Adolescent development in the modern era faces complex challenges due to the friction between local cultural values and the currents of globalization. Amidst these challenges, local wisdom has the potential to be an essential foundation for mental health. This study focuses on "Rumasa," a noble value in Sundanese culture that emphasizes self-awareness, empathy, and humility.This study aims to explore and describe in-depth the role and manifestation of "Rumasa"-based parenting in the process of resilience formation among adolescents in a Sundanese rural community. This research employed a qualitative approach with an ethnographic case study design. The participants consisted of five Sundanese families (parents and adolescents aged 15–18) who were purposively selected from an agrarian village in Tasikmalaya Regency, West Java. Data were collected through in-depth interviews, participant observation over a three-month period, and analysis of related cultural documents. Data analysis was conducted using a thematic approach, which includes six stages: data familiarization, initial coding, theme searching, theme reviewing, theme naming, and reporting.The findings identified three main practices of "Rumasa" parenting: (1) ngajénan (teaching respect for oneself and others), (2) teu adigung (educating not to be arrogant and to be aware of one's limitations), and (3) ngaragap rasa (training sensitivity and empathy toward the feelings of others). These practices directly contribute to the development of adolescent resilience pillars such as emotional regulation, social competence, and realistic optimism. "Rumasa" functions as vital cultural capital in Sundanese parenting. This value is not only taught verbally but also internalized through daily practices, equipping adolescents with resilience to face life's challenges. This research affirms the importance of integrating local wisdom into developmental psychology studies in Indonesia. ABSTRAK Perkembangan remaja di era modern menghadapi tantangan yang kompleks akibat adanya gesekan antara nilai-nilai budaya lokal dengan arus globalisasi. Di tengah tantangan tersebut, kearifan lokal berpotensi menjadi landasan penting bagi kesehatan mental. Penelitian ini berfokus pada "Rumasa", sebuah nilai luhur dalam budaya Sunda yang menekankan kesadaran diri, empati, dan kerendahan hati. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi dan mendeskripsikan secara mendalam peran dan manifestasi pola asuh berbasis "Rumasa" dalam proses pembentukan resiliensi pada remaja di masyarakat pedesaan Sunda. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan desain studi kasus etnografi. Partisipan terdiri dari lima keluarga Sunda (orang tua dan remaja berusia 15-18 tahun) yang dipilih secara purposive dari sebuah desa agraris di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Data dikumpulkan melalui wawancara mendalam, observasi partisipan selama tiga bulan, dan analisis dokumen budaya terkait. Analisis data dilakukan dengan pendekatan tematik, yang mencakup enam tahap: familiarisasi data, pembuatan kode awal, pencarian tema, peninjauan tema, penamaan tema, dan pelaporan. Temuan penelitian mengidentifikasi tiga praktik utama pola asuh "Rumasa": (1) ngajénan (mengajarkan rasa hormat kepada diri sendiri dan orang lain), (2) teu adigung (mendidik untuk tidak sombong dan menyadari keterbatasan diri), dan (3) ngaragap rasa (melatih kepekaan dan empati terhadap perasaan orang lain). Praktik-praktik ini secara langsung berkontribusi pada pengembangan pilar-pilar ketahanan remaja, seperti regulasi emosi, kompetensi sosial, dan optimisme yang realistis. "Rumasa" berfungsi sebagai modal budaya yang vital dalam pola asuh orang Sunda. Nilai ini tidak hanya diajarkan secara lisan tetapi juga diinternalisasi melalui praktik sehari-hari, membekali remaja dengan ketahanan untuk menghadapi tantangan hidup. Penelitian ini menegaskan pentingnya mengintegrasikan kearifan lokal ke dalam studi psikologi perkembangan di Indonesia.