Articles
13 Documents
Search results for
, issue
"Vol 22, No 1 (2010)"
:
13 Documents
clear
Sistem Peradilan Satu Atap dan Perwujudan Negara Hukum RI Menurut UU No. 4 Tahun 2004
Elisabeth Nurhaini Butarbutar
Mimbar Hukum - Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Vol 22, No 1 (2010)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (342.839 KB)
|
DOI: 10.22146/jmh.16214
Amendment to our constitution has changed the Indonesian judiciary system by explicitly stipulating the conception of rule of law. As the consequences, principle of independent judiciary must be cherished. The manifestation of such principle is strengthened by the ‘one roof judiciary system’ with the Supreme Court as the highest court. Perubahan atas konstitusi kita turut mengubah sistem kekuasaan kehakiman Indonesia dengan menuangkan secara eksplisit konsepsi negara hukum Indonesia. Sebagai konsekuensinya, maka jaminan prinsip penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan suatu keharusan. Perwujudan prinsip tersebut diperkuat melalui ‘sistem peradilan satu atap’ dengan Mahkamah Agung sebagai lembaga tertinggi.
Penerapan Hukum Pidana dalam Perkara Pencemaran Nama Baik
Mr. Supriyadi
Mimbar Hukum - Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Vol 22, No 1 (2010)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (375.814 KB)
|
DOI: 10.22146/jmh.16219
Libel is criminalised under Article 310 Penal Code and Art. 27(3) and 45(1) Act 11/2008. Supreme Court commonly hands suspended sentence for offenders found guilty of libel. Judges should consider freedom of speech and journalism, consumer and patient rights, and rights to gain information before rendering guilty verdicts. Pencemaran nama baik diatur dalam Pasal 310 KUHP serta Pasal 27(3) dan 45(1) UU 11/2008. Mahkamah Agung biasanya menjatuhkan pidana bersyarat bagi terdakwa pencemaran nama baik. Hakim harus mempertimbangkan kemerdekaan pers dan berpendapat, hak konsumen dan pasien, serta hak untuk mendapatkan informasi sebelum menjatuhkan putusan pemidanaan.
Kompatibilitas KHI dengan Konvensi Perempuan
Lilik Andar Yuni
Mimbar Hukum - Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Vol 22, No 1 (2010)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (379.223 KB)
|
DOI: 10.22146/jmh.16210
Having ratified CEDAW in 1984, Indonesia is obliged to eliminate gender-based discrimination that injure women’s rights and impair their position before the law. However, Compilation of Islamic Law in some parts still contradict CEDAW, e.g. the stipulations regarding marriage guardian, witnesses, age requirement, wife’s disobedience, and spouse’s rights and obligations. Sebagai konsekuensi dari ratifikasi Konvensi Perempuan pada 1984, Indonesia diharuskan menghapus diskriminasi gender yang melanggar hak perempuan dan merugikan kedudukannya dalam hukum. Namun ternyata KHI masih bertentangan dengan Konvensi tersebut. Hal ini dapat dilihat dalam pasal tentang wali nikah, saksi, batas usia perkawinan, nusyuz, dan hak dan kewajiban suami isteri.
Penyelesaian Konflik Pertanahan Berbasis Nilai-Nilai Kearifan Lokal di Nusa Tenggara Barat
Muhammad Galang Asmara;
Mr. Arba;
Yanis Maladi
Mimbar Hukum - Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Vol 22, No 1 (2010)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (433.679 KB)
|
DOI: 10.22146/jmh.16215
This research aims to analyse government policies and local wisdom values in the matter of land conflict resolution. Results show that the resolution is dominated by nonlitigation efforts, including peace agreement through negotiation, discussion, and mediation. Therefore, principles of adat law in resolving conflicts should be empowered, preserved, and socialised. Penelitian ini bertujuan mengkaji kebijakan pemerintah dan nilai-nilai kearifan lokal yang berkaitan dengan upaya penyelesaian konflik pertanahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyelesaian sengketa tanah didominasi oleh pola penyelesaian nonlitigasi, misalnya perdamaian melalui negosiasi, musyawarah mufakat, dan mediasi. Dengan demikian, prinsip-prinsip hukum adat dalam penyelesaian konflik perlu dibina, dilestarikan, dan disosialisasikan.
Keadilan Bagi yang Berbeda Paham: Rekonsiliasi dan Keadilan Bagi Korban Tragedi 1965
Manunggal Kusuma Wardaya
Mimbar Hukum - Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Vol 22, No 1 (2010)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (401.826 KB)
|
DOI: 10.22146/jmh.16211
Human rights enforcement is one improperly- accomplished agenda in this post-1998 democratisation. Severe human rights violations such as 1965 Tragedy remain obscure, nonlitigation resolution (e.g. recognition and compensation) is considered the best solution. Recognition also is a form of respect to human rights and a stepping stone to resolve other tragedies. Penegakan HAM merupakan salah satu agenda demokratisasi yang belum sepenuhnya tercapai. Pelanggaran-pelanggaran HAM berat seperti Tragedi 1965 masih belum jelas sehingga penyelesaian nonlitigasi (pengakuan dan kompensasi), dianggap sebagai solusi yang terbaik. Pengakuan tersebut merupakan bentuk tanggungjawab untuk menghormati HAM dan menjadi batu loncatan untuk mengungkap tragedi HAM lainnya.
Pemberdayaan Hukum dan Kebijakan Pertanahan sebagai Upaya Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Telantar
Mr. Arba;
Mr. Sahnan;
Wiwiek Wahyuningsih
Mimbar Hukum - Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Vol 22, No 1 (2010)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (393.905 KB)
|
DOI: 10.22146/jmh.16216
This research aims to identify law enforcement efforts in controlling and empowering idle land in Nusa Tenggara Barat. Result shows that National Land Agency and government have issued numerous legal instruments to address this problem. However, they are hindered by the weak regulations and various economic, social, and political conditions. Penelitian ini bertujuan menemukan upaya pemberdayaan hukum dalam menertibkan dan mendayagunakan tanah telantar di Nusa Tenggara Barat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Badan Pertanahan Nasional dan pemerintah telah menerbitkan berbagai instrumen hukum untuk menjawab permasalahan ini. Akan tetapi, instrumen-instrumen ini terhambat oleh lemahnya peraturan dan berbagai kondisi ekonomi, sosial, dan politik.
Kegagalan Pengendalian Alih Fungsi Tanah dalam Perspektif Penatagunaan Tanah di Indonesia
Hery Listyawati
Mimbar Hukum - Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Vol 22, No 1 (2010)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (453.212 KB)
|
DOI: 10.22146/jmh.16207
Annual field records show a failure in the regulation of land conversion, a situation which reflects the poor implementation of numerous Indonesian agrarian policies, including farmland conversion, land use, and spatial planning. Six attempts to control the land conversion and land use in Indonesia are formulated in this writing. Catatan lapangan tahunan menggambarkan adanya kegagalan pengendalian alih fungsi tanah, yang secara umum menunjukkan kegagalan implementasi berbagai kebijakan agraria yang termasuk di dalamnya alih fungsi tanah pertanian, penatagunaan tanah, dan penataan ruang di Indonesia. Tulisan ini merumuskan enam upaya untuk mengendalikan alih fungsi dan penatagunaan tanah di Indonesia.
Peran dan Arti Penting Perjanjian Lisensi dalam Melindungi Merek Terkenal
Agung Sujatmiko
Mimbar Hukum - Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Vol 22, No 1 (2010)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (381.201 KB)
|
DOI: 10.22146/jmh.16212
Well-known marks are trademarks that are registered and advertised in numerous jurisdictions and media. Consumers trust them as they have high quality assurance. However, well-known marks are frequently violated, which not only injures trademark owners, but also harms the state. Therefore, management of well-known marks through licensing agreement is needed. Merek terkenal adalah merek yang didaftarkan di berbagai negara, disebarluaskan di banyak media, serta dipercayai oleh banyak konsumen karena mutunya yang terjamin. Di sisi lain, sering terjadi pelanggaran merek terkenal yang tidak hanya merugikan pemegang merek, tetapi juga negara. Oleh karenanya, diperlukan penanganan pelanggaran merek melalui pembuatan perjanjian lisensi.
Asas Kesetaraan dalam Akad Pembiayaan Musyarakah pada Bank Syariah di Yogyakarta
Destri Budi Nugraheni
Mimbar Hukum - Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Vol 22, No 1 (2010)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (378.482 KB)
|
DOI: 10.22146/jmh.16217
This study focuses on musharaka financing’s equity principle that has not been fully carried out. The banks do not state explicitly their obligation to share risk and losses and they have set revenue projections beforehand. These eventually blur the profit-loss sharing mechanism thus making the system resembles conventional banks. Tulisan ini membahas asas kesetaraan dalam pembiayaan musyarakah yang belum diterapkan dengan baik. Bank tidak menyatakan dengan jelas kewajiban mereka untuk ikut menanggung risiko dan kerugian bersamasama dengan nasabah dan mereka juga telah mematok proyeksi pendapatan yang pada akhirnya mengaburkan mekanisme bagihasil sehingga membuat sistem ini mirip dengan sistem konvensional.
Multitafsir Pengertian “Ihwal Kegentingan yang Memaksa” dalam Penerbitan Perppu
Janpatar Simamora
Mimbar Hukum - Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Vol 22, No 1 (2010)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (378.357 KB)
|
DOI: 10.22146/jmh.16208
The obscurity of noodverordenings in issuing government regulation in-lieu-of-law attracts hot debate. Since the requirement of ‘compelling crisis situation’ is very subjective, it tends to be politically abused. Therefore, the will of Article 22 of 1945 Constitution that gives room for this regulation in-lieu-of-law should be re-thought and reviewed. Ketidakjelasan noodverordenings dalam mengeluarkan perppu mengundang perdebatan di masyarakat. Karena Presiden dapat menentukan kondisi ‘kegentingan yang memaksa’, kondisi ini menjadi sangat subjektif dan berpotensi disalahgunakan secara politis. Dengan demikian, penting bagi kita untuk menelaah dan memikirkan kembali maksud Pasal 22 UUDNRI Tahun 1945 yang memberikan payung hukum untuk perppu ini.