cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota pontianak,
Kalimantan barat
INDONESIA
E-Jurnal Gloria Yuris Prodi Ilmu Hukum (Jurnal Mahasiswa S1 Fakultas Hukum) Universitas Tanjungpura
ISSN : -     EISSN : -     DOI : -
Core Subject : Social,
Berisi Jurnal-Jurnal Mahasiswa S1 Prodi Ilmu Hukum UNTAN (Bagian Hukum Keperdataan, Bagian Hukum Pidana, Bagian Hukum Tata Negara, Bagian Hukum Ekonomi, dan Bagian Hukum Internasional)
Arjuna Subject : -
Articles 1,226 Documents
PELAKSANAAN PASAL 26 HURUF e PERATURAN DAERAH KOTA PONTIANAK NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG KETERTIBAN UMUM PERIHAL LARANGAN MEMBUKA USAHA PETERNAKAN HEWAN TANPA IZIN KEPALA DAERAH - A11109074, MUHAMMAD IQBAL S.
Jurnal Hukum Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Untan (Jurnal Mahasiswa S1 Fakultas Hukum) Universitas Tanjungpura Vol 2, No 3 (2014): JURNAL MAHASISWA S1 FAKULTAS HUKUM UNTAN
Publisher : Jurnal Hukum Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Untan (Jurnal Mahasiswa S1 Fakultas Hukum) Universitas Tanjungpura

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Dengan maraknya usaha peternakan yang diusahakan oleh anggota masyarakat Pontianak baik sebagai usaha sampingan ataupun tetap, maka pemerintah daerah merasa perlu untuk mengatur tata laksananya untuk kepentingan masyarakat umum. Ini merupakan usaha pemerintah daerah mengatur ketertiban umum di bidang peternakan. Jelasnya pengaturan ketertiban umum mengenai usaha peternakan salah satu pasalnya di dalam Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2010 yakni Pasal 26 huruf e adalah tentang larangan membuka usaha peternakan hewan tanpa izin Kepala Daerah (dalam hal ini Walikota Pontianak). Usaha peternakan memang sangat digalakkan oleh Pemerintah sebagai usaha tetap ataupun sebagai mata pencaharian sampingan yang lebih mantap, kekal dan dinamis seiring dengan perkembangan dan pertumbuhan penduduk yang membutuhkan daging hewan ternak seperti ayam, sapi, kambing yang setiap saat menjadi barang konsumtif masyarakat. Namun pengusahaan/pengelolaannya haruslah sesuai dengan situasi dan kondisi serta areal/wilayah yang dipandang layak untuk usaha peternakan tersebut, karena berhubungan dengan lingkungan hidup sekitarnya. Untuk itulah diperlukan adanya penertiban terhadap usaha peternakan dengan memberikan jaminan kepastian hukum melalui Izin Usaha Peternakan. Pengamanan ke arah tersebut memang telah diantisipasi oleh Pemerintah Daerah Kota Pontianak dengan mengacu pada peraturan Perundang-undangan seperti Undang-undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1977 Tentang Usaha Peternakan, serta dipertegas lagi dengan Peraturan Daerah Kota Pontianak Nomor 1 Tahun 2010 Tentang Ketertiban Umum khususnya Pasal 26 huruf e perihal larangan membuka usaha peternakan tanpa izin dari Kepala Daerah (dalam hal ini Walikota Pontianak). Ketentuan tersebut diartikan bahwa setiap anggota masyarakat baik secara perseorangan maupun melalui badan hukum yang hendak membuka usaha peternakan wajib memiliki Izin Usaha Peternakan dari Kepala Daerah Kota Pontianak. Dalam kenyataannya diketahui sekarang adalah usaha peternakan yang dikelola anggota masyarakat secara liar (tanpa izin Walikota Pontinak). Ini akan dapat menjadi ancaman kesehatan masyarakat, mutu hewan ternak tidak terjamin. Upaya memberikan pemahaman terhadap peternak liar tersebut dirasakan kurang memadai, dalam arti kurangnya sosialisasi terhadap para peternak yang merasa tidak mengetahui tentang peraturan-peraturan dalam hal membuka usaha peternakan yang harus disyaratkan dengan Izin Usaha Peternakan.Keyword : Usaha Pertenakan, Ketertiban Umum, Peraturan Daerah
PERLINDUNGAN HAK CIPTA TERHADAP PEMBAJAKAN MERCHANDISE ANIME DI INDONESIA - A1012131031, SUHARDI
Jurnal Hukum Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Untan (Jurnal Mahasiswa S1 Fakultas Hukum) Universitas Tanjungpura Vol 5, No 2 (2017): JURNAL MAHASISWA S1 FAKULTAS HUKUM UNTAN
Publisher : Jurnal Hukum Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Untan (Jurnal Mahasiswa S1 Fakultas Hukum) Universitas Tanjungpura

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Merchandise anime merupakan sebuah komersialisasi dari suatu karakter anime yang dilindungi oleh Konvensi Berne sebagai sebuah karya gambar. Indonesia sebagai salah satu negara anggota dari Konvensi Berne, belum memberikan perlindungan yang berarti bagi pencipta dan pemegang hak cipta asing melalui Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Hal ini dapat dilihat dari masih maraknya pembajakan merchandise anime di Indonesia. Selain itu belum ada undang-undang Hak Kekayaan Intelektual Indonesia yang mengatur secara jelas mengenai merchandising ini. Berkaitan dengan permasalahan tersebut, penulis merumuskan masalah, yaitu sejauh manaUndang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta memberikan perlindungan hukum terhadap pembajakan merchandiseanime di Indonesia? Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hukum yang mengatur merchandise anime di Jepang, sejauh mana Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta memberikan perlindungan, dan penyebab dari maraknya pembajakan merchandise anime di Indonesia. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode hukum normatif, yaitu dengan cara mempelajari dan menelaah bahan-bahan hukum primer, sekunder, dan tersier yang dikaji secara deskriptif analisis. Melalui hasil penelitian yang telah dilakukan penulis bahwa Jepang melindungi merchandise anime dari pembajakan dengan menggunakan Merchandising Rights yang dimana merupakan sebuah paket dari Copyight Act, Design Act,Trademark Act, yyyy dan Unfair Competition Prevention Act. Di Indonesia sendiri, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta belum cukup baik memberikan perlindungan hukum bagi pencipta dan pemegang hak cipta kewarganegaraan Jepang dalam mengatasi pembajakan merchandise anime di Indonesia. Hal ini dikarenakan pencipta dan pemegang hak cipta kewarganegaraan Jepang sulit untuk melakukan tindakan penuntutan dikarenakan status kewarganegaraannya. Apalagi hak cipta merupakan delik aduan, sehingga memerlukan aduan dari pihak pencipta dan pemegang hak cipta tersebut. Selain itu, adanya aturan yang saling tumpang tindih antara hak cipta dan desain industri dalam memberikan perlindungan kepada merchandise anime sehingga menimbulkan celah hukum yang dapat dipergunakan oleh oknum pembajakan merchandise anime. Hal sebagaimana telah disebutkan di muka, turut menyokong maraknya pembajakan merchandise anime di Indonesia. Sulitnya tindakan yang dapat diambil oleh pencipta dan pemegang hak cipta kewarganegaraan Jepang dalam mengatasi pembajakan merchandise anime dalam melakukan upaya hukum baik melalui jalur litigasi maupun jalur non litigasi.   Kata Kunci: Merchandise anime, pembajakan hak cipta, perlindungan hukum.
PELAKSANAAN LELANG BARANG JAMINAN GADAI PADA PT. PEGADAIAN (PERSERO) CABANG PONTIANAK - A11111041, GALANG AZMI
Jurnal Hukum Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Untan (Jurnal Mahasiswa S1 Fakultas Hukum) Universitas Tanjungpura Vol 4, No 3 (2016): JURNAL MAHASISWA S1 FAKULTAS HUKUM UNTAN
Publisher : Jurnal Hukum Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Untan (Jurnal Mahasiswa S1 Fakultas Hukum) Universitas Tanjungpura

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Pegadaian merupakan salah satu lembaga keuangan yang usaha pokoknya adalah menyalurkan kredit dengan jaminan barang bergerak atas dasar hukum gadai. Jaminan kebendaan memberikan hak mutlak (absolute) atas suku benda tertentu yang menjadi obyek jaminan suatu hutang. Yang suatu waktu dapat diuangkan bagi perlunasan hutang pemberi gadai apabila pemberi gadai ingkar janji. PT. pegadaian (persero) sebagai lembaga keuangan tidak selalu berjalan lancer, ada kalanya pemberi gadai tidak memenuhi kewajiban sesuai waktu yang disepakati (wanprestasi). Setelah diberi peringatan terlebih dahulu dan tidak diindahkan maupun melakukan perpanjangan waktu, maka PT. pegadaian (persero) berhak mengambil perlunasan piutangya dengan cara melelang barang jaminan gadai uang berada dibawah kekuasaanya. Lelang adalah penjualan barang terbuka untuk umum dengan penawaran harga secara tertulis dan/atau lisan yang semakin meningkat atau menurun untuk mencapai harga tertinggi yang didahului. Penjualan barang jaminan milik pemberi gadai yang wanprestasi itu dilaksanakan secara lelang di muka umum. Lelang berdasarkan pedoman operasional kantor cabang pegadaian adalah upaya pengembalian uang beserta sea modal yang tidak dilunasi sampi batas waktu yang ditentukan. Usaha ini dilakukan dengan penjualan barang jaminan tersebut kepada umum pada waktu yang telah ditentukan, Pengaturan mengenai lelang secara umum di Indonesia diatur dalam pasal 1155 dan pasal 1156 KUHP Perdata.Pelaksanaan lelang barang jaminan gadai pada PT. pegadaian (persero) cabang Pontianak dalam prakteknya masih tidak sesuai dengan pedoman Operasional pegadaian, hal ini terbukti dari tidak adanya pemberitahuan kepada pemberi gadai bahwa barang jaminannya akan dilelang karena sudah jatuh tempo. Adapun hak dan kewajiban bagi pemberi dan penerima gadai bersifat timbale balik, artinya apa yang menjadi hak dari pemberi gadai merupakan kewajiban dari penerima gadai, begitu pula sebaliknya. Salah satu kewajiban dari  PT. pegadaian (persero) selaku penerima gadai adalah membertahu pemberi gadai apabila barang jaminan milik pemberi gadai akan dilelang dan membayar uang kelebihan apabila masih terdapat sisa dari lelang barang jaminan dengan jangka satu tahun setelah lelang. Akibat hukum dari pemberi gadai dan penerima gadai dari pelaksanaan lelang barang jaminan gadai adalah barang jaminan yang tudak ditebus akan dilelang kepada masyarakat umum. Sedangkan akibat hukum bagi penerima gadai dalam pelaksanaan lelang barang jamianan gada itidak sesuai dengan prosedur sebagaimana diatur dalam pedoman Operasional pegadaian. Upaya hukum yang dilakuakan pemberi gadai terhadap PT. pegadaian (persero) Cabang Pontianak selaku penerima gadai dalam pelaksanaan lelang barang jaminan gadai adalah dengan melakukan musyawarah mufakat. Selama ini pemberi gadai belum pernah mengajukan PT. pegadaian (persero) Cabang Pontianak hingga ke pengadilan atas terjadinya lelang barang barang jaminan gadai mereka.   Kata Kunci : Jaminan Gadai, Lelang 
TANGGUNG JAWAB CV. BORNEO TRANS ATAS RUSAKNYA BARANG DALAM PENGIRIMAN TRAYEK PONTIANAK-SINTANG - A01111243, IRVANDI
Jurnal Hukum Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Untan (Jurnal Mahasiswa S1 Fakultas Hukum) Universitas Tanjungpura Vol 5, No 1 (2016): JURNAL MAHASISWA S1 FAKULTAS HUKUM UNTAN
Publisher : Jurnal Hukum Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Untan (Jurnal Mahasiswa S1 Fakultas Hukum) Universitas Tanjungpura

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Pengangkutan adalah perjanjian timbal balik antara pengangkut dengan pengirim, dimana pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan atau orang dari suatu tempat ke tempat tertentu dgn selamat, sedangkan pengirim mengikatkan diri dengan membayar uang angkutan.  Peranan pengangkutan dalam dunia perdagangan bersifat mutlak, tanpa pengangkutan perusahaan tidak akan jalan. Sedangkan fungsi pengangkutan adalah memindahkan barang atau orang dari suatu tempat ke tempat yang lain dengan maksud meningkatkan daya guna dan nilai. Adapun rumusan masalah dalam penulisan skripsi adalah : “Apakah Pihak CV. BORNEO TRANS Sudah Melaksanakan Tanggung Jawab Atas Rusaknya Barang Dalam Pengiriman Trayek Pontianak - Sintang?” Metode yang digunakan dalam pernelitian ini adalah Empiris dengan pendekatan Deskriptif Analisis. Pelaksanaan perjanjian pengiriman antara CV. Borneo Trans Pontianak dengan pengguna Jasa dilakukan dengan bentuk tidak tertulis dan pihak CV. Borneo Trans memiliki kewajiban untuk melakukan pengiriman  barang sampai ke tujuan. Pada Kenyataannya, CV. Borneo Trans Pontianak melakukan kesalahan karena terjadi kerusakan terhadap barang pengguna jasa yang dikirim. Mengenai resiko kerusakan dan kehilangan barang-barang dalam pengiriman sesuai perjanjian dan pengiriman tersebut, pihak CV. Borneo Trans akan bertanggung jawab, seperti yang tertera pada blanko bukti penyerahan barang, bilamana terjadi kerusakan dan kehilanagan barang maka pihak perusahaan akan memberikan ganti rugi, sebesar 10 x harga pengiriman dan apabila terjadi kehilangan/kerusakan barang, pemilik barang harap melapor paling lambat 3 x 24 jam (masa klaim berlaku 3 x 24jam) setelah barang diterima, lewat dari jangka waktunya klaim dianggap tidak berlaku/ tidak dilayani. Faktor yang menyebabkan terjadinya kerusakan barang pengguna jasa yang dikirim adalah karena kondisi jalan yang rusak dan jarang yang ditempuh cukup jauh. Akibat hukum bagi CV. Borneo Trans Pontianak terhadap rusaknya barang pengguna jasa yang dikirim adalah CV. Borneo Trans memberikan ganti rugi sesuai barang yang rusak. Upaya yang dapat dilakukan oleh pengguna jasa terhadap barang yang rusak adalah meminta pihak CV. Borneo Trans segera memberikan ganti Rugi sesai dengan barang yang rusak.   Key Words : Perjanjian Pengiriman, Rusaknya Barang, Ganti Rugi.  
KEDUDUKAN HUKUM SURAT KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI AGAMA, JAKSA AGUNG, & MENTERI DALAM NEGERI (SKB TIGA MENTERI ) TENTANG PERINGATAN DAN PERINTAH KEPADA PENGANUT, ANGGOTA, DAN/ATAU ANGGOTA PENGURUS JEMAAT AHMADIYAH INDONESIA DITINJAU DARI UU NO. 12 THN 2011 - A01109142, RIA KURNIA NINGSIH
Jurnal Hukum Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Untan (Jurnal Mahasiswa S1 Fakultas Hukum) Universitas Tanjungpura Vol 1, No 3 (2013): JURNAL MAHASISWA S1 FAKULTAS HUKUM UNTAN
Publisher : Jurnal Hukum Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Untan (Jurnal Mahasiswa S1 Fakultas Hukum) Universitas Tanjungpura

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Skripsi ini membahas masalah Kedudukan Hukum Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri ( SKB Tiga Menteri ) serta bentuk aturan hukum yang di jadikan solusi terkait keberadaan Ahmadiyah. SKB Tiga Menteri merupakan suatu kebijakan tertulis dari pemerintah yang bersifat mengatur secara umum. Dasar hukum dikeluarkannya SKB berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang PNPS Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan Dan/Atau dan Penodaan Agama. Nomenklatur yang diamanatkan oleh undang-undang tersebut dalam bentuk Surat Keputusan Bersama, ditinjau dari Substansinya SKB tersebut merupakan pengaturan bersifat umum sehingga digolongkan menjadi peraturan (regeling) namun jika di tinjau dari penamaannya SKB tersebut berupa keputusan (beschikking), hal ini menyebabkan kontaradiksi dan ketidakjelasan terkait kedudukannya. Secara Yuridis Surat Keputusan Bersama Menteri Agama Nomor 3 Tahun 2008 , Jaksa Agung Nomor KEP-033/A/JA/6/2008 , dan Menteri Dalam Negeri Nomor 199 Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia dan Warga Masyarakat tidak memiliki kekuatan hukum mengikat karena jelas dalam Pasal 7 dan 8 UU No 12 tahun 2011 tentang Pembentukan peraturan perundang- undangan tidak mengenal adanya Surat Keputusan Bersama dalam Hierarki peraturan Perundang- undangan sehingga kedudukannya menjadi tidak jelas dalam UU No 12 tahun 2011. Secara sinkronisasi vertikal SKB dianggap membatasi Hak asasi Manusia dalam menganut kepercayaan, hal tersebut telah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yanglebih tinggi Sehingga Aturan hukum yang tepat terkait keberadaan Ahmadiyah yaitu dengan membentuk UU Kerukunan Umat beragama yang dibangun atas semangat Pasal 29 UUD 1945 dan UU lain yang senafas dengan UUD tersebut, yang di dalamnya tidak hanya mengatur ahmadiyah saja tetapi mengatur segala aspek keagamaan serta hubungan antar pemeluk agama dalam kerangka masing-masing pemeluk menjalankan agamanya Keywords : Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri, Kedudukan huku, Aturan Hukum t-family:Calibri'> , dan Menteri Dalam Negeri Nomor 199 Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia dan Warga Masyarakat tidak memiliki kekuatan hukum mengikat karena jelas dalam Pasal 7 dan 8 UU No 12 tahun 2011 tentang Pembentukan peraturan perundang- undangan tidak mengenal adanya Surat Keputusan Bersama dalam Hierarki peraturan Perundang- undangan sehingga kedudukannya menjadi tidak jelas dalam UU No 12 tahun 2011. Secara sinkronisasi vertikal SKB dianggap membatasi Hak asasi Manusia dalam menganut kepercayaan, hal tersebut telah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
PELAKSANAAN PERJANJIAN PEMESANAN GAMBAR BANGUNAN ANTARA PIHAK PEMESAN DENGAN KONSULTAN KONSTRUKSI BANGUNAN CV. PRISANTI DI KOTA PONTIANAK - A11109004, FARIKAH PUSPITA DEWI
Jurnal Hukum Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Untan (Jurnal Mahasiswa S1 Fakultas Hukum) Universitas Tanjungpura Vol 1, No 2 (2013): JURNAL MAHASISWA S1 FAKULTAS HUKUM UNTAN
Publisher : Jurnal Hukum Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Untan (Jurnal Mahasiswa S1 Fakultas Hukum) Universitas Tanjungpura

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Pasal 1338 KUHPerdata menegaskan bahwa setiap perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai Undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Meskipun perjanjian pembuatan gambar konstruksi bangunan dilakukan secara lisan, namun syarat yang termuat dalam Pasal 1320 KUHPerdata telah terpenuhi, maka perjanjian tersebut telah mengikat para pihak dan wajib untuk dilaksanakan. Pada kenyataannya pihak pengusaha jasa konsultan konstruksi bangunan dalam melakukan usahanya, senantiasa mengalami kendala dari pihak pemesan gambar konstruksi bangunan, yakni selalu mengalami keterlambatan pembayaran upah pembuatan gambar konstruksi bangunan dari pihak pemesan. Meskipun gambar tersebut telah melampaui waktu perjanjian pembuatannya. Rumusan Masalah : Apakah Perjanjian Pemesanan Gambar Bangunan Antara Pihak Pemesan Dengan Konsultan Bangunan CV. Prisanti Sudah Dilaksanakan Sesuai Perjanjian? Tujuan Penelitian : (1). Untuk memperoleh data yang berkaitan dengan pelaksanaan perjanjian pemesanan gambar bangunan antara pihak pemesan dengan pihak konsultan. (2). Untuk mengungkap faktor penyebab tidak terlaksananya kewajiban oleh pemesan gambar dengan pihak konsultan. (3). Untuk mengungkapkan akibat hukum atas tidak terlaksananya perjanjian tersebut. (4). Untuk mengungkapkan upaya hukum yang dilakukan oleh pihak konsultan.Kesimpulan : (1). Bahwa pengerjaan pemesanan gambar dilakukan dengan perjanjian secara lisan. (2). Bahwa dana yang belum mencukupi menjadi alasan tertundanya pembayaran pemesanan gambar oleh pihak pemesan kepada pihak konsultan. (3). Bahwa pihak konsultan hanya memberi peringatan atau teguran atas kelalaian pihak pemesan dalam melaksanakan kewajibannya untuk membayar upah pembuatan gambar bangunan. (4). Bahwa upaya kekeluargaan telah dialakukan pihak CV. Prisanti terhadap pihak pemesan gambar bagunan yang lalai melaksanakan kewajibannya. Saran-saran : (1). Sebaiknya pihak CV. Prisanti melakukan perjanjian tertulis, bagi setiap pemesan yang berhubungan dengannya. (2). Batas waktu maksimal harus ditetapkan oleh pihak CV. Prisanti terhadap pemesan dalam hal pembayaran upah pembuatan gambar bangunan. (3). Terhadap pihak pemesan yang telah melakukan wanprestasi, seharusnya dilakukan upaya hukum yang konkret. (4). Pihak CV. Prisanti harus aktif melakukan upaya hukum guna mengantisipasi kelalaian pemesan yang dapat mengakibatkan kerugian. Keyword : Perjanjian Pemesanan Gambar, Konsultan Konstruksi.