cover
Contact Name
Franky R.D Rengkung
Contact Email
frankyrengkung@unsrat.ac.id
Phone
+6281311100340
Journal Mail Official
jurnalpolitico@unsrat.ac.id
Editorial Address
Jalan Kampus Bahu Malalayang Manado Kode Pos 95115
Location
Kota manado,
Sulawesi utara
INDONESIA
Politico: Jurnal Ilmu Politik
ISSN : 23025603     EISSN : 29639018     DOI : -
Core Subject : Social,
The POLITICO journal contains various articles related to developments and dynamics that occur in the world of politics. Writings or articles published in the POLITICO Journal can be the results of research or scientific opinions related to political science both in theory and practice.
Articles 510 Documents
PROSPEK PENYELESAIAN SENGKETA TAPAL BATAS INDONESIA MALAYSIA DI KAWASAN SEKTOR BARAT KALIMANTAN-SARAWAK Susanto, Listianingsih
JURNAL POLITICO Vol 8, No 3 (2019): November 2019
Publisher : JURNAL POLITICO

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRAKMeskipun Indonesia dan Malaysia merupakan dua bangsa serumpun, namun hingga kinimasih sering terjadi permasalahan antara kedua negara. Salah satu permasalahan yang hinggakini belum terselesaikan adalah terkait dengan sengketa perbatasandarat, antara kedua negaramulai dari perbatasan yang ada di Provinsi Kalimantan Barat hingga wilayah ProvinsiKalimantan Timur.Seringmuncul masalah terkait isu pergeseran dan pencabutan patok batassecara sepihak yang diklaim dilakukan oleh pihak lawan. Hal ini tidak terlepas dari dasar hukumdijadikan argumen dari masing-masing negara baik Indonesia dan Malaysia, perbedaanpendapat mengenai batas Negara oleh Indonesia dan Malaysia sering kali tidak mencapai titiktemu. Terakhir 2018 lalu Indonesia dan Malaysia telah melakukan sedikitnya sembilanpertemuan teknik membahas demarkasi penyelesaian sengketa batas kedua negara. Penelitianmencoba untuk menganalisis prospek penyelesaian masalah tapal batas kedua Negarakhususnya di sector barat. Dari hasil penelitian menggambarkan prospek penyelesaian masalahtapal batas kedua Negara, suda mulai berjalan efektif. Tahap-tahap di dalam penyelesaian yangefektif yaitu negosiasi berdasarkan MoU yang beroreantasi pada traktat London.Kata Kunci :Prospek Penyelesaian, Sengketa Tapal Batas WilayahPROSPECT OF DISPUTE SETTLEMENT OF THE INDONESIAN BATTLE OF MALAYSIA INTHE WEST SECTOR AREA KALIMANTAN-SARAWAKABSTRACTAlthough Indonesia and Malaysia are two allied nations, there are still frequent problemsbetween the two countries. One of the problems that has yet to be resolved is related to land borderdisputes, between the two countries starting from the borders in West Kalimantan Province to EastKalimantan Province. Problems often arise related to the issue of unilaterally shifting andremoving boundaries claimed by the opposing party. This is inseparable from the legal basis usedas an argument from each country both Indonesia and Malaysia, differences of opinion regardingthe boundaries of the State by Indonesia and Malaysia often do not reach common ground. Last2018, Indonesia and Malaysia had held at least nine technical meetings discussing the demarcationof the dispute resolution of the two countries. This research tries to analyze the prospect of solvingthe problem of the boundaries of the two countries, especially the western sector. The results of thestudy illustrate the prospect of resolving the border issue between the two countries, which hasbegun to run effectively. The stages, in an effective settlement, are negotiations based on an MOUthat orientates in the London treaty.Keywords: Settlement Prospect, Territorial Border Dispute
DAMPAK PEMEKARAN WILAYAH TERHADAP PELAYANAN PUBLIK (Suatu Studi Di Kantor Kecamatan Tombariri Timur Dalam Pelayanan Administrasi Pengurusan Kartu Keluarga) Yosephus, Silvana
JURNAL POLITICO Vol 3, No 1 (2014): Januari 2014
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRAKSI Pemekaran Wilayah kecamatan Tombariri Timur menjadi sebuah kecamatan sangat berdampak pada pelayanan public di wilayah tersebut. Hal itu terlihat khususnya dalam hal administrasi pengurusan Kartu Keluarga yang menjadi objek penelitian tulisan ini. Metode dalam penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif yang akan menggambarkan proses administrasi pembuatan Kartu Keluarga di kecamatan Tombariri Timur serta memperbandingkannya dengan proses yang sama pada saat sebelum di mekarkan. Untuk menganalisa tulisan ini akan menggunakan konsep pemerintah tentang pelayanan public yang tertuang dalam Kepmenpan No. 63 Tahun 2003. Kata Kunci : Pemekaran Wilayah, Dampak dan Pelayanan Publik PENDAHULUAN Memasuki era reformasi pemekaran wilayah atau pembentukan daerah otonomi baru semakin marak sejak disahkanya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah yang kemudian direvisi menjadi UU No. 32 Tahun 2004. Satu hal yang tidak dapat dipungkiri bahwa pemekaran wilayah ini jelas mempunyai dampak pada pelayanan public. Tuntutan dari pemekaran wilayah yang terjadi selama ini pada umumnya didasari oleh ketidakterjangkauan pemerintah dalam menjalankan fungsi pelayanan yang maksimal sebagai akibat dari luasnya wilayah dan perkembangan jumlah penduduk disamping sarana dan prasarana penunjang lainnya. Hal itu mengakibatkan terjadinya kesenjangan dalam masyarakat, dimana masyarakat yang posisinya relative dekat dengan pusat pemerintahan dengan masyarakat yang relative jauh dari pusat pemerintahan. Seiring dengan era reformasi tersebut pelayanan public juga perlu dilakukan reformasi, baik dari segi paradigma, visi, misi, kebijakan/strategi, hingga konsep pelayanan publik yang prima dan implementasinya. Di beberapa daerah memang hal itu sudah dilakukan walaupun dalam kenyataannya masih berupa langkah awal yang masih memerlukan tindak lanjut dan kerja keras untuk mewujudkannya secara nyata. Fungsi utama pemerintah daerah menurut Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yakni sebagai pelayan masyarakat. Berdasarkan peradigma tersebut aparat pemerintah daerah termasuk aparat pemerintah kecamatan dituntut untuk dapat memberikan pelayanan optimal kepada masyarakat. Sebagai konsekuensi dari ditetapkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, dimana Pemerintah Daerah diberikan kewenangan yang demikian luas oleh Pemerintah Pusat untuk mengatur rumah tangga daerahnya sendiri, termasuk didalamnya adalah pemberian pelayanan kepada masyarakat di daerahnya. Namun berbagai isu yang muncul di kalangan masyarakat, ternyata hak pelayanan yang diterima oleh masyarakat atau perorangan terasa belum memenuhi harapan semua pihak baik dari kalangan masyarakat umum maupun dari kalangan pemerintah sendiri. Pelayanan masyarakat yang diberikan oleh aparatur pemerintah seringkali cenderung rumit dan memiliki masalah seperti : Tata cara pelayanan, rendahnya pendidikan aparat, kurangnya sarana dan prasarana, dan disiplin kerja. Hal tersebut jelas sangat berpengaruh terhadap kualitas pelayanan umum di daerah termasuk di kecamatan Tombariri Timur. Kecamatan Tombariri Timur ini merupakan wilayah yang baru dimekarkan pada tahun 2012 dari wilayah induk yaitu kecamatan Tombariri. Pemekaran wilayah ini diperkuat dengan Peraturan Daerah Kabupaten Minahasa No. 3 Tahun 2012, tentang Pembentukan Kecamatan Tombariri Timur. Seperti yang terjadi pada wilayah-wilayah yang baru dimekarkan, pelayanan public yang sebenarnya menjadi alasan untuk dilakukan pemekaran  tersebut justru menjadi masalah yang krusial. Demikian halnya yang terjadi di wilayah kecamatan Tombariri Timur.  Hal ini bagi penulis cukup menarik untuk dielaborasi lebih lanjut untuk mengetahui kenapa itu bisa terjadi. Sehingga penulis tertarik melakukan penelitian tentang dampak dari pemekaran wilayah Kecamatan Tombariri Timur terhadap pelayanan public di wilayah ini, khususnya dalam hal pelayanan administrasi pengurusan Kartu Keluarga. Perumusan Masalah Melihat latarbelakang yang sudah diuraikan diatas maka penulis merumuskan masalah yang akan diteliti adalah sebagai berikut : “Bagaimanakah Dampak Pemekaran Terhadap Pelayanan Publik di Kecamatan Tombariri Timur Khususnya Dalam Pelayanan Administrasi Pengurusan Kartu Keluarga? Tujuan Penelitian Untuk mengetahui bagaimanakah dampak dari pemekaran Wilayah Tombariri Timur terhadap pelayanan aparatur pemerintahan Kecamatan Tombariri Timur, khususnya dalam hal proses pelayanan administrasi pengurusan Kartu Keluarga (KK) kepada Masyarakat. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memiliki manfaat : 1. Manfaat Praktis: Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi, masukan/ sumbangan bagi Aparatur Pemerintah Kecamatan dalam memberikan pelayanan yang berkualitas kepada masyarakat. 2. Manfaat Teoritis: Diharapkan hasil penelitian ini akan menambah referensi bagi pengembangan ilmu pengetahuan dibidang sosial politik khususnya menyangkut dampak pemekaran wilayah khususnya pemekaran wilayah kecamatan terhadap pelayanan public. TINJAUAN PUSTAKA A. Dampak Secara etimologis pengertian dampak adalah pengaruh kuat yang mendatangkan akibat baik negative maupun positif. Dampak negative adalah pengaruh kuat yang mendatangkan akibat yang negative, sedangkan dampak positif merupakan sebaliknya yaitu pengaruh kuat yang mendatangkan akibat positif. ( W.J.S Poerwadarminta, Kamus besar Bahasa Indonesia, 2005).   B. Pemekaran Pemekaran adalah sesuatu bagian yang utuh atau suatu kesatuan yang dibagi atau dipisahkan menjadi beberapa bagian yang berdiri sendiri. (Poerwadarminta, 2005).  Jadi dengan demikian daerah/wilayah pemekaran adalah suatu daerah/wilayah yang sebelumnya satu kesatuan yang utuh yang kemudian di bagi atau dimekarkan menjadi beberapa bagian untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahannya sendiri. Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah mengisyaratkan perlunya pembentukan daerah baru yang dimaksudkan untuk meningkatkan pelayanan  kepada masyarakat guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Pamudji (2000) mengatakan bahwa dalam rangka pembentukan suatu daerah atau wilayah pemekaran diperlukan adanya suatu ukuran sebagai dasar penetapan. Pembentukan dan pemekaran wilayah yang baru harus didasarkan atas pembagian-pembagian yang bersifat objektif dengan memperhatikan segi pembiayaan sumber daya manusia serta sarana penunjang lainnya. Gie (2002) menyebutkan lima factor yang harus diperhatikan dalam pembentukan / pemekaran suatu wilayah yaitu : Luas daerah suatu wilayah sedapat mungkin merupakan suatu kesatuan dalam perhubungan, pengairan dan dari segi perekonomian dan juga harus diperhatikan keinginan penduduk setempat, persamaan adat istiadat serta kebiasaan hidupnya.Pembagian kekuasaan pemerintahan dalam pembentukan/pemekaran hendaknya diusahakan agar tidak ada tugas dan pertanggungjawaban kembar dan harus ada keseimbangan antara beratnya kewajiban yang diserahkan dengan struktur di daerah.Jumlah penduduk tidak boleh terlampau kecil.Pegawai daerah sebaiknya mempunyai tenaga-tenaga professional dan ahli.Keuangan daerah yang berarti terdapat sumber-sumber kemakmuran yang dimilikki oleh daerah itu sendiri.   Menurut Peraturan Pemerintah No 78 Tahun 2007, pemekaran daerah/wilayah adalah pemecahan suatu pemerintah baik propinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan, Desa / Kelurahan menjadi dua daerah atau lebih. Menurut Peraturan Pemerintah No. 129 Tahun 2000, tentang persyaratan pembentukan dan kriteria pemekaran, penghapusan dan pengabungan daerah, pada pasal 2 menyebutkan pemekaran daerah/wilayah bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui : Percepatan pelayanan kepada masyarakatPercepatan pertumbuhan kehidupan demokrasiPercepatan pertumbuhan pembangunan ekonomi daerahPercepatan pengelolaan potensi daerahPeningkatan keamanan dan ketertibanPeningkatan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah.   Maarif (2003) merumuskan tujuan dan manfaat kebijakan pemekaran wilayah sebagai berikut : Secara Politis adalah untuk menjaga tetap tegak dan utuhnya Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang dikonstruksikan dalam system pemerintahan pusat dan daerah yang memberi peluang turut sertanya rakyat dalam mekanisme penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan.Secara Formal/Konstitusional adalah untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintah di daerah terutama dalam pelaksanaan pembangunan dan pelayanan pemerintahan didaerah terutama dalam peningkatan pelaksanaan pelayanan terhadap masyarakat serta meningkatkan kestabilan politik dan kesatuan bangsa.Secara Administratif Pemerintahan, adalah untuk memperlancar dan menertibkan pelaksanaan tata pemerintahan sehingga dapat terselenggara secara efektif, efisien dan produktif.   T Liang Gie (2003), mengemukakan beberapa alasan mengapa kebijakan pemekaran wilayah harus diberlakukan, yaitu : Dilihat dari sudut politik, pembentukan suatu daerah/wilayah yang baru dimaksudkan untuk mencegah penumpukan kekuasaan pada satu pihak saja yang bisa menimbulkan tirani.Dalam bidang politik sebagai tindakan pendemokrasian untuk menarik rakyat ikut serta dalam pemerintahan dan melatih diri dalam mempergunakan hak-hak demokrasi. Dari sudut teknik organisasi pemekaran daerah/wilayah adalah untuk mencapai suatu pemerintahan yang efisien.Dari sudut kultur diharapkan perhatian dapat sepenuhnya dilimpahkan pada kekhususan suatu daerah seperti geografi, keadaan penduduk, kegiatan ekonomi, watak kebudayaan atau latar belakan sejarahnya.Dari sudut kepentingan pembangunan ekonomi diperlukan karena pemerintah daerah dapat lebih bnyak dan secara langsung membantu pembangunan.   C. Kecamatan Menurut Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2008, tentang Kecamatan, pada Bab 1, pasal 1 ayat 5 dikatakan bahwa yang dimaksud dengan kecamatan adalah wilayah kerja camat sebagai perangkat daerah kabupaten kota. Pembentukan sebuah kecamatan menurut Peraturan ini, dapat berupa pemekaran 1 (satu) kecamatan menjadi 2 (dua) kecamatan atau lebih, dan/atau penyatuan wilayah desa dan/atau kelurahan dari beberapa kecamatan. Selain itu pembentukan sebuah Kecamatan harus memenuhi beberapa persyaratan yaitu : syarat Administratif, syarat Teknis dan syarat Fisik Kewilayahan. Yang dimaksud dengan syarat administrative, seperti yang diisyaratkan dalam Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2008, tentang Kecamatan, pada Bab II dipasal 4  dinyatakan bahwa : Batas usia penyelenggaraan pemerintahan minimal 5 (lima) tahun;Batas usia penyelenggaraan pemerintah desa dan atau kelurahan yang akan dibentuk menjadi kecamatan minimal 5 (lima) tahun;Keputusan BAdan Permusyawaratan Desa (BPD) atau nama lain untuk Desa dan Forum Komunikasi Kelurahan atau nama lain untuk Kelurahan diseluruh wilayah kecamatan baik yang menjadi calon cakupan wilayah kecamatan baru maupun kecamatan induk tentang persetujuan pembentukan kecamatan.Keputusan Kepala  Desa atau nama lain untuk Desa dan Keputusan Lurah atau nama lain untuk kelurahan di seluruh wilayah kecamatan baik yang menjadi calon cakupan wilayah kecamatan baru maupun kecamatan induk tentang persetujuan pembentukan kecamatanRekomendasi Gubernur. Sedangkan yang dimaksud dengan syarat fisik kewilayahan, seperti yang diisyaratkan dalam Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2008, tentang Kecamatan, pada Bab II dipasal 5,  dinyatakan bahwa : syarat fisik kewilayahan meliputi cakupan wilayah, lokasi calon ibukota, sarana dan prasarana pemerintahan. Cakupan wilayah dimaksud adalah jumlah desa dan kelurahan yang ada diwilayah yang akan dimekarkan, sementara menyangkut lokasi calon ibukota harus diperhatikan aspek tata ruang, ketersediaan fasilitas, aksesbilitas, kondisi dan letak geografis, kependudukan, social ekonomi, social politik, dan social budaya. Sedangkan yang dimaksud dengan sarana dan prasarana disini meliputi bangunan dan lahan untuk kantor camat yang dapat digunakan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat. Disamping 2 persyaratan yang sudah dijelaskan tersebut maka terdapat satu syarat lagi yaitu syarat teknis, yang meliputi jumlah penduduk, luas wilayah, rentang kendali penyelenggaraan pelayanan pemerintahan, aktifitas perekonomian dan ketersediaan sarana dan prasarana. Persyaratan teknis tersebut harus berdasarkan hasil kajian yang sudah dilakukan pemerintah kabupaten/kota sesuai indicator yang sudah ditetapkan.   D. Pelayanan Publik Pelayanan publik dapat diartikan sebagai pemberian layanan (melayani) keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan. Menurut Lay, sebagaimana dikemukakan oleh Ratminto dan Atik Septi Winarsih (2005 : 56), dalam ilmu politik dan administrasi publik, pelayanan publik atau pelayanan umum merupakan istilah yang mengambarkan bentuk dan jenis pelayanan pemerintah kepada masyarakat atas dasar kepentingan umum. Pengertian  pelayanan umum menurut Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63/KEP/M.PAN/&/2003 adalah segala kegiatan pelayanan yang dimaksudkan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan perundang-undangan. Adapun yang dimaksud penyelenggaraan pelayanan publik adalah Instansi Pemerintah. Pada hakekatnya Pemerintahan adalah pelayanan kepada masyarakat, oleh karenanya birokrasi publik berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan layanan baik dan profesional. Pelayanan publik (public services) oleh birokrasi public adalah merupakan salah satu perwujudan dari fungsi aparatur negara sebagai abdi masyarakat di samping sebagai abdi negara dengan maksud untuk mensejahterakan masyarakat. Menurut Kamus Bahasa Indonesia dinyatakan bahwa pelayanan ialah suatu usaha untuk membantu menyiapkan atau mengurus apa yang diperlukan orang lain. Dalam pelayanan yang disebut konsumen (customer) adalah masyarakat yang mendapat manfaat dari aktifitas yang dilakukan oleh organisasi atau petugas organisasi pemberi pelayanan. Selanjutnya, pelayanan publik berdasarkan SK MenPan No.81/1993 adalah segala bentuk kegiatan pelayanan umum yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah dan BUMN/D dalam bentuk barang dan jasa, baik kebutuhan masyarakat, maupun pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan. E. Administrasi Kependudukan Berdasarkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006, Administrasi Kependudukan adalah rangkaian kegiatan penataan dan penertiban dalam penerbitan dokumen dan data kependudukan melalui pendaftaran penduduk, pencatatan sipil dan pengelolaan informasi serta pendayagunaan hasilnya untuk pelayanan publik dan pembangunan. Dimana pendaftaran penduduk adalah pencatatan biodata penduduk, pencatatan atas pelaporan peristiwa kependudukan. Dokumen kependudukan dapat berupa kartu indentitas atau surat keterangan kependudukan. Dokumen kependudukan merupakan dokumen resmi yang diterbitkan oleh instansi pelaksana yang mempunyai kekuatan hukum sebagai alat bukti autentik yang dihasilkan dari pelayanan pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil. Peristiwa kependudukan meliputi pindah datang, perubahan alamat, serta status tinggal terbatas menjadi tinggal tetap yang dialami penduduk harus dilaporkan karena membawa akibat terhadap penerbitan atau perubahan kartu keluarga, kartu tanda penduduk dan/atau surat keterangan kependudukan lainnya. Pendaftaran penduduk dilakukan pada instansi pelaksana yang daerah tugasnya meliputi domisili atau tempat tinggal penduduk. Pendaftaran penduduk melayani Penerbitan Kartu Keluarga (KK), melayani penerbitan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan melayani peristiwa kependudukan/mutasi penduduk.     F. Kartu Keluarga Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006, tentang Administrasi Kependudukan serta Peraturan Presiden No. 25 Tahun 2008, tentang persyaratan tata cara pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil, dikatakan Kartu Keluarga adalah Kartu Identitas Keluarga yang memuat data tentang susunan hubungan dan jumlah anggota keluarga. Kartu Keluarga wajib dimiliki oleh setiap keluarga. Kartu ini berisi data lengkap tentang identitas Kepala Keluarga dan anggota keluarganya. Kartu keluarga dicetak rangkap 3 yang masing-masing dipegang oleh Kepala Keluarga, Ketua RT dan Kantor Kelurahan. Kartu Keluarga (KK) adalah Dokumen milik Pemda Propinsi setempat dan karena itu tidak boleh mencoret, mengubah, mengganti, menambah isi data yang tercantum dalam Kartu Keluarga. Setiap terjadi perubahan karena mutasi data dan mutasi biodata, wajib dilaporkan kepada Lurah dan akan diterbitkan Kartu Keluarga (KK) yang baru. Pendatang baru yang belum mendaftarkan diri atau belum berstatus penduduk setempat, nama dan identitasnya tidak boleh dicantumkan dalan Kartu Keluarga. METODOLOGI  PENELITIAN A. Metode Penelitian Penelitian ini disusun berdasarkan metode kualitatif yang lebih bersifat deskriptif.  Metode kualitatif digunakan untuk meneliti kondisi objek alamiah yang yang didasarkan pada fakta-fakta yang ada (Sugioyono,2006). Sebagaimana suatu penelitian dibidang pengetahuan sosial maka model penelitian ini dinyatakan dalam ciri-ciri sebagai berikut : Memusatkan perhatian pada masalah yang ada saat penelitian dilakukan atau masalah-masalah aktual.Menggambarkan tentang masalah yang diselidiki sebagaimana adanya diiringi dengan interpretasi rasional yang cermat dan teliti (Nawawi,1995).   B.  Fokus Penelitian Dalam penelitian kualitatif terdapat fokus penelitian yang membatasi  masalah untuk diteliti. Pada penelitian ini fokus yang ditetapkan adalah melihat dampak pemekaran wilayah kecamatan Tombariri Timur terhadap pelayanan public khususnya pelayanan administrasi pengurusan Kartu Keluarga di kantor kecamatan Tombariri Timur.   C. Instrumen Penelitian Dalam penelitian ini, yang menjadi instrumen penelitian adalah peneliti itu sendiri. Menurut Sugioyono (2006), pada penelitian kualitatif peneliti sebagai human instrumen berfungsi menetapkan fokus penelitian, memilih informan sebagai sumber data, melakukan pengumpulan data, menilai kualitas data, analisis data, menafsirkan dan membuat kesimpulan atas temuannya.   D. Teknik Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dengan observasi, wawancara langsung dengan informan kunci dan triangulasi. Pendekatan yang diajukan dalam wawancara yakni menggunakan petunjuk umum wawancara dengan membuat kerangka dan garis-garis besar pokok-pokok yang ditanyakan dalam proses wawancara yang terfokus pada permasalahan penelitian (Patton dalam Moleong, 2001). Disamping kedua tehnik ini digunakan juga studi kepustakaan untuk memperoleh data sekunder yang berasal dari berbagai laporan, terbitan, buletin dan sebagainya yang dianggap relevan dengan penelitian ini.   F.  Teknik Analisis Data Data yang berhasil dikumpulkan diolah dan dianalisis dengan tahapan-tahapan sebagai berikut : Mengedit data, pada tahapan ini seluruh data sudah terkumpul baik melalui wawancara maupun pengamatan, langsung diadakan pengeditan. Pengeditan dilakukan pada akhir-akhir proses pengamatan dan wawancara.Reduksi data, dilakukan setelah data dibaca, dipelihara dan diteliti kembali dengan cara membuat abstraksi. Abstraksi merupakan usaha membuat rangkuman inti penelitian.Mengkategorikan dalam satuan-satuan, pengkategorian ini berdasarkan sumber-sumber data, teristimewa data yang diperoleh dari hasil wawancara dan pengamatan. Selanjutnya data tersebut disusun dalam bentuk satuan-satuan yang menyangkut sumber, jenis informan, lokasi da memilah-milah menjadi kategori tertentu atas dasar pemikiran, intuisi dan pendapat berdasarkan fokus penelitian kemudian diberikan kode untuk menjaga kerahasiaan informan.Penafsiran data, dilakukan sepanjang penelitian, dimana setiap data yang terkumpul langsung dilakukan penafsiran. Data kegiatan ini dilakukan setelah proses wawancara dan pengamatan diklasifikasikan untuk memperjelas data agar setiap data yang diperoleh dianggap bermakna.Menguji keabsahan data, ini dilakukan dengan cara membaca kembali dokumen-dokumen tertulis yang dikumpulkan kemudian dibandingkan dengan data yag diperoleh dari hasil wawancara dan pengamatan.Penarikan kesimpulan, diawali dengan menetapkan pola hubungan  lain dan lain-lain yang terfokus pada jawaban atas permasalahan yang telah dirumuskan sebelumnya sekaligus menjawab tujuan penelitian. HASIL DAN PEMBAHASAN   A. HASIL PENELITIAN A.1. Pemekaran Wilayah Dan Pelayanan Publik Pemekaran wilayah pada dasarnya bertujuan untuk lebih mendekatkan jarak antara pemerintah sebagai pelaksana pelayanan public dengan masyarakat sebagai penerima pelayanan. Pemekaran wilayah juga bertujuan untuk menjadikan pelayanan public bisa menjadi lebih efektif dan efisien. Namun yang sebenarnya yang menjadi tujuan utama dari pemekaran wilayah adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat di wilayah yang dimekarkan. Ironisnya, tidak sedikit yang terjadi  pada wilayah yang baru dimekarkan justru beberapa fungsi pelayanan public tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa hal diantaranya kesiapan dari aparatur yang ditempatkan diwilayah yang baru dimekarkan itu. Salah satu masalah utama yang sering ditemui di wilayah-wilayah yang baru dimekarkan biasanya adalah kendala dalam mengisi struktur-struktur pemerintahan yang berfungsi melakukan pelayanan public. Hal ini jelas berdampak pada penyelenggaraan pelayanan public bagi masyarakat. Masyarakat sebagai pihak yang dilayani tentunya mengharapkan bisa mendapatkan pelayanan yang maksimal dari pihak-pihak yang sudah diberikan wewenang untuk itu. Pihak-pihak dimaksud adalah aparat pemerintah khususnya dalam hal ini yaitu aparatur pemerintah kecamatan termasuk di Kecamatan Tombariri Timur. Pemekaran wilayah selayaknya sudah melalui pertimbangan-pertimbangan disamping memperhatikan persyaratan yang sudah diatur pemerintah dalam PP No. 129 tahun 2000 yang telah disempurnakan dengan PP No. 17 Tahun 2008 tentang pembentukan suatu daerah otonom. Dalam peraturan pemerintah tersebut sudah diatur bahwa pembentukan daerah otonom yang baru dimungkinkan dan harus memenuhi faktor-faktor antara lain : kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah disamping factor lain yaitu keamanan dan ketertiban, sarana dan prasarana, rentang kendali yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah seperti yang diharapkan. Dalam melakukan penelitian tentang dampak pemekaran wilayah Tombariri Timur terhadap pelayanan public, penulis melakukan wawancara mendalam (deep interview) dengan beberapa pihak yang penulis anggap bisa memberikan data tentang objek yang diteliti. Pihak-pihak yang dimaksud selain dari pemerintah kecamatan sebagai penyedia pelayanan di kecamatan Tombariri Timur, juga beberapa pihak yang merupakan penerima layanan di kecamatan yang dalam hal ini anggota masyarakat. Dari hasil wawancara yang dilakukan diperoleh kesimpulan : -          Informan FT. (42 tahun), tingkat pendidikan S1, selaku Camat  Kecamatan Tombariri Timur Berdasarkan hasil wawancara untuk mengetahui bagaimanakah dampak pemekaran wilayah Kecamatan Tombariri Timur terhadap pelayanan public khususnya pelayanan administrasi kependudukan yang dalam penelitian ini di fokuskan pada pembuatan Kartu Keluarga yang dilakukan aparat pemerintah kecamatan Tombariri Timur kepada masyarakat, FT mengatakan : “ Setelah ditetapkan menjadi kecamatan, warga Tombariri Timur jelas terbantu, karena jarak menuju kantor untuk mereka mengurus administrasi kependudukan termasuk Kartu Keluarga menjadi lebih dekat. Sebagai pemerintah yang diamanatkan rakyat, kami berusaha menjalankan tugas kami dengan semaksimal mungkin sesuai dengan peraturan yang ada. Dalam melayani masyarakat khususnya dalam setiap pengurusan hal-hal yang menyangkut administrasi kependudukan, kami berusaha memenuhi akan setiap kebutuhan masyarakat tentunya dengan mekanisme dan ketentuan yang ada. Dalam proses pembuatan Kartu Keluarga, sebagai pelayan masyarakat kami selalu mengsosialisasikan pada pada masyarakat akan persyaratan yang dibutuhkan dan ini juga berlaku untuk setiap pengurusan administrasi kependudukan yang lain, agar supaya dalam proses pembuatannya tidak mengalami hambatan-hambatan yang ada. Selaku aparatur pemerintah yang salah satu tugasnya melayani masyarakat, kami berusaha untuk melayani masyarakat semaksimal mungkin, dan saya selalu menginstruksikan pada seluruh staf saya, untuk menjadi pelayan masyarakat yang baik, agar proses penyelenggaraan pemerintahan yang baik dapat dicapai. Mengenai biaya dan waktu penyelesaian, hanya berupa biaya partisipasi pembuatan sebesar Rp 10.000 dan waktu penyelesaian dapat dilakukan secepat mungkin”.   -          Informan VL, (48 tahun), tingkat pendidikan S1, salah seorang staf kecamatan Tombariri Timur. Berdasarkan hasil wawancara untuk mengetahui bagaimanakah dampak pemekaran wilayah Kecamatan Tombariri Timur terhadap pelayanan public khususnya pelayanan administrasi kependudukan yang dalam penelitian ini di fokuskan pada pembuatan Kartu Keluarga yang dilakukan aparat pemerintah kecamatan Tombariri Timur kepada masyarakat, VL mengatakan : “ Dalam proses pembuatan kartu keluarga tidaklah memiliki banyak persyaratan, adapun persyaratan-persyaratan yang harus disediakan masyarakat hanyalah surat keterangan dari kepala desa/lurah, akte perkawinan, dan mengisi formulir permohonan pembuatan kartu keluarga yang disediakan oleh pemerintah kecamatan, selanjutnya pemerintah kecamatan meneruskan permohonan pembuatan kartu keluarga, dalam hal ini di dinas capil. Dalam proses pembuatan kartu keluarga sampai selesai memakan waktu 3hari, namun agar proses pembuatan dapat dengan cepat, masyarakat dapat membuatnya langsung di dinas capil. Dan untuk biaya administrasi dalam proses pembuatan kartu keluarga yaitu Rp 10.000. didalam menjawab akan setiap kebutuhan masyarakat, tentunya kami sebagai pemerintah berusaha semaksimal mungkin sesuai dengan peraturan yang ada untuk melayani akan setiap kebutuhan masyarakat dengan sebaik-baiknya”.   -          Informan SY, (30 tahun), tingkat pendidikan S1, salah seorang warga Tombariri Timur. “Memang setelah sudah ada kantor kecamatan yang lebih dekat seperti sekarang jelas sudah lebih enak untuk mengurus surat-surat di kecamatan. Cuma kalau menyangkut aspek-aspek dalam pelayanan itu masih relative. Karena yang berubah cuma jarak dari rumah dengan kantor kecamatan saja”.       A.2. Aspek-Aspek Dalam Pelayanan Publik. Kepuasan dan kenyamanan atas sebuah layanan publik tentunya tidak mutlak hanya milik segelintir orang saja selayaknya hal itu menjadi milik semua pihak. Penyelenggaraan pelayanan publik yang berkeadilan sudah menjadi dambaan dan harapan serta dinantikan oleh warga masyarakat sebagai pengguna layanan. Sudah menjadi sebuah keharusan bagi para elit birokrasi dan aparatur pemerintah untuk terus menapaki proses belajar sosial yang mengarah pada kualitas layanan publik sesuai dengan apa yang telah diamanatkan dalam UU No. 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik. Pelayanan publik yang dilakukan juga harus berdasarkan pada prinsip-prinsip penyelenggaran pelayanan publik di Indonesia yang diatur dalam Kepmenpan No. 63/KEP/M.PAN/7/2003 Tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik yakni prinsip kesederhanaan, kejelasan, kepastian waktu, akurasi, keamanan, tanggung jawab, kelengkapan sarana dan prasarana kerja, kemudahan akses, K3 (kedisiplinan, kesopanan, dan keramahan), dan kenyamanan. Kecamatan Tombariri Timur sebagai salah satu wilayah yang baru dimekarkan, dalam menjalankan fungsi pelayanan publiknya juga dituntut agar dapat memperhatikan aspek-aspek tersebut karena hal itu menyangkut efektif dan efisiennya sebuah pelayanan public. Untuk mengetahui hal ini penulis melakukan wawancara dengan beberapa pihak yang dianggap memiliki kapasitas dalam pemberian data yang diteliti. Dari hasil wawancara yang dilakukan, untuk apakah prinsip-prinsip pelayanan seperti yang disyaratkan oleh Kepmenpan No. 63 Tahun 2003, tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik, sudah dijalankan sebagaimana dengan seharusnya, diperoleh kesimpulan yang dapat dijabarkan sebagai berikut: a. Aspek Kesederhanaan, Aspek kesederhanaan yang dimaksud disini adalah apakah tatacara pelayanan yang dilakukan bersifat mudah, lancar, tepat, tidak berbelit-belit serta mudah dipahami oleh masyarakat. Dari aspek ini setelah dianalisa berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan, bahwa pelayanan yang dilakukan oleh aparatur pemerintah Kecamatan Tombariri Timur dalam proses pembuatan Kartu Keluarga sudah dilakukan dengan baik, dengan memberikan pelayanan dengan baik sesuai dengan ketentuan yang ada, dan tidak mempersulit warga masyarakat. Hal ini dibuktikan lewat wawancara yang dilakukan pada Informan VR (45 tahun), salah satu staf kantor kecamatan Tombariri Timur, dimana hasil yang didapatkan : “Dalam memberikan pelayanan pada masyarakat kami selalu melakukannya dengan sebaik mungkin dengan tidak mempersulit setiap masyarakat yang membutukan pelayanan kami, dalam proses pelayanan yang menyangkut administasi kependudukan, menyangkut Kartu Keluarga misalnya masyarakat hanya perlu menyediakan syarat-syarat yait:, surat keterangan dari kepala desa, akte nikah, dan mengisi formulir permohonan pembuatan kartu keluarga yang disediakan oleh kecamatan, dan didalam pelayanan yang ada kami tidak melakukan pungutan selain biaya adminitrasi yang ada”.   Pernyatan salah satu staf tersebut kembali dibuktikan lewat wawancara yang dilakukan pada informan TP (47 tahun) salah seorang warga Tombariri Timur, yang mengatakan : ”Pelayanan yang diberikan pada saya oleh petugas kecamatan menurut saya sudah baik, dimana pada saat saya menyediakan syarat-syarat administrasi untuk membuat Kartu Keluarga, secara lengkap, petugas pun dengan sigap melayani saya dengan segera memberikan formulir untuk di isi dan memberikan arahan-arahan bagaimana mengisi formulir dengan baik agar tidak terjadi kesalahan dalam pengisian”.   Dengan demikian dapat dikatakan pelayanan yang diberikan dilihat dari aspek kesederhanaan sudah baik, dimana pelayanan mudah, yang tidak melalui proses yang rumit serta lancar tanpa adanya sikap yang berbelit-belit, sehingga masyarakat pun merasa nyaman dan puas terhadap pelayanan yang diberikan.   b. Aspek Kecakapan Dan Kehandalan Petugas Pelayanan Suatu pelayanan agar bisa maksimal tentunya dipengaruhi oleh bagaimana kecakapan dan kehandalan petugas yang menjalankan pelayanan. Artinya petugas yang berfungsi melakukan pelayanan hendaknya menguasai keterampilan serta pengetahuan pelayanan yang dibutuhkan, sesuai dengan jenis pelayanan yang diberikan. Dari hasil wawancara yang dilakukan pada informan ER (37 tahun), salah satu petugas kecamatan Tombariri Timur : ”Pada saat masyarakat akan melakukan pembuatan kartu keluarga, aparat/petugas segera memberitahu persyaratan yang ada dan proses yang akan dilalui oleh masyarakat, dengan demikian masyarakat pun mengetahui dan mengerti mengenai layanan yang dia butuhkan, disamping itu juga bagaimana aparat/petugas selalu memberi tahu masyarakat mengenai jenis pelayanan dan apa saja yang harus disediakan masyarakat misalnya didalam pembuatan kartu keluarga, masyarakat harus menyediakan surat keterangan dari kepala desa, akte nikah, dan nantinya akan mengisi formulir permohonan kartu keluarga”. Dari aspek ini, dapat dikatakan bahwa keterampilan dan keahlian aparat/petugas Kecamatan dalam memberikan pelayanan pada masyarakat sudah baik, hal ini dibuktikan dengan keterampilan dan pelayanan sesuai dengan yang dibutuhkan, dimana dalam proses pembuatan Kartu Keluarga aparat mengetahui segala jenis persyaratan yang dibutuhkan dan juga semua persyaratan yang lain sesuai dengan jenis pelayanan.   c. Aspek Keramahan Suatu aspek penting yang juga menentukan apakah pelayanan yang diberikan sudah berkualitas adalah sikap yang ditunjukan atau bagaimana perlakuan petugas pelayanan didalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, baik dari kesabaran menghadapi masyarakat, penuh perhatian, empati dan persahabatan, sehingga pelayanan yang bersifat ramah terhadap masyarakat dapat terwujud. Dari hasil wawancara yang dilakukan pada informan RM ( 32 tahun), salah seorang warga masyarakat,  pada saat akan mengurus proses administrasi untuk membuat Kartu Keluarga, di kantor kecamatan Tombariri Timur, mengatakan : ”Sikap yang ditunjukan oleh petugas yang ada, dengan memberikan salam yang menandakan sikap persahabatan, dan juga bagaimana tutur kata saat melakukan komunikasi dengan masyarakat, dan juga cara pelayanan yang dilakukan pada saat masyarakat belum jelas dan mengerti mengenai persyaratan yang dibutuhkan, dengan sikap yang sopan dengan tutur kata yang baik, petugas pun memberikan penjelasan dengan baik dan masyarakat pun merasa nyaman merasa bahwa dirinya dihargai dan dihormati lewat sikap yang ditunjukan.” Dari aspek ini, dapat disimpulkan bahwa, pelayanan yang dilakukan oleh aparatur Pemerintah Kecamatan Tombariri Timur dalam proses pembuatan Kartu Keluarga sudah baik dengan menunjukan sikap yang ramah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.   d. Aspek Kejelasan Dan Kepastian Pelayanan Aspek kejelasan dan kepastian dalam pelayanan khususnya yang menyangkut biaya atau ongkos dalam memperoleh pelayanan merupakan hal yang penting dalam sebuah proses pelayanan.  Di kecamatan Tombariri Timur, dari aspek ini dapat disimpulkan bahwa kejelasan mengenai biaya pelayanan dalam mengurus Kartu Keluarga masih pada taraf yang wajar tanpa ada pungutan atau apapun itu yang harus dibayarkan oleh masyarakat. Kesimpulan tersebut diperoleh penulis setelah melakukan wawancara dengan informan FR (43 tahun), salah satu petugas kecamatan dimana ia mengatakan: ”Biaya administrasi yang dikenakan pada masyarakat masih pada taraf yang wajar yaitu Rp10.000 dan tidak ada pungutan lain selain biaya administasi tersebut.   Pendapat yang sama juga dikatakan oleh informan KM (27 tahun) salah seorang warga masyarakat yang ketika penulis melakukan penelitian kebetulan sedang mengurus Kartu Keluarga di Kecamatan Tombariri Timur, menurutnya pengakuannya : ” Biaya yang saya bayar pada saat proses administrasi untuk pembuatan Kartu Keluarga sebesar Rp 10.000 dan aparat atau petugas kecamatan tidak melakukan pungutan-pungutan lain selain biaya administrasi tersebut.”   Hal yang sama juga dikatakan oleh beberapa warga masyarakat yang sempat ditemui penulis saat melakukan penelitian. Namun mengenai waktu selesai dalam proses pembuatan Kartu Keluarga perlu mendapat perhatian oleh pemerintah. Hal itu terkait dari hasil penelitian yang dilakukan, belum ditemukannya kejelasan dan kepastian pelayanan mengenai waktu selesai. Dari wawancara yang dilakukan pada beberapa warga masyarakat diperoleh waktu  yang bervariasi. Menurut pengakuan informan NU (45 tahun), salah seorang warga yang mengurus Kartu Keluarga ketika di wawancara penulis, mengatakan : ” waktu yang yang dibutuhkan ada yang 1 jam, 45 menit, bahkan ada yang sampai 2 jam”.   Padahal dari wawancara yang dilakukan pada petugas kecamatan, mereka mengatakan bahwa waktu yang dibutuhkan dalam proses administrasi pembuatan Kartu Keluarga yaitu hanya 15 sampai 20 menit saja. Terdapat variasai waktu yang ditemukan, namun menurut mereka hal itu masih pada taraf yang wajar karena tidak sampai berhari-hari.   e. Aspek Ekonomis Aspek ekonomis di sini yang dimaksud adalah berapa biaya dan tenaga yang dibutuhkan dalam pengurusan administrasi Kartu Keluarga. Biaya menyangkut ongkos yang diperlukan dalam mengurus administrasi Kartu Keluarga.  Tenaga di sini dimaksudkan adalah berapa pihak yang harus dilalui dalam pengurusan adminstrasi Kartu Keluarga tersebut. Dapat dikatakan bahwa pelayanan yang diberikan oleh aparatur Pemerintah Kecamatan Tombariri Timur dalam proses pembuatan Kartu Keluarga sudah sesuai dengan ketentuan yang ada dan pengenaan biaya pada taraf yang wajar dan sesuai dengan ketentuan yang ada, namun tidak bisa dipungkiri bahwa, dalam proses pelayanan yang ada, masyarakat masih ada yang memberikan uang kepada petugas dengan harapan petugas bisa memberikan layanan ekstra. Padahal menyangkut biaya sebagaimana yang sudah dijelaskan dari aspek kejelasan mengenai biaya administrasi yang dikenakan berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada masyarakat dan petugas kecamatan yaitu sebesar Rp 10.000 (sepuluh ribu rupiah), tanpa ada pungutan lain atau biaya lain diluar biaya administrasi tersebut. Hal ini seperti yang dijelaskan oleh AR : “Sebenarnya menyangkut prosedur dan biaya pengurusan sudah jelas diatur bahkan sudah ditempel di dinding, namun terkadang masih ada saja masyarakat yang mencoba untuk menyogok petugas agar mendapat pelayanan ekstra”.   f.   Kelengkapan sarana dan prasarana kerja Berdasarkan observasi yang dilakukan penulis terlihat bahwa sarana dan prasarana pendukung kantor sudah cukup tersedia. Ketersediaan sarana dan prasarana seperti alat tulis kantor, meja, kursi, telepon, komputer, dan printer yang berada pada kantor dirasakan sudah cukup untuk membantu penyelesaian pekerjaan sehingga tidak ada pekerjaan yang terbengkalai akibat tidak adanya peralatan yang dibutuhkan segera. Hal ini seperti pengakuan dari salah seorang petugas DT kepada peneliti : “Kalau sarana prasarana yang tersedia di kantor sudah cukup sehingga tidak ada alasan untuk menghambat proses pelayanan”. g.   Kemudahan Akses -     Ketersediaan Angkutan Umum Menuju Lokasi Kantor Pengguna pelayanan umumnya mengatakan ketersediaan angkutan umum sudah cukup, dikarenakan untuk perjalanan dari tempat tinggalnya umumnya sudah ada. Hal ini seperti yang diakui oleh JR : “Jika dibandingkan dengan sebelum dimekarkan untuk mencapai lokasi kantor tempat pengurusan relatif lebih dekat dan kendaraan umum yang lewat dikantor ini banyak”.   -     Kondisi Jalan Menuju Kantor Masyarakat pengguna pelayanan menyatakan bahwa kondisi jalan menuju kantor sudah cukup baik, walaupun pada beberapa koridor jalan masih ada jalan yang rusak. Namun perbaikan jalan menuju lokasi banyak dijalankan seperti penambalan lubang, penambahan lebar jalan, atau pengaspalan walaupun belum menjangkau seluruh koridor jalan yang ada. Hal ini juga sesuai dengan hasil observasi yang penulis lakukan. Selain itu hal ini sejalan dengan pengakuan dari RM : “Walaupun kondisi jalan ini belum dapat dikatakan baik, namun terlihat berbagai usaha pemerintah untuk melakukan perbaikan sudah dilakukan, seperti pelabaran dan penambalan lubang-lubang yang ada”.   h.  Kenyamanan Keyamanan merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam suatu proses pelayanan public. Hal itu bisa tercermin diantaranya dari : -     Kondisi kantor yang berkaitan dengan kebersihan dan keindahan. Pengguna pelayanan menyatakan bahwa kondisi kantor seperti kebersihan dan keindahan, secara keseluruhan sudah baik, hal ini dikarenakan kondisi bangunan kantor yang masih baru dibangun dan digunakan. Akan tetapi, pemeliharaan kondisi kantor sangat diperlukan lebih lanjut dikarenakan pada kantor sudah mulai terlihat kotoran tinta dan kertas, dinding sudah mulai ada yang retak, dan kaca yang berdebu. Mengenai kondisi kantor yang terkait dengan kebersihan juga diakui oleh beberapa masyarakat yang sempat ditemui oleh peneliti, seperti JK yang mengatakan : “ Kebersihan kantor sangat baik walaupun dibeberapa dinding sudah terlihat agak kotor. Ini kan masih kantor baru, jadi masih kelihatan bersih”   -       Ketersediaan fasilitas pendukung seperti ruang tunggu, parkir, toilet. Pengguna pelayanan beranggapan bahwa ketersediaan fasilitas pendukung seperti ruang tunggu, parkir, toilet, dan tempat ibadah dirasakan oleh pengguna sudah cukup. Akan tetapi, pengguna banyak yang complain/mengeluh terhadap ruang tunggu yang minim atau tempat duduk yang dirasakan masih kurang banyak untuk memfasilitasi pengguna pelayanan yang datang. Pengakuan terkait dengan hal tersebut seperti yang diungkapkan oleh beberapa anggota masyarakat yang sempat ditemui oleh peneliti, diantaranya FR, yang mengatakan : “ Ini kantor so bagus cuma kwa de pe ruang tunggu kacili deng de pe kursi masih kurangcaba lia banya orang yang dating baurus so nyanda dapa tampa dudu for batunggu. Seharusnya rupa itu kursi harus tamba supaya masyarakat yang datang ba urus bisa antri sesuai dengan de no antrian deng supaya tertib nyanda kaluar maso seperti sekarang”. B. PEMBAHASAN Seperti yang diungkapkan oleh Maarif (2003) bahwasanya Pemekaran wilayah secara Formal/Konstitusional adalah untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintah di daerah terutama dalam pelaksanaan pembangunan dan pelayanan pemerintahan didaerah terutama dalam peningkatan pelaksanaan pelayanan terhadap masyarakat serta meningkatkan kestabilan politik dan kesatuan bangsa. Dari hasil temuan di lapangan yang diperoleh, dampak dari pemekaran wilayah kecamatan Tombariri Timur terhadap pelayanan public sudah dapat  dikatakan tidak ada masalah walaupun dibeberapa aspek pelayanan masih belum sesuai dengan yang diharapkan oleh masyarakat, apalagi sesuai dengan konsep pelayanan public yang ideal. Namun begitu berbagai usaha pemerintah daerah dalam upaya peningkatan kaulitas pelayanan sudah terlihat dan dilakukan dengan bersungguh-sungguh walaupun masih jauh dari sempurna. Hal tersebut juga diakui oleh beberapa informan yang sempat ditemui oleh peneliti mereka pada dasarnya dapat memaklumi hal tersebut karena pemekaran wilayah ini masih baru dilakukan ketika peneliti melakukan penelitian. Hal itu seperti yang diungkapkan oleh MT (45) ketika ditanya oleh peneliti mengenai pelayanan yang masih belum sesuai dengan yang diharapkan. Menurut MT : Kalo dilihat dari pelayanan yang diberikan oleh petugas saat pengurusan Kartu Keluarga memang masih jauh dari sempurna, karena seringkali waktu menjadi masalah terbesar yang sering dialami oleh masyarakat. Namun hal itu dapat dipahami oleh masyarakat karena jumlah petugas yang ada juga terkait dengan pengalaman dari petugas yang melayani. Selain MT sebagian besar informan yang ditemui peneliti mempunyai pendapat serupa mengenai dampak pemekaran wilayah mereka menjadi kecamatan sendiri terhadap pelayanan public yang tersedia sekarang.  Sebagian besar mengatakan bahwa pelayanan public sudah lebih baik dari sebelum wilayah mereka di mekarkan. Walaupun demikian, menurut mereka masih ada beberapa aspek pelayanan yang memerlukan perbaikan seperti dari aspek kesederhanaan, kejelasan, kepastian waktu, dan kemudahan akses dalam proses pelayanan public khususnya dalam pengurusan administrasi pembuatan Kartu Keluarga. Penilaian masyarakat terhadap kualitas penyelenggaraan pelayanan public yang menurut mereka sudah baik tersebut, didasarkan pada penilainan mereka terhadap prosedur pelayanan yang mudah dipahami dan dilaksanakan,  pengetahuan petugas bagian yang akan mengurusi, pegawai berkompeten terhadap tugas dan fungsinya, pegawai mudah ditemui, urusan sesuai dengan yang dikehendaki, adanya bukti tanda terima yang diberikan, pegawai bertanggung jawab terhadap penyelesaiaan urusan, keluhan mengenai proses pelaksanaan urusan diterima dan diproses lebih lanjut, ketersediaan sarana dan prasarana pendukung kantor yang cukup, ketersediaan angkutan umum menuju lokasi kantor cukup, kondisi jalan menuju lokasi kantor cukup, penampilan pegawai kantor bersih dan rapih, perilaku pegawai ramah dan sopan, kondisi kantor seperti kebersihan, keindahan, dan kenyamanan yang baik, dan ketersediaan fasilitas pendukung yang cukup. PENUTUP A. Kesimpulan Dampak dari pemekaran wilayah Tombariri Timur terhadap pelayanan public sudah dapat dikatakan baik walaupun masih jauh dari ideal.Berbagai usaha untuk meningkatkan pelayanan public oleh pemerintah daerah sudah dapat dikatakan berjalan baik namun masih diperlukan berbagai usaha maksimal untuk lebih mendekatkan tujuan pemekaran wilayah ini dengan pelayanan public.B. Saran 1.   Perlu adanya kejelasan prosedur pelayanan publik sehingga tidak ada kesan kalau pegawai berusaha untuk mempersulit prosedur pelayanan. 2.   Adanya transparansi biaya yang dikeluarkan sehingga pada akhir pelayanan tidak ada pungutan liar yang tidak sesuai dengan kesepakatan yang telah disetujui sebelumnya. 3.   Adanya kepastian waktu penyelesaiaan urusan sesuai waktu yang telah dijanjikan jangan melewati waktu yang dijanjikan atau bahkan lebih cepat dari waktu yang dijanjikan. 4.   Adanya kejelasan dalam hal persyaratan teknis dan administratif yang diberikan oleh pegawai sehingga masyarakat pengguna menjadi jelas dan mengerti. 5.   Pegawai sebaiknya berkomitmen dan berkompeten dalam menyelesaikan urusan sesuai dengan yang dikehendaki pengguna pelayanan. DAFTAR  PUSTAKA A. Buku Dan Artikel G T Liang (2003), Pertumbuhan Pemerintahan Daerah Negara RI, Liberti Yogyakarta. Maarif, S, (2003), Strategi Peningkatan Kompetensi Aparatur Guna Mengantisipasi Kebutuhan Sektor Pelayanan Publik, STIA LAN, Bandung. Moleong. L.T, (2001),  Metodologi Penelitian Kualitatif. PT. Rineka Rosda   Karya Bandung. Nawawi. H, (1995), Metodologi Penelitian Bidang Sosial. Gadjah Mada  University Press, Yokyakarta. Pamudji (2000), Kepemimpinan Pemerintahan di Indonesia, Balai Pustaka Indonesia, Jakarta. Ratminto dan Atik Septi Winarsih. (2005),  Manajemen Pelayanan, Yogyakarta:  Pustaka Belajar. Sugioyono, (2006),  Metode Penelitian Kuantitatif Dan Kualitatif R&D Pitabeta, Bandung. W.J.S Poerwadarminta, (2005), Kamus besar Bahasa Indonesia. B. Peraturan Perundangan : UU No. 22 Tahun 1999, Tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006, Tentang Administrasi Kependudukan UU No. 32 Tahun 2004, Tentang Pemerintahan Daerah. Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2008 tentang pembentukan suatu daerah otonom Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2008, tentang Kecamatan Peraturan Pemerintah No 78 Tahun 2007, pemekaran daerah/wilayah Peraturan Pemerintah No. 129 Tahun 2000, tentang persyaratan pembentukan dan kriteria pemekaran, penghapusan dan pengabungan daerah Peraturan Presiden No. 25 Tahun 2008, tentang persyaratan tata cara pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63/KEP/M.PAN/&/2003 Tentang Pengertian Pelayanan Umum Surat Keputusan  Menteri Pendayaan Aparatur Negara No.81 Tahun 1993, Tentang Pelayanan Publik Peraturan Daerah Kabupaten Minahasa No. 3 Tahun 2012, tentang Pembentukan Kecamatan Tombariri Timur.                
KINERJA DINAS PENDIDIKAN PEMUDA DAN OLAHRAGA DALAM PEMBERDAYAAN GENERASI MUDA (Suatu Studi di Kecamatan Motoling Kab. Minahasa Selatan) Paat, Rommy
JURNAL POLITICO Vol 5, No 1 (2016): Februari 2016
Publisher : JURNAL POLITICO

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRAKPartisipasi generasi muda dalam pembangunan sangatsignifikan. Bahkan peran generasi muda diharapkan dapat menjadi pelopordalam proses pembangunan itu sendiri.Dengan melihat masalah yang ada dalam usaha pengembangangenerasi muda, didapat perlunya peran pemerintah khususnya dalam halmemberikan bekal ketrampilan, kepemimpinan, daya kreasi, patriotismeserta idealisme dan budi pekerti yang luhur bagi mereka. Untuk mencapaitujuan tersebut yang sangat diperlukan adalah salah satunya peran daridinas Pemuda dan Olahraga.Generasi muda di kecamatan Motoling menurut pengamatan penulismasih belum , padahal banyak potensi bakat yang bisa dikembangkan. Bahkanterjebak dengan situasi yang tidak menguntungkan dan sangatmemprihatinkan karena masih banyaknya pemuda yang bergaul denganminuman keras sehingga mengakibatkan tindakan kriminal, perkelahianterjadi baik antar sesama pemuda, antar masyarakat dan paling tragis adalahperkelahian antar kampung yang tentunya dapat mengakibatkan kerugianbaik materi dan kehidupan situasional yang tidak aman dan nyaman.Tentunya hal ini perlu mendapatkan perhatian yang serius daripadapemerintah daerah kabupaten Minahasa Selatan.Kata Kunci : Kinerja, DIKPORA, Pemberdayaan, dan Generasi Muda
POLA INTERAKSI SOSIAL MASYARAKAT DALAM MENUNJANG PELAKSANAAN PEMERINTAHAN DESA1 (Studi Kasus di Desa Pokol Kecamatan Tamako Kabupaten Kepulauan Sangihe) Mokodompis, Jemmy R
JURNAL POLITICO Vol 4, No 1 (2015): Februari 2015
Publisher : JURNAL POLITICO

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRAKSebagaimana dimaklumi bahwa salah satu tugas pokok pemerintah desasebagaimana tertuang dalam UU Nomor 6 tahun 2014 tentang desa adalah memimpinpenyelenggaraan pemerintahan desa. Salah satu contoh pelaksanaan hal tersebut di desaPokol yaitu melaksanakan rapat Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang)desa Pokol bersama Badan Permusyawaratan Desa, Lembaga PermberdayaanMasyarakat Desa, Tim Penggerak Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga dan tokohmasyarakat desa Pokol yang di dalam pelaksanaannya memerlukan interaksi sosialantara pemerintah dan masyarakat desa. Berdasarkan observasi awal di Desa Pokol,pelaksanaan isi PP No. 43 tahun 2014 tentang peraturan pelaksanaan UU nomor 6 tahun2014 di Desa Pokol belum berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan, dimana tidakberjalannya proses interaksi sosial melalui kontak dan komunikasi. Hasil dari penelitianini diharapkan memberikan bahan masukan bagi pemerintah desa dan masyarakat desadalam menciptakan pola interaksi sosial yang mendalam sehingga nantinya akan dapatmenunjang pelaksanaan pemerintahan desa. Selain itu, hasil penelitian ini akan dapatdipakai sebagai bahan evaluasi dalam penyelenggaraan program pemerintahan danpembangunan desa.Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif yang dimaksudkanuntuk memperoleh informasi mengenai pola interaksi sosial yang terjadi di desa Pokol.Penentuan informan di pilih sesuai dengan fokus yang akan di bahas dalam penelitianini. Kriteria penentuan informan adalah informan yang memahami dan mempunyaikaitan dengan masalah penelitian yang ada. Instrumen yang digunakan dalam penelitianini adalah daftar pertanyaan atau yang disebut dengan pola wawancara. Teknikpengumpulan data yang digunakan adalah observasi dan wawancara. Teknik analisisdata yang digunakan dalam penelitian ini lebih menekankan pada analisis kualitatif.Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa pola interaksi sosial antarapemerintah dan masyarakat desa Pokol pada umumnya sudah berjalan dengan baik,hanya ada beberapa hambatan yang membuat tidak berjalannya interaksi sosial antarapemerintah dan masyarakat desa Pokol. Untuk kemajuan bersama di kemudian hari, adabaiknya hambatan yang ditemukan ini segera di tangani agar interaksi sosial antarapemerintah dan masyarakat desa Pokol berjalan dengan lancar sehingga melaluiinteraksi sosial yang terjadi, pelaksanaan pemerintahan desa Pokol mampu di tingkatkankarena adanya dukungan dari semua pihak.Kata Kunci : Interaksi Sosial, Pemerintahan Desa
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENDIDIKAN DASAR WAJIB BELAJAR 9 TAHUN DI KABUPATEN MINAHASA UTARA Tukusan, Janto H
JURNAL POLITICO Vol 5, No 1 (2016): Februari 2016
Publisher : JURNAL POLITICO

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRAKPemerintah menyadari dengan benar akan kebutuhan peningkatan kualitas pendidikan sebagai alat meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Selain itu, pendidikan merupakan hak bagi setiap warga negara seperti tercantum dalam UUD 1945 Pasal 31. Kemudian, pada tahun 1994 pemerintah melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1994 tentang Pedoman Pelaksanaan Wajib Belajar Pendidikan Dasar. Kebijakan ini cukup berhasil meningkatkan partisipasi masyarakat dalam mengenyam pendidikan.Persoalan implementasi kebijakan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun mayoritas terjadi di daerah pedesaan. Persoalan lainnnya adalah kondisi sarana dan prasarana sekolah. Sampai tahun 2015, terdapat banyak ruang kelas yang kondisinya parah dan statusnya harus segera direnovasi.Kata Kunci : Implementasi, Wajib Belejar
PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMBANGUNAN DI DESA LESABE KECAMATAN TABUKAN SELATAN KABUPATEN KEPULAUAN SANGIHE1 Lomboh, Arthur
JURNAL POLITICO Vol 4, No 1 (2015): Februari 2015
Publisher : JURNAL POLITICO

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRAKDalam kegiatan pembangunan, partisipasi masyarakat merupakan perwujudandari kesadaran dan kepedulian serta tanggung jawab masyarakat terhadappentingnya pembangunan yang bertujuan untuk memperbaiki mutu hidup mereka.Artinya, melalui partisipasi yang diberikan, berarti benar-benar menyadari bahwakegiatan pembangunan bukanlah sekedar kewajiban yang harus dilaksanakan oleh(aparat) pemerintah sendiri, tetapi juga menuntut keterlibatan masyarakat.Partisipasi atau peran serta pada dasarnya merupakan suatu bentukketerlibatan dan keikutsertaan secara aktif dan sukarela, tumbuh berkembangnyapartisipasi dalam proses pembangunan mensyaratkan adanya kepercayaan dankesempatan yang diberikan oleh pemerintah kepada masyarakat untuk terlibatsecara aktif didalam proses pembangunan. Artinya, tumbuh dan berkembangnyapartisipasi masyarakat memberikan indikasi adanya pengakuan pemerintah bahwamasyarakat bukanlah sekedar obyek atau penikmat hasil pembangunan, melainkansubyek atau pelaku pembangunan yang memiliki kemampuan dan kemauan yangdapat diandalkan dalam setiap pembangunan.Kata Kunci: Partisipasi, Masyarakat, Pembangunan Desa
PENGARUH KECERDASAN EMOSIONAL, MOTIVASI, DAN PELATIHAN TERHADAP KINERJA APARATUR SIPIL NEGARA DI BIRO UMUM SEKRETARIAT DAERAH PROVINSI SULAWESI UTARA Cahyani, Ni Luh Putu Ani
JURNAL POLITICO Vol 6, No 1 (2017): Februari 2017
Publisher : JURNAL POLITICO

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRAKSumber Daya Manusia (SDM) adalah roda penggerak dalam suatu organisasi baik sebagai perencana, pelaku, dan penentu terwujudnya tujuan organisasi. Untuk itu dibutuhkan kualifikasi SDM yang memadai dimana kualifikasi tersebut bukan hanya dari segi kemampuan intelektual dan skill (keahlian), namun juga dari kemampuan dalam mengelola emosi (kecerdasan emosional) dan motivasi individu dalam mewujudkan tujuan organisasi. Karena kecerdasan akademis praktis tidak mengajarkan tentang kemampuan untuk menghadapi gejolak terkait dengan emosi sebagai akibat dari beban kerja yang tinggi. Dari sisi ini kecerdasan lain (kecerdasan emosional dan kecerdasan memotivasi diri) diluar kecerdasan otak menjadi penting, karena ternyata sangat berpengaruh pada kinerja. Untuk itu bagaimana pengaruh kecerdasan emosional, motivasi dan pelatihan terhadap kinerja Aparatur Sipil Negara (ASN) yang menjadi focus penelitian ini khususnya di Biro Umum Sekretariat Daerah Provinsi Sulawesi Utara menjadi menarik untuk dilakukan.Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis besaran pengaruh kecerdasan emosional, motivasi, dan pelatihan terhadap kinerja ASN di Biro Umum Sekretariat Daerah Provinsi Sulawesi Utara. Dan untuk mengidentifikasi focus penelitian ini maka konsep yang akan digunakan adalah konsep Daniel Goleman (pengaruh kecerdasan emosional), Mc. Clelland (pengaruh motivasi), dan konsep Susilo Martoyo (pengaruh pelatihan), terhadap kinerja ASN.Karena penelitian menggunakan desain kuantitatif maka Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh aparatur sipil Negara di Biro Umum Sekretariat Daerah Provinsi Sulawesi Utara, dan sampel dalam penelitian ini sebagaimana teknik sampling : stratified random sampling yang menggunakan rumus presisi dan diperoleh sampel dari golongan IV sebanyak 2 orang, golongan III 29 orang, golongan II 19 orang dan golongan I 3 orang dengan total 53 orang. Instrumen penelitian menggunakan kuesioner dengan teknik analisis data menggunakan: uji instrumen (validitas dan reliabilitas), uji asumsi klasik (uji normalitas, uji heteroskedastisitas, dan multikolinearitas) dan analisis regresi linier berganda.Hasil penelitian menunjukkan secara parsial masing-masing variabel berpengaruh signifikan terhadap kinerja yakni sebesar : 42,4%, 49,1% dan 37,1%. Secara bersama-sama kecerdasan emosional dan motivasi berpengaruh terhadap kinerja sebesar 59,7% sebagai unsur internal individu namun pelatihan tidak signifikan berpengaruh terhadap kinerja jika dibandingkan dengan kecerdasan emosional dan motivasi ditunjukkan P-value > 0,05 yakni 0,120.Kata Kunci : Kinerja, Kecerdasan Emosional, Motivasi, Pelatihan
PERAN PEMERINTAH DESA DALAM MENINGKATKAN PENDAPATAN DI DESA BOLANGITANG SATU KECAMATAN BOLANG ITANG KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW UTARA Goma, Subhan
JURNAL POLITICO Vol 4, No 1 (2015): Februari 2015
Publisher : JURNAL POLITICO

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRAKOtonomi desa sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang Tentangdesa telah memberikan kewenangan kepada desa untuk mengelola keuangan desadengan dana yang diberikan baik yang berasal dari alokasi dana desa, maupun usahausahapemerintah desa seperti membentuk badan usaha milik desa.Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peran pemerintah desa BolangitangSatu dalam meningkatkan pendapatan desa, melalui pembentukan badan usaha milikdesa sesuai dengan peran yaitu peran sebagai suatu kebijakan, yaitu kebijakanpemerintah desa dalam meningkatkan pendapatan desa, peran sebagai strategi, yaitustrategi yang digunakan oleh pemerintah desa untuk mendapatkan dukungan darimasyarakat, danperan sebagai alat komunikasi, yaitudigunakan sebagai instrumen ataualat untuk mendapatkan masukan berupa informasi dalam proses pengambilankeputusan.Hasil penelitian menunjukkan bahwa peran pemerintah desa dalam meningkatkanpendapatan desa belum sepenuhnya berhasil, hal ini dapat dibuktikan dengan belumadanya kebijakan dari pemerintah desa secara konkrit yaitu peraturan desa yangmemuat tentang pembentukan badan usaha milik desa sertapengelolaannya yang masihbelum transparan dan akuntabel sehingga belum memberikan kontribusi yang berartibagi peningkatan pendapatan di desa Bolangitang Satu.Kata Kunci: Peran, Pemerintah Desa, Pendapatan Desa.
TIPOLOGI PEMILIH MAHASISWA PADA PEMILIHAN UMUM 2019 (Suatu studi pada Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Gorontalo) Hasni, Achmad Husein
JURNAL POLITICO Vol 8, No 2 (2019): Juni 2019
Publisher : JURNAL POLITICO

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRAKSebagai masyarakat kampus yang memiliki nalar kekritisan dan sikap idealis, seharus dalammenentukan pilihan politik lebih mengarah pada perilaku yang rasional atau tipologi rasional. Namundemikian sebagai bangsa yang berbudaya, tentunya aspek nilai budaya sangat mempengaruhi pilihan politikseseorang. Hal ini pun terjadi pada mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Gorontalo dimana, dalammenentukan hak politik sebahagian besar dipengaruhi oleh pertimbangan pilihan orang tua atau lebih dikenaldengan tipologi tradisional. Pada aspek preferensi politik terdapat fenomena split ticket voting, atau pilihanpolitik mahasiswa yang berbeda diantara Pemilihan Presiden dan pemiliHan anggota DPRD tingkat Provinsidan kabupaten/Kota. Pada pemilihan presiden mereka cenderung menggunakan rasionalitas dalammenentukan pilihan politik, sedangkan pada level pemilihan anggota DPRD lebih cenderung pada tipologitradisional atau lebih pada pertimbangan orang tua. Atas fenomena tersebut maka penelitian ini menganalisisdan memetakan tipologi pemilih mahasiswa dengan tujuan menjawab pertanyaan 1) Bagaimana tipologipemilih mahasiswa FIS UNG dalam menentukan pilihan politik dan, 2) Faktor apa yang mempengaruhi tipologipemilih mahasiswa dalam menentukan hak pilih.Kata Kunci : Tipologi Pemilih, Mahasiswa, Pemilu.ABSTRACTAs a campus community that has critical reasoning and idealistic attitude, in making political choices itis more directed to rational behavior or rational typology. However, as a civilized nation, of course aspects ofcultural values greatly affect one's political choices. This also happened to students of the Faculty of SocialSciences, Gorontalo State University where, in determining political rights, it was largely influenced byconsiderations of parents' choices or better known as traditional typologies. In the aspect of political preferencethere is the phenomenon of split ticket voting, or different political choices of students between the PresidentialElection and the election of members of the Provincial and Regency / City DPRDs. In presidential elections theytend to use rationality in determining political choices, while at the election level DPRD members are moreinclined to traditional typologies or more to the consideration of parents. For this phenomenon, this studyanalyzes and maps the typology of student voters with the aim of answering questions 1) How typology of FISUNG student voters in determining political choices and, 2) What factors influence the typology of student votersin determining voting rights.Keywords: Typology of Voters, Students, Elections.
PERANAN KEPEMIMPINAN KEPALA SUKU DALAM MENGATASI KONFLIK ANTARA SUKU DANI DAN SUKU DAMAL DI KABUPATEN (Suatu Studi di Mimika Provinsi Papua) KOGOYA, UNDINUS
JURNAL POLITICO Vol 2, No 2 (2013): Juni 2013
Publisher : JURNAL POLITICO

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

1PERANAN KEPEMIMPINAN KEPALA SUKU DALAM MENGATASI KONFLIK ANTARA SUKU DANI DAN SUKU DAMAL DI KABUPATEN(Suatu Studi di Mimika Provinsi Papua)OLEH : UNDINUS KOGOYANIM : 090814015ABSTRAK Konflik yang terjadi di antara suku Dani dan suku Damal yang ada di Kabupaten Mimika di mulai sejak pertengahan tahun 2013, yaitu di daerah tambang emas dimana kedua suku ini menjadi tambang Mimika sebagai sumber mata pencaharian, berawal dari salah satu perempuan suku dani di perkosa oleh salah satu anggota suku damal, hal ini tidak dapat diterima oleh suku dani, secara spontan anggota suku dani menyerang suku damal, sehingga terjadilah perang antara suku dani dan suku damal. Kapasitas Pemerintah dalam menyelesaikan konflik antara kedua suku ini hanyalah sampai pada pendekatan persuasif, yaitu mengajak untuk dapat mendiskusikan secara baik, agar tercapai suatu kesepakatan damai, namun upaya pemerintah tersebut sampai dengan saat ini tampaknya belum berhasil, karena kedua suku yang bertikai masih semangat mudah sekali untuk terpancing sehingga perdamaianpun tidak terwujud. Penelitian ini dilakukan di wilayah Mimika yang merupakan salah satu propinsi yang ada di Papua. Karena di wilayah ini sering terjadi konflik antara kedua suku tersebut. Metode penelitan yang dipakai adalah metode deskriptif kualitatif yaitu menggambarkan berbagai faktor yang menjadi pemicu konflik dan cara serta peran yang dimainkan oleh pemerintah dalam mengatasi konflik tersebut. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya konflik antara suku dani dan suku dalam. dan untuk mengetahui penyebab ketidakmampuan kepala suku meredam amarah anggotanya. Hasil dari penelitian ini ditemukan bahwa kepala suku tidak mampu meredam konflik, serta memberikan ketenangan bagi anggota sukunya, sehingga perdamaian sulit untuk di wujudkan. Key word: Kepemimpinan, Kepala Suku, Konflik2Pendahuluan Salah satu harapan dikeluarkannya undang – undang No. 32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah, yaitu meletakkan dasar-dasar administrasi Pemerintahan Desa sehingga baik para pemimpin formal (Kepala Desa dan Pamong Desa), maupun para pemimpin informal (Kepala Suku, Pdt / Pastor dan para Tokoh) semakin tahu dan mampu menjadi pelopor dalam masyarakat, terutama dalam fungsi mereka sebagai jembatan yang menghubungkan antara kemauan pemerintah dan kepentingan masyarakat, maupun kepentingan masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lainnya. Dalam fungsi demikian mereka menjandang beban mencerna dan menerangkan kebijaksanaan – kebijaksanaan umum dan prioritas pembangunan yang dirancang oleh pemerintah kemudian menjelaskannya ke segenap anggota masyarakat. Berhasil tidaknya proses pembuatan keputusan brgantung pada peranan elit formal dan informal dalam keikutsertaan mereka dalam proses pembuatan keputusan tersebut. menurut penulis, kedua elit tersebut sebaiknya berperan dalam proses pembuatan keputusan agar di peroleh hasil keputusan yang tepat. Oleh karena itu pembuatan keputusan itu di lakukan secara cermat dengan memperhatikan langkah-langkah sebagai berikut :1. Dimusyawarahkan lebih dahulu antara elit formal dan informal dengan anggota masyarakat agar keputusan yang diambil mempunyai bobot yang berkualitas serta dapat membentuk kelompok kerja yang sesuai dengan kepentingan desa.2. Keputusan yang diambil harus jelas, tidak bersimbang siur atau bertentangan satu sama lain, dan sedapat mungkin disertai dengan cara-cara pelaksanaannya diformulasikan dalam bentuk kata-kata yang sedarahana, mudah dipahami dan berlaku untuk semua golongan masyarakat desa.3. Keputusan harus diambil dalam waktu secapat mungkin. Terlalu lama mengambil keputusan akan menimbulkan ketegangan – ketegangan masyrakat sehingga menyulitkan penjelesaiannya dikemudian hari dan akan menimbulkan masalah baru.Dalam kehidupan masyarakat, setiap individu memiliki peran sesuai dengan profesionalisme ditempat mana saja ia berada. Bahkan setiap orang diharapkan dapat berperan dalam suatu komunikasi dan setiap orang harus belajar untuk mengisi perannya. Kenyataan yang ada Suku Dani dan Suku Damal, peranan elit informal (Kepala Suku) dalam proses pengambilan keputusan cukup besar, karena pengalaman dari para kepala suku dapat mengerakkan mempengaruhi partisipasi masyarakat yang ada di desa. Partisipasi masyarakat3merupakan modal yang besar dan sangat diperlukan dalam pelaksanaan pembangunan. Disamping sikap dan motivasi dari para elit informal juga turut mempengaruhi pelaksanaan pembangunan didesa dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Apabila dugaan ini benar maka kondisi – kondisi tersebut memberikan kontribusi yang besar dalam proses pengambilan keputusan. Konflik yang terjadi diantara Suku Dani dan Suku Damal yang ada di Kabupaten Timika, di mulai sejak Tahun 1997, yaitu didaerah tambang emas dimana kedua suku ini menjadikan Timika sebagai sumber mata pencaharian, berawal dari salah satu perempuan suku Dani di perkosa oleh salah satu anggota suku Damal , hal ini tidak dapat terima oleh suku Dani, secara spontan anggota suku Dani menyerang suku Damal, sehingga terjadinya perang antara suku Dani dan suku Damal. Kapasitas pemerintah dalam menyelesaikan konflik antara kedua suku hanyalah sampai pada pendekatan persuasif, yaitu mengajak untuk dapat mendiskusikan secara baik, agar tercapai suatu kesepakatan damai, namum upaya pemerintah tersebut sampai dengan saat ini tampaknya belum berhasil, karena kedua suku yang bertikai masih sangat mudah sekali untuk terpancing sehingga perdamaianpun tidak terwujud. Kepala suku dalam hal ini sebagai tokoh yang di kagumi, dan di hormati kerana kharisma dan kewibawaannya di mata masyarakat, mempunyai peranan penting untuk menyelesaikan konflik di antara kedua suku ini, karena kepala suku mempunyai kekuasaan untuk memberikan perintah kepada anggotanya agar tidak terjadi peperangan. Namum pada kenyataannya kepala suku yang ada Suku Dani dan Suku Damal, tidak mampu untuk meredam amarah dari masing – masing anggota sukunya, sehingga perang antara kedua sukupun tidak dapat terelakan. Hal ini di picu juga oleh latar belakang dari pada suku – suku yang ada di Kabupaten Timika, yaitu saling bersaing untuk mendapat pengakuan, suku mana terhebat, dan juga mempunyai kebiasaan berperang. Berdasarkan kenyataan yang di uraikan di atas, masalah dalam penelitian ini adalah peranan Kepala Suku dalam mengatai konflik, yaitu antara Suku Dani dan Suku Damal, sehingga tidak terjadi perang. PembahasanTanah Papua merupakan salah satu wilayah di indonesia yang masih menyimpang berbahagai macam permasalahan sosial. Salah satu masalah sosial yang sampai sekarang telah ada dan masih terjadi adalah konflik sosial. Konflik sosial yang terjadi di Tanah Papua sangat beragam dan mencakup semua ini kehidupan, melai dari aspek sosial, budaya, politik dan ekonomi. Konflik sosialyang terjadi di Tanah Papua pada beberapa tahun belakang ini4juga tidak terlepas dari pokok permasalahan tersebut utamanya adalah konflik sosial yang di picu oleh perbedaan suku, budaya dan golongan atau kelompok, sesuai dengan karakteristik dan dianggapnya sebagai salah satu permasalahan yang dapat merugikan dan mengganggu bahkan melanggar aturan dan norma yang berlaku pada suku-suku yang ada. Masalah persinahan atau perselingkuhan, pembunuhan, kematian tidak wajar, dan rasa dendam yang mendalammerupakan salah satu penyebab perang suku di daerah pedalaman Papua. Di samping itu konflik internal antara suku yang terjadi waktu lampau juga menjadi salah satu factor penyebab perang suku dan kelompok di daerah pedalaman Papua yang dapat menyebabkan kerugian secara fisik maupun materi lainnya. Konflik social yang ada di daerah ini sering di sebut sebagai perang suku atau bahasa dani di sebut wim sedangkan bahasa damal /amungme wem, sebab perang suku yang terjadi adalah antara suku-suku asli Papua yang mendiami daerah tersebut yaitu Suku Dani, Suku Nduga, Suku Delem, Suku Damal/ Amungme, Suku Moni, Suku Wolani, Serta Suku Ekari/ Me, dan Suku-Suku lainnya. Suku- Suku tersebut merupakan Suku – Suku yang mempunyai tradisi perang yang sangat kuat. Perdamaian perang suku yang di lakukan oleh pemda, Lembaga kemasyarakatan dan gereja pada dasarnya memiliki pola pemahaman dan penanganan yang sama. Perang suku di lihat dari suatu tindakan yang negative, sebagai suatu kriminalitas, yang bertentangan hukum-hukum positif maupun hokum-hukum agama. Karena pemahaman semacam ini, perang suku harus dihentikan dan ditiadakan. Dengan pemahaman semacam ini, peran ketiga lembaga di atas tidak lebih dari seorang polisi penjaga, yang melari dan menghentikan pertikaian.Anehnya, sekalipun ketiga Lembaga itu melihat perang sebagai suatu yang negative, tetapi dalam upaya mereka untuk menghentikan dan meniadakan perang suku, ketiganya justru memanfaatkan mekanisme penyelesaian secara adat membayar ganti rugi kepada pihak korban disertai upacara bakar batu. Ketiga lembaga itu percaya bahwa perang suku baru akan berhenti ketika pihak-pihak yang bertikai melakukan pembayaran ganti rugi disertai upacara bakar batu. Pengakuan tergadap nilai-nilai kulturan serta digunakan nilai-nilai tersebut untuk menyelesaikan perang suku, tentu merupakan suatu hal yang sangat penting dan bermanfaat. Terbukti, suatu perang suku baru bisa dihentikan ketika perang pembayaran ganti rugi serta upacara bakar batu dilaksanakan. Akan tetapi pola penanganan semacan ini punya dua kelemahan yang mendasar. Pertama, pola penanganan semacan ini bersifat persial. Artinya, penanganan semacan ini hanya efektif untuk satu kasus. Ketika kasus yang lain muncul maka perang akan muncul kembali. Kelemahan ini sudah terbukti dalam sejarah. Meskipun perdamaian secara adat telah sering dilakukan untuk menghentikan dan mendamaikan pihak-5pihak yang terlihat dalam perang suku, akan tetapi ketika masalah yang baru muncul maka perang kembali terjadi. Kenyataan seperti ini memperlihatkan bahwa upacara bakar batu ganti rugi dan upacara bakar batu ganti rugi bukan suatu bentuk penyelesaiak konflik yang bersifat preventif. Padahal, ketika perang dilihat sebagai sesuatu yang negative di perlukan suatu mekanisme penyelesaian perang suku yang bersifat preventif sehingga perang tidak terus menerus terulang. Kedua, penanganan secara adat justru akan semakin memperkokoh keutamaan kategorisasi (kelompok) social. Padahal kategorisasi social justru menjadi penyebab utama dari berbagai konflik social. Ketika keutamaan dari kategorisasi social ini terus merus dikukuhkan, itu berarti konflik social akan terus terulang. Atau, dengan kata lain ketika nilai-nilai cultural setiap suku yang ada di pedalaman terus menerus di pertahankan dan mendapatkan legalitas secara politik maupun religious maka perang antar suku akan terus menerus terjadi. Bagi peneliti kedua kelemahan itu memunculkan suatu tanya: kenapa pembayaran ganti rugi dan upacara bakar batu yang secara historis tidak mampu menyelesaikan konflik secara permanen dan justru semakin memperkokoh penyebab utama perang suku yaitu keutamaan kategorisasi social terus-menerus dilakukan? adakah berbagai kepentingan yang bermain dibalik perang suku dan upacara bakar batu? Penulis melihat adanya beberapa indicator yang mengarah kepada hal itu, yaitu: 1. Secara ekonomis, perang suku dan upacara bakar batu selalu menghabiskan biaya yang tidak kecil. Setiap terjadi perang, harta benda yang menjadi korban atau dikorbankan tidaklah sedikit dan biaya pembayaran ganti rugi dan upacara pelaksanaan bakar batu bias mencapai Rp 500.jt,.( lima ratus juta) sampai Rp.1.m,- (satu meliar). Kenyataan semacam ini akan berdampak terjadinya kemiskinan di antara masyarakat Papua. Akibat lebih lanjut dari kemiskinan ini ialah masyarakat papua akan kesulitan dalam mengembangkan potensi-potensi yang mereka miliki sehingga citra sebagai “masyarakat termiskin‟ di Indonesia terus dipertahankan.2. Aspek ekonomis itu pada gilirannya juga berdampak secara politis. Ada dua dampak politis yang bias dilihat.a). jika citra sebagai masyarakat termiskin bisa dipertahankan dalam jangka waktu yang semakin lama, maka akan memunculkan sebuah citra baru bagi masyarakat Papua, yaitu citra sebagai masyarakat yang tergantung pada pihak lain. Jika persoalan ini dikaitkan dengan persoalan politik yang terus bergejolak di Papua, akan menjadi alat yang akan meredam keinginan sebagian masyarakat Papua untuk merdeka. Bagaimana mereka bisa merdeka, jika hidup mereka masih sangat tergantung6pada pihak lain? b). Masih dalam kaitannya dengan pergolakan politik di Papua, perang antar suku juga akan semakin menyulitkan keinginan sebagian masyarakat Papua untuk merdeka. Bagaimana mereka bisa merdeka, ketika pikiran, tenaga dan sumber-sumber ekonomi yang mereka miliki senantiasa dipusatkan untuk berperang dan mengatasinya? 4. Hak Asasi Manusia. Setiap terjadi perang, satu-persatu masyarakat Papua meninggal dunia sebagai korban perang. Jika perang terus menerus terjadi, pelan tapi pasti Ras Melanesia di Papua akan hilang akibat konflik di antara mereka sendiri. Jika persoalan seperti ini dikaitkan dengan persoalan diseputar penyakit AIDS yang banyak diderita oleh masyarakat Papua, maka pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah ada kepentingan genocide dibalik perang suku ?siapakah pihak-pihak yang berkepentingan dengan itu? 5. Ketika, Pemerintah Daerah, Lembaga Kemasyarakatan Adat dan juga gereja terus mengupayakan penyelesaian secara adat, maka pertanyaan yang pantas diajukan kepada ketiga lembaga itu adalah apakah ketiga lembaga itu berkepentingan dengan berbagai citra yang muncul akibat adanya perang suku ? apakah mereka turut bermain di situ ? lalu apa kepentingan mereka itu? Untuk menjawab pertanyaan tersebut adalah tugas bangsa papua yang cinta tanah Papua .pertanyaan-pertanyaan ini sebagai catatan kritis penulis bagi proses penanganan perang suku yang dilakukan oleh ketiga lembaga tadi.Menurut peneliti, penanganan perang suku yang dilakukan secara adat terbukti tidak mampu mengatasi perang suku secara permanen.Penanganan yang hanya mengedepankan persoalan cultural itu justru semakin mengukuhkan penyebab utama konflik, yaitu kategorisasi sosial.Oleh karena itu perlu diusahakan suatu bentuk penanganan konflik yang baru. Sebuah pertanyaan yang pantas dikedepankan dalam upaya mencari solusi terbaik bagi perang suku adalah ketika nilai-nilai kesukuan menjadi penyebab utama dari perang suku, apakah nilai-nilai kesukuan harus dihilangkan? Jawaban akan hal ini tentu bukan hal yang mudah. Sebab ketika nilai-nilai kesukuan dihilangkan, akan beresiko terjadinya ketercerabutan kultural. Untuk mengatasi hal ini, sumbangan teori identitas sosial dalam menangani konflik sosial akan sangat berguna, utamanya proposalnya tentang dekategorisasi dan rekategorisasi. Melalui dekategorisasi, keterikatan individu dengan kelompoknya dieliminir sedemikian rupa sehingga hubungan antar individu semakin dipersonalkan.Sehingga ketika berinteraksi, setiap inidividu tidak mewakili kelompoknya, tetapi sebagai seorang individu-individu yang unik. Pun demikian dalam hal cara pandang individu terhadap yang lain. Karena individu bukan wakil suatu kelompok, maka ketika7terjadi konflik antar individu, kelompok tidak turut terlibat dalam konflik. Dekategorisasi akan mempersempit wilayah konflik sehingga terbatas pada konflik antar individu. Pada titik ini, penyelesaian konflik antar individu yang bisa memuaskan kedua belah pihak perlu dipikirkan.Sejarah perang suku dalam sepuluh tahun terakhir memperlihatkan bahwa semula perang suku terjadi karena konflik antar individu.Pihak-pihak yang terlibat konflik tidak puas dengan penyelesaian berdasarkan hukum positif.Sebab, disamping rendahnya kesadaran mereka terhadap hukum positif, mereka juga melihat bahwa hukum positif tidak mampu menggantikan sesuatu yang hilang akibat dari suatu kasus, yaitu persoalan harga diri.Sebagai ganti, mereka lebih menyukai penyelesaian berdasarkan hukum-hukum adat.Berdasarkan pada hal ini, nilai-nilai kultural suku-suku yang ada di papua perlu dipikirkan sebagai salah satu acuan hukum untuk menyelesaikan kasus-kasus yang bisa memicu lahirnya perang suku. Jalan untuk memanfaatkan nilai-nilai kultural sebenarnya sudah terbuka lebar. Sebab pemerintah Indonesia telah mengeluarkan UU no. 21 tahun 2001, bab XIV tentang kekuasaan peradilan. UU tersebut mengatakan bahwa “peradilan adalah peradilan perdamaian di lingkungan masyarakat hukum adat, yang mempunyai kewenangan memeriksa dan mengadili sengketa perdata adat dan perkara pidana di antara para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan.”Dan ayat 2 dikatakan “pengadilan adat di susun menurut ketentuan hukum adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan.” Mencermati isi dari ketentuan-ketentuan tersebut, akan sangat bijak ketika sebuah institusi peradilan adat yang eksistensi dan otoritasnya diakui oleh semua kelompok suku yang ada dibangun. Suku-suku di pedalaman Papua pada dasarnya patuh pada hukum, sepanjang hukum itu memang berpihak kepada kepentingan orang banyak, diwadahi dalam, satu sistem yang profesional dan bebas dari intervensi pihak manapun, dan para penegaknya dapat menjadi suri teladan bagi masyarakat suku. Keadaan yang disebut di atas ini merupakan salah satu modal dasar yang ampuh dalam rangka mencari kesejahtraan rakyat Papua. Di dalam hukum adat maupun hukum positif di Papua khusunya, supremasi hukum itu sendiri harus ditegakan juga agar terlihat secara nyata dalam penanganan perang.Hal ini penting mengingat tingkat kepercayaan masyarakat terhadap nilai-nilai adat masih sangat tinggi dibanding dengan kepercayaan mereka terhadap hukum positif.Dekategorisasi sebenarnya merupakan suatu usaha untuk membentuk suatu budaya baru yang lebih menonjolkan sisi individualitas manusia daripada komunalitasnya. Harus jujur diakui bahwa masalah diseputar budaya individualitas dan komunalitas merupakan8persoalan yang cukup pelik dan menjadi debat yang berkepanjangan, bukan saja bagi para teoritisi tetapi juga para praktisi budaya. Tanpa bermaksud terlibat dalam debat tersebut, untuk kepentingan tulisan ini cukup dikatakan bahwa dalam konteks masyarakat Papua, komunalitas yang berpusat pada ikatan-ikatan kesukuan telah menjadi persoalan serius dan berulang kali memicu lahirnya perang suku. Oleh karena itu komunalitas tersebut perlu dieliminir dengan menonjolkan sisi individualitas. Membentuk suatu budaya baru yang menonjolkan sisi individualitas, bukan suatu usaha yang mudah.Pekerjaan semacam itu membutuhkan waktu yang cukup lama dan berkesinambungan.Ia memerlukan proses sosialisasi baik formal maupun non formal. Sadar dengan kenyataan semacam ini, dunia pendidikan di Papua akan mempunyai peran yang sangat penting dalam usaha menciptakan suatu budaya baru yang bisa mengeliminir sisi komunalitas suku-suku yang ada di sana. Dunia pendidikan perlu merancang suatu kurikulum pendidikan yang sesuai untuk tujuan tersebut. Bersamaan dengan proses dekategorisasi dan pembangunan institusi hukum adat, proses rekategorisasi perlu dibangun. Dengan rekategorisasi berbagai kelompok suku yang ada disatukan dalam suatu kelompok yang lebih besar dengan identitas bersama yang baru. Tujuan utama yang hendak dicapai dalam proses rekategorisasi. Pertama, rekategorisasi dimaksudkan untuk mencari alternative bagi nilai-nilai yang hilang akibat proses dekategorisasi, yaitu terkikisnya ikatan-ikatan komunalitas lama dengan menciptakan ikatan-ikatan komunalitas yang baru. Khusus „perang suku‟ di Mimika, sumber konflik Dani-Amungme juga harus dipahami. Amungme, selain orang Kamoro, adalah tuan tanah di Mimika. Orang Dani (dan suku-suku pegunungan lain seperti Mee, Nduga, dll.) adalah pendatang yang pelan-pelan mengokupasi tanah dan lahan Amungme.Jumlah orang Dani terus membesar melebihi Amungme.Dalam banyak hal Amungme selalu merasa terteror dengan tingkah laku mereka.„Perang suku‟ antara mereka sudah pecah sejak paruh kedua 1990-an.Sumber konflik antara mereka tidak hanya yang tradisional seperti perempuan, babi, perzinahan atau lainnya, tapi juga soal dana bantuan Freeport, pemekaran, Otsus, politik Papua Merdeka, atau bahkan pilkada. Itu artinya pihak luar seperti Freeport, pihak aparat keamanan, dan pemain pendatang sangat mungkin ikut berperan. Harus diakui tradisi kekerasan dalam bentuk „perang suku‟ ada di mana-mana di tanah Papua. Dokumen VOC Belanda di abad ke 17 menunjukkan orang-orang di sekitar Fakfak (dulu Onin), Kaimana (dulu Kobiai), Raja Ampat, Biak, dan lain-lain sudah punya tradisi „perang suku‟ dan bahkan9menjual tawanan perangnya sebagai budak di pasar Seram Timur. Tapi „perang suku‟ di daerah-daerah pantai ini sudah berhenti berkat pengaruh luar, sebagian oleh masuknya Islam dari Maluku, kemudian pasifikasi oleh Pemerintah Kolonial Belanda, dan sivilisasi oleh kalangan zending dan missionaris sekitar awal abad ke 20. Pengaruh luar datang lebih lambat di daerah pedalaman dan pegunungan.Baru setelah Perang Dunia II umumnya Gereja dan pemerintah Kolonial Belanda masuk. Persebaran suku-suku yang sangat luas dan sulit dijangkau, membuat banyak komunitas suku tidak tersentuh pengaruh pemerintahan modern atau pun Gereja. Yang sudah tersentuh Gereja atau Pemerintah pun masih berkeras melanjutkan „perang suku‟.Dani, Damal, dan Amungme adalah suku-suku yang sudah mengenal Gereja dan pemerintahan modern sejak 1950-an. Di Wamena sendiri, tempat asal kebanyakan suku Dani, perdamaian kolosal pernah terjadi pada 1993.Sejak itu pihak-pihak yang bertikai tidak pernah berperang lagi di Wamena. Tapi di daerah pegunungan lain kita masih sering mendengar berita „perang suku‟. Bagi peneliti kedua kelemahan itu memunculkan suatu tanya: kenapa pembayaran ganti rugi dan upacara bakar batu yang secara historis tidak mampu menyelesaikan konflik secara permanen dan justru semakin memperkokoh penyebab utama perang suku yaitu keutamaan kategorisasi social terus-menerus dilakukan? adakah berbagai kepentingan yang bermain dibalik perang suku dan upacara bakar batu? Penulis melihat adanya beberapa indicator yang mengarah kepada hal itu, yaitu: 1. Secara ekonomis, perang suku dan upacara bakar batu selalu menghabiskan biaya yang tidak kecil. Setiap terjadi perang, harta benda yang menjadi korban atau dikorbankan tidaklah sedikit dan biaya pembayaran ganti rugi dan upacara pelaksanaan bakar batu bias mencapai Rp 500.jt,.( lima ratus juta) sampai Rp.1.m,- (satu meliar). Kenyataan semacam ini akan berdampak terjadinya kemiskinan di antara masyarakat Papua. Akibat lebih lanjut dari kemiskinan ini ialah masyarakat papua akan kesulitan dalam mengembangkan potensi-potensi yang mereka miliki sehingga citra sebagai “masyarakat termiskin‟ di Indonesia terus dipertahankan.2. Aspek ekonomis itu pada gilirannya juga berdampak secara politis. Ada dua dampak politis yang bias dilihat.a). jika citra sebagai masyarakat termiskin bisa dipertahankan dalam jangka waktu yang semakin lama, maka akan memunculkan sebuah citra baru bagi masyarakat Papua, yaitu citra sebagai masyarakat yang tergantung pada pihak lain. Jika persoalan ini dikaitkan dengan persoalan politik yang terus bergejolak di Papua, akan menjadi alat yang akan meredam keinginan sebagian masyarakat Papua untuk10merdeka. Bagaimana mereka bisa merdeka, jika hidup mereka masih sangat tergantung pada pihak lain? b). Masih dalam kaitannya dengan pergolakan politik di Papua, perang antar suku juga akan semakin menyulitkan keinginan sebagian masyarakat Papua untuk merdeka. Bagaimana mereka bisa merdeka, ketika pikiran, tenaga dan sumber-sumber ekonomi yang mereka miliki senantiasa dipusatkan untuk berperang dan mengatasinya? 4. Hak Asasi Manusia. Setiap terjadi perang, satu-persatu masyarakat Papua meninggal dunia sebagai korban perang. Jika perang terus menerus terjadi, pelan tapi pasti Ras Melanesia di Papua akan hilang akibat konflik di antara mereka sendiri. Jika persoalan seperti ini dikaitkan dengan persoalan diseputar penyakit AIDS yang banyak diderita oleh masyarakat Papua, maka pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah ada kepentingan genocide dibalik perang suku ?siapakah pihak-pihak yang berkepentingan dengan itu? 5. Ketika, Pemerintah Daerah, Lembaga Kemasyarakatan Adat dan juga gereja terus mengupayakan penyelesaian secara adat, maka pertanyaan yang pantas diajukan kepada ketiga lembaga itu adalah apakah ketiga lembaga itu berkepentingan dengan berbagai citra yang muncul akibat adanya perang suku ? apakah mereka turut bermain di situ ? lalu apa kepentingan mereka itu? Untuk menjawab pertanyaan tersebut adalah tugas bangsa papua yang cinta tanah Papua .pertanyaan-pertanyaan ini sebagai catatan kritis penulis bagi proses penanganan perang suku yang dilakukan oleh ketiga lembaga tadi.Menurut peneliti, penanganan perang suku yang dilakukan secara adat terbukti tidak mampu mengatasi perang suku secara permanen.Penanganan yang hanya mengedepankan persoalan cultural itu justru semakin mengukuhkan penyebab utama konflik, yaitu kategorisasi sosial.Oleh karena itu perlu diusahakan suatu bentuk penanganan konflik yang baru. Sebuah pertanyaan yang pantas dikedepankan dalam upaya mencari solusi terbaik bagi perang suku adalah ketika nilai-nilai kesukuan menjadi penyebab utama dari perang suku, apakah nilai-nilai kesukuan harus dihilangkan? Jawaban akan hal ini tentu bukan hal yang mudah. Sebab ketika nilai-nilai kesukuan dihilangkan, akan beresiko terjadinya ketercerabutan kultural. Untuk mengatasi hal ini, sumbangan teori identitas sosial dalam menangani konflik sosial akan sangat berguna, utamanya proposalnya tentang dekategorisasi dan rekategorisasi. Melalui dekategorisasi, keterikatan individu dengan kelompoknya dieliminir sedemikian rupa sehingga hubungan antar individu semakin dipersonalkan.Sehingga ketika berinteraksi, setiap inidividu tidak mewakili kelompoknya,11tetapi sebagai seorang individu-individu yang unik. Pun demikian dalam hal cara pandang individu terhadap yang lain. Karena individu bukan wakil suatu kelompok, maka ketika terjadi konflik antar individu, kelompok tidak turut terlibat dalam konflik. Dekategorisasi akan mempersempit wilayah konflik sehingga terbatas pada konflik antar individu. Pada titik ini, penyelesaian konflik antar individu yang bisa memuaskan kedua belah pihak perlu dipikirkan.Sejarah perang suku dalam sepuluh tahun terakhir memperlihatkan bahwa semula perang suku terjadi karena konflik antar individu.Pihak-pihak yang terlibat konflik tidak puas dengan penyelesaian berdasarkan hukum positif.Sebab, disamping rendahnya kesadaran mereka terhadap hukum positif, mereka juga melihat bahwa hukum positif tidak mampu menggantikan sesuatu yang hilang akibat dari suatu kasus, yaitu persoalan harga diri.Sebagai ganti, mereka lebih menyukai penyelesaian berdasarkan hukum-hukum adat.Berdasarkan pada hal ini, nilai-nilai kultural suku-suku yang ada di papua perlu dipikirkan sebagai salah satu acuan hukum untuk menyelesaikan kasus-kasus yang bisa memicu lahirnya perang suku. Jalan untuk memanfaatkan nilai-nilai kultural sebenarnya sudah terbuka lebar. Sebab pemerintah Indonesia telah mengeluarkan UU no. 21 tahun 2001, bab XIV tentang kekuasaan peradilan. UU tersebut mengatakan bahwa “peradilan adalah peradilan perdamaian di lingkungan masyarakat hukum adat, yang mempunyai kewenangan memeriksa dan mengadili sengketa perdata adat dan perkara pidana di antara para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan.”Dan ayat 2 dikatakan “pengadilan adat di susun menurut ketentuan hukum adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan.” Mencermati isi dari ketentuan-ketentuan tersebut, akan sangat bijak ketika sebuah institusi peradilan adat yang eksistensi dan otoritasnya diakui oleh semua kelompok suku yang ada dibangun. Suku-suku di pedalaman Papua pada dasarnya patuh pada hukum, sepanjang hukum itu memang berpihak kepada kepentingan orang banyak, diwadahi dalam, satu sistem yang profesional dan bebas dari intervensi pihak manapun, dan para penegaknya dapat menjadi suri teladan bagi masyarakat suku. Keadaan yang disebut di atas ini merupakan salah satu modal dasar yang ampuh dalam rangka mencari kesejahtraan rakyat Papua. Di dalam hukum adat maupun hukum positif di Papua khusunya, supremasi hukum itu sendiri harus ditegakan juga agar terlihat secara nyata dalam penanganan perang.Hal ini penting mengingat tingkat kepercayaan masyarakat terhadap nilai-nilai adat masih sangat tinggi dibanding dengan kepercayaan mereka terhadap hukum positif.Dekategorisasi sebenarnya merupakan suatu usaha untuk membentuk suatu budaya baru yang lebih menonjolkan sisi individualitas manusia daripada komunalitasnya. Harus12jujur diakui bahwa masalah diseputar budaya individualitas dan komunalitas merupakan persoalan yang cukup pelik dan menjadi debat yang berkepanjangan, bukan saja bagi para teoritisi tetapi juga para praktisi budaya. Tanpa bermaksud terlibat dalam debat tersebut, untuk kepentingan tulisan ini cukup dikatakan bahwa dalam konteks masyarakat Papua, komunalitas yang berpusat pada ikatan-ikatan kesukuan telah menjadi persoalan serius dan berulang kali memicu lahirnya perang suku. Oleh karena itu komunalitas tersebut perlu dieliminir dengan menonjolkan sisi individualitas. Membentuk suatu budaya baru yang menonjolkan sisi individualitas, bukan suatu usaha yang mudah.Pekerjaan semacam itu membutuhkan waktu yang cukup lama dan berkesinambungan.Ia memerlukan proses sosialisasi baik formal maupun non formal. Sadar dengan kenyataan semacam ini, dunia pendidikan di Papua akan mempunyai peran yang sangat penting dalam usaha menciptakan suatu budaya baru yang bisa mengeliminir sisi komunalitas suku-suku yang ada di sana. Dunia pendidikan perlu merancang suatu kurikulum pendidikan yang sesuai untuk tujuan tersebut. Bersamaan dengan proses dekategorisasi dan pembangunan institusi hukum adat, proses rekategorisasi perlu dibangun. Dengan rekategorisasi berbagai kelompok suku yang ada disatukan dalam suatu kelompok yang lebih besar dengan identitas bersama yang baru. Tujuan utama yang hendak dicapai dalam proses rekategorisasi. Pertama, rekategorisasi dimaksudkan untuk mencari alternative bagi nilai-nilai yang hilang akibat proses dekategorisasi, yaitu terkikisnya ikatan-ikatan komunalitas lama dengan menciptakan ikatan-ikatan komunalitas yang baru. Khusus „perang suku‟ di Mimika, sumber konflik Dani-Amungme juga harus dipahami. Amungme, selain orang Kamoro, adalah tuan tanah di Mimika. Orang Dani (dan suku-suku pegunungan lain seperti Mee, Nduga, dll.) adalah pendatang yang pelan-pelan mengokupasi tanah dan lahan Amungme.Jumlah orang Dani terus membesar melebihi Amungme.Dalam banyak hal Amungme selalu merasa terteror dengan tingkah laku mereka.„Perang suku‟ antara mereka sudah pecah sejak paruh kedua 1990-an.Sumber konflik antara mereka tidak hanya yang tradisional seperti perempuan, babi, perzinahan atau lainnya, tapi juga soal dana bantuan Freeport, pemekaran, Otsus, politik Papua Merdeka, atau bahkan pilkada. Itu artinya pihak luar seperti Freeport, pihak aparat keamanan, dan pemain pendatang sangat mungkin ikut berperan. Harus diakui tradisi kekerasan dalam bentuk „perang suku‟ ada di mana-mana di tanah Papua. Dokumen VOC Belanda di abad ke 17 menunjukkan orang-orang di sekitar Fakfak (dulu Onin), Kaimana (dulu Kobiai), Raja Ampat, Biak, dan lain-lain sudah punya tradisi „perang suku‟ dan bahkan13menjual tawanan perangnya sebagai budak di pasar Seram Timur. Tapi „perang suku‟ di daerah-daerah pantai ini sudah berhenti berkat pengaruh luar, sebagian oleh masuknya Islam dari Maluku, kemudian pasifikasi oleh Pemerintah Kolonial Belanda, dan sivilisasi oleh kalangan zending dan missionaris sekitar awal abad ke 20. Pengaruh luar datang lebih lambat di daerah pedalaman dan pegunungan.Baru setelah Perang Dunia II umumnya Gereja dan pemerintah Kolonial Belanda masuk. Persebaran suku-suku yang sangat luas dan sulit dijangkau, membuat banyak komunitas suku tidak tersentuh pengaruh pemerintahan modern atau pun Gereja. Yang sudah tersentuh Gereja atau Pemerintah pun masih berkeras melanjutkan „perang suku‟.Dani, Damal, dan Amungme adalah suku-suku yang sudah mengenal Gereja dan pemerintahan modern sejak 1950-an. Di Wamena sendiri, tempat asal kebanyakan suku Dani, perdamaian kolosal pernah terjadi pada 1993.Sejak itu pihak-pihak yang bertikai tidak pernah berperang lagi di Wamena. Tapi di daerah pegunungan lain kita masih sering mendengar berita „perang suku‟. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian pada bagian terdahulu, penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut:1. Kepala suku sebagai pemimpin informal melakukan perannya sesuai dengan tradisi, adat, budaya yang lahir tumbuh dan berkembang di tanah Papua dari nenek moyang mereka, dimana sudah menjadi suatu kewajiban untuk tetap mempertahankan kehormatan suku yang dipimpinnya, sehingga berperang merupakan suatu kehormatan untuk mencapai kemenangan demi mempertahankan martabat suku yang dipimpinnya. Kekalahan yang menimpa salah satu suku menjadi suatu hinaan bagi kepala sukunya, sehingga kepala suku akan terus mencari cara keluar dari hinaan tersebut, dan terus menyemangati para anggota sukunya untuk tetap semangat meraih kembali kehormatan yang hilang karena kekalahan dalam berperang.2. Kepemimpinan kepala suku dalam mengatasi konflik bukanlah menjadi solusi yang tepat, karena kepala suku tidak akan dapat meredam konflik masing-masing anggota sukunya.3. Konflik yang terjadi di Timika antara suku Dani dan Damal, tidak bisa hanya diselesaikan dengan menggunakan hukum positif yang berlaku, begitu pula dengan pendekatan secara keagamaan, karena sebelum agama masuk ke tanah papua, tradisi berperang antar suku ini sudah menjadi budaya.14SARAN1. Pemerintah harus mampu lebih kritis lagi mencari tahu penyebab konflik ini, bukan hanya sekedar mencari pemicunya, apabila hal ini merupakan suatu tradisi budaya, hal-hal yang lebih konkrit dan kompleks harus lebih dikedepankan, seperti mengundang antar suku yang bertikai, tokoh adat, dan tokoh agama.2. Dalam menyelesaikan konflik ini, pemerintah harus mencari orang tengah, bukan hanya sekedar mencari pemimpin sukunya, yang biasanya berperan memimpin perang suku, jumlahnya bisa lebih dari satu.3. Carilah dahulu „orang belakang‟ karena orang inilah yang memiliki otoritas ritual perang dan perdamaian. „Tuan perang‟ dan „orang belakang‟ biasanya tersembunyi dan dilindungi15DAFTAR PUSTAKA Adisasmita, Rahardjo. 2006. Pembangunan Pedesaan dan Perkotaan, Yogyakarta, Graha Ilmu Bintarto R, Buku Penuntun Geografi Sosial, Yogyakarta, UP.Spring, 1969, hal. 95. Bartle, Phill, 2002. Participatory Method of Measuring Empowerment.Modul Pelatihan Pemberdayaan. Daldjoeni, N dan A. Suyitno. 2004. Pedesaan, Lingkungan dan Pembangunan. Bandung: PT. Alumni Dahl, Robert,1983.Democracy and Its Critics.New Haven Conn: Yale University Press. Friedmann, John. 1992. Empowerment: The Politics of Alternative Development. Chambridge: Blackwell Publishers. Hulme, David & M. Turner, 1990.Sociology of Development: Theories, Policies and Practices. Hertfordshire: Harvester Whearsheaf. Kartasasmita, Ginandjar. 1997. Administrasi Pembangunan. Jakarta: LP3ES. Momon Soetisna Sendjaja, Sjachran Basan,1983,Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah dan Pemerintahan Desa, Bandung, Alumni. Paul, Samuel, 1987. Community Participation in Development Projects-The World Bank Experience.Washington DC: The World Bank. Soetrisno, Loekman, 1995. Menuju Masyarakat Partisipatif. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.Sri Sudaryatmi, Sukirno,TH. Sri Kartini, Beberapa Aspek Hukum Adat, Badan Penerbit Undip, Semarang. Sugiyono, 2007, Memahami Penelitian Kualitatif.Alfabeta; Bandung. Suharto, Edi. 1997. Pembangunan, Kebijakan Sosial dan Pekerjaan Sosial: Spektrum Pemikiran. Bandung : Lembaga Studi Pembangunan STKS (LSPSTKS). Suharto, Edi. 2006. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat. Bandung : PT. Refika Aditama. Sulistiyani, Ambar Teguh, 2004. Kemitraan dan Modul-modul Pemberdayaan. Yogyakarta: Gava Media. Tampubolon, Mangatas. 2006. Pendidikan Pola Pemberdayaan Masyarakat Dan Pemberdayaan Partisipasi Masyarakat Dalam Pembangunan Sesuai Tuntutan Otonomi Daerah. Trijono, Lambang. 2007. Pembangunan Sebagai Perdamaian : Rekonstruksi Indonesia Pasca-Konflik. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

Page 7 of 51 | Total Record : 510


Filter by Year

2013 2024


Filter By Issues
All Issue Vol. 13 No. 1 (2024): Januari 2024 Vol. 12 No. 4 (2023): Oktober 2023 Vol. 12 No. 3 (2023): Juli 2023 Vol. 12 No. 2 (2023): April 2023 Vol. 12 No. 1 (2023): Januari 2023 Vol. 11 No. 4 (2022): Oktober 2022 Vol. 11 No. 3 (2022): Juli 2022 Vol. 11 No. 2 (2022): April 2022 Vol 11, No 1 (2022): Januari 2022 Vol. 11 No. 1 (2022): Januari 2022 Vol 10, No 4 (2021): Oktober 2021 Vol 10, No 3 (2021): Juli 2021 Vol 10, No 2 (2021): April 2021 Vol 10, No 1 (2021): Januari 2021 Vol 10, No 4 (2021): Repository Vol 10, No 2 (2020): Juni 2020 Vol 9, No 4 (2020): Oktober 2020 Vol 9, No 3 (2020): Juli 2020 Vol 9, No 2 (2020): April 2020 Vol 9, No 1 (2020): Februari 2020 Vol 9, No 1 (2020): Januari 2020 Vol 8, No 4 (2019): Oktober 2019 Vol 8, No 3 (2019): Juli 2019 Vol 8, No 3 (2019): November 2019 Vol 8, No 2 (2019): April 2019 Vol 8, No 2 (2019): Juni 2019 Vol 8, No 1 (2019): Januari 2019 Vol 8, No 1 (2019): Februari 2019 Vol 7, No 4 (2018): Oktober 2018 Vol 7, No 3 (2018): November 2018 Vol 7, No 3 (2018): Juli 2018 Vol 7, No 2 (2018): April 2018 Vol 7, No 2 (2018): Juni 2018 Vol 7, No 1 (2018): Januari 2018 Vol 7, No 1 (2018): Februari 2018 Vol 6, No 4 (2017): Oktober 2017 Vol 6, No 2 (2017): Juni 2017 Vol 6, No 1 (2017): Februari 2017 Vol 5, No 1 (2016): Februari 2016 Vol 4, No 2 (2015): Juni 2015 Vol 4, No 1 (2015): Februari 2015 Vol 3, No 2 (2014): April 2014 Vol 3, No 1 (2014): Januari 2014 Vol 2, No 2 (2013): Juni 2013 Vol 2, No 1 (2013): Februari 2013 Vol 2, No 1 (2013): Januari 2013 More Issue