Proses transisi demokrasi di Indonesia pada 1998 menimbulkan suasana ketiadaan norma (anomie), yang memancing adanya situasi kacau (chaos) dalam masyarakat Indonesia kala itu. Di tengah suasana tanpa norma ini terjadi ‘peniadaan’ hukum, aturan seolah ditanggalkan, dan negara seakan absen kehadirannya dalam mengatur masyarakat. Di masa seperti inilah terjadi apa yang disebut oleh Giorgio Agamben sebagai ‘Demokrasi & Kedaruratan’. Sebuah analisis yang intinya menjelaskan bahwa sebuah negara yang berada dalam keadaan genting akan menangguhkan kepastian hukum, mengabaikan prinsip pemisahan kekuasaan, melanggar hak-hak sipil. Dalam situasi ini, terjadi gesekan dalam masyarakat yang tidak dapat dihindari. Dalam konteks Indonesia, hal seperti ini diperparah dengan meletusnya konflik komunal di berbagai daerah, yang menimbulkan masalah baru bagi sebuah negara yang sedang berupaya membangun demokrasinya. Penelitian ini sendiri bertujuan untuk menganalisis fenomena ini dengan menghubungkannya dengan pemikiran Giorgio Agamben mengenai ‘Demokrasi & Kedaruratan’. Dari hasil penelitian ditemukan hasil bahwa masa transisi demokrasi pasca runtuhnya Orde Baru di tahun 1998 terjadi penangguhan hukum, pengabaian hak-hak sipil dan berbagai pelanggaran lainnya. Ragam krisis yang terjadi sebelum penggulingan rezim Orde Baru belum terselesaikan sepenuhnya sehingga memicu berbagai gejolak yang kemudian menimbulkan banyak korban jiwa dan kerusakan infrastruktur. Sebuah ujian tersendiri bagi Indonesia memasuki milenium baru. Hal ini seakan terus berlanjut walau kini Indonesia telah menerapkan otonomi daerah sebagai perwujudan desentralisasi. Maraknya kekerasan terhadap masyarakat daerah di masa kini bisa dianggap sebagai ‘warisan’ dari kekerasan negara yang acapkali dilakukan saat corak kekuasaan masih bersifat terpusat (sentralisasi). Masa transisi telah melahirkan gelombang kekerasan yang seakan tidak pernah berakhir, dan semuanya itu berangkat dari situasi darurat kala terjadinya peralihan rezim di Indonesia.