadap Supremasi Hukum Nasional Hendri Syaputra; Amalia Syauket
Jurnal Hukum Sasana Vol. 11 No. 2 (2025): Jurnal Hukum Sasana: December 2025
Publisher : Faculty of Law, Universitas Bhayangkara Jakarta Raya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31599/sasana.v11i2.4153

Abstract

Artikel ini mengkaji penerapan prinsip keadilan restoratif dalam penyelesaian tindak pidana pencurian melalui mekanisme hukum adat di Manggarai, Nusa Tenggara Timur, serta implikasinya terhadap supremasi hukum nasional. Studi ini berangkat dari fakta bahwa masyarakat adat memiliki sistem penyelesaian sengketa yang menekankan musyawarah, perdamaian, dan pemulihan hubungan sosial, yang sejalan dengan nilai-nilai keadilan restoratif. Namun demikian, pendekatan ini sering berbenturan dengan asas legalitas dalam hukum pidana positif yang menghendaki peraturan tertulis sebagai satu-satunya dasar pemidanaan. Melalui metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan studi kasus, ditemukan bahwa ketidakterpaduan antara sistem hukum nasional dan hukum adat menciptakan ketegangan normatif serta ketidakpastian hukum. Oleh karena itu, diperlukan upaya rekonstruksi normatif dan kebijakan hukum pidana yang lebih kontekstual dan inklusif terhadap keberadaan hukum adat sebagai bagian sah dari sistem peradilan pidana nasional. Pengakuan dan pengaturan hukum yang jelas terhadap mekanisme keadilan restoratif berbasis adat menjadi prasyarat bagi terwujudnya supremasi hukum yang tidak hanya legalistik, tetapi juga berkeadilan substantif.