Claim Missing Document
Check
Articles

Found 24 Documents
Search

PERHITUNGAN GAYABERAT LAUT RESOLUSI TINGGI DI PERAIRAN SUMATERA DARI SATELIT ALTIMETRI Nadzir, Zulfikar Adlan; Alif, Satrio Muhammad; Jayanti, Anita Eka
Jurnal Geosaintek Vol. 11 No. 3 (2025)
Publisher : Institut Teknologi Sepuluh Nopember

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Gayaberat dan anomalinya, sebagai parameter penting dari gaya di permukaan Bumi, merupakan hal yang erat kaitannya dengan Geoid. Geoid itu sendiri merupakan sebuah pilar dalam ilmu Geodesi dan fungsi utamanya adalah sebagai referensi vertikal di sebuah wilayah. Pengukuran gayaberat itu sendiri, khususnya di lautan, merupakan sebuah proses yang seringkali membutuhkan biaya yang tidak sedikit, juga memiliki ketelitian yang tidak cukup baik. Di sisi lain, sejak tahun 1990 sebuah teknologi bernama altimetri berkembang dengan cukup pesat dan mampu menjadi salah satu sarana untuk mendapatkan nilai gayaberat di laut lepas. Salah satu dari satelit altimetri adalah Cryosat-2 yang memiliki beberapa jenis misi, salah satunya adalah misi geodetik yang mellintasi Bumi dengan resolusi yang sangat baik dibanding dengan misi lainnya. Indonesia sendiri sudah mengembangkan model gayaberat regional bernama INAGEOID2020 dengan 2 versi: v1.0 dan yang terbaru, v2.0. Model gayaberat ini masih bisa diperbaiki dan ditingkatkan sebagai bagian dari usaha untuk memenuhi syarat dari Kebijakan Satu Peta sesuai amanat undang-undang. Salah satu lokasi penting dari Indonesia adalah pulau Sumatera, yang menjadi lokasi dari penelitian ini. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melakukan estimasi anomali gayaberat dari satelit Cryosat-2 dan memvalidasinya dengan data pembanding. Penelitian ini menggunakan data tinggi muka air laut (SSH) Cryosat-2 dengan pendekatan remove-compute-restore (RCR) untuk mendapatkan nilai anomali gayaberat, yang lalu dibandingkan dengan model global Sandwell v.31.1 dan beberapa data survey shipborne. Proses RCR ini mempermudah perhitungan secara inversi menuju enomali gayaberat, dengan hasil yang ada di rentang ± 200 mgal. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa hasil estimasi gayaberat dari Cryosat-2 di perairan Pulau Sumatera memiliki nilai RMSE ~11 mgal dibandingkan dengan model gayaberat global dan shipborne. Hal tersebut menunjukkan bahwa potensi untuk menggunakan data altimetri misi geodetik sebagai tambahan data masukan untuk pengembangan model geoid regional sebuah negara memiliki peluang yang baik. Selain itu, hasil anomali gayaberat dapat mengidentifikasi keberadaan sesar yang kemungkinan berpotensi menimbulkan gempa di perairan Sumatera.
Studi Kenaikan Muka Air Laut di Pesisir Lampung dan Banten menggunakan Satelit Altimetri Nadzir, Zulfikar Adlan; Agung, Haikhal Nuri; Fahrurozi, Fikri
Jurnal Riset Kelautan Tropis (Journal Of Tropical Marine Research) (J-Tropimar) Vol 7 No 2 (2025): November
Publisher : Universitas Hang Tuah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30649/jrkt.v7i2.137

Abstract

Perubahan iklim mendorong kenaikan muka air laut secara global yang berdampak signifikan terhadap wilayah pesisir, termasuk di Indonesia. Perubahan ini mengancam ekosistem, infrastruktur, serta kehidupan masyarakat di wilayah tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengkuantifikasi, menganalisis dan membandingkan tren kenaikan muka laut di wilayah pesisir Lampung dan Banten dengan menggunakan data satelit altimetri Jason-1, Jason-2, dan Jason-3 selama periode 2002–2019. Dalam penelitian ini, data altimetri berupa ketinggian permukaan laut (Sea Surface Height/SSH) diproses menjadi Sea Level Anomaly (SLA) dan Total Water Level Envelope (TWLE) dengan menerapkan koreksi umum seperti troposfer basah dan kering, ionosfer, bias gelombang laut (sea-state bias), dan pasang surut, yang kemudian divalidasi dengan data dari tiga stasiun pasang surut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata tren kenaikan muka air laut di pesisir barat Lampung sebesar 5,46 mm/tahun, di Banten bagian selatan sebesar 2,84 mm/tahun, dan di Banten bagian utara sebesar 6,20 mm/tahun. Deret waktu TWLE menunjukkan korelasi yang kuat terhadap data pengukuran dari stasiun pasang surut, dengan nilai R = 0,93, yang menunjukkan konsistensi tinggi antara data satelit dan data lapangan. Temuan ini mengindikasikan bahwa pesisir dengan kemiringan batimetri yang landai cenderung mengalami laju kenaikan lebih tinggi dibandingkan dengan pesisir berlereng curam. Hal ini menegaskan bahwa satelit altimetri merupakan metode andal untuk pemantauan muka laut, bahkan di zona pesisir yang kompleks dan memiliki keterbatasan pengamatan. Hasil penelitian ini memiliki implikasi bagi perencanaan adaptasi perubahan iklim dan mitigasi bencana di wilayah pesisir Indonesia, terutama dalam pengembangan sistem pemantauan jangka panjang yang mengintegrasikan altimetri, pasang surut, dan GNSS.
Studi Kenaikan Muka Air Laut di Pesisir Lampung dan Banten menggunakan Satelit Altimetri Nadzir, Zulfikar Adlan; Agung, Haikhal Nuri; Fahrurozi, Fikri
Jurnal Riset Kelautan Tropis (Journal Of Tropical Marine Research) (J-Tropimar) Vol 7 No 2 (2025): November
Publisher : Universitas Hang Tuah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30649/jrkt.v7i2.137

Abstract

Perubahan iklim mendorong kenaikan muka air laut secara global yang berdampak signifikan terhadap wilayah pesisir, termasuk di Indonesia. Perubahan ini mengancam ekosistem, infrastruktur, serta kehidupan masyarakat di wilayah tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengkuantifikasi, menganalisis dan membandingkan tren kenaikan muka laut di wilayah pesisir Lampung dan Banten dengan menggunakan data satelit altimetri Jason-1, Jason-2, dan Jason-3 selama periode 2002–2019. Dalam penelitian ini, data altimetri berupa ketinggian permukaan laut (Sea Surface Height/SSH) diproses menjadi Sea Level Anomaly (SLA) dan Total Water Level Envelope (TWLE) dengan menerapkan koreksi umum seperti troposfer basah dan kering, ionosfer, bias gelombang laut (sea-state bias), dan pasang surut, yang kemudian divalidasi dengan data dari tiga stasiun pasang surut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata tren kenaikan muka air laut di pesisir barat Lampung sebesar 5,46 mm/tahun, di Banten bagian selatan sebesar 2,84 mm/tahun, dan di Banten bagian utara sebesar 6,20 mm/tahun. Deret waktu TWLE menunjukkan korelasi yang kuat terhadap data pengukuran dari stasiun pasang surut, dengan nilai R = 0,93, yang menunjukkan konsistensi tinggi antara data satelit dan data lapangan. Temuan ini mengindikasikan bahwa pesisir dengan kemiringan batimetri yang landai cenderung mengalami laju kenaikan lebih tinggi dibandingkan dengan pesisir berlereng curam. Hal ini menegaskan bahwa satelit altimetri merupakan metode andal untuk pemantauan muka laut, bahkan di zona pesisir yang kompleks dan memiliki keterbatasan pengamatan. Hasil penelitian ini memiliki implikasi bagi perencanaan adaptasi perubahan iklim dan mitigasi bencana di wilayah pesisir Indonesia, terutama dalam pengembangan sistem pemantauan jangka panjang yang mengintegrasikan altimetri, pasang surut, dan GNSS.
Evaluasi Komponen Harmonik Pasang Surut Dengan Data Altimetri Pesisir Dan Tide Gauge Di Pesisir Barat Daya Sumatera Lase, Devianti Natalia; Nadzir, Zulfikar Adlan
Jurnal Kelautan Vol 18, No 3: Desember (2025)
Publisher : Department of Marine Sciences, Trunojoyo University of Madura, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21107/jk.v18i3.25780

Abstract

ABSTRAKPerkembangan teknologi akuisisi data menghasilkan alternatif dalam pengamatan pasang surut (pasut) selain menggunakan stasiun lapangan (tide gauge) yaitu satelit altimetri. Peningkatan ketelitian dari sistem retracker di pesisir menjadi parameter untuk meninjau tingkat kebaikan penggunaan satelit altimetri dalam pengamatan pasut sebagai pelengkap data tide gauge. Penelitian ini melakukan analisis harmonik dengan metode least square, menghasilkan nilai konstituen pasut utama yang digunakan dalam analisis kesesuaian data altimetri dibanding dengan tide gauge. Menggunakan dua stasiun di barat daya Sumatera, stasiun Krui menghasilkan amplitudo konstituen dominan K2 sebesar 0,034 m dan stasiun pasut Seblat dengan konstituen dominan K1 sebesar 0,035 m. Data altimetri Jason-1, Jason-2 dan Jason-3 pada pass 153 untuk data ALES dan GDR menghasilkan komponen pasut dominan P1 sebesar 0,283 m dan 0,354 m. Pass 077 data ALES dan GDR menghasilkan komponen pasut dominan P1 sebesar 0,532 m dan 0,313 m. Hasil analisis kesesuaian data antara satelit altimetri dan stasiun pasang surut diperoleh bahwa data ALES lebih baik di pesisir dengan jarak 10 km dari garis pantai. Sedangkan data GDR lebih baik untuk pesisir berjarak 10 km dari garis pantai. Disamping itu, apabila pengamatan dilakukan pada jarak yang lebih besar dari pesisir dapat menggunakan kombinasi dari kedua data tersebut.Kata Kunci: analisis harmonik, muka air laut, pesisir, satelit altimetri, stasiun pasutABSTRACTThe advancement of data acquisition technology has provided alternatives to tide gauge observations for sea-level monitoring, namely satellite altimetry. The accuracy improvement of retracking systems in coastal regions is a key parameter for evaluating the effectiveness of satellite altimetry as a complement to tide gauge data. This study applied harmonic analysis using the least squares method to obtain tidal constituents, which were then used to assess the consistency of altimetry data compared with tide gauges. Two tide gauge stations on the west coast of Sumatra were analyzed: Krui, where the dominant tidal constituent was K2 with an amplitude of 0.034 m, and Seblat, where the dominant constituent was K1 with an amplitude of 0.035 m. Altimetry data from Jason-1, Jason-2, and Jason-3 along pass 153 produced dominant P1 constituent with an amplitudes of 0.283 m (ALES) and 0.354 m (GDR), while pass 077 yielded P1 with amplitudes of 0.532 m (ALES) and 0.313 m (GDR). The results indicate that ALES data are more reliable within 10 km of the coastline, whereas GDR data perform better beyond 10 km. Furthermore, a combination of both datasets is recommended for improved tidal representation in the coastal zone of West Sumatra.Keywords: altimetry satellite, coastal zone, harmonic analysis, sea level, tide gauge