cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota pontianak,
Kalimantan barat
INDONESIA
E-Jurnal Gloria Yuris Prodi Ilmu Hukum (Jurnal Mahasiswa S1 Fakultas Hukum) Universitas Tanjungpura
ISSN : -     EISSN : -     DOI : -
Core Subject : Social,
Berisi Jurnal-Jurnal Mahasiswa S1 Prodi Ilmu Hukum UNTAN (Bagian Hukum Keperdataan, Bagian Hukum Pidana, Bagian Hukum Tata Negara, Bagian Hukum Ekonomi, dan Bagian Hukum Internasional)
Arjuna Subject : -
Articles 28 Documents
Search results for , issue "Vol 2, No 4 (2014): JURNAL MAHASISWA S1 FAKULTAS HUKUM UNTAN" : 28 Documents clear
ANALISIS YURIDIS TERHADAP PASAL 20 UUPA NOMOR 5 TAHUN 1960 DENGAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 11 TAHUN 2010, TENTANG PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH TERLANTAR DALAM KAITANNYA DENGAN STATUS HAK MILIK ATAS TANAH - A11109129, DICKI BAKHTIAR
Jurnal Hukum Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Untan (Jurnal Mahasiswa S1 Fakultas Hukum) Universitas Tanjungpura Vol 2, No 4 (2014): JURNAL MAHASISWA S1 FAKULTAS HUKUM UNTAN
Publisher : Jurnal Hukum Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Untan (Jurnal Mahasiswa S1 Fakultas Hukum) Universitas Tanjungpura

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Masalah pertanahan  muncul, ketika kewenangan (hak mengusai negara) diperhadapkan dengan hak warga negara, khususnya hak milik Individu dan hak komunal yang memiliki kewenangan tunggal yang sangat besar untuk mengelelola, pembagian , penguasaan, pemanfaatan dan peruntukan tanah harus berhadapan  dengan hak asasi yang melekat pada diri rakyatnya sendiri. Pengakuan kepemilikan tanah yang dikonkritkan dengan sertifikat sejak lama terjadi pada zaman sebelum kemerdekaan  Demikian juga di negara lainnya seperti Inggris, sertifikat merupakan pengakuan hak-hak atas tanah seseorang yang diatur dalam Undang·Undang Pendaftaran Tanah (Land Registrations Act 1925). Di Indonesia, sertifikat hak-hak atas tanah berlaku sebagai alat bukti yang kuat sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 19 ayat (1 dan 2)   Sertifikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian  yang kuat mengenai data fisik dan data Yuridis  yang termuat didalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai  dengan data yang ada dalam surat ukur  dan buku tanah yang bersangkutan. Mengenai kekuatan hukum dalam status hak milik atas tanah, diperkuat dan ditegaskan dalam pasal 20 UUP, dinyatakan : Hak milik adalah turun temurun, terkuat dan terpenuhi yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan pasal 6 Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Berbagai kebijakan yang dikeluarkan seringkali merugikan rakyat yang merupakan titik awal perebutan  dalam sumber daya tanah. Mengetahui dan menyadari beberapa kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat , maka pemerintah melalui  PP No. 36 Tahun 1998 tentang  Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar, Dalam Pasal 1 Point 5 PP No. 36 tahun 1998, disebutkan bahwa “Tanah terlantar  adalah tanah yang diterlantarkan  oleh pemegang hak atas tanah” Kemudian dalam Pasal 3 ditegaskan  kembali perihal  tanah hak (Hak Milik, HGU,dan HGB serta Hak Pakai) dapat dinyatakan sebagai tanah terlantar  apabila tanah  tersebut dengan sengaja  tidak  dipergunakan  oleh pemegang haknya  atau tidak dipelihara  secara baik. Pasal ini mengulang bunyi pasal 27 UUPA. Perjalanan PP Nomor. 36 Tahun 1998, belum memberikan dampak terhadap penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar, sehingga pada akhirnya dibuat  produk hukum terbaru berbentuk Peraturan Pemerintah, yaitu melalui  Peraturan Pemerintah Nomor. 11 Tahun 2010, Tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah terlantar, yang ditindak lanjuti dengan keputusan kepala Badan. Didalam PP Nomor. 11 tahun 2010 ini  tidak ada salah satu pasalpun yang menyebutkan  batasan tanah terlantar termasuk Pada Status Hak Milik, Hal ini merupakan sebuah kerancuan dimana Status Hak milim berdasarkan pasal 20 UUPA yang menyatakan status Hak milik adalah kuat tetapi dilain pihak dengan kondisi diterlantarkan dapat dibatalkan dengan sebuah Peraturan pemerintah yang setiungkat lebih rendah dari UUPA. Dasar pembentukan UUPA,  ini  adalah mengacu kepada Pasal 33  ayat (3) UUD 1945,  mengatakan “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 terdapat dua kata yang menentukan, yaitu perkataan “dikuasai” dan “dipergunakan”. Perkataan  “dikuasai” sebagai dasar wewenang Negara, Negara adalah badan hukum publik yang dapat mempunyai hak dan kewajiban seperti manusia biasa. Persoalan yang dapat dikemukakan adalah apakah dasar alasan sehingga Negara diberi kewenangan untuk menguasai tanah, sementara perkataan “dipergunakan” mengandung suatu perintah kepada Negara untuk menggunakan bagi sebesar-besamya kemakmuran rakyat, penguasaan atas tanah oleh Negara, diartikan sebagai pemberi wewenang kepada Negara sebagai organisasi kekuasaan rakyat Indonesia. Konsekuensinya, Negara berhak campur tangan  disektor agraria, sehingga hak atas tanah tidak terlepas dari hak menguasai Negara. Demi kepentingan nasional misalnya, Negara dapat mengendalikannya, Prof. Dr. Yusriadi Sebagai tindak lanjut dari pasal tersebut, berkenaan dengan tanah terlantar dan dilihat secara filosofis “tanah terlantar” sangat bertentangan dengan  asas yang menentukan bahwa tanah merupakan asset atau modal, bahkan  tanah merupakan sumber kehidupan manusia yang tidak akan habis, tanah berfungsi untuk mensejahterakan kehidupan manusia, sehingga tanah harus digunakan  untuk meningkatkan kemakmuran rakyat, oleh sebab itu mengabaikan kewajiban menggunakan, mengelola dengan benar dalam hal ini sesuai dengan haknya  merupakan tindakan pelanggaran terhadap fungsi sosial dan pengingkaran filosofis  tanah Kesadaran akan kedudukan istimewa  tanah dalam alam pikiran bangsa Indonesia juga terungkap dalam UUPA yang menyatakan adanya hubungan abadi antara bangsa Indonesia dengan  tanah, namun kata “dikuasai” Pasal 33 UUD 1945 tidak menunjukan Negara adalah pemiliknya, Hal ini dapat dilihat dalam penjelasan umum, dinyatakan bahwa Negara (pemerintah) hanya menguasai tanah. Pengertian tanah “dikuasai” seperti tersebut diatas bukan berarti memiliki, tetapi kewenangan tertentu yang diberikan kepada Negara sebagai organisasi kekuasaan, Hal ini dirumuskan dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA Hak adalah kepentingan yang dilindungi oleh hukum, sedangkan  kepentingan adalah tuntutan perorangan atau kelompok yang diharapkan untuk dipenuhi. Kepentingan pada hakikatnya mengandung kejelasaan yang dilindungi oleh hukum dalam melaksanakannya. Dengan demikian, apa yang dinamakan hak itu sah apabila dilindungi oleh sistem hukum.[1] Pemegang hak melaksanakan kehendak menurut cara tertentu dan kehendaknya itu diarahkan untuk memuaskan. Pada bagian lain, Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa, hak merupakan hubungan hukum antara subjek hak déngan objek hak, karéna hubungan tersebut memperoleh perlindungan hukum Kemerdekaan Negara Indonesia pada tanggal 17 Agustus tahun 1945, merupakan batas akhir berlakunya tata hukum, yang oleh  Prof. Dr. Ahmad Sanusi, SH., mengatakan bahwa Hukum yang berlaku sekarang di sini ia menerangkan seluruh hukum dari berbagai cabangnya yang kini berlaku di Indonesia, dan yang berlakunya baik itu atas semua orang, maupun atas golongan-golongan penduduk tertentu.[1] artinya beralihnya tata hukum Kolonial kepada tata hukum Indonesia, tetapi untuk proses pembentukan hukum sebagai pengganti hukum Kolonial, tidak secepat apa yang diharapkan, karena proses pembentukan hukum yang menjadi tata hukum tidak semudah apa yang dipikirkan, oleh karena itu Melalui Peraturan Peralihan Pasal II, UUD Tahun 1945, ”Semua lembaga Negara yang ada masih tetap berfungsi  sepanjang untuk melaksanakan ketentuan Undang-Undang Dasar dan belum diadakan yang baru menurut undang-undang ini” memahami hal tersebut dengan maksud mengisi kekosongan hukum, seperti disebutkan Pasal II Aturan Peralihan. Dengan demikian atas dasar tersebut, produk hukum lama masih tetap diberlakukan sepanjang tidak bertentangan dengan Falsafah bangsa yaitu Pancasila dan UUD tahun 1945. Pada era inilah terjadi perubahan politik agraria nasional. Pemerintah sekarang tidak lagi berangkat dari paradigma UUPA, akan tetapi memaknai paradigma  UUPA  yang neo populis tersebut yang menyatakan bahwa “tanah itu digunakan untuk pemenuhan kebutuhan rakyat”, dengan paradigma “Sumber-sumber agraria adalah komoditas”. Tanah dalam hal ini telah dirubah dari memiliki karakter sosial, menjadi masuk dalam skema pasar tanah Keyword : Peraturan yang lebih rendah tingkatannya
PENDAPAT PEMUKA AGAMA ISLAM KECAMATAN SUNGAI KAKAP KABUPATEN KUBU RAYA TENTANG PERKAWINAN WANITA HAMIL DENGAN LAKI-LAKI YANG BUKAN MENGHAMILINYA - A01110202, KUNTI ROSITA
Jurnal Hukum Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Untan (Jurnal Mahasiswa S1 Fakultas Hukum) Universitas Tanjungpura Vol 2, No 4 (2014): JURNAL MAHASISWA S1 FAKULTAS HUKUM UNTAN
Publisher : Jurnal Hukum Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Untan (Jurnal Mahasiswa S1 Fakultas Hukum) Universitas Tanjungpura

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Perkawinan merupakan kebutuhan manusia yang disyari’atkan dalam Islam dan bernilai ibadah. Salah satu tujuan perkawinan adalah sebagai penjagaan moral, karena aturan Islam mengharamkan zina dan melestarikan ras manusia baik laki-laki maupun perempuan untuk tunduk kepada sebuah aturan yang menjaga moral. Maraknya pergaulan bebas dikalangan remaja menyebabkan kerusakan yang sangat besar. Akibatnya, wanita hamil tanpa suami pun semakin menjamur. Akhirnya berbagai cara dipakai untuk menutupi kehamilan dengan cara menikahkan wanita hamil dengan laki-laki yang menghamilinya. Namun adakalanya perkawinan wanita hamil dilangsungkan dengan laki-laki yang bukan menghamilinya. Metode yang digunakan dalam penelitian skripsi ini adalah metode empiris dengan pendekatan deskriptif analisis, yaitu dengan meneliti dan mengenal keadaan subjek dan objek penelitian dengan menggambarkan keadaan dan fakta yang didapat secara nyata pada saat peneitian dilakukan. Dalam Kompilasi Hukum Islam maupun Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 perkawinan tersebut memang tidak secara jelas diatur. Adapun dalam Pasal 53 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam hanya mengatur tentang kebolehan perkawinan wanita hamil dengan laki-laki yang menghamilinya. Faktor penyebab perkawinan wanita hamil dengan laki-laki yang bukan penghamilinya adalah Untuk menutupi aib, karena laki-laki yang menghamili wanita tersebut menolak untuk bertanggung jawab dan karena desakan orang tua. Pemuka Agama Islam Kecamatan Sungai Kakap berbeda pendapat. Sebagian besar mengharamkan namun ada juga yang membolehkan.Hendaknya dibuat fatwa ulama mengenai perrkawinan wanita hamil dengan laki-laki yang bukan menghamilinya sehingga fatwa tersebut dapat digunakan sebagai dasar pembentukan peraturan perundang-undangan. Selain itu hendaknya para remaja menjaga pergaulannya terutama dengan lawan jenis agar terhindar dari perbuatan yang Allah larang yaitu perzinaan. Keywords: Kawin Hamil 
PELAKSANAAN WAJIB LATIHAN KERJA SEBAGAI PENGGANTI PIDANA DENDA BAGI ANAK HUBUNGANNYA DENGAN HAK ANAK UNTUK MENDAPATKAN PENDIDIKAN DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN ANAK KLAS II B SUNGAI RAYA - A01110186, ANTIRI NOPIKASARI
Jurnal Hukum Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Untan (Jurnal Mahasiswa S1 Fakultas Hukum) Universitas Tanjungpura Vol 2, No 4 (2014): JURNAL MAHASISWA S1 FAKULTAS HUKUM UNTAN
Publisher : Jurnal Hukum Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Untan (Jurnal Mahasiswa S1 Fakultas Hukum) Universitas Tanjungpura

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Bahwa penjatuhan pidana subsider  wajib latihan kerja oleh hakim hanya diberikan dalam hal anak dijatuhi pidana kumulatif penjara dan denda. Bilamana denda tidak dibayar maka anak wajib melaksanakan latihan kerja (Pasal 28 UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan `Anak jo Pasal 71 ayat (3) UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak) paling lama 90 (sembilan puluh) hari dan lama latihan kerja tidak lebih dari 4 (empat) jam sehari serta tidak dilakukan pada malam hari, dimana bertujuan untuk memberikan keterampilan sebagai bekal untuk kembali pada masyarakat. Bahwa sejak ada putusan pengadilan tahun 2010 bagi anak di Lembaga Pemasyarakatan Anak Klas II B Sungai Raya berupa pidana subsider wajib latihan kerja dan mulai dilaksanakan tahun 2011, ketidaktersediaan sarana dan prasarana yang memadai, anak memenuhi syarat untuk melaksanakan pidana diluar Lapas dan MOU/Kesepakatan bersama 6 (enam) lembaga tentang Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial Anak Yang Berhadapan dengan Hukum tahun 2009, maka dilaksanakan oleh Dinas Sosial Kalimantan Barat dan ditempatkan untuk magang di Bengkel Las Intan Jl. Suwignyo Kota Pontianak dengan keterampilan yang diberikan berupa las teralis. Konsep pidana subsider  wajib latihan kerja ditujukan untuk menciptakan anak yang berasal dari keluarga tidak mampu dapat mandiri sebagai seorang yang profesional dibidangnya. Oleh karena itu, masalah dalam penelitian ini untuk mengukur apakah pelaksanaan pidana subsider latihan kerja  sudah efektif atau tidak. Hasil penelitian menunjukan pelaksanaan pidana subsider  wajib latihan kerja sepenuhnya menjadi tanggungjawab pihak swasta tanpa adanya program latihan kerja  dan tidak adanya pengawasan intensif oleh Dinas Sosial. Selain itu pemilihan tempat tidak didasarkan atas standarisasi jelas hanya berdasarkan hubungan baik. Dipihak lain anak merasa nyaman karena tempat jauh dari keramaian dan perlakuan pemilik/pengelola bengkel seperti kepada pekerja/buruh lainnya. Namun secara subjektif, pemilik/pengelola bengkel kurang memberikan kepercayaan untuk latihan mengelas teralis dan tuntutan pesanan pembeli mengakibatkan pekerja tidak secara penuh dapat mengajarkan anak. Pihak swasta sebagai badan usaha yang beorientasi pada profit dan pekerja sebagai seorang profesional yang produktif tidak mampu memberikan pelatihan keterampilan untuk menciptakan anak sebagai seorang yang profesional di bidang las teralis.  Selanjutnya konsep magang sebagai metode pengembangan keterampilan belum dicapai karena program yang diberikan bersifat holistik bukan berdasarkan bakat/minat anak yang disuaikan dengan pembinaan keterampilan di Lembaga Pemasyarakatan Anak Klas II B Sungai Raya. Akhirnya dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan wajib latihan kerja sebagai pengganti pidana denda di Lembaga Pemasyarakatan Anak Klas II B Sungai Raya belum efektif karena karena lemahnya pengawasan atau program yang belum tepat. Keyword : wajib latihan kerja, pengganti denda, pidana subsider.
PEMBAGIAN HARTA WARIS SUKU MADURA KECAMATAN SINGKAWANG UTARA KOTA SINGKAWANG DI TINJAU DARI KOMPILASI HUKUM ISLAM - A01110213, SAFARUDIN
Jurnal Hukum Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Untan (Jurnal Mahasiswa S1 Fakultas Hukum) Universitas Tanjungpura Vol 2, No 4 (2014): JURNAL MAHASISWA S1 FAKULTAS HUKUM UNTAN
Publisher : Jurnal Hukum Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Untan (Jurnal Mahasiswa S1 Fakultas Hukum) Universitas Tanjungpura

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Masyarakat suku Madura yang berdiam di Kecamatan Singkawang Utara Kota Singkawang, memiliki adat istiadat dan hukum adat yang merupakan warisan dari nenek moyang dan berlaku secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Salah satu hukum adat yang berlaku pada masyarakat suku Madura di Kecamatan Singkawang Utara Kota Singkawang adalah hukum adat waris. Hukum adat waris pada masyarakat suku Madura Kecamatan Singkawang Utara Kota Singkawang menganut pola pewarisan secara bilateral/parental, yaitu adanya persamaan hak mewaris antara laki-laki dengan perempuan. Dalam pembagian harta warisan, dilakukan secara kekeluargaan, dimana ahli waris perempuan mendapat bagian yang sama dengan ahli waris laki-laki yaitu sama-sama mendapat satu bagian. Penelitian ini yang menjadi permasalahannya adalah “Apakah suku Madura Kecamatan Singkawang Utara Kota Singkawang dalam pembagian harta waris sesuai dengan Kompilasi Hukum Islam?" Adapun dalam penulisan ini, penulis menggunakan Metode Empiris dengan pendekatan secara Deskriptif Analisis, yaitu suatu proses penelitian yang dilakukan dengan menggambarkan dan menjelaskan gejala-gejala yang tampak pada saat penelitian dilakukan. Dari hasil penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa sistem pembagian harta warisan pada masyarakat suku Madura di Kecamatan Singkawang Utara Kota Singkawang menggunakan sistem bagi rata antara ahli waris laki-laki dan ahli waris perempuan, dimana ahli waris perempuan mendapat bagian yang sama dengan ahli waris laki-laki yaitu dengan porsi pembagian 1:1. Dan pembagian dengan porsi 1:1 ini sangat lah tidak sesuai dengan Kompilasi Hukum Islam, dimana di dalam Kompilasi Hukum Islam porsi untuk pembagian harta waris yaitu menggunakan porsi 2:1, dimana ahli waris laki-laki mendapat lebih banyak harta warisan di banding ahli waris perempuan. Bahwa faktor penyebab masyarakat suku Madura melakukan pembagian harta waris menurut adat adalah karena masyarakat suku Madura tersebut kurang memahami pembagian harta waris menurut hukum waris Islam, dan lebih memilih pembagian harta waris menurut adat karena pembagian harta waris menurut adat sudah menjadi adat yang turun temurun dari zaman nenek moyang mereka.Bahwa untuk mengetahui akibat hukum terhadap pembagian warisan secara adat pada suku Madura di Kecamatan Singkawang Utara dikaitkan dengan ketentuan Kompilasi Hukum Islam adalah pihak laki-laki merasa dirugikan karena pihak laki-laki yang seharusnya mendapat dua bagian dari pihak perempuan jika bagi waris menggunakan Kompilasi Hukum Islam, jadi hanya mendapat satu bagian karena menggunakan waris secara adat.   Keyword : Waris, Madura, Kota Singkawang, Kompilasi Hukum Islam. 
PENERAPAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 101 TAHUN 2012 TENTANG PENERIMA BANTUAN IURAN JAMINAN KESEHATAN (STUDI KASUS DI DESA PERAPAKAN KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS) - A01110183, AMIR
Jurnal Hukum Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Untan (Jurnal Mahasiswa S1 Fakultas Hukum) Universitas Tanjungpura Vol 2, No 4 (2014): JURNAL MAHASISWA S1 FAKULTAS HUKUM UNTAN
Publisher : Jurnal Hukum Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Untan (Jurnal Mahasiswa S1 Fakultas Hukum) Universitas Tanjungpura

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Adapun dalam penelitian ini yang menjadi permasalahannya adalah Apakah penerima bantuan iuran jaminan kesehatan di Desa Perapakan Kecamatan Pemangkat Kabupaten Sambas telah sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2012 tentang Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan? Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitan hukum empiris. Penelitian hukum empiris yaitu penelitian yang berasal dari kesenjangan antara teori dengan kehidupan nyata yang menggunakan hipotesis, landasan teoritis, kerangka konsep, data sekunder dan primer. Dalam jenis penelitian ini penulis memaparkan tentang hukum dalam prosesnya, penerapannya dan pengaruhnya di dalam kehidupan bermasyarakat. Dari hasil penelitian yang dilakukan penulis dapat disimpulkan bahwa Program Penerima Bantuan Iuran (PBI) Jaminan Kesehatan di desa Perapakan kecamatan Pemangkat kabupaten Sambas belum sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2012 tentang Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan karena masih terdapat keluarga miskin yang belum terdaftar menjadi Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan. Kemudian yang menjadi faktor-faktor penyebab ketidak tepatan sasaran Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan di Desa Perapakan kecamatan Pemangkat kabupaten Sambas adalah sebagai berikut : Bahwa tidak ada pengawasan dari instansi lain yang mengawasi BPS dalam melakukan pendataan sehingga mempermudah melakukan kecurangan dan tidak ada Data Base keluarga miskin di desa Perapakan sehingga menyulitkan penjaringan keluarga miskin ketika pendataan. Adapun saran penulis dalam pelaksanaan program Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan harus sesuai berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2012 tentang Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan agar tujuan program tersebut tercapai yaitu menjamin agar fakir miskin dan orang tidak mampu di Indonesia khususnya di desa Perapakan memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatannya. Kemudian Dalam melaksanakan pendataan keluarga miskin, Badan Pusat Statistik harus diawasi oleh instansi lain agar proses pendataan berjalan secara tepat dan untuk mengefisienkan proses pendataan setiap desa.Desa perlu membuat sebuah data base keluarga miskin agar memudahkan penjaringan keluarga miskin serta untuk mencapai ketepatan sasaran peserta penerima bantuan iuran perlu dilakukan verifikasi dan validasi setiap 6 (enam) bulan berjalan program jaminan kesehatan.   Keyword : Jaminan Kesehatan, Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan, Kriteria Miskin, Pendataan Keluarga Miskin
IMPLIKASI HUKUM KEBERADAAN TAP MPR DALAM SISTEM PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA - A01110188, ANUM
Jurnal Hukum Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Untan (Jurnal Mahasiswa S1 Fakultas Hukum) Universitas Tanjungpura Vol 2, No 4 (2014): JURNAL MAHASISWA S1 FAKULTAS HUKUM UNTAN
Publisher : Jurnal Hukum Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Untan (Jurnal Mahasiswa S1 Fakultas Hukum) Universitas Tanjungpura

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Sebelum dilakukan amandemen terakhir terhadap UUD NRI Tahun 1945, MPR dipandang sebagai lembaga tertinggi negara sebagai pemegang dan pelaksana kedaulatan rakyat, namun berubah menjadi lembaga tinggi negara yang sejajar dengan lembaga negara lainnya. MPR tidak dimungkinkan lagi untuk mengeluarkan ketetapan diluar kewenangan yang dimilikinya berdasarkan UUD NRI Tahun 1945. MPR pasca amandemen telah kehilangan wewenang untuk menciptakan peraturan yang bersifat regelling. Hal ini, berdampak pada status hukum Tap MPR/S yang pernah dikeluarkan terdahulu.  Berdasarkan Tap MPR No. I/MPR/2003 tentang peninjauan  materi dan status hukum Tap MPR/S dari tahun 1960 sampai dengan tahun 2002,  ditemukan 8 Tap MPR yang masih relevan untuk diberlakukan. Berdasarkan UU No. 10 Tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, menghilangkan Tap MPR dalam hierarki peraturan perundang-undangan, namun Tap MPR kembali dimasukkan dalam hierarki berdasarkan UU No. 12 Tahun 2011. Tap MPR ditempatkan setingkat di atas UU dan setingkat di bawah UUD NRI Tahun 1945. Keberadaan Tap MPR saat ini dapat menimbulkan implikasi hukum sehingga diperlukan suatu langkah untuk memposisikan Tap MPR/S secara ideal. Adapun dalam penulisan ini, digunakan penelitian hukum normatif dengan melakukan analisis data melalui teknik deskriptif dan evaluatif sedangkan teori yang digunakan adalah Stufenbau Theorie, teori perundang-undangan dan teori lembaga negara. Penempatan kembali Tap MPR dalam hierarki peraturan perundang-undangan akan menimbulkan sejumlah implikasi hukum. Pertama, dilihat dari sinkronisasi peraturan perundang-undangan bahwa Tap MPR telah mengaburkan sifat pembeda antara peraturan dan keputusan, dan jika dicermati dari segi sifat hukum dan materi muatan yang diaturnya Tap MPR bukanlah termasuk dalam jenis peraturan perundang-undangan. Peraturan bersifat regelling dan berlaku terus menerus sedangkan keputusan/ketetapan bersifat individual, konkrit dan final. kedua,berimplikasi terhadap kedudukan antar lembaga negara yang berwenang mengeluarkan peraturan, posisi Tap MPR saat ini, dapat menimbulkan konflik kewenangan antar sesama lembaga negara. Ketiga, berkaitan pula dengan kedudukan peraturan MA, MK dan peraturan lembaga lainnya yang sejajar karena seolah MPR tersebut masih memiliki kedudukan yang lebih tinggi. Keempat, berimplikasi terhadap lembaga mana yang akan berwenang melakukan yudisial review. Dewasa ini, MK dan MA tidak memiliki dasar konstitusional, kecuali MK memperluas kewenangannya. Sehingga perlu dilakukan penyetaraan status hukum Tap MPR dengan UUD NRI Tahun 1945 atau UU. Akan jauh lebih efektif jika dilakukan penyetaraan status hukumnya dengan UU. Hal ini sejalan dengan bunyi pasal 4 Tap MPR No. I/MPR/2003 yang telah memberikan suatu ruang kepada Tap MPR untuk dapat disetarakan dengan UU. Sehingga perlu dilakukan revisi terhadap UU No. 12 Tahun 2011. Produk hukum Tap MPR  gaya baru dalam revisi UU tersebut akan muncul dengan wujud berupa UU karena semua materi muatan Tap MPR  tersebut telah diatur ke dalam UU.   Keywords : implikasi hukum, Tap MPR, hierarki peraturan perundang-undangan
FAKTOR-FAKTOR TERDAKWA YANG DIPUTUS BEBAS TIDAK MEENGAJUKAN GANTI KERUGIAN DI WILAYAH HUKUM PENGADILAN NEGERI PONTIANAK - A01106138, AL AMINUDDIN
Jurnal Hukum Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Untan (Jurnal Mahasiswa S1 Fakultas Hukum) Universitas Tanjungpura Vol 2, No 4 (2014): JURNAL MAHASISWA S1 FAKULTAS HUKUM UNTAN
Publisher : Jurnal Hukum Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Untan (Jurnal Mahasiswa S1 Fakultas Hukum) Universitas Tanjungpura

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Perlindungan hak asasi manusia terhadap tersangka/terdakwa adalah hal yang penting yang terdapat dalam KUHAP, karena pemberian hak-hak tersebut kepada tersangka/terdakwa sebagai pelanggar hukum, tetapi sebagai manusia yang mempunyai hak dan kewajiban. Manusia sebagai obyek dan subyek anggota masyarakat. Jika tersangka/terdakwa yang diperiksa karena kebenaran materiil adalah pelaku suatu kejahatan, maka itu merupakan resiko perbuatannya sendiri yang melanggar  hukum itu. Tapi sebaliknya, jika seorang tersangka/terdakwa yang telah menjalani proses hukum dari mulai sejak penyidikan sampai penuntutan dipengadilan tapi tidak terbukti bersalah dan dibebaskan oleh hakim, maka negara telah menjamin haknya untuk menuntut ganti kerugian. Hal tersebut tertuang dalam Pasal 95 KUHAP. Ini artinya negara telah melindungi hak-hak warganya dalam hukum. Namun ternyata masih banyak warga negara khususnya para mantan terdakwa diwilayah hukum Pengadilan Negeri Pontianak tidak menggunakan haknya untuk menuntut ganti kerugian, padahal  mereka adalah pihak yang dirugikan karena selama menjalani proses hukum tersebut, mereka telah banyak mengorbankan waktu, tenaga dan fikiran bahkan uang, serta kebebasan mereka harus dibatasi ketika menjalani penahanan dan bahkan nama mereka sudah tercoreng dihadapan masyarakat. Ini artinya, ada faktor penyebab, mengapa para mantan terdakwa tersebut tidak menggunakan haknya yang telah dijamin oleh negara. Oleh karena itu, penulis tertarik melakukan penelitian tentang hal tersebut yang dituangkan dalam skripsi yang berjudul “Faktor-Faktor Terdakwa yang Diputus Bebas Tidak Mengajukan Ganti Kerugian Diwilayah Hukum Pengadilan Negeri Pontianak”. Penelitian ini merupakan penelitian dengan pendekatan deskriptif empiris, selanjutnya dari hasil penelitian ini dianalisis dengan mempergunakan cara analisis kuantitatif, sehingga diharapkan akan memperoleh gambaran yang menyeluruh tentang faktor-faktor terdakwa yang diputus bebas tidak mengajukan ganti kerugian diwilayah hukum Pengadilan Negeri Pontianak. Titik berat penelitian adalah studi lapangan, sehingga data primer atau data yang bersumber dari penelitian lapangan lebih diutamakan dari pada data sekunder. Hasil penelitian menunjukkan bahwa para terdakwa yang diputus bebas tersebut tidak mengajukan tuntutan ganti kerugian dikarenakan masih rendahnya kesadaran hukum terdakwa. Rendahnya kesadaran hukum tersebut disebabkan oleh  rendahnya pendidikan terdakwa sehingga berpengaruh terhadap pengetahuan terdakwa mengenai hukum. Faktor lain yang juga mempengaruhi adalah kurangnya peran penegak hukum dalam hal ini hakim dan pengacara terdakwa dalam memberitahukan hak terdakwa, serta belum pernah diadakannya penyuluhan hukum mengenai adanya hak untuk menuntut ganti kerugian bagi terdakwa yang diputus bebas tersebut. Keywords : Faktor-faktor terdakwa, putus bebas, ganti kerugian
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA SEBAGAI ALASAN PENGAJUAN GUGATAN CERAAI DI PENGADILAN NEGERI PONTIANAK - A11110116, JARMAWATI PUTRI PAMUNGKAS
Jurnal Hukum Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Untan (Jurnal Mahasiswa S1 Fakultas Hukum) Universitas Tanjungpura Vol 2, No 4 (2014): JURNAL MAHASISWA S1 FAKULTAS HUKUM UNTAN
Publisher : Jurnal Hukum Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Untan (Jurnal Mahasiswa S1 Fakultas Hukum) Universitas Tanjungpura

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Perceraian ada karena adanya perkawinan, tidak ada perkawinan tentu tidak ada perceraian. Perkawinan dapat putus dengan berbagai alasan sesuai dengan pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, salah satu dasar dalam mengajukan gugatan perceraian di Pengadilan Negeri adalah salah satu pihak (Suami/istri) melakukan kekejaman/ penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain, yang identik dengan Kekerasan dalam rumah tangga (Pasal 19d Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 dan Undang-undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga). Dalam konteks ini pihak suami lebih dominan menjadi pelaku kekerasan sedangkan istri menjadi sasaran bahkan tidak menutup kemungkinan anak-anak dan orang-orang yang tinggal didalam rumah tersebut menjadi korbannya. Dalam penelitian ini penulis menggunakan Metode Empiris dengan pendekatan Deskriptif Analisis, karena bermaksud memecahkan masalah berdasarkan data dan fakta yang terkumpul sebagaimana adanya pada saat penelitian ini dilakukan. Data diperoleh dari penelitian lapangan dan kepustakaan. Sumber data langsung diperoleh dari wawancara dengan Hakim yang menangani kasus perceraian dengan alasan kekerasan dalam rumah tangga, sedangkan sumber data tidak langsung diperoleh dengan tehnik pembagian angket kepada pasangan suami istri yang melakukan perceraian dengan alasan kekerasan dalam rumah tangga di Pengadilan Negeri Pontianak. Adapun faktor yang menyebabkan suami melakukan tindakan kekerasan dalam rumah tangga karena faktor intern seperti : istri sering marah dan curiga Suami selingkuh dengan perempuan lain, Istri tidak pengertian dengan kekurangan Suami, Memikirkan biaya hidup sementara Istri selalu menuntut, dan faktor esktern seperti adanya gangguan/ godaan dari pihak ketiga (WIL). Walaupun sebagian besar pelaku telah mengetahui adanya undang-undang yang mengatur tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Undang-undang No. 23 Tahun 2004),namun tidak sertamerta membuat kekerasan dalam rumah tangga itu sirna, masih saja ada kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi di dalam masyarakat kota Pontianak dan ada beberapa dari mereka bahkan mengajukan perceraian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di wilayah Hukum Pengadilan Negeri Pontianak masih ada gugatan cerai yang dilakukan istri terhadap suami karena adanya tindakan kekerasan dalam rumah tangga. Keyword : Kekerasan, Rumah tangga, Gugatan Cerai.

Page 3 of 3 | Total Record : 28