Claim Missing Document
Check
Articles

Found 8 Documents
Search

JD-R Model: Pengaruh Sumber Daya, Keterikatan Kerja, dan Tuntutan terhadap Kinerja Karyawan Irvan, Muhammad; Zamralita; Markus Idulfilastri, Rita
Psyche 165 Journal Vol. 16 (2023) No. 3
Publisher : Fakultas Psikologi, Universitas Putra Indonesia YPTK Padang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35134/jpsy165.v16i3.249

Abstract

PT X is ceramics manufacturer in Tangerang, with indications of decline in performance over last 3 years. The assumption of decreased performance is due to lack of Job Resources, excessive work demands and existence of counterproductive behavior. In addition, the factors that can affect decreased performance are the lack of work engagement. This tudy aims to measure how the role of job resources affects job performance through work engagement as a mediator and job demands as moderator. Employees with minimum working period of 1 year and minimum staff position at PT X who will participate in research. Performance measurement tools uses IWPQ with 18 items statements, Job Resources and Job Demands uses JD-RQ tool with 17 Job Resource items and 23 Job demands items, Work Engagement uses UWES as measurement tool with 9 items statement. The sampling technique uses convenience sampling. The research sample is 120 with 17 data outliers. We Analyze with model 7 Bootstrapping for moderation and mediation effect were used to test the hypothetical model using SPSS 27. The results stated that Job Resources affect performance mediated by work engagement, but not moderated by job demands. Focusing on practitioner implications, companies need to increase work resources to employees in order to improve their performance, of course, by accommodating higher work attachment. Moreover, companies need to consider increasing compensation and benefits such as benefits, gathering events, training for all employees with staff levels and above so that they are more optimal at work.
PERAN KUALITAS KEHIDUPAN KERJA TERHADAP INTENSI KELUAR KERJA MELALUI KOMITMEN ORGANISASI SEBAGAI MEDIATOR PADA KARYAWAN PT X Violany, Refacha; Zamralita, Zamralita; Markus Idulfilastri, Rita
Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni Vol. 6 No. 3 (2022): Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Tarumanagara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/jmishumsen.v6i3.10074.2022

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peranan komitmen organisasi sebagai mediator hubungan antara kualitas kehidupan kerja dengan intensi keluar kerja pada karyawan di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan tebu dan pabrik gula. Penelitian ini mengambil data dengan menggunakan metode kuantitatif dengan mengumpulkan data melalui kuesioner yang melibatkan 102 karyawan. Terdapat tiga buah kuisioner yang digunakan dalam pengumpulan data, yaitu alat ukur variabel intensi keluar kerja, kualitas kehidupan kerja, dan komitmen organisasi. Data yang diperoleh kemudian dianalisis menggunakan program SPSS dengan menggunakan metode uji korelasi. Hasil dari penelitian ini adalah bahwa kualitas kehidupan kerja terbukti mempunyai peran terhadap intensi keluar kerja melalui komitmen organisasi sebagai mediator. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas kehidupan kerja berkorelasi dengan komitmen organisasi (t = .5359 sig = .000). Kualitas kehidupan kerja juga berkorelasi dengan intensi keluar kerja (t = -17.166, sig = 0.000). Komitmen organisasi berkorelasi dengan intensi keluar kerja (t = -5.844, sig = .000). Hasil uji sobel tes didapat bahwa komitmen organisasi terbukti dapat sebagai mediator antara kualitas kehidupan kerja dengan intensi keluar kerja ( t = 2.047, p = 0.040 < 0.05).
PENGEMBANGAN ALAT UKUR ACADEMIC HOPELESSNESS INVENTORY : DETEKSI AWAL KEPUTUSASAAN AKADEMIK PADA MAHASISWA Nathania, Silvia; Audrella, Neisha; Fanesah, Fanesah; D. Frans, Nathanael; Markus Idulfilastri, Rita
PAEDAGOGY : Jurnal Ilmu Pendidikan dan Psikologi Vol. 5 No. 1 (2025)
Publisher : Pusat Pengembangan Pendidikan dan Penelitian Indonesia (P4I)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51878/paedagogy.v5i1.5007

Abstract

Many students experience low academic achievement and have the potential to cause despair, so early detection is needed through the development of this measuring tool. Low academic grades often cause students to have difficulty in facing various academic challenges. This can cause a sense of despair which will later have an impact on mental health. There is already a measuring tool that measures despair called the Beck Hopelessness Scale (BHS). However, there is no measuring tool that specifically examines despair in the academic field. The purpose of this study is to develop a measuring tool for academic despair for students called the Academic Hopelessness Inventory (AHI). Thus, students who experience obstacles in their college assignments can be detected early. The method used is a quantitative approach with a sample of 377 students, data were collected through a questionnaire that measures student hopelessness in an academic context using a dichotomous scale. The results of the correlation analysis between the Academic Hopelessness Inventory (AHI) and the Beck Hopelessness Scale (BHS) showed a value of r = 1,000 with a significance level of p <0.001. Based on these results, it can be concluded that the Academic Hopelessness Inventory (AHI) and the Beck Hopelessness Scale (BHS) have a strong relationship and measure the same thing. Thus, the Academic Hopelessness Inventory (AHI) measuring instrument can be used to measure the level of academic hopelessness in students. Furthermore, the reliability test of the Academic Hopelessness Inventory (AHI) using the Kuder-Richardson Formula 20 (KR-20) showed 0.946 and the validity test with CFA through the JASP application showed an item value> 0.500. Therefore, the Academic Hopelessness Inventory (AHI) measuring instrument can be used as a measuring instrument for student hopelessness in an academic context. ABSTRAK Banyak mahasiswa yang mengalami rendahnya pencapaian akademik dan berpontensi menimbulkan keputusasaan sehingga diperlukan deteksi awal melalui pengembangan alat ukur ini. Nilai akademik yang rendah sering kali menyebabkan mahasiswa kesulitan dalam menghadapi berbagai tantangan akademik. Hal ini dapat menimbulkan rasa putus asa yang nantinya berdampak pada kesehatan mental. Sudah terdapat alat ukur yang mengukur keputusasaan yang bernama Beck Hoplessness Scale (BHS). Namun, belum terdapat alat ukur yang khusus mengkaji keputusasaan di bidang akademik. Tujuan penelitian adalah mengembangkan alat ukur keputusasaan akademik untuk mahasiswa yang bernama Academic Hopelessness Inventory (AHI). Dengan demikian, mahasiwa yang mengalami hambatan tugas-tugas perkuliahannya dapat dideteksi lebih awal. Metode yang digunakan adalah pendekatan kuantitatif dengan sampel 377 mahasiswa, data dikumpulkan melalui angket yang mengukur keputusasaan mahasiswa dalam konteks akademik menggunakan skala dikotomi. Hasil analisis korelasi antara Academic Hopelessness Inventory (AHI) dan Beck Hopelessness Scale (BHS) menunjukkan nilai r = 1.000 dengan tingkat signifikansi sebesar p < 0.001. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa Academic Hopelessness Inventory (AHI) dan Beck Hopelessness Scale (BHS) terdapat hubungan kuat dan mengukur hal yang sama. Dengan demikian alat ukur Academic Hopelessness Inventory (AHI) dapat digunakan untuk mengukur tingkat keputusasaan akademik pada mahasiswa. Selanjutnya, uji reliabilitas Academic Hopelessness Inventory (AHI) menggunakan Kuder-Richardson Formula 20 (KR-20) menunjukkan 0.946 serta uji validitas dengan CFA melalui aplikasi JASP menunjukkan nilai butir > 0.500. Maka itu, alat ukur Academic Hopelessness Inventory (AHI) dapat digunakan sebagai alat ukur keputusasan pada mahasiswa dalam konteks akademik.
PERAN PENTING KETERAMPILAN MOTORIK HALUS UNTUK MENINGKATKAN KONSENTRASI ANAK USIA DINI Aulia Syaputri, Ambar; Rizkina Ramadhani, Layda; Rahmawati, Novi; Nazarina, Ameylia; Markus Idulfilastri, Rita
PAEDAGOGY : Jurnal Ilmu Pendidikan dan Psikologi Vol. 5 No. 2 (2025)
Publisher : Pusat Pengembangan Pendidikan dan Penelitian Indonesia (P4I)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51878/paedagogy.v5i2.5309

Abstract

Technological advances in the modern era make children spend more time with gadgets, resulting in decreased concentration. This research focuses on the fine motor development of children aged three to five years to improve concentration skills. This study uses a qualitative method approach by means of observation. Our findings show that at the age of five, children have difficulty connecting lines that have more than one angle (kite drawing). Out of twenty-two children, only four were successful. Furthermore, it was also found that children who were not yet five years old took a long time to complete a drawing without angles (circle drawing). Thus, these findings can be used as a reference for kindergarten teachers in providing exercises that are suitable for children's abilities. ABSTRAK Kemajuan teknologi pada era modern membuat anak-anak lebih banyak menghabiskan waktu dengan gadget, sehingga mengakibatkan konsentrasi anak menurun. Penelitian ini berfokus pada perkembangan motorik halus anak usia tiga sampai lima tahun untuk meningkatkan kemampuan konsentrasi. Penelitian ini menggunakan pendekatan metode kualitatif dengan cara observasi. Temuan kami menunjukkan pada umur lima tahun, anak mengalami kesulitan untuk menghubungkan garis yang memiliki sudut lebih dari satu (gambar layang-layang). Dari dua puluh dua anak hanya empat anak yang berhasil. Selanjutnya, ditemukan juga anak yang belum berusia lima tahun membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menyelesaikan gambar tanpa sudut (gambar lingkaran). Dengan demikian, temuan ini dapat dijadikan referensi untuk guru Taman Kanak-kanak dalam memberikan latihan yang sesuai dengan kemampuan anak.
INTERPRETASI SKOR NORMA PARASOCIAL RELATIONSHIP IN SOCIAL MEDIA SURVEY (PRISM SURVEY) DALAM BAHASA INDONESIA Hamdoyo, Bryan; Firliansyah Maliki, Muhammad; Manuel Setia, Rio; Markus Idulfilastri, Rita
PAEDAGOGY : Jurnal Ilmu Pendidikan dan Psikologi Vol. 5 No. 2 (2025)
Publisher : Pusat Pengembangan Pendidikan dan Penelitian Indonesia (P4I)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51878/paedagogy.v5i2.5595

Abstract

In the digital era, the relationship between fans and figures on social media has become easier to interact with. Although fans only know in cyberspace through social media with their figures, in reality, the emotional involvement of fans can lead to negative interactions. This condition can be detected through the Parasocial Relationship in Social Media Survey (PRISM Survey) measuring instrument with 4 dimensions, namely attraction, knowledge, identification, and interaction.. Parasocial relationships are defined as the relationship between fans and figures on social media. After a search of the PRISM Survey measuring instrument, it was found that there was no norm score, making it difficult for practical use. For this reason, the research objective was to develop and interpret norm scores for the PRISM Survey in Indonesian. The research sample was 209 people, aged 18 to 24 years, and 80% female. The data processing method used the z score, transformed into a T score with a mean of 50 and SD=10, and used percentile tertiles for 3 categories of low, medium, and high. The results showed that the low category (only paying attention to figures on social media) at raw scores of 22 to 68 was converted into norm scores of 14 to 46; the medium category (paying more attention to figures) at raw scores of 69 to 77 was converted into norm scores of 47 to 53; and the high category (very emotionally involved with figures) at raw scores of 78 to 110 was converted into norm scores of 54 to 76. Thus, the PRISM Survey norm scores can be used for ages 18 to 24, especially in females. ABSTRAK Di era digital hubungan antara penggemar dan tokoh figur di media sosial menjadi semakin mudah berinteraksi. Walaupun penggemar hanya kenal di dunia maya melalui media sosial dengan tokoh figurnya, namun kenyataannya keterlibatan emosional penggemar dapat mengarah pada interaksi negatif. Kondisi ini dapat dideteksi melalui alat ukur Parasocial Relationship in Social Media Survey (PRISM Survey) dengan 4 dimensi yaitu ketertarikan, pengetahuan, identifikasi dan interaksi. Hubungan parasosial (parasocial relationship) didefinisikan hubungan penggemar dengan tokoh figur di media sosial. Setelah dilakukan penelusuran terhadap alat ukur PRISM Survey ternyata belum ditemukan skor norma sehingga menyulitkan penggunaan praktis. Atas alasan ini, tujuan penelitian menyusun dan interpretasi skor norma PRISM Survey berbahasa Indonesia. Sampel penelitian dengan jumlah 209 orang, berusia 18 sampai dengan 24 tahun, dan 80% jenis kelamin perempuan. Metode pengolahan data menggunakan z score, ditransformasi menjadi T score dengan mean 50 dan SD=10 dan menggunakan persentil tertil untuk 3 kategori rendah, sedang dan tinggi. Hasil penelitian memperlihatkan kategori rendah (hanya memperhatikan tokoh figur di media sosial) pada skor mentah 22 sampai dengan 68 dikonversi menjadi skor norma 14 sampai dengan 46; kategori sedang (lebih memperhatikan dengan tokoh figur) pada skor mentah 69 sampai dengan 77 dikonversi menjadi skor norma 47 sampai dengan 53; dan kategori tinggi (sangat terlibat secara emosional terhadap tokoh figur) pada skor mentah 78 sampai dengan 110 dikonversi menjadi skor norma 54 sampai dengan 76. Dengan demikian, skor norma PRISM Survey dapat dipakai untuk usia 18 sd 24 than, khususnya pada perempuan.
Harmonious Husband and Wife Relationship: : Recognise Dyadic Coping Skills and Spousal Relationship Satisfaction Markus Idulfilastri, Rita; Ramadhanty Khaerunissa, Mandy; Marziah Zakaria, Siti
Edunity Kajian Ilmu Sosial dan Pendidikan Vol. 3 No. 1 (2024): Edunity : Social and Educational Studies
Publisher : PT Publikasiku Academic Solution

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.57096/edunity.v3i1.208

Abstract

A harmonious marriage is associated with spousal satisfaction. However, in Indonesia, the divorce rate increases every year. Maintaining a harmonious family takes effort from the spouses and is discussed using stimulus, value and role theories, as internal factors. The external factor is dyadic coping, which is the ability of couples to cope with pressure together and is discussed using the systematic transactional model-STM. The purpose of the study was to determine the effect of dyadic coping on the achievement of harmonious relationships in husbands and wives. Method: non-experimental quantitative with cross sectional technique. Sample characteristics are heterosexual couples who have been married for at least 1 year, aged over 20 years, as many as 150 couples or 300 participants. Relationship satisfaction measurement tool, The Perceived Relationship Quality Components Inventory (PRQC), Cronbach Alpha reliability coefficient = 0.978, while Dyadic Coping is measured by Dyadic Coping Inventory (DCI), Cronbach Alpha reliability coefficient = 0.911. Data processing using Structural Equation Modeling (SEM), LISREL 8.80 programme, the measurement model shows all items are valid and the structural model shows a fit and significant model. The results showed the similarity of husbands and wives handling pressure, using positive dyadic coping. The difference between husbands and wives on the perception of harmonious relationship satisfaction is the aspect of love and intimacy. With these findings, it is expected to be used by counsellors, family psychologists and others to guide couples to be harmonious
SELF-FULFILLING PROPHECY DALAM HUBUNGAN ASMARA: PENGARUH REJECTION SENSITIVITY TERHADAP RELATIONSHIP SATISFACTION DI KALANGAN EMERGING ADULTHOOD Jong, Devi; Valencia, Mudita; Angelika, Fransiska; Shella Riliseptin, Maria; Markus Idulfilastri, Rita
PAEDAGOGY : Jurnal Ilmu Pendidikan dan Psikologi Vol. 5 No. 3 (2025)
Publisher : Pusat Pengembangan Pendidikan dan Penelitian Indonesia (P4I)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51878/paedagogy.v5i3.7627

Abstract

Romantic relationships during emerging adulthood often present emotional challenges due to individual character differences. One psychological factor that can reduce relationship satisfaction is rejection sensitivity, which may trigger negative reactions and lead to a self-fulfilling prophecy. This study aims to examine the influence of rejection sensitivity on relationship satisfaction among young adults in Indonesia. The research employed a quantitative correlational-predictive approach, involving 213 active university students aged 18–20 who are currently or have previously been in romantic relationships. The instruments used were the Rejection Sensitivity Questionnaire (RSQ) and the Relationship Assessment Scale (RAS), and data analysis was conducted using Pearson correlation and simple linear regression. The results revealed a significant negative relationship between rejection sensitivity and relationship satisfaction (r = -0.281, p < 0.01), with a contribution of R² = 7.9%. The higher an individual’s rejection sensitivity, the lower their perceived relationship satisfaction. These findings highlight the importance of emotional regulation and managing rejection-related anxiety in maintaining the quality of romantic relationships during early adulthood. This study contributes to the literature on interpersonal relationship psychology in Indonesia and may serve as a foundation for preventive interventions in counseling for young couples. ABSTRAK Hubungan asmara pada masa emerging adulthood kerap menghadirkan tantangan emosional akibat perbedaan karakter individu. Salah satu faktor psikologis yang dapat menurunkan kepuasan dalam hubungan (relationship satisfaction) adalah sensitivitas terhadap penolakan (rejection sensitivity), yang berpotensi menciptakan reaksi negatif dan memicu terjadinya self-fulfilling prophecy. Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh rejection sensitivity terhadap relationship satisfaction pada individu dewasa awal di Indonesia. Desain penelitian menggunakan pendekatan kuantitatif korelasional-prediktif, dengan partisipan sebanyak 213 mahasiswa aktif berusia 18–20 tahun yang sedang atau pernah menjalin hubungan asmara. Instrumen yang digunakan adalah Rejection Sensitivity Questionnaire (RSQ) dan Relationship Assessment Scale (RAS), serta analisis data dilakukan melalui uji korelasi Pearson dan regresi linear sederhana. Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan negatif signifikan antara rejection sensitivity dan relationship satisfaction (r = -0.281, p < 0.01), dengan kontribusi pengaruh sebesar R² = 7,9%. Semakin tinggi rejection sensitivity seseorang, semakin rendah tingkat kepuasan yang dirasakannya dalam hubungan asmara. Temuan ini menegaskan pentingnya kemampuan regulasi emosi dan penanganan kecemasan penolakan dalam menjaga kualitas hubungan romantis di masa dewasa awal. Penelitian ini memberikan kontribusi terhadap literatur psikologi hubungan interpersonal di Indonesia dan dapat menjadi dasar intervensi preventif dalam konseling pasangan muda.
HUBUNGAN KETERGANTUNGAN PADA CHATGPT DAN SELF-EFFICACY PADA MAHASISWA AKTIF DI UNIVERSITAS Sanjaya, Alvin; Aurora, Amelia; Clarance Benedict, Edbert; Az Zahra Nurnajma Kalenggo, Sezilya; Winata, Tantony; Hendra Heng, Pamela; Markus Idulfilastri, Rita
PAEDAGOGY : Jurnal Ilmu Pendidikan dan Psikologi Vol. 5 No. 3 (2025)
Publisher : Pusat Pengembangan Pendidikan dan Penelitian Indonesia (P4I)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51878/paedagogy.v5i3.7659

Abstract

This study examines the relationship between problematic ChatGPT use defined as excessive or unhealthy dependence on this technology and academic self-efficacy among active students at University X, using a quantitative correlational design. A purposive sample of 76 respondents was selected from various faculties within the university. Data were collected through an online questionnaire consisting of the Problematic ChatGPT Use Scale and the Self-Efficacy Scale. The results indicate that the majority of students experience moderate dependence on ChatGPT, but no significant relationship was found between ChatGPT dependence and academic self-efficacy (rs? = - 0.128, p = 0.271 > 0.05). This finding is important because, although problematic use of ChatGPT is relatively common among students, it does not significantly affect their academic self-confidence. This suggests that other factors, such as prior academic experience or social support, may have a greater impact on students' self-efficacy. This study provides new insights into the use of ChatGPT in higher education and recommends the wise management of its use. Proper management can enrich students' learning experiences, while excessive dependence may reduce learning independence and critical thinking skills. ABSTRAK Penelitian ini mengkaji hubungan antara penggunaan ChatGPT yang bersifat problematik diartikan sebagai ketergantungan yang berlebihan atau tidak sehat terhadap teknologi ini dan self-efficacy akademik pada mahasiswa aktif Universitas X dengan desain kuantitatif korelasional. Sampel purposive sebanyak 76 responden diambil dari berbagai fakultas di universitas tersebut. Data dikumpulkan melalui kuesioner daring yang terdiri dari Skala Penggunaan ChatGPT Problematis dan Skala Self-Efficacy. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas mahasiswa mengalami ketergantungan moderat terhadap ChatGPT, namun tidak ditemukan hubungan signifikan antara ketergantungan ChatGPT dan self-efficacy akademik (rs? = ?0,128, p = 0,271 > 0,05). Temuan ini penting karena meskipun penggunaan ChatGPT yang problematik cukup sering terjadi di kalangan mahasiswa, hal tersebut tidak mempengaruhi secara signifikan kepercayaan diri akademik mereka. Ini menunjukkan bahwa faktor lain, seperti pengalaman akademik sebelumnya atau dukungan sosial, mungkin memiliki dampak yang lebih besar terhadap self-efficacy mahasiswa. Penelitian ini memberikan wawasan baru tentang penggunaan ChatGPT dalam konteks pendidikan tinggi dan menyarankan pengelolaan yang bijak terhadap penggunaannya. Pengelolaan yang tepat dapat memperkaya pengalaman belajar mahasiswa, sementara ketergantungan yang berlebihan dapat mengurangi kemandirian belajar dan kemampuan berpikir kritis.