Jurnal Hukum Samudra Keadilan
Jurnal Hukum Samudra Keadilan merupakan jurnal ilmiah di bidang ilmu hukum yang diterbitkan oleh Fakultas Hukum Universitas Samudra, guna penyebarluasan kajian konseptual dan hasil penelitian. Jurnal Hukum Samudra Keadilan terbit dua kali dalam setahun (Januari-Juni dan Juli-Desember). Jurnal Hukum samudra Keadilan ditujukan untuk kalangan pakar, akademisi, praktisi, penyelenggara negara, LSM, serta pemerhati hukum.
Articles
243 Documents
PENDAFTARAN TANAH DALAM MEWUJUDKAN KEPASTIAN HUKUM ATAS KEPEMILIKAN TANAH DAN UPAYA MEMINIMALISIR KONFLIK PERTANAHAN
Muhammad Yamin;
Zaidar Zaidar
Jurnal Hukum Samudra Keadilan Vol 13 No 2 (2018): Jurnal Hukum Samudra Keadilan
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Samudra
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (884.08 KB)
|
DOI: 10.33059/jhsk.v13i2.911
Di Indonesia sistem pendaftaran tanah masih menimbulkan polemik. Masih banyak masyarakat Indonesia yang sukar untuk dapat mengatasi masalah ini dengan baik. Tujuan diadakannya Pendaftaran hak atas tanah adalah yaitu untuk kepastian hokum dan untuk perlindungan hukum kepada pemegang hak. Penyelenggaraan pendaftaran tanah dalam masyarakat modern merupakan tugas Negara yang dilaksanakan oleh Pemerintah bagi kepentingan rakyat, dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum dibidang pertanahan. Dalam rangka meningkatkan dukungan yang lebih baik pada pembangunan nasional dengan memberikan kepastian hukum dibidang pertanahan juga untuk menghimpun dan menyajikan informasi yang lengkap mengenai data fisik dan data yuridis mengenai bidang tanah yang bersangkutan. Guna menjamin kepastian hukum di bidang penguasaan dan pemilikan tanah faktor kepastian letak dan batas tiap bidang tanah tidak dapat diabaikan. Penelitian ini hendak menelusuri aspek kepastian hukum dalam pendaftaran tanah, khususnya di Kabupaten Deli Serdang.
KEBIJAKAN KRIMINALISASI TENTANG DEFORESTASI DI JAWA TIMUR
Moch. Choirul Rizal
Jurnal Hukum Samudra Keadilan Vol 13 No 2 (2018): Jurnal Hukum Samudra Keadilan
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Samudra
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (1123.881 KB)
|
DOI: 10.33059/jhsk.v13i2.915
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) of East Java noted that 30% of forest in East Java is deforested every year due to land conversion, illegal logging, fire, and erosion. In fact, East Java has a legal policy in the form of local regulations that have a spirit against deforestation. However, the policy of such law substantially contains problematics, for example, the equation of formulation of criminal acts with the Law of the Republic of Indonesia Number 18 of 2013 on Prevention and Eradication of Forest Destruction, which resulted in the regional regulations will be ruled out. Therefore, this conceptual study offers an idea of the need for an update to the criminalization policy on deforestation in the local regulation. In the future, the criminalization policy on deforestation in regional regulations in East Java should contain specific and unregulated formulations of criminal acts in the law, for example, prohibit any form of action that results in the capacity of communities to participate in the prevention and eradication of deforestation practices.
TINJAUAN KRITIS TERHADAP PERATURAN GUBERNUR NOMOR 5 TAHUN 2018 TENTANG PELAKSANAAN HUKUM ACARA JINAYAH
Chadijah Rizki Lestari;
Basri Effendi
Jurnal Hukum Samudra Keadilan Vol 13 No 2 (2018): Jurnal Hukum Samudra Keadilan
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Samudra
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (965.341 KB)
|
DOI: 10.33059/jhsk.v13i2.928
Sejak konstitusi mengakui keistimewaan Provinsi Aceh disertai dengan pemberlakuan Syari’at Islam di wilayahnya, pemerintah daerah sudah mulai mengeluarkan peraturan daerah bernafaskan Islam. salah satunya dapat dilihat pada Pasal 262 Qanun Aceh Nomor 7 Tahun 2013 Tentang Hukum Acara Jinayat (Qanun Hukum Acara Jinayah) dimana setiap pelaku jarimah yang melakukan perbuatan dilarang sebagaimana diatur pada Pasal 3 ayat (2) Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat (Qanun Hukum Jinayah) akan dikenakan hukuman, salah satunya adalah cambuk yang dilaksanakan di tempat terbuka. MeskipunPasal 262 Qanun Hukum Acara Jinayah tidak menugaskan adanya pengaturan lebih lanjut tentang pelaksanaan hukuman cambuk dalam peraturan Gubernur, namun dalam kenyataannya Gubernur Aceh membatasi pengertian tempat terbuka sebagaimana disebutkan pada Pasal 30 ayat (3) Peraturan Gubernur Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Pelaksanaan Hukum Acara Jinayah (Pergub Hukum Acara Jinayah) bahwa yang dimaksud tempat terbuka untuk pelaksanaan hukuman cambuk adalah lembaga pemasyarakatan/Rutan/Cabang Rutan. Penelitian menggunaan metode yuridis normative yang bersifat deskriptif.Hasil penelitian menunjukkan bahwa alasan utama dikeluarkannya Pergub adalah alasan Gubernur untuk meningkatkan investasikarena pada pelaksanaan hukuman cambuk di Aceh mendapat pertentangan dari pihak luar. Namun sangat disayangkan keluarnya Pergub tersebut bertentangan dengan system pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia.Oleh karena itu secara yuridis Pergub Hukum Acara Jinayah tidak memiliki kekuatan hukum.
KAJIAN KRITIS PEMILIHAN KEPALA DAERAH CALON TUNGGAL PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 100/PUU-XIII/2015
Erniyanti Erniyanti
Jurnal Hukum Samudra Keadilan Vol 13 No 2 (2018): Jurnal Hukum Samudra Keadilan
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Samudra
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (880.03 KB)
|
DOI: 10.33059/jhsk.v13i2.980
Permasalahan pilkada calon tunggal marak terjadi pada pelaksanaan pilkada tahun 2015. Hal ini dinilai dapat mengancam demokrasi daerah dalam hal pemilihan secara demokratis menurut UUD 1945. Oleh karena itu, permasalahan ini diselesaikan oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan MK No. 100/PUU-XIII/2015 dan ditetapkan dengan UU No. 10 Tahun 2016. Merujuk pada kedua regulasi tersebut, calon tunggal dapat mengikuti pelaksanaan pilkada dengan mekanisme referendum. Adapun metode yang digunakan adalah metode yuridis normatif dengan pendekatan kepustakaan. Oleh karena itu bahan hukum yang digunakan mencakup bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.
PENDAFTARAN TANAH WAKAF DALAM KONTEKS KEPASTIAN HUKUM HAK ATAS TANAH
Fatimah Fatimah
Jurnal Hukum Samudra Keadilan Vol 13 No 2 (2018): Jurnal Hukum Samudra Keadilan
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Samudra
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (1033.143 KB)
|
DOI: 10.33059/jhsk.v13i2.908
Seiring dengan prestasi tanah sebagai salah satu unsur untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat yang setiap hari semakin meningkat, bahkan aplikasi yang semakin meningkatkan kebutuhan akan tanah, mendorong masyarakat tersebut untuk melakukan sesuatu yang berhubungan dengan berbagai bentuk pemindahan haknya, salah satunya dilakukan dengan cara jual beli , Akan tetapi, peralihan hak atas tanah yang dilakukan sebagian besar atas dasar tanah tidak termasuk pendaftaran termasuk pendaftaran tanah wakaf. Dalam pemahamannya dengan konsep hak atas tanah bagi bangsa Indonesia, fungsi pendaftaran tanah memiliki peran yang sangat strategis, khususnya dalam hal hak-hak atas tanah yang berhubungan dengan tanah. Tidak banyak ditemui sebagian besar masyarakat masih banyak kurang mengetahui tentang pentingnya pendaftaran tanah wakaf. Agar dapat memberikan kepastian terhadap hak atas tanah bagi pemilik yang baru perlu dilakukan pendaftaran untuk peralihan-peralihan hak atas tanah ke Kantor Pertanahan.
KAJIAN YURIDIS PENETAPAN SANKSI DI BAWAH SANKSI MINIMUM DALAM PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA
M. Nurdin
Jurnal Hukum Samudra Keadilan Vol 13 No 2 (2018): Jurnal Hukum Samudra Keadilan
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Samudra
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (998.536 KB)
|
DOI: 10.33059/jhsk.v13i2.924
Tindak pidana narkotika merupakan salah satu pidana khusus dalam bentuk extra ordinary crime. Pengaturan hukum tindak pidana narkotika diatur dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, dimana di dalamnya mengatur tentang ancaman pidana minimum. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 114 ayat (1) Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Dalam Pasal tersebut terdapat pertentangan apa yang seharusnya dipertimbangkan oleh hakim dalam mengambil keputusan dalam hal penerapan pidana dengan ancaman pidana minimum tersebut. Adapun permasalahan yang dikaji yaitu bagaimanakah pengaturan sanksi tindak pidana narkotika dikaitkan dengan sanksi di bawah sanksi minimum. Dan, bagaimanakah konsekuensi hukum terhadap putusan hakim yang memutuskan perkara pidana narkotika dengan sanksi di bawah minimum. Metode yang digunakan adalah metode yuridis normatif yaitu metode penelitian kepustakaan dengan mengelusuri data sekunder
Model Pemilu Dengan Sistem Noken Berbasis Budaya dan Kearifan Lokal
Waluyo Waluyo
Jurnal Hukum Samudra Keadilan Vol 13 No 2 (2018): Jurnal Hukum Samudra Keadilan
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Samudra
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (995.927 KB)
|
DOI: 10.33059/jhsk.v13i2.1065
Penyelenggaraan Pemilihan Umum di sebagian wilayah Papua memilikikaraktertersendirikarenapelaksanaannyayang berbeda dari PemilihanUmumsecara umum.Jika selama inikita hanya mengenalbahwa pelaksanaan Pemilihan Umum dilaksanakan secara “Langsung,Umum,Bebas,danRahasia”,maka adasebagian wilayah di Papuayang masih menggunakanPemilihan Umum dengan sistem noken dan/atau sistem ikat. Hal ini disebabkan karenakebudayaanmasyarakatadatPapua dalamhalpengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan bersama dilakukan melaluirapatmusyawarahdenganmelibatkan wargamasyarakat secarakeseluruhan atau orang-orangtertentu (“PriaBerwibawa” atau“TheBig Man”) saja sebagai perwakilan untuk mengambil keputusan. Hal ini dikuatkan juga dengan Putusan Mahkamah Konstitusiyang padapokoknyamenyatakantidakmempermasalahkansistempemungutansuarayang digunakanolehmasyarakatadat Papua karena esensidalamproses PemilihanUmumadalah setiap orang dapatmenggunakanhakpilihnyasecaralangsung,bebas,dan rahasia. Dengan diterapkannya Pemilihan Umumsistem noken dan/atau sistem ikat tidak memberikan jaminan dan kepastian hukumterhadaphakkonstitusionalpara pemilihuntukmenentukan sendirisiapayangmenurutnya terbaik berdasarkanlogika rasionalnya.Kejujurantidakhanyaberartitidakada ketentuan PemilihanUmumyang dilanggaratausekedartidakadasuarayang dimanipulasi.Kejujuranjuga harus dimaknaisebagaisistemmana yang paling memungkinkanrakyatuntukmemilihpara calonsesuai dengan pertimbangan nuraniberdasarkan kapasitas dan integritas calon
EKSISTENSI PERADILAN ADAT DALAM PERATURAN PERUNDANGAN-UNDANGAN DI INDONESIA
FATHOR RAHMAN
Jurnal Hukum Samudra Keadilan Vol 13 No 2 (2018): Jurnal Hukum Samudra Keadilan
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Samudra
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (1024.419 KB)
|
DOI: 10.33059/jhsk.v13i2.1066
Perkembangan hukum itu ditandai dengan lahirnya berbagai macam produk hukum baru, dan ini merupakan tuntutan darisebagian besar masyarakat, untuk membangun hukum nasioanal dengan menggali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. BerdasarkanUndang-Undang Darurat Nomor 1 tahun 1951 Tentang Tindakan-Tindakan Sementara Untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan Dan Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil, pada Pasal 1 ayat (2) huruf b, tersebut, memang peradilan adat atau yang dipersamakan dengan peradilan adat tersebut telah dihapuskan, namun dalam perjalanan selanjutanya, terutama pasca reformasi pada tahun 1998 keberadaan peradilan adat secara yuridis kemabli dihidupkan dan pengaturannya terdapat dalam beberapa peraturan perundang-undangan
MENANTI PERADILAN KHUSUS PILKADA
Ibnu Affan
Jurnal Hukum Samudra Keadilan Vol 13 No 2 (2018): Jurnal Hukum Samudra Keadilan
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Samudra
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (824.564 KB)
|
DOI: 10.33059/jhsk.v13i2.1079
Menurut UUDNRI Tahun 1945 Pilkada bukan merupakan rezim pemilu, akan tetapi termasuk dalam rezim pemerintah daerah. Oleh karena itu penambahan kewenangan MK untuk mengadili perkara perselisihan hasil pemilu adalah inkonstitusional. Putusan MK Nomor 97/PUU-XI/2003 yang dibacakan pada tanggal 19 Mei 2014 telah membatalkan kewenangan MK untuk menyelesaikan sengketa pemilukada. Dalam putusannya MK menyatakan bahwa Pasal 236C UU No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintah Daerah dan Pasal 29 ayat (1) huruf (e) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dinyatakan bertentangan dengan Pasal 18 dan Pasal 22E UUDNRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Selanjutnya untuk menyelesaikan perselisihan pilkada dibentuk peradilan khusus sebagaimana diatur dalam UU No. 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang.
MENAPAKI JALAN KONSTITUSIONAL MENUJU ZAKEN CABINET : IKHTIAR MEWUJUDKAN PEMERINTAH BERKUALITAS KONSTITUSI
Novendri Nggilu;
Fence M. Wantu
Jurnal Hukum Samudra Keadilan Vol 15 No 1 (2020): Jurnal Hukum Samudra Keadilan
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Samudra
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (299.568 KB)
|
DOI: 10.33059/jhsk.v15i1.1653
Jalan Panjang konstitusional untuk menemukan format pemerintahan telah mengantarkan pada titik pilihan terhadap sistem presidensil dengan sistem multi partai yang diperhadapkan pada realitas politik tentang koalisi dalam mengusung sekaligus memenangkan calon presiden. Keberhasilan dari presiden terpilih dalam menjalankan tugas konstitusionalnya kedepan salah satunya akan ditentukan dari keberhasilan presiden dalam memilih Menteri-menterinya, presiden yang tidak kuat dan berani, akan sangat rentan dikendalikan oleh partai pengusung dalam bingkai koalisi, termasuk dalam hal pengangkatan menteri, sehingga akan mereduksi hak prerogatif presiden. Tujuan tulisan ini hendak mengurai konsep pengisian kabinet yang ideal guna mewujudkan pemerintahan yang berkualitas konstitusi. Pendekatan yang digunakan dalam penulisan artikel ini adalah pendekatan sejarah dan statute dengan Teknik analisis preskriptif. Hasilnya, secara yuridis ketentuan tentang persyaratan pengangkatan menteri oleh presiden masih memiliki “ruang kosong” terkait persyaratan kualifikasi, kompetensi atau pun keahlian seseorang dalam pengangkatan sebagai menteri. Kondisi ini tak jarang menyebabkan pengangkatan menteri lebih berdasar pada bagi-bagi “voucer hadiah” oleh presiden terhadap partai politik sebagai balas budi atas “keringat” partai yang bercucuran saat pemenangannya menjadi presiden. Pilihan untuk menapaki jalan konstitutional menuju zaken kabinet merupakan pilihan yang tepat, dengan mekanisme pengangkatan yang menciptakan kultur kompetisi, selektif dan objektif, dimana semua dapat mengusulkan orang-orang yang dianggap baik dan kompoten, dan tim kecil bentukan presiden yang akan menelusuri rekam jejak keahlian serta integritas calon menteri, dan hasilnya berbuah pada rekomendasi kepada presiden yang akan menentukan siapa-siapa saja menteri yang akan membantunya mewujudkan pemerintah yang berkualitas konstitusi, pemerintah yang mampu menunaikan janji konstitusi pada Pembukaan UUD NRI Tahun 1945, sekaligus juga melakukan pemenuhan hak konstitusional warga negaranya. Kata Kunci : Presidensial; Zaken Kabinet; Konstitusi