I Kadek Widnyana, I Kadek
Program Studi Seni Pedalangan, Institut Seni Indonesia Denpasar

Published : 11 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 11 Documents
Search

Filsafat Wayang Basis Patung Ikonik Pantai Pandawa, Kabupaten Badung Widnyana, I Kadek
Kalangwan : Jurnal Seni Pertunjukan Vol 2 No 2 (2016): Desember
Publisher : Institut Seni Indonesia Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (15162.83 KB) | DOI: 10.31091/kalangwan.v2i2.128

Abstract

Patung  Panca  Panca  Pandawa  sebagai  ikon adalah  penunjang  destinasi  pantai  Pandawa, Kabupaten Badung. Filsafat wayang tentang tokoh Pandawa yang dipahami sehagai tokoh satria yang selalu memancarkan sifat-sifat agung dan mulia. Sifat dharma, keadilan dan kejujuran serta ajaran ketuhanan sejati selalu melekat pada tokoh ini. Catur Purusa Artha menjadi tujuan utama, kemakmuran  rakyat dan melindungi  yang lemah  menjadi  harga mati bagi  tokoh  Pandawa.  Filosafi inilah  dijadikan  suri tauladan  hidup  masyarakat  Kutuh  untuk  selalu  berusaha  mendapatkan yang  terbaik  dengan  jalan Dharma.   Dipilihnya  tokoh Pandawa sebagai  ikon dikarenakan  tokoh dan isi lakon yang dipetik  dari mutiara epos  Mahabrata  memberikan  santapan  rohani  yang tidak  temilai  tingginya. Secara filosofi Tokoh ini dianggap merefleksikan kehidupan masyarakat Kutuh dan mewakili nilai kemanusiaan yang tidak ada taranya, yang selalu dijadikan obor dan suri teladan oleh masyarakat Kutuh. Oleh sebab itu, Pantai Pandawa dikelola dan ditetapkan sebagai KSPN (Kawasan Strategis Pariwisata Nasional)
Pembinaan Pupuh Macepat “Surki” pada Sekaa Pasantian Swasti Marga Brata di Desa Selisihan Klungkung I Kadek Widnyana; Ni Komang Sekar Marhaeni; Ni Putu Hartini
Abdi Seni Vol 13, No 2 (2022)
Publisher : Institut Seni Indonesia Surakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33153/abdiseni.v13i2.4503

Abstract

“Surki” is an acronym for the word sasur siki. Sasur (pasasur) means thirty-five, and asiki means one. Therefore, in this context, pasasur asiki is 36 pupuh (traditional poem) verses/stanzas containing the implementation of 36 items of Pancasila (Five Principles of Indonesia). It is summarized into seven types of pupuh/macapat songs by an art maestro, I Made Sija, namely pupuh Sinom, Pucung, Ginada, Durma, Maskumambang, Pangkur, and Dandang. What makes it unique is that the lyrics contain Pancasila’s noble values, namely divinity, humanity, unity, democracy, and justice, applied in thirty-six pupuh verses that adopt 36 Pancasila values. During Suharto’s New Order in Indonesia, this activity belongs to the Program of Guidelines for the Appreciation and Practice of Pancasila (P4). Then in PKM, the development of the Macapat songs focused on identifying the importance of fostering the Pupuh Macepat “surki” as a medium for guiding Pancasila values for the people of Selisihan Klungkung village. In addition, there has never been a pupuh containing 36 points of Pancasila values and the preservation of the “surki” pupuh by the Pasantian group of people in Selisihan Klungkung village.
PEMBINAAN PUPUH MACEPAT “SURKI”I MADE SIJA PADA SEKAA PASANTIAN SWASTI MARGA BRATA DI DESA SELISIHAN KLUNGKUNG I Kadek Widnyana; Ni Komang Sekar Marhaeni; Ni Putu Hartini
Prosiding Bali Dwipantara Waskita: Seminar Nasional Republik Seni Nusantara Vol. 2 (2022): Prosiding Bali Dwipantara Waskita: Seminar Nasionar Republik Seni Nusantara
Publisher : UPT Pusat Penerbitan LP2MPP ISI Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Berdasarkan analisis situasi di desa Selisihan Klungkung lingkungan tersebut sudah timbul gejolak adanya perselisihan, etika yang kurang baik dan kurangnya persatuan. Atas dasar itu mitra memerlukan sebuah pembinaan guna menuntun ke arah tersebut agar kedamaian mampu terwujud. Materi yang ditawarkan demi terwujudnya hal itu dengan pembinaan tembang Macapat “Surki” (akronim dari kata sasur siki). Sasur (pasasur) artinya 35, asiki artinya satu. Jadi pasasur asiki berarti 36 pada/bait pupuh implementasi dari 36 butir Pancasila yang dirangkum dalam 7 pupuh macapat. Tujuan pembinaan agar meminimalis perselisihan, bertika, persatuan dan kedamaian dapat terwujud, diawali dengan pemahaman tembangnya. Melalui tembang unik ini, liriknya berisi nilai luhur Pancasila yaitu ke-Tuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan terjabarkan dari 36 butir nilai Pancasila. Pembinaan tembang Macapat dengan metode drill (pengulangan-pengulangan). Hasil pembinaan sekaa Pasantian Selisihan Klungkung mulai memahami dan selanjutnya selalu mengumandangkan lewat Radio Orari di lingkungan desa sebagai media sosialisasi, pelestarian dan pengembangan.
Penyampaian Pesan Dan Nilai-Nilai Kepemimpinan Melalui Seni Pertunjukan Wayang Kulit Bali Inovatif Wibawa, I Made Anom; Putra, I Gusti Ngurah Gumana; Widnyana, I Kadek
JURNAL DAMAR PEDALANGAN Vol. 2 No. 2 (2022): Oktober
Publisher : UPT Pusat Penerbitan LP2MPP ISI Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.59997/dmr.v2i2.1861

Abstract

Seni pertunjukan wayang kulit merupakan salah satu jenis kesenian Bali yang hingga saat ini masih terus berkembang dan digemari oleh masyarakat. Banyaknya seniman dalang dengan berbagai karya inovatifnya mendapat sambutan yang meriah dari masyarakat luas khususnya para pecinta pertunjukan wayang. Hal ini dikarenakan oleh kemampuan yang mumpuni dari seniman dalang dalam memenangi pangsa pasar yang ada. Inovasi dan kratifitas terus dikembangkan sehingga mampu menarik minat masyarakat untuk menikmatinya. Inovasi menyangkut kemampuan seniman dalang dalam mengembangkan ide-ide baru guna meningkatkan kualitas pertunjukkannya secara teknis. Kreatifitas menyangkut kemampuan seniman dalang dalam meracik sebuah lakon berdasarkan pakem dan sumber-sumber yang exist hingga saat ini, sehingga menghasilkan konten yang kreatif dan menarik. Kreatifitas dalam menciptakan dan mengelola konten tersebut tidak hanya berasal dari pemikiran sendiri. Ada kalanya, bahkan sering seorang seniman dalang mendapatkan inspirasi dari kejadian maupun fenomena sosial masyarakat yang bergerak dinamis. Merefleksikan sebuah karya lakon pertunjukan wayang dengan fenomena sosial yang ada, tentu saja mampu menciptakan atmosfer yang hangat bagi masyarakat penikmat. Masyarakat yang menikmati, tentunya akan merasa akrab segala sesuatu yang disampaikan dalam lakon. Selain sebagai sarana hiburan, pada kesempatan ini pula seniman dalang dapat menyampaikan pesan-pesan moral dan pendidikan yang bernilai adi luhung kepada khalayak. Saran, masukan, dan kritik sosial pun dapat disuarakan kepada pihak tertentu dengan halus tanpa memicu ketersinggungan dan konflik yang dapat meresahkan. Salah satu aspek sosial yang disoroti adalah aspek yang menyangkut nilai-nilai kepemimpinan. Bagaimana hakikat seorang pemimpin, adalah suatu pesan yang perlu disampaikan agar dinamika masyarakat dengan pemimpinnya tidak mengalami permasalahan. Dengan adanya kreatifitas ini, lakon yang disajikan akan padat dan sarat akan nilai-nilai yang dapat mengarahkan kita kepada perubahan yang positif, dengan sebuah balutan hiburan yang bernilai tinggi dalam berbagai segi.
Penciptaan Teater Wayang Cili “Kalulut Asih” Jaya, Ngurah Made Asmara; Marajaya, I Made; Widnyana, I Kadek
JURNAL DAMAR PEDALANGAN Vol. 4 No. 1 (2024): April
Publisher : UPT Pusat Penerbitan LP2MPP ISI Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.59997/dmr.v4i1.3718

Abstract

Zaman modernisasi seperti saat ini sangat membawakan perkembangan yang sangat luas. Terlebih dalam kesenian wayang. Perkembangan zamanlah yang sekaligus mengembangkan kesenian wayang menjadi kesenian yang inovatif. Dengan adanya hal tersebut penata menciptakan sebuah karya baru dalam seni pewayangan yang terinspirasi pada salah satu tradisi adat Bali yaitu Cili yang memiliki makna sebagai Dewi Sri atau Dewi Kesuburan. Cili tersebut ditrasnformasikan ke dalam bentuk wayang yang kemudian dikemas dalam bentuk seni teater sehingga terciptalah Teater Wayang Cili “Kalulut Asih”. Proses penciptaan Teater Wayang Cili “Kalulut Asih” menggunakan metode sumber Sanggit atau Kawi Dalang yang dikemukakan oleh I Nyoman Sedana dengan tahapan sebagai berikut: a. Pandulame yaitu imajinasi, penata terimajinasi atau terinspirasi dari bentuk cili yang hanya dijadikan sarana upacara, dari hal tersebut muncullah ide penata agar wayang tersebut dapat digerakkan seperti menggerakkan wayang golek. B. adicita/Adirasa yaitu ide konsep wayang cili dikembangkan ke dalam bentuk cerita yang dapat diterima oleh masyarakat khususnya pada kalangan remaja. c. sranasasmaya yaitu properti yang digunakan sebagai pelengkap keberlangsungan pementasan, d. Gunatama atau art skill yaitu ketrampilan pendukung menuangkan improvisasi saat teater ditampilkan.
Penciptaan Dramatari Parwa “Abimanyu Aguru” Sudarmika, I Putu Agus Egik; Widnyana, I Kadek; Putra, I Gusti Ngurah Gumana
JURNAL DAMAR PEDALANGAN Vol. 4 No. 2 (2024): Agustus
Publisher : UPT Pusat Penerbitan LP2MPP ISI Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.59997/dmr.v4i2.4390

Abstract

Eksistensi Parwa terjadi pada tahun 1990-an, namun berbanding terbalik pada masa sekarang. Sehingga penata dengan mitra MBKM penata, berinisiatif untuk membuat suatu pertunjukan Dramatari Parwa dengan lakon “Abimanyu Aguru”. Proses karya Dramatari Parwa dengan lakon “Abimanyu Aguru” menggunakan metode Sumber Kawi Dalang yang diajukan oleh Prof. I Nyoman Sedana, dengan tahapan sebagai berikut: a. Alam Imajinasi Keindahan, Setelah penata mendapatkan sumber cerita untuk digarap, penata tidak akan lepas dengan berimajinasi, penata akan membuka alam imajinasinya. seolah-olah penata masuk dalam dimensi cerita tersebut, b. Ide dan Rasa, Setelah penata berhasil ber-imajinasi selanjutnya penata akan menuangkan ide-ide yang akan digarap kedalam skrip karya, c. Media atau Sarana, Disini penata menggunakan wayang kayonan, pakian atau costum yang menyesuaikan dengan tokoh/peran yang dibawakan, dan iringan yang dipakai ialah gambelan batel gender wayang, d. Skill dan Bakat Keterampilan Khusus, dengan melaksanakan latihan yang maksimal agar pementasan menjadi lebih baik.
ALAM SEBAGAI DAYA CIPTA SENI Widnyana, I Kadek; Shahab, Fauziah; Dwiyani, Ni Kadek; Widyarto, Rinto; Putra, Ida Bagus Hari Kayana
Prosiding Bali Dwipantara Waskita: Seminar Nasional Republik Seni Nusantara Vol. 4 (2024): Prosiding Bali Dwipantara Waskita: Seminar Nasional Republik Seni Nusantara
Publisher : UPT Pusat Penerbitan LP2MPP ISI Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Kajian ini bertujuan mengeksplorasi hubungan antara alam dan seni, dengan fokus pada bagaimana elemen-elemen alam menginspirasi berbagai bentuk ekspresi artistik, serta dampaknya terhadap kesadaran lingkungan. Metode yang digunakan adalah pendekatan kualitatif dengan analisis tematik melalui studi literatur, wawancara dengan seniman, dan survei untuk menggali perspektif seniman dan masyarakat mengenai pengaruh alam dalam seni. Hasil penelitian menunjukkan bahwa alam tidak hanya berfungsi sebagai subjek estetis, tetapi juga sebagai medium untuk menyampaikan pesan tentang perubahan ekologis, keindahan yang rapuh dan keberlanjutannya. Seniman dari berbagai disiplin, termasuk seni lukis, fotografi, seni instalasi, dan seni pertunjukan (khususnya seni sastra dan seni pedalangan) yang menggambarkan alam sebagai refleksi dari hubungan manusia dengan lingkungannya. Pembahasan lebih lanjut, bahwa alam sangat menginspirasi para sastrawan/kawi sastra dengan berbagai ilustrasi dan imajinasi “lango”-nya tersurat ke dalam bait-bait syair yang estetik. Karya sastra inilah menjadi sumber inspirasi para seniman (dalang) dalam memberikan tuntunan di setiap lakonnya berkaitan dengan alam. Dampak sosial dan kultural dari seni yang mengangkat tema alam diharapkan dapat memperkuat hubungan manusia dengan lingkungan serta mendorong perubahan sosial menuju keberlanjutan.
PENCIPTAAN KARYA TEATER BONEKA “POPPY-UTOPIA” ida bagus, nanda adi naya; Widnyana, I Kadek; Wicaksana, I Dewa Ketut
JURNAL DAMAR PEDALANGAN Vol 5 No 1 (2025): Mei
Publisher : Pusat Penerbitan LP2MPP ISI Bali

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.59997/dmr.v5i1.4863

Abstract

“Poppy-Utopia” is a puppet theater performance that offers a profound reflection on life through the unique perspective of a dog named Poppy. This production delves into various social issues, particularly the negative stigma often directed at dogs within cultural contexts, utilizing an artistic approach that integrates narrative, visual elements, and puppetry techniques. The creative process is guided by I Wayan Dibia's five-stage method, encompassing Ngawirasa (inspiration from dog training and cultural stigma), Ngawacak (exploration of literature, Balinese epics, and visual arts), Ngarencana (conceptualizing a theater design combining human theater, animation, and minimalist visuals), Ngawangun (script execution, rehearsals, and illustration creation), and Ngebah (final performance with integrated artistic elements). Through a compelling storyline, nuanced characters, and innovative visuals, Poppy-Utopia delivers an emotionally engaging and reflective theatrical experience. The performance invites audiences not only to be entertained but also to reflect on themes of loyalty, struggle, and the importance of fostering harmonious relationships between humans, animals, and nature.
INNOVATION OF WAYANG PERFORMANCE THROUGH CINEMA AND THEATER TECHNIQUES AS NEW MEDIA Widnyana, I Kadek; Marhaeni, Ni Komang Sekar; Sudarta, I Gusti Ngurah; Dwiyani, Ni Kadek; Widyarto, Rinto
Lekesan: Interdisciplinary Journal of Asia Pacific Arts Vol. 7 No. 1 (2024)
Publisher : Institut Seni Indonesia Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31091/lekesan.v7i1.2539

Abstract

Fungsi wayang kulit sangatlah komplek dan selalu eksis dalam situasi dan pada zaman apapun. Setidaknya ada 7 fungsi pertunjukan wayang kulit: 1. Sebagai penggugah rasa indah dan kesenangan, 2. Sebagai pemberi hiburan sehat, 3. Sebagai media komonikasi, 4. Sebagai persembahan simbolis. 5. Sebagai penyelenggaraan keserasian norma-norma masyarakat, 6. Sebagai pengukuhan institusi sosial dan upacara keagamaan, 7. Sebagai kontribusi terhadap kelangsungan dan stabilitas kebudayaan. Sebagai sebuah keniscayaan, bahwa pertunjukan wayang dalam bentuk, jenis dan model apapun, tetap harus kontektual dan menyesuaikan dengan perkembangan zaman. akselerasi teknologi yang sedemikian berkembang pesat memberikan peluang positif terhadap eksistensi kesenian wayang itu sendiri jika kita mampu memberdayakan teknologi dan budaya modern sesuai porsinya. Namun demikian marwah seni pewayangan hendaknya tetap bisa dipertahankan agar nilai tuntunan, tontonan, tatanan tetap bisa dipertahankan. Terlebih lagi dalam karya inovasi ini penggarap diharapkan mampu juga menjawab nilai tantangan, tuntutan dan tanggung jawab terhadap karya yang dibuat. Aktivitas penciptaan diterapkan melalui proses, dengan meminjam pendapatnya Dr. I Kt Suteja, yang menggunakan lima tahapan atau metode yaitu: ngerencana, noasen, makalin, nelesin, ngebah. Metode suteja akan dipadukan dengan metode penciptaan Alma M. Hawkins yang menggunakan tiga tahapan yaitu: eksplorasi, improvisasi, dan formin. Luaran yang ingin dicapai adalah terwujudnya sebuah karya seni inovasi baru yang bertajuk Wayang Cinema, yaitu sebuah karya yang menggabungkan seni Pewayangan dan teknik Cinema dan teater ke dalam sebuah pola pertunjukan baru. Kata kunci: Wayang Cinema, Inovatif, Kresna, Duta Perdamaian.
“CATUR KARANA” IDA BAGUS GEDE PURWA STUDY OF SANGGIT LAKON (KAWI CARITA) BALINESE SHADOW PUPPET Widnyana, I Kadek; Sedana, I Nyoman; Sudarta, I Gusti Putu; Mawan, I Gede
Lekesan: Interdisciplinary Journal of Asia Pacific Arts Vol. 8 No. 1 (2025)
Publisher : Institut Seni Indonesia Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31091/lksn.v8i1.3174

Abstract

Balinese Wayang kulit contains deep philosophy and aesthetics, with plays that are not only entertaining, but also contain moral teachings and life values. An important element in the structure of the play is the concept of "Catur Karana" created by Ida Bagus Gede Purwa. This research uses a qualitative method with a text analysis and phenomenology approach, involving literature study, interviews with puppeteers, audiences and practitioners of the puppet arts. Data is analyzed through text analysis and semiotics to understand the meaning and structure of the story. The research results show that "Catur Karana" is a basic method in building a new play. Dalang needs to understand the four main elements: swamandala, antakarana, uparengga, and pasiat, which support the structure of the play in Reka Sadana. Catur Karana includes five elements (panca reka) and is equipped with Catur Perakreti and Panca Wilasa materials as raw materials for creating new plays, which is an important method in nynggit plays.Qualitative research methods using text analysis and phenomenology approaches explore the application of the concept of "Catur Karana" in the Balinese Wayang kulit play by Ida Bagus Gede Purwa. The main data analyzed came from the Purwa Wasana text and the Kawi Carita text and their documentation. Data collection, literature study, interviews, and art practitioners. Narrative data analysis of text and play structure. Catur Karana by Ida Bagus Gede Purwa in the Purwa Wasana Textbook. Understand the drupadi competition play from the main play (Ramayana, Mahabharata), memorize the characters, understand the structure of the play, characterization, scenes, building blocks, pedum coral, and understand the theme. Ida Bagus Gede Purwa implemented Catur Karana into a play called the Drupadi Competition. In it, elements of chess karana are explored which are presented as a summary of the story, scenes and scenes.