Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search
Journal : Media Syari'ah: Wahana Kajian Hukum Islam dan Pranata Sosial

The Heirs of Patah Titi in Gayo Community Jamhir Hasan; Irwansyah Muhammad Jamal; Riza Afrian Mustaqim
Media Syari'ah : Wahana Kajian Hukum Islam dan Pranata Sosial Vol 24, No 1 (2022)
Publisher : Sharia and Law Faculty

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/jms.v24i1.10668

Abstract

Inheritance in the Gayo community assumes that grandchildren whose parents have died still have the authority to get inheritance. The solution to this problem has attracted the attention of many people, so it has significant urgency to be investigated. This study aims to explore and analyze; first, how is the inheritance of grandchildren whose parents died first by the heir according to Gayo customary law?, second, how is the settlement of grandchildren whose parents died first from those who bequeath their assets to the Gayo community? This research is an empirical legal research, with a non-doctrinal approach. The data was extracted by observation, interview and documentation methods, then analyzed qualitatively. The results of the study show that first, in general, the Gayo community divides their inheritance based on Islamic inheritance law which is sourced from the teachings of the Qur'an Al-Sunnah. Second, the Gayo community stated that the grandchildren who wore the hijab were given an inheritance divided into three forms; 1) said that he was given a modest inheritance. 2), stated that he was given an inheritance of half of the share received by his parents. 3), stating that the grandson is given an inheritance equal to the share received by his parents. The Gayo community does not know a substitute heir, because there is no stipulation on how much inheritance must be given to the grandson, when receiving an inheritance from his grandparents as a substitute for parents who have died first. Seeing the implementation of giving compensation to grandchildren whose parents died earlier than those who bequeath property to the Gayo community, giving inheritance to grandchildren whose parents died from the heirs does not conflict with Gayo customary law.Waris pada masyarakat Gayo beranggapan bahwa cucu yang telah meninggal orang tuanya masih mempunyai wewenang untuk mendapatkan harta warisan. Penyelesaian persoalan tersebut cukup menyita perhatian banyak kalangan, sehingga memiliki urgensi yang cukup signifikan untuk diteliti. Penelitian ini bertujuan untuk menggali dan menganalisa; pertama, bagaimana kewarisan cucu yang orang tuanya lebih dahulu meninggal oleh pewaris menurut Hukum adat Gayo?, kedua, bagaimana penyelesaian cucu yang orang tuanya lebih dahulu meninggal dari orang yang mewariskan harta pada masyarakat Gayo?. Penelitian ini  merupakan penelitian hukum empiris,  dengan pendekatan non doktrinal. Data digali dengan metode observasi, wawancara dan dokumentasi, selanjutnya dianalisis secara kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertama, secara umum masyarakat Gayo membagi warisannya berdasarkan hukum kewarisan Islam yang bersumber dari ajaran Al-Qur'an Al-Sunnah. Kedua, masyarakat Gayo menyatakan bahwa cucu yang terhijab patah titi diberikan harta pusaka dengan pembagian dalam tiga bentuk; 1) mengatakan diberi harta warisan sekedarnya saja. 2), menyatakan diberi warisan setengah dari bahagian yang diterima orang tuanya. 3), menyatakan cucu tersebut diberi harta warisan sebesar bahagian yang diterima orang tuanya. Masyarakat Gayo tidak mengenal ahli waris pengganti, sebab tidak ada ketentuan berapa besar harta warisan yang harus diberikan kepada cucu tersebut, ketika menerina warisan dari kakek/neneknya sebagai pengganti orang tua yang telah meninggal lebih dulu. Melihat pelaksanaan pemberian imbal kasih kepada cucu yang orang tuanya lebih dahulu meninggal dari orang yang mewariskan harta pada masyarakat Gayo maka pemberian harta warisan kepada cucu yang orang tuanya terlebih dahulu meninggal dari pewaris tidak bertentangan dengan Hukum adat Gayo.
Criteria for Legal Competence in Islamic Law: A Critical Evaluation Jamal, Irwansyah Muhammad; Mustaqim, Riza Afrian
Media Syari'ah : Wahana Kajian Hukum Islam dan Pranata Sosial Vol 25, No 2 (2023)
Publisher : Sharia and Law Faculty

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/jms.v25i1.11183

Abstract

A leader must have the ability to act legally so that every action he does is legal. This skill is required to be perfect, even exceeding the ability to act legally on a husband and wife in managing a household or someone in managing their property. On the basis of perfect legal skills, the leadership process will be able to run well, and various benefits can be realized in society at large. In this case, Islamic law as one of the legal systems that live in society is believed in giving a view of the legal skills of a leader. Some verses of the Qur'an and the Hadith of the Prophet SAW. give a signal about the criteria for a leader's legal competence. There are two important elements that must be possessed so that the ability to act in law is perfect; first, the age of a leader (caliphate), either a leader of a state (prisident), or a region (governor and regent/mayor) is at least 40 years old. While the position of assistant to the caliphate (minister and police) must be at least 21 years old; second, having perfect intelligence (rusyd). This intelligence is based on deep knowledge and broad insight into leadership. Based on this intelligence, a leader will carry out policies to his people in accordance with the benefit principles. Seorang pemimpin menjadi sentral bagi rakyatnya untuk mengantarkan mereka dalam mewujudkan kemaslahatan, kesejahteraan, dan kehagiaaan. Untuk hal itu, seorang pemimpin diharuskan memiliki kecakapan hukum yang baik, bahkan melebihi daripada seorang suami atau isteri dalam membina rumah tangga, atau seseorang dalam mengelola harta bendanya. Konsep kecakapan hukum pada seorang pemimpin telah disebutkan dalam berbagai ketentuan atau pemikiran para ahli. Dalam hal ini, hukum Islam memberikan konsep dan kriteria kemampuan kecakapan bagi seorang pemimpin. Tulisan ini mengkaji konsep hukum Islam tentang kecakapan seorang pemimpin yang mampu mewujudkan kemaslahatan bagi umat. Metode yang digunakan pada kajian ini yuridis normatif, yakni dengan mengkaji beberapa ayat Alquran dan Hadis Nabi SAW. yang memberi isyarah tentang kriteria kecakapan hukum seorang pemimpin. Hasil penelitian ditemukan ada dua unsur penting yang harus dimiliki seorang pemimpin supaya cakap bertindak hukum secara sempurna. Pertama, usia seorang khalifah, baik Presiden, atau Gubernur dan Bupati/Walikota, minimal 40 tahun. Sementara jabatan pembantu khalifah, seperti Menteri dan Polisi minimal berumur 21 tahun. Kedua memiliki kecerdasan yang sempurna (rusyd), yakni seorang pemimpin mempunyai kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual yang baik. Dari ketiga kecerdasan tersebut akan melahirkan sifat bijaksana, dan pada gilirannya terwujud kemaslahatan hidup masyarakat secara luas.
Criteria for Legal Competence in Islamic Law: A Critical Evaluation Jamal, Irwansyah Muhammad; Mustaqim, Riza Afrian
Media Syari'ah Vol 25 No 2 (2023)
Publisher : Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/jms.v25i1.11183

Abstract

A leader must have the ability to act legally so that every action he does is legal. This skill is required to be perfect, even exceeding the ability to act legally on a husband and wife in managing a household or someone in managing their property. On the basis of perfect legal skills, the leadership process will be able to run well, and various benefits can be realized in society at large. In this case, Islamic law as one of the legal systems that live in society is believed in giving a view of the legal skills of a leader. Some verses of the Qur'an and the Hadith of the Prophet SAW. give a signal about the criteria for a leader's legal competence. There are two important elements that must be possessed so that the ability to act in law is perfect; first, the age of a leader (caliphate), either a leader of a state (prisident), or a region (governor and regent/mayor) is at least 40 years old. While the position of assistant to the caliphate (minister and police) must be at least 21 years old; second, having perfect intelligence (rusyd). This intelligence is based on deep knowledge and broad insight into leadership. Based on this intelligence, a leader will carry out policies to his people in accordance with the benefit principles. Seorang pemimpin menjadi sentral bagi rakyatnya untuk mengantarkan mereka dalam mewujudkan kemaslahatan, kesejahteraan, dan kehagiaaan. Untuk hal itu, seorang pemimpin diharuskan memiliki kecakapan hukum yang baik, bahkan melebihi daripada seorang suami atau isteri dalam membina rumah tangga, atau seseorang dalam mengelola harta bendanya. Konsep kecakapan hukum pada seorang pemimpin telah disebutkan dalam berbagai ketentuan atau pemikiran para ahli. Dalam hal ini, hukum Islam memberikan konsep dan kriteria kemampuan kecakapan bagi seorang pemimpin. Tulisan ini mengkaji konsep hukum Islam tentang kecakapan seorang pemimpin yang mampu mewujudkan kemaslahatan bagi umat. Metode yang digunakan pada kajian ini yuridis normatif, yakni dengan mengkaji beberapa ayat Alquran dan Hadis Nabi SAW. yang memberi isyarah tentang kriteria kecakapan hukum seorang pemimpin. Hasil penelitian ditemukan ada dua unsur penting yang harus dimiliki seorang pemimpin supaya cakap bertindak hukum secara sempurna. Pertama, usia seorang khalifah, baik Presiden, atau Gubernur dan Bupati/Walikota, minimal 40 tahun. Sementara jabatan pembantu khalifah, seperti Menteri dan Polisi minimal berumur 21 tahun. Kedua memiliki kecerdasan yang sempurna (rusyd), yakni seorang pemimpin mempunyai kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual yang baik. Dari ketiga kecerdasan tersebut akan melahirkan sifat bijaksana, dan pada gilirannya terwujud kemaslahatan hidup masyarakat secara luas.