cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota pontianak,
Kalimantan barat
INDONESIA
E-Jurnal Gloria Yuris Prodi Ilmu Hukum (Jurnal Mahasiswa S1 Fakultas Hukum) Universitas Tanjungpura
ISSN : -     EISSN : -     DOI : -
Core Subject : Social,
Berisi Jurnal-Jurnal Mahasiswa S1 Prodi Ilmu Hukum UNTAN (Bagian Hukum Keperdataan, Bagian Hukum Pidana, Bagian Hukum Tata Negara, Bagian Hukum Ekonomi, dan Bagian Hukum Internasional)
Arjuna Subject : -
Articles 1,226 Documents
PROSES PERUMUSAN KEBIJAKAN DESA OLEH BADAN PERMUSYAWARATAN DESA BERDASARKAN PASAL 15 AYAT (1) PERATURAN DAERAH KABUPATEN NATUNA NOMOR 28 TAHUN 2008 DI DESA SEDEDAP - A11110127, ABSOMAD
Jurnal Hukum Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Untan (Jurnal Mahasiswa S1 Fakultas Hukum) Universitas Tanjungpura Vol 3, No 3 (2015): JURNAL MAHASISWA S1 FAKULTAS HUKUM UNTAN
Publisher : Jurnal Hukum Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Untan (Jurnal Mahasiswa S1 Fakultas Hukum) Universitas Tanjungpura

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Dewasa ini pada dasarnya pencapaian kesejahteraan masyarakat dilalui dengan jalan perubahan-perubahan kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya, perubahan tersebut dilakukan melalui pembangunan, tujuan pembangunan masyarakat ialah perbaikan kondisi ekonomi, sosial, dan kebudayaan masyarakat, sehingga kemiskinan dan lingkungan hidup masyarakat mengalami perubahan. Melalui kewenangan yang dimilikinya untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat, pemerintah daerah akan berupaya untuk meningkatkan perekonomian sesuai dengan kondisi, kebutuhan dan kemampuan yang dimiliki, sehingga memberikan peluang dan kesempatan bagi daerah untuk berupaya semaksimal mungkin dalam rangka mencapai tujuan untuk peningkatan kesejahteraan rakyat di daerah. Dengan adanya otonomi daerah tersebut berarti pemerintah daerah harus berusaha dan mampu mengembangkan diri, menggali potensi untuk kesejahteraan warganya dan sekaligus mempertanggungjawabkan atas pelaksanaan otonomi di daerah. Partisipasi masyarakat memiliki banyak bentuk, mulai dari yang berupa keikutsertaan langsung masyarakat dalam program pemerintahan maupun yang sifatnya tidak langsung, seperti berupa sumbangan dana, tenaga, pikiran, maupun pendapat dalam pembuatan kebijakan pemerintah. Namun demikian ragam dan kadar partisipasi seringkali ditentukan secara massa yakni dari banyaknya individu yang dilibatkan. Padahal partisipasi masyarakat pada hakikatnya akan berkaitan dengan akses masyarakat untuk memperoleh informasi. Hingga saat ini partisipasi masyarakat masih belum menjadi kegiatan tetap dan terlembaga khsususnya dalam pembuatan keputusan. Sejauh ini, partisipasi masyarakat masih terbatas pada keikutsertaan dalam pelaksanaan program-program atau kegiatan pemerintah, padahal partisipasi masyarakat tidak hanya diperlukan pada saat pelaksanaan tapi juga mulai tahapan perencanaan bahkan pengambilan keputusan. Kabupaten Natuna memiliki berbagai aturan daerah yang disebut Peraturan Daerah atau Perda, dimana salah satunya mengeluarkan Peraturan Daerah Kabupaten Natuna Nomor 28 Tahun 2008.  Dimana didalam pasal 15 angka (1) disebutkan Dalam menggali dan menampungaspirasimasyarakatBPDmelaksanakankonsultasipublik,mengadakanForumdialogmenerimausul,sarandanpendapatdari masyarakat. Untuk itu perlu ditinjau sejauh mana peran masyarakat didesa Sededap Kabupaten Natuna dalam perumusan kebijakan desa oleh Badan Permusyawaratan Desa, demi mencapai hakikat dari otonomi daerah Dalam kenyataannya, Peran Serta Masyarakat Dalam Proses Perumusan Kebijakan Desa Oleh Badan Permusyawaratan Desa Di Desa Sededapbelum Sesuai Dengan Pasal 15 Ayat (1) Peraturan Daerah Kabupaten Natuna Nomor 28 tahun 2008. Dewasa ini pada dasarnya pencapaian kesejahteraan masyarakat dilalui dengan jalan perubahan-perubahan kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya, perubahan tersebut dilakukan melalui pembangunan, tujuan pembangunan masyarakat ialah perbaikan kondisi ekonomi, sosial, dan kebudayaan masyarakat, sehingga kemiskinan dan lingkungan hidup masyarakat mengalami perubahan. Melalui kebijakan otonomi daerah yang diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, daerah diberi kewenangan dan tanggung jawab untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Melalui kewenangan yang dimilikinya untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat, pemerintah daerah akan berupaya untuk meningkatkan perekonomian sesuai dengan kondisi, kebutuhan dan kemampuan yang dimiliki, sehingga memberikan peluang dan kesempatan bagi daerah untuk berupaya semaksimal mungkin dalam rangka mencapai tujuan untuk peningkatan kesejahteraan rakyat di daerah. Dengan adanya otonomi daerah tersebut berarti pemerintah daerah harus berusaha dan mampu mengembangkan diri, menggali potensi untuk kesejahteraan warganya dan sekaligus mempertanggungjawabkan atas pelaksanaan otonomi di daerah. Lahirnya Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah merupakan langkah baru untuk membenahi penyelenggaraan pemerintah, melalui otonomi dan desentralisasi yang diharapkan mampu melahirkan partisipasi aktif masyarakat dan menumbuhkan kemandirian pemerintah daerah. Partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintah juga harus ada sebab masyarakat adalah pemilik kedaulatan, masyarakat adalah membayar pajak dan masyarakat adalah subjek dalam pembangunan. Selain itu, program-program yang di rumuskan dan dilaksanakan secara partisipasi turut memberikan kesempatan secara langsung kepada masyarakat dalam perencanaan yang menyangkut kesejahteraan mereka dan melaksanakan sendiri serta memetik hasil program yang dicapai.  Masyarakat sebagai objek pembangunan berarti masyarakat terkena langsung atas kebijakan dan kegiatan pembangunan. Dalam hal ini perlu ikut masyarakat dilibatkan baik dari segi formulasi kebijakan maupun aplikasi kebijakan tersebut, sebab merekalah yang dianggap lebih tahu kondisi lingkungannya. Dominasi Negara berubah menjadi institusi lokal, untuk itu peran serta langsung masyarakat sangat diperlukan dan terus diperkuat dan diperluas. Dengan demikian istilah partisipasi tidak sekedar menjadi retorika semata tetapi diaktualisasikan secara nyata dalam berbagai kegiatan dan pengambilan kebijakan pembangunan.  Partisipasi masyarakat dalam pembangunan mutlak diperlukan, tanpa adanya partisipasi masyarakat pembangunan hanyalah menjadikan masyarakat sebagai objek semata. Salah satu kritik adalah masyarakat merasa “tidak memiliki” dan “acuh tak acuh” terhadap program pembangunan yang ada. Penempatan masyarakat sebagai subjek pembangunan mutlak diperlukan sehingga masyarakat akan dapat berperan serta secara aktif mulai dari perencanaan, pelaksanaan hingga monitoring dan evaluasi pembangunan, terlebih apabila kita akan melakukan pendekatan pembangunan dengan semangat kualitas. Masyarakat lokal menjadi bagian yang paling memahami keadaan daerahnya tentu akan memberikan masukan yang sangat berharga. Masyarakat lokal dengan pengetahuan serta pengalamannya menjadi modal yang sangat besar dalam melaksanakan pembangunan. Masyarakat lokallah yang mengetahui apa permasalahan yang di hadapi serta juga potensi yang dimiliki oleh daerahnya, bahkan pola mereka akan mempunyai “pengetahuan lokal” untuk mengatasi masalah yang dihadapi tersebut.  Partisipasi masyarakat memiliki banyak bentuk, mulai dari yang berupa keikutsertaan langsung masyarakat dalam program pemerintahan maupun yang sifatnya tidak langsung, seperti berupa sumbangan dana, tenaga, pikiran, maupun pendapat dalam pembuatan kebijakan pemerintah. Namun demikian ragam dan kadar partisipasi seringkali ditentukan secara massa yakni dari banyaknya individu yang dilibatkan. Padahal partisipasi masyarakat pada hakikatnya akan berkaitan dengan akses masyarakat untuk memperoleh informasi. Hingga saat ini partisipasi masyarakat masih belum menjadi kegiatan tetap dan terlembaga khsususnya dalam pembuatan keputusan. Sejauh ini, partisipasi masyarakat masih terbatas pada keikutsertaan dalam pelaksanaan program-program atau kegiatan pemerintah, padahal partisipasi masyarakat tidak hanya diperlukan pada saat pelaksanaan tapi juga mulai tahapan perencanaan bahkan pengambilan keputusan.  Adanya kebijakan otonomi daerah telah memberikan kewenangan kepada daerah mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi yang berkembang pada masyarakat. Kebijakan tersebut memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk turut serta berpartisipasi dalam seluruh proses kebijakan pembangunan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pemeliharaan dan pengawasan.  Kabupaten Natuna sebagai salah satu wujud dari pemerintahan lokal memiliki struktur dan pemerintahan sendiri sesuia otonomi daerah yang diamalkan dari Undang-undang. Untuk mewujudkan kegiatan pembangunan yang lebih demokratis sebagai upaya dalam mendukung berjalannya roda pemerintahan, pemerintah pusat telah memberikan wewenang kepada daerah untuk lebih menentukan nasib pembangunan daerah itu sendiri melalui UU No. 32 Tahun 2004 tetang pemerintah daerah. Maksud dan tujuan Undang-Undang tersebut adalah menciptakan pemerataan pembangunan nasional dalam mengatasi kesenjangan antar daerah, karena dengan pembangunan daerah itulah yang akan dapat menjangkau pelosok negeri.  Kabupaten Natuna memiliki berbagai aturan daerah yang disebut Peraturan Daerah atau Perda, dimana salah satunya mengeluarkan Peraturan Daerah Kabupaten Natuna Nomor 28 Tahun 2008.  Dimana didalam pasal 15 angka (1) disebutkan Dalam menggali dan menampung aspirasi masyarakat BPD melaksanakan konsultasi publik, mengadakan Forum dialog menerima usul, saran dan pendapat dari masyarakat. Untuk itu perlu ditinjau sejauh mana peran masyarakat didesa Sededap Kabupaten Natuna dalam perumusan kebijakan desa oleh Badan Permusyawaratan Desa, demi mencapai hakikat dari otonomi daerah. Keyword : Peran Serta Masyarakat, Peraturan Daerah, Desa Sededap  
PELAKSANAAN PEMBUKTIAN TERBALIK SEBAGAI HAK TERDAKWA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DI PENGADILAN NEGERI PONTIANAK - A01109063, TEMMY HASTIAN
Jurnal Hukum Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Untan (Jurnal Mahasiswa S1 Fakultas Hukum) Universitas Tanjungpura Vol 3, No 2 (2015): JURNAL MAHASISWA S1 FAKULTAS HUKUM UNTAN
Publisher : Jurnal Hukum Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Untan (Jurnal Mahasiswa S1 Fakultas Hukum) Universitas Tanjungpura

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 37 ayat (1) berbunyi Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi. Makna dari Pasal 37 ayat (1) tersebut kemudian dikenal sebagai teori pembuktian terbalik.   Begitu banyak Perkara korupsi yang dilimpahkan di Pengadilan Negeri Pontianak selaku pengadilan yang berhak dan berwenang mengadili perkara korupsi di wilayah hukum Kalimantan Barat sejak tahun 2011 hingga september 2014, hanya 0.80% (nol koma delapan puluh persen) dari total 124 (seratus dua puluh empat) perkara tindak pidana korupsi yang diadili di Pengadilan Negeri Pontianak yang menggunakan atau menerapkan sistem pembuktian terbalik dalam persidangan.   Perkara yang menerapkan pembuktian terbalik tersebut, setelah dianalisis penulis bukan merupakan pembuktian terbalik, karena penerapannya disampaikan pada pemeriksaan saksi yang meringankan, sedangkan menurut Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 38B ayat (4) Pembuktian bahwa harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bukan berasal dari tindak pidana korupsi diajukan oleh terdakwa pada saat membacakan pembelaannya dalam perkara pokok dan dapat diulangi pada memori banding dan memori kasasi.Perkara tindak pidaka korupsi yang menerapkan pembuktian terbalik tersebut adalah perkara korupsi yang di jerat juga dengan pasal Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Sejauh ini, dalam prakteknya bahwa pembuktian terbalik dalam tindak pidana korupsi di persidangan, tidak dilaksanakan secara overall (menyeluruh), melainkan kasus-kasus tertentu (certain cases), seperti perkara terkait gratifikasi (gratification) dan suap (bribery).   Penerapan pembuktian terbalik di persidangan tindak pidana korupsi, terkendala tidak diaturnya secara khusus mengenai tata cara pelaksanaan, sehingga Pasal 37 Ayat (1) tersebut dianggap tidur, dan hanya penghias suatu aturan.   Diperlukan suatu metode untuk membangunkan Pasal tersebut, yakni dengan pembaharuan terhadap perundang-undangan tindak pidana korupsi, sehingga penerapan hak terdakwa untuk melaksanakan pembuktian atas harta yang dimilikinya dapat terlaksana sebagaimana yang telah diatur oleh undang-undang.  Keyword : Pelaksanaan Pembuktian Terbalik Tidak pernah Dilaksanakan Pada Pada Saat Persidangan
WANPRESTASI PENYEWA MOBIL YANG MENGALAMI KERUSAKAN PADA RENTAL MOBIL PUTRA JAYA DI KOTA PONTIANAK - A11111235, YUNI MAHMUDA
Jurnal Hukum Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Untan (Jurnal Mahasiswa S1 Fakultas Hukum) Universitas Tanjungpura Vol 5, No 1 (2016): JURNAL MAHASISWA S1 FAKULTAS HUKUM UNTAN
Publisher : Jurnal Hukum Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Untan (Jurnal Mahasiswa S1 Fakultas Hukum) Universitas Tanjungpura

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Adapun skripsi ini berjudul : “Wanprestasi Penyewa Mobil Yang Mengalami Kerusakan Pada Rental Mobil Putra Jaya Di Kota Pontianak”. Rumusan Masalah dalam skripsi ini yaitu “Faktor Apa Yang Menyebabkan Penyewa Melakukan Wanprestasi Dalam Pengembalian Mobil Yang Mengalami Kerusakan Pada Rental Mobil Putra Jaya Di Kota Pontianak ?”. Skripsi ini menggunakan metode penelitian Empiris dengan pendekatan Deskriptif Analisis dan teknik analisis data yakni dengan teknik Analisis Kualitatif Mengenai suatu perjanjian tidak menutup kemungkinan jika terjadi salah satu pihak lalai dalam melaksanakan kewajiban seperti yang telah diperjanjikan maka pihak yang lalai tersebut dapat dikatakan cidera janji atau wanprestasi. Maka dari itu setiap perjanjian selalu ada jaminan untuk mengatasi terjadinya wanprestasi. Penyewa berkewajiban untuk membayar uang sewa sebesar Rp. 300.000,- perhari untuk mobil jenis Toyota Avanza dan Daihatsu Xenia, sedangkan untuk mobil jenis Kijang innova pihak penyewa berkewajiban untuk membayar uang sewa sebesar Rp. 350.000,- perhari. Dengan dua jenis sistem pembayaran dapat dilakukan secara tunai dan di panjar 50% dari uang sewaan perhari. Namun dalam kenyataannya yang kadang kala terjadi pihak penyewa melakukan wanpretasi dalam perjanjian dengan tidak mau bertanggung jawab atas perbaikan mobil yang mengalami kerusakan. Kejadian ini menimbulkan kerugian bagi pihak pemilik rental mobil Putra Jaya. Selain itu penyewa mobil melakukan suatu perbuatan yang seharusnya tidak boleh dilakukannya yakni tidak boleh menyewakan lagi. Faktor penyebab pihak penyewa mobil wanprestasi yakni tidak bertanggung jawab atas kerusakan mobil yang disewa dengan alasan penyewa sudah melunasi penyewaan mobil dan akibat hukum yang dilakukan oleh penyewa rmobil wanprestasi dalam perjanjian sewa menyewa mobil di Kota Pontianak atas kerusakan mobil adalah ganti rugi. Mengenai upaya hukum yang dilakukan oleh pemilik rental mobil terhadap penyewa mobil yang melakukan wanprestasi dalam perjanjian sewa menyewa adalah musyawarah secara kekeluargaan dengan memperbaiki mobil dan membuat perjanjian dengan penyewa untuk menganti kerugian akibat kerusakan mobil.   Kata Kunci : Perjanjian Sewa Menyewa, Kerusakan Mobil, Wanprestasi
KEJAHATAN PERKOSAAN TERHADAP ANAK YANG TERJADI DIWILAYAH POLRESTA PONTIANAK - A01110197, HIDAYAT IT
Jurnal Hukum Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Untan (Jurnal Mahasiswa S1 Fakultas Hukum) Universitas Tanjungpura Vol 3, No 1 (2014): JURNAL MAHASISWA S1 FAKULTAS HUKUM UNTAN
Publisher : Jurnal Hukum Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Untan (Jurnal Mahasiswa S1 Fakultas Hukum) Universitas Tanjungpura

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Indonesia adalah negara hukum dan bukan negara yang berdasarkan  kekuasaan  belaka  sebagaimana  yang sudah cukup  jelas  ditegaskan  dalam  Penjelasan  Umum Undang-Undang  Dasar  Negara  Republik  Indonesia  Tahun 1945 bahwa  setiap  orang  maupun  penyelenggara  Negara harus tunduk dan patuh terhadap hukum, tindakan apapun harus di landasi  oleh  hukum  dan  harus dipertanggungjawabkan secara  hukum  yang  berlaku  demi terwujudnya  keadilan, ketertiban  dan  kesejahteraan  dalam kehidupan  berbangsa dan bernegara. Majunya  suatu bangsa  itu  ditentukan  oleh  generasi penerus yaitu anak. Anak merupakan generasi penerus cita-cita bangsa sehingga memerlukan perlindungan dari semua pihak  dari  berbagai macam  kekerasan  termasuk  perkosaan agar  terjaminya cita-cita  bangsa  yang  akan  diemban  oleh anak. Masalah yang diteliti yaitu : “Faktor penyebab kejahatan perkosaan terhadap  anak  yang  terjadi  di  wilayah polresta pontianak?”.  Dalam  penelitian  ini,  penulis menggunakan metode  yuridis  sosiologis  yang  berdasarkan ketentuan-ketentuan  perundang-undangan  yang  berlaku dikaitkan dengan  teori  hukum  serta  melihat  realita  yang terjadi  di masyarakat:  Lokasi penelitian penulis adalah daerah wilayah hukum polresta  pontianak  dimana terjadinya perkosaan  terhadap anak,  dalam  penelitian  ini  penulis mengumpulkan  data melalui wawancara dan anGket. Berdasarkan  penelitian  menunjukan  bahwa faktor penyebab  terjadinya  kejahatan  perkosaan  terhadap anak adalah  faktor  intenal  (  kejiwaan,pendidikan,  agama) dan faktor ekstenal ( lingkungan yang memberikan kesempatan Upaya  dari  pihak  kepolisian  dalam menanggulangi kejahatan  perkosaan  terhadap  anak  adalah dengan memberikan arahan kepada para orang tua agar lebih peduli kepada  anak  dan  menghimbau  kepada  masyarakat apabila terjadi  kasus  perkosaan  segera  melapor  kepada aparat kepolisian  dan  upaya  dari  pihak  KPAID provinsi kalimantan barat adalah dengan melakukan mediasi kepada pihak-pihak  terkait,  serta  melakukan  sosialisasi anti kekerasan  seksual  terhadap  anak  dan  melakukan seminar tentang penanggulangan kekerasan seksual terhadap anak.. Penulis  dalam  hal  ini  mengajukan  saran  agar adanya kerjasama  antara  berbagai  pihak-pihak  terkait dalam  hal mencegah  dan  menangulangi  tindak  pidana perkosaan, selain  itu  perlunya  mengoptimalkan  peran orang  rua  agar lebih  mengawasi  anak  dan  memberikan pembekalan  nilai-nilai  agama  sedini  mungkin  kepada anak-anak  dan memberikan  sanksi  yang  berat  dengan menjatuhkan hukuman  maksimal  kepada  para  pelaku tindak  pidana perkosaan terhadap anak. Kata Kunci :  Kejahatan, Perkosaan, Anak
PERLINDUNGAN TANAH ADAT BUMIAD/ PIWAG PADA MASYARAKAT HUKUM ADAT DAYAK BIDAYUH DUSUN SEBUJIT BARU DESA HLI BUEI KECAMATAN SIDING KABUPATEN BENGKAYANG - A01111138, MARGARINI BUALIM
Jurnal Hukum Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Untan (Jurnal Mahasiswa S1 Fakultas Hukum) Universitas Tanjungpura Vol 3, No 3 (2015): JURNAL MAHASISWA S1 FAKULTAS HUKUM UNTAN
Publisher : Jurnal Hukum Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Untan (Jurnal Mahasiswa S1 Fakultas Hukum) Universitas Tanjungpura

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tanah adat Bumiad/Piwag di Dusun Sebujit Baru Desa Hli Buei merupakan tanah yang dikuasai dan dikelola bersama untuk digunakan dan/atau diambil manfaat dari tanah tersebut. Penelitian ini memiliki rumusan masalah yaitu bagaimana perlindungan tanah adat Bumiad/Piwag pada masyarakat hukum adat Dayak Bidayuh Dusun Sebujit Baru Desa Hli Buei Kecamatan Siding Kabupaten Bengkayang dalam penguasaannya. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian Empiris yaitu penelitian yang mengkaitkan hukum dengan perilaku nyata manusia dengan sifat penelitian Deskriptif Analitis yaitu mengambarkan keadaan atau status fenomena dengan kata-kata atau kalimat, kemudian dipisahkan sesuai kategori untuk mendapatkan suatu kesimpulan. Perlindungan Tanah Adat Bumiad/Piwag yang berbatasan dengan Daerah Seluas, Daerah Pisang dan Daerah Tadan dengan pengakuannya sebagai milik masyarakat hukum adat yaitu memberikan hak-hak kepada anggota masyarakat hukum adat tersebut untuk menguasai dan mengelolanya dengan tunduk kepada hukum adat yang berlaku. Faktor yang menyebabkan Masyarakat Hukum Adat Dayak Bidayuh melakukan Perlindungan Tanah karena tanah menjadi tempat bercocok tanam, terdapatnya sumber mata air yang ke semuanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan dari masyarakat, melindungi bagian dari tanah adat yaitu hutan adat dari pemanfaatan tanah adat menjadi perladangan masyarakat, serta perkebunan kelapa sawit. Bentuk perlindungan yang diberikan dengan menjalankan aturan-aturan hukum adat yang dijalankan oleh fungsionaris adat dan wajib dipatuhi oleh semua masyarakat. Akibat Hukum bagi yang merusak tanah adat Bumiad/Piwag terdapat konsekuensi yaitu berupa sanksi adat sesuai aturan adat. Penyelesaian secara adat dilakukansecara kekeluargaan yaitu pelaksanaan ritual adat juga membayar denda adat berupa tail. Apabila tidak memberikan penyelesaian, maka akan diserahkan kepada pemerintah desa. Aturan-aturan hukum adat yang dijalankan oleh fungsionaris adat dinilai masih belum mampu melindungi Tanah Adat untuk waktu kedepannya. Upaya hukum yang dilakukan mengadakan pertemuan dengan pemerintah dan Fungsionaris adat desa sekitar batas tanah adat Bumiad/Piwag untuk menyelesaikan secara kekeluargaan, adanya patroli pada lokasi yang rawan dan menunggu dikeluarkannya Surat Keterangan Bupati Bengkayang mengenai Tanah Adat Bumiad/Piwag.  Perlindungan dapat maksimal dilaksanakan bila adanya Peraturan Daerah tetapi sampai saat ini belum ada Peraturan Daerah terkait mengenai perlindungan Tanah Adat. Keberadaan PERDA tersebut sangat menjadi suatu kebutuhan bagi proses permohonan legalisasi guna memberikan perlindungan hukum terhadap keberadaan masyarakat hukum adat dan hak-hak masyarakat hukum adat. Keyword : Perlindungan, Tanah adat
EFEKTIFITAS PELAKSANAAN KEPUTUSAN KAPOLRI NOMOR POL : KEP/44/IX/2004 TENTANG TATA CARA SIDANG DISIPLIN BAGI ANGGOTA POLRI (Studi Di Lingkup Sat Brimob Polda Kalbar) - A11109005, ROBERTUS ANDY KRISTIANTO
Jurnal Hukum Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Untan (Jurnal Mahasiswa S1 Fakultas Hukum) Universitas Tanjungpura Vol 3, No 4 (2015): JURNAL MAHASISWA S1 FAKULTAS HUKUM UNTAN
Publisher : Jurnal Hukum Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Untan (Jurnal Mahasiswa S1 Fakultas Hukum) Universitas Tanjungpura

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Dalam Proses Penegakan Hukum khususnya terhadap anggota POLRI yang melakukan pelanggaran disiplin, ternyata terjadi berbagai persoalan dimulai pada tahap penyidikan, penuntutan dan peradilan,dimana telah ditentukan aturan mengenai cara-cara menjalankan proses hukum, siapa yang berhak menghukum serta bagaimana cara-cara menjatuhkan hukuman terhadap pelaku anggota POLRI yang karena keadaannya menempatkan ia sebagai Subjek Hukum  sesuai Prinsip Kerja POLRI Sesuai dengan Keputusan Kapolri Nomor Pol : Kep/44/IX/2004 Tentang Tata Cara Sidang Disiplin Bagi Anggota Polri guna memfasilitasi peraturan pemerintah tersebut. Dimana dalam salah satu pasal yaitu pasal 12 disebutkan (1) Pendamping Terperiksa bertugas :  a. Memberikan nasehat kepada Terperiksa baik diminta atau tidak.  b. Mengajukan saran dan pertimbangan kepada Pimpinan Sidang baik diminta atau tidak.  (2) Pendamping Terperiksa berwenang:  a. Mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada Saksi, Saksi Ahli dan Terperiksa. b. Membantu menjelaskan secara lisan apa yang dimaksud oleh Terperiksa terhadap pertanyaan yang disampaikan oleh Pimpinan Sidang maupun Penuntut.  c. Membantu menjelaskan secara lisan dan/atau tertulis apa yang menjadi latar belakang Terperiksa melakukan pelanggaran. Bertitik tolak dari uraian latar belakang penelitian di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : “Apakah penerapan Keputusan Kapolri Nomor Pol : Kep/44/IX/2004 Tentang Tata Cara Sidang Disiplin Bagi Anggota PolriDi Lingkup Sat Brimob Polda Kalbar Sudah Efektif Dilaksanakan?” Dari hasil penelitian terungkap bahwa penerapan Keputusan Kapolri Nomor Pol : Kep/44/IX/2004 Tentang Tata Cara Sidang Disiplin Bagi Anggota PolriDi Lingkup Sat Brimob Polda Kalbar Belum Efektif Dilaksanakan karena semua hasil sidang disiplin kuncinya tergantung ankum (atasan yang berhak menghukum).. Undang-undang No. 2 tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang secara umum ditentukan Tugas dan Kewenangan POLRI dan ditegaskan tentang legalitas POLRI yang dalam pelaksanaan tugasnya senantiasa dituntut dedikasi serta profesionalisme. Tugas utama Kepolisian adalah sebagai pelindung, pengayom, pelayan, dan melaksanakan penegak hukum dalam Negeri. Di dalam Undang-Undang tersebut diatur status anggota POLRI bukan lagi militer melainkan sebagai warga sipil sebagaimana masyarakat lainnya.. Dengan adanya Undang-undang No. 2 tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, setiap anggota POLRI dituntut untuk mengubah sikap dan tingkah laku atau karakter dari  yang bersifat militer menjadi masyarakat sipil sesuai paradigma POLRI yang kemudian dituangkan dalam Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pada hakekatnya keadaan sebagaimana diuraikan di atas merupakan  gambaran umum dari proses berjalannya suatu institusi atau organisasi, satu sisi selaku penegak hukum POLRI senantiasa dituntut Profesional dan independen dimana petugas POLRI selaku pelaksana yang berkewajiban menjalankan agar stabilitas keamanan tetap terjamin. Namun, dalam pelaksanaan kinerja anggota POLRI masih sering terlihat adanya prilaku yang menyimpang berupa kejahatan atau juga pelanggaran disiplin; sebagai contoh adanya prilaku oknum anggota POLRI yang bertindak sebagai deb collector (Tukang tagih hutang), menerima sogok, menjadi backing perjudian dan lain sebagainya. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah RI No.2 Tahun 2003 Tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara RI, pasal 7 dinyatakan bahwa : “Anggota kepolisian Negara RI yang ternyata melakukan pelanggaran disiplin dijatuhi sanksi berupa tindakan disiplin dan/atau hukuman disiplin Selain itu pada pasal 14 dinyatakan penyelesaian pelanggaran disiplin : 1. Penjatuhan tindakan disiplin dilaksanakan seketika dan langsung pada saat diketahuinya pelanggaran disiplin yang dilakukan oleh anggota Kepolisisan Negara RI. 2 Penjatuhan hukuman disiplin diputuskan dalam siding disiplin. 3. Penentuan penyelesaian pelanggaran Peraturan disisplin melelui sidang disiplin merupakan kewenangan Ankum. Dalam Proses Penegakan Hukum  khususnya terhadap anggota POLRI yang melakukan pelanggaran disiplin, ternyata terjadi berbagai persoalan dimulai pada tahap penyidikan, penuntutan dan peradilan,dimana telah ditentukan aturan mengenai cara-cara menjalankan proses hukum, siapa yang berhak menghukum serta bagaimana cara-cara menjatuhkan hukuman terhadap pelaku anggota POLRI yang karena keadaannya menempatkan ia sebagai Subjek Hukum  sesuai Prinsip Kerja POLRI :  Yuridis Prosedural,  Teknis Profesional, Etis Proporsional, Non Intervensi Dalam pelaksanaan tugas Polri, tidak dapat dihindari secara personal anggota Polri masih mengalami hambatan dan kesulitan, seperti bakat, pengetahuan, kemampuan, pembawaan pribadi dan kepentingan pribadi yang berbeda beda serta kurangnya motivasi dalam diri dari anggota Polri untuk lebih baik dalam menjalankan tugasnya. Oleh karena itu pembinaan kerja terhadap anggota Polri merupakan hal yang sangat penting. Salah satu pembinaan kerja yang dilakukan oleh Satuan Brigade Mobil (Sat Brimob) Kepolisian Daerah Kalimantan Barat adalah kedisiplinan anggota Brimob dalam menjalankan tugasnya. Dengan adanya disiplin bagi anggota Brimob dimaksudkan agar anggota tersebut dapat meningkatkan kualitas kerja, sikap dan pengabdiannya terhadap pelaksanaan tugas Polri sebagai pelindung, pengayom, dan  pelayan masyarakat dalam mewujudkan keamanan dan ketertiban masyarakat.  Dalam menjalankan tugas pokoknya tersebut, anggota Polri dituntut harus mentaati peraturan dan ketentuan yang telah ditetapkan. Salah satu ketentuan yang harus ditaati adalah mengenai ketentuan jam kerja, apabila ketentuan kerja ini tidak ditaati oleh anggota Polri, maka akan mengakibatkan pelaksanaan tugas sehari hari menjadi terlambat. Berdasarkan beberapa pemahaman di atas dapat dilihat bahwa disiplin sebagai alat untuk menciptakan perilaku dan tata tertib hidup manusia sebagai pribadi maupun kelompok atau  masyarakat. Demikian juga halnya dengan anggota Polri di Sat Brimob Polda Kalbar, disiplin memegang peranan yang sangat penting dalam keberhasilan organisasi. Sat Brimob (Brigade Mobil).  Polda Kalbar merupakan pelaksana fungsi Brimob di wilayah Polda Kalbar juga harus mempunyai disiplin yang tinggi dalam pelaksanaan tugasnya. Apalagi tugas Brimob ke depan semakin berat yang meliputi: potensi gangguan keamanan berkadar tinggi berupa konflik komunal, konflik vertikal, terorisme dengan modus pemboman, pembunuhan (assination) maupun penggunaan bahan kimia, biologi, dan radio aktif yang akan terus ada, artinya tantangan tugas Korps Brimob sebagai pasukan pamungkas Polri dipastikan tidak akan lebih mudah dibandingkan masa lalu dan masa kini. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi disiplin kerja Untuk mengakomodasi aturan tersebut maka Polri mengeluarkan Keputusan Kapolri Nomor Pol : Kep/44/IX/2004 Tentang Tata Cara Sidang Disiplin Bagi Anggota Polri guna memfasilitasi peraturan pemerintah tersebut. Dimana dalam salah satu pasal yaitu pasal 12       Kata Kunci: Efektifitas, Keputusan Kapolri, Ankum  
STUDI PERBANDINGAN SISTEM PERJANJIAN BAGI HASIL MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1960 DENGAN HUKUM ADAT YANG BERLAKU DI KECAMATAN SUNGAI RAYA KABUPATEN KUBU RAYA - A01111079, SITI MASITHA DEWI
Jurnal Hukum Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Untan (Jurnal Mahasiswa S1 Fakultas Hukum) Universitas Tanjungpura Vol 3, No 3 (2015): JURNAL MAHASISWA S1 FAKULTAS HUKUM UNTAN
Publisher : Jurnal Hukum Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Untan (Jurnal Mahasiswa S1 Fakultas Hukum) Universitas Tanjungpura

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Perjanjian bagi hasil ini merupakan suatu perjanjian yang diadakan antara Pemilik dengan petani Penggarap dipihak lain. Di mana Pemilik memberikan izin kepada Penggarap tanahnya, dengan perjanjian bahwa hasil dari tanah tersebut dibagi di antara mereka menurut imbangan yang telah disepakati. Alasan terjadinya perjanjian bagi hasil adalah pemilik tanah karena tidak dapat mengerjakan sendiri tanahnya tetapi ia ingin memungut hasil dari tanahnya itu dengan mengadakan suatu perjanjian atau transaksi dengan pihak lain, agar orang tersebut mengerjakan atau mengusahakan tanahnya, dengan perjanjian bahwa yang diberi izin mengusahakan atau mengerjakan tanahnya harus membagi atau memberikan sebagian dari panennya kepada pemilik tanah. Menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 Pasal 3 perjanjian bagi hasil harus dibuat secara tertulis. Kenyataannya pelaksanaan perjanjian bagi hasil secara tertulis tidak dapat terlaksana secara keseluruhan di daerah Indonesia. Khususnya di daerah Kecamatan Sungai Raya Kabupaten Kubu Raya. Hal tersebut tentunya memiliki perbedaan dan persamaan dengan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1960. Dilihat dari  sisi imbang perjanjian bagi hasil, untuk tanaman Padi imbangannya 60:40 dan untuk tanaman Sawit imbangannya 80:20. Ketentuan perjanjian bagi hasil di Kecamatan Sungai Raya Kabupaten Kubu Raya memiliki perasamaan maupun perbedaan dengan ketentuan yang telah diatur dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan yuridis normatif dan wawancara sebagai data penunjang. Persamaan sistem perjanjian bagi hasil menurut Undang-undang Nomor 2 Tahun 1960 dengan Hukum  adat yang berlaku di Kecamatan Sungai Raya Kabupaten Kubu Raya terletak pada imbangan pembayaran hasil tanah dan hak serta kewajiban para pihak dalam perjanjian bagi hasil. Sedangkan perbedaannya terletak pada bentuk perjanjian, tata cara atau prosedur pelaksanaan perjanjian bagi hasil dan jangka waktu perjanjian. Kelebihan dari Undang-undang Nomor 2 Tahun 1960 adalah aturan dalam Undang-undang tersebut adil dalam pembagian bagi hasil serta melindungi hak dan kewajiban para pihak. Kelebihan dari hukum adat di Kecamatan Sungai Raya Kabupaten Kubu Raya adalah tata cara pelaksanaan yang mudah sehingga aturan hukum adat lebih efektif dan melindungi hak serta kewajiban para pihak.Kelebihan lainnya adalah imbangan pembayaran hasil tanah telah sesuai dengan aturan Undang-undang.  Kekurangan dari Undang-undang Nomor 2 Tahun 1960 adalah tata cara atau prosedur perjanjian bagi hasil yang berbelit membuat Undang-undang ini tidak efektif. Kekurangan dari hukum adat di Kecamatan Sungai Raya Kabupaten Kubu Raya adalah bentuk perjanjian yang tidak tertulis dan tidak adanya saksi dalam pembuatan perjanjian bagi hasil membuat kurangnya kekuatan hukum perjanjian tersebut.   Keyword: Perjanjian Bagi Hasil, Pemilik Tanah, Penggarap, Hukum Adat
IMPLEMENTASI PASAL 2 AYAT (4) PERATURAN WALIKOTA KOTA PONTIANAK NO. 6 TAHUN 2006 TENTANG JADWAL PEMBUANGAN SAMPAH DI KOTA PONTIANAK - A01112328, CITA TRIELIA
Jurnal Hukum Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Untan (Jurnal Mahasiswa S1 Fakultas Hukum) Universitas Tanjungpura Vol 5, No 2 (2017): JURNAL MAHASISWA S1 FAKULTAS HUKUM UNTAN
Publisher : Jurnal Hukum Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Untan (Jurnal Mahasiswa S1 Fakultas Hukum) Universitas Tanjungpura

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Skripsi ini berjudul Implementasi Pasal 2 Ayat (4) Peraturan Walikota Kota Pontianak No. 6 Tahun 2006 Tentang Jadwal Pembuangan Sampah Di Kota Pontianak.Dengan Masalah penelitian “Bagaimana Implementasi Pasal 2 Ayat (4) Peraturan Daerah Kota Pontianak No. 6 Tahun 2006 Tentang Jadwal Pembuangan Sampah Di Kota Pontianak?”. Penulisan skripsi ini diangkat berdasarkan identifikasi fenomena yang terjadiberkaitandengan implementasi kebijakan dimana implementasi penertibanpembuangan sampah tersebut belum efektif. Penulisan skripsi ini dimaksudkan untuk mengetahui faktor-faktor apa yang mempengaruhi implementasi kebijakan penertiban pembuangan sampah di Kelurahan Benua Melayu Laut belum efektif. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif dengan metode kualitatif. Kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan bahwa implementasi kebijakan belum berjalan dengan efektif. Harus adanya perbaikan dari beberapa faktor yaitu komunikasi, sumber daya, disposisi dan struktur birokrasi agar implementasi kebijakan dapat berjalan dengan efektif. Untuk itu rekomendasi yang diberikan antara lain sosialisasi lebih giat, penambahan petugas penjaga TPS dan fasilitas armada pengangkut sampah serta perbaikan TPS dan TPA, menindak tegas petugas yang tidak melaksanakan tugas dengan baik, pertahankan struktur birokrasi yang sudah baik. Sampah adalah salah satu faktor yang menyebabkan kota jauh dari kata bersih dan sehat. Sampah yang belum dikelola dengan baik hanya menyebabkan kawasan kota menjadi kotor. “Sampah domestik yang tidak tertangani dengan baik akan berdampak kepada kesehatan manusia, kondisi ekonomi dan tingginya biaya pengelolaan atau perbaikan lingkungan dan infrastruktur atau menimbulkan biaya eksternalitas” (Suparmoko, 2000:1-3). Cara pandang masyarakat selaku penghasil sampah terhadap kesehatan dan kebersihan lingkungan juga patut di pertanyakan, dalam hal ini telah menjadi masalah psikologi sosial dan perilaku menyimpang masyarakat kota, bahwa citradan cita-cita kebersihan dan kesehatan lingkungan hanya berlaku bagi wilayah privat dan bukan wilayah publik. Masyarakat tampaknya hanya peduli dengan kebersihan rumahnya saja dan tidak peduli lingkungan sekitarnya sehingga tak jarang ada masyarakat tanpa merasa dosa yang membuang buntalan sampahnya ke wilayah hutan kota, sungai, laut bahkan kebun atau tanah kosong. Ironisnya, fasilitas pengelolaan sampah hampir semua kota diIndonesia masih terbatas. Hal inilah yang melatar belakangi pemerintah menerbitkan Undang-Undang No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Undang-Undang No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah yang mengatur tentang tugas dan wewenang pemerintah Kabupaten/Kota serta hak dan kewajiban masyarakat dalam pengelolaan sampah. Untuk melaksanakan Undang-Undang ini diterbitkanlah Peraturan Pemerintah No. 81Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga. Peraturan Pemerintah ini berperan penting guna melindungi kesehatan masyarakat dan kualitas lingkungan, menekan terjadinya kecelakaan dan bencana yang terkait dengan pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga. Berkaitan dengan pengelolaan sampah Pemerintah Kota Pontianak mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2004 yang sudah mengalami perubahan menjadi Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2010 tentang Ketertiban Umum. Perda ini mencakup beberapa bidang, yaitu : tertib kebersihan, tertib bangunan dan usaha, tertib lingkungan, tertib sungai, parit dan saluran,tertib parkir dan angkutan jalan raya, tertib usaha tertentu, dan tertib sosial. Pengelolaan sampah sendiri merupakan bagian dari tertib kebersihan, seperti yang dibahas dalam Pasal5 ayat 1 dan 2. Dalam ayat (1) disebutkan“ pengangkutan sampah, dalam suatu persil misalnya bekas bongkaran rumah, tanah, tebangan pohon-pohon, limbah dariperusahaan dan sebagainya yang bersifat sampah, dilakukan oleh Dinas Kebersihan atau Badan yang ditunjuk oleh Pemerintah Daerah dengan dipungut bayaran, atau diangkut sendiri dengan membuangnya ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) yang lokasinya telah dilakukan oleh Pemerintah Daerah. Berdasarkan data dari Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Pontianak, volume sampah perhari untuk di Kota Pontianakadalah 4780,36 m3/hari, sedangkan untuk Kelurahan Benua Melayu Laut sebanyak 6,00 m3/hari. Dengan melihat volume sampah di Kelurahan Benua Melayu Laut perhari dan jumlah penduduk sebanyak 10.431 jiwa dapat di asumsikan bahwa satu orang menghasilkan 0,00057 m3/hari. Berdasarkan hasil pre survey, peneliti mendapatkan bahwa sampah pada pukul 6 pagi sudah bersih dan dibawa seluruhnya ke TPA.Sampah kembali menumpuk pada pukul 9 pagi. Padahal di TPS sudah di pasang papan pengumuman yang berisikan waktu jadwal pembuangan sampah. Berdasarkan data yang diperoleh dari Satuan Polisi Pamong Praja Kota Pontianak pada tahun 2013 terdapat 52 orang yang tertangkap membuang sampah tidak sesuai jadwalnya. Tahun 2014 mengalami penurunan yaitu berjumlah 37 orang dan pada tahun 2015 sebanyak 32 masyarakat yang tertangkap membuang sampah diluar jam yang telah ditetapkan. Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 1Tahun 2010 pada pasal 45 ditegaskan bahwa pelanggaran terhadap seluruh ketentuanpasal diancam pidana kurungan paling lama3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp.50.000.000,-(lima puluh juta rupiah). Untuk Kelurahan Benua Melayu Laut sendiri masih banyak tumpukan sampah di TPS di sianghari.Ini berarti masih ada pelanggaran terhadap peraturan yang telah dibuat oleh pemerintah. Kata Kunci : Implementasi, Penertiban, Sampah
ANALISA YURIDIS PERJANJIAN JUAL BELI TANAH YANG TIDAK DILAKUKAN DI HADAPAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH (PPAT) - A11112129, BARBARA FEBRIYENI
Jurnal Hukum Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Untan (Jurnal Mahasiswa S1 Fakultas Hukum) Universitas Tanjungpura Vol 5, No 1 (2016): JURNAL MAHASISWA S1 FAKULTAS HUKUM UNTAN
Publisher : Jurnal Hukum Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Untan (Jurnal Mahasiswa S1 Fakultas Hukum) Universitas Tanjungpura

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Pelaksanaan perjanjian jual beli tanah yang dilakukan oleh masyarakat dewasa ini pada umumnya tidak luput dari perjanjian jual beli yang telah diatur didalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer), khususnya dalam ketentuan pada pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu pengaturan mengenai suatu syarat sah perjanjian dan ketentuan Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mengatur mengenai suatu perjanjian berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya, serta ketentuan dalam pasal 1457 kitab Undang-undang Hukum Perdata Yang menjadi rumusan masalah dalam penulisan skripsi penulis adalah “Bagaimana Keabsahan Terkait Jual Beli Tanah Yang Tidak Dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) ?”. Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian normatif penelitian hukum terhadap data sekunder berupa penelitian kepustakaan (Library Research) yang dilakukan dengan cara meneliti bahan kepustakaan berupa data primer, sekunder maupun data tersier, dengan pendekatan metode pendekatan yuridis empiris, yaitu suatu metode pendekatan yang. menekankan pada teori-teori hukum dan aturan-aturan hukum yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti Bahwa dalam pelaksanaan perjanjian jual beli tanah yang dilakukan tidak dihadapn Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) pada umumnya tetap harus memperhatikan ketentuan dalam Kitab Undang-undang Hukum Prdata khususnya mengenai perjanjian dan perjanjian jual beli. Dalam pelaksanaan jual beli tanah yang berlaku di Masyarakat pada umumnya telah diatur dalam Undang-Undang nomor 5 Tahun 1960 Tentang pokok-pokok dasar Agraria dan didalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tnetnag Pendafataran Tanah, yang dimana didalamnya apabila diteliti lebih dalam mengharuskan pelaksanaan jual beli tanah dilakukan di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) apabila jual beli tanah tersebut tidak dialkukan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) maka tidak terjadi peralihan hak atas tanah yang diperjual belikan dari pihak penjual kepada pihak pembeli dikarenakan pembeli tanah tidak dapat mendaftarakan hak atas tanahnya ke kantor pertanahan tanpa Akta Jual Beli (AJB) yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Adapun saran penelitian dari penulis dalam permasalahan yang dibahas adalah Bahwa sebaiknya dalam pelaksanaan jual beli tanah yang dilakukan masyarakat pada saat ini tetap memperhatikan ketentuan-ketentuan mengenai pelaksanan jual beli pada umumnya serta keteentuan khusus yang mengatur mengenai pelaksaaan jual beli tanah yang terdapat didalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendafatran Tanah agar pelaksanaan jual beli tersebut tidak merugikan kedua belah pihak dan Bagi para pihak yang ada dalam pelaksanaan jual beli tanah sebaiknya menanyakan kepada Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) tentang prosedur pembuatan akta yang benar sehingga terhindar dari kemungkinan terancamnya kepastian hak atas tanah yang diperoleh. Para pihak harus dapat bekerjasama dengan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam melaksanakan pembuatan akta jual beli sehingga akta yang dihasilkan dapat menjamin kepastian hak atas tanah yang diperjual belikan Kata Kunci: Perjanjian Jual Beli, Pejabat Pembuat Akta Tanah, Pendaftaran Tanah
WANPRESTASI PIHAK PEMBERI GADAI PADA KANTOR PEGADAIAN CABANG PASAR KEMUNING DI KOTA PONTIANAK - A11109020, YULIUS
Jurnal Hukum Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Untan (Jurnal Mahasiswa S1 Fakultas Hukum) Universitas Tanjungpura Vol 1, No 2 (2013): JURNAL MAHASISWA S1 FAKULTAS HUKUM UNTAN
Publisher : Jurnal Hukum Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Untan (Jurnal Mahasiswa S1 Fakultas Hukum) Universitas Tanjungpura

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Dalam hal kegiatan perjanjian pinjam-meminjam uang atau yang lebih dikenal dengan istilah kredit dalam praktek kehidupan sehari-hari bukanlah merupakan sesuatu yang asing lagi, bahkan istilah kredit ini tidak hanya dikenal oleh masyarakat perkotaan, tetapi juga sampai pada masyarakat di pedesaan. Kredit umumnya berfungsi untuk menambah modal kegiatan usaha, dan khususnya bagi kegiatan perekonomian di Indonesia sangat berperan penting dalam kedudukannya, baik untuk usaha produksi maupun usaha swasta yang dikembangkan secara mandiri karena bertujuan meningkatkan taraf kehidupan bermasyarakat. Pegadaian dengan mottonya mengatasi masalah tanpa masalah, merupakan jalan keluar bagi masyarakat golongan ekonomi lemah sebagai alternatif penyaluran uang pinjaman dalam waktu singkat, yang tidak mungkin dilakukan bila mengambil kredit dari bank dengan perjanjian. Jika perjanjian gadai Pemberi gadai sudah jatuh tempo maka barang yang digadai akan dilelang dan hasil lelang tersebut untuk membayar kewajiban Pemberi gadai terhadap pihak pegadaian, namun terkadang terdapat kelebihan uang hasil lelang setelah dibayarkan untuk memenuhi kewajiban Pemberi gadai pegadaian tidak dikembalikan ke Pemberi gadai. Bertitik tolak dari uraian diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dan membahas masalah tersebut dalam bentuk tulisan ilmiah (Skripsi) dengan judul : WANPRESTASI PIHAK PEMBERI GADAI PADA KANTOR PEGADAIAN CABANG PASAR KEMUNING DI KOTA PONTIANAK. Maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah Apakah Pihak Pegadaian Cabang Pasar Kemuning di Kota Pontianak Telah Mengembalikan Kelebihan Uang Hasil Lelang Barang Gadai Kepada Pemberi gadai Yang Wanprestasi ? Diketahui bahwa Bahwa PT. Pegadaian Cabang Kemuning Pontianak tidak mengembalikan kelebihan uang hasil lelang barang gadai kepada pemberi gadai yang wanprestasi. Upaya hukum yang ditempuh oleh pemberi gadai jika terjadi wanprestasi dari pemegang gadai adalah menyelesaikan sengketa melalui jalur musyawarah mufakat antara PT. Pegadaian dengan pemberi gadai, melalui musyawarah mufakat sangat diharapkan terciptanya perdamaian antara pemberi gadai dan Pegadaian. Tetapi ketika melalui jalur ini persengketaan tidak juga selesai, maka persengketaan ini dapat dilakukan melalui lembaga mediasi untuk segera mendapatkan solusi yang baik. Bila jalur mediasi tidak juga mendapatkan hasil, maka jalur paling akhir yang harus ditempuh adalah jalur Pengadilan Keyword: Pegadaian, Wanprestasi, Pemberi Gadai