cover
Contact Name
Iwan
Contact Email
lexpublicaappthi@gmail.com
Phone
+6285395403342
Journal Mail Official
lexpublicaappthi@gmail.com
Editorial Address
Jl. Pemuda No.70, Pandansari, Kec. Semarang Tengah, Kota Semarang, Jawa Tengah 50133
Location
Kota semarang,
Jawa tengah
INDONESIA
Lex Publica
ISSN : 23549181     EISSN : 25798855     DOI : https://doi.org/10.58829/lp
Core Subject : Social,
Lex Publica (e-issn 2579-8855; p-issn 2354-9181) is an international, double blind peer reviewed, open access journal, featuring scholarly work which examines critical developments in the substance and process of legal systems throughout the world. Lex Publica published biannually online every June and December by Asosiasi Pimpinan Perguruan Tinggi Hukum Indonesia (APPTHI) and managed by Institute of Social Sciences and Cultural Studies (ISOCU), aims at critically investigating and pursuing academic insights of legal systems, theory, and institutions around the world. Lex Publica encourages legal scholars, analysts, policymakers, legal experts and practitioners to publish their empirical, doctrinal and/or theoretical research in as much detail as possible. Lex Publica publishes research papers, review article, literature reviews, case note, book review, symposia and short communications on a broad range of topical subjects such as civil law, common law, criminal law, international law, environmental law, business law, constitutional law, and numerous human rights-related topics. The journal encourages authors to submit articles that are ranging from 6000-8000 words in length including text, footnotes, and other accompanying material.
Arjuna Subject : Ilmu Sosial - Hukum
Articles 166 Documents
BUDAYA HUKUM MASYARAKAT TERHADAP FENOMENA PENGIRIMAN TENAGA KERJA MIGRAN SEBAGAI SALAH SATUBENTUK PERBUDAKAN MODERN DARI TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG Henny Nuraeny
Lex Publica Vol. 1 No. 2 (2015)
Publisher : APPTHI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (295.312 KB)

Abstract

Indonesia merupakan salah satu negara pengirim Tenaga Kerja Migran (migrant wolker) terbesar di Asia. Pengiriman Tenaga Kerja Migran umumnya dilakukan dengan berbagai cara, baik legal ataupun illegal. Pengiriman illegal selalu dihubungkan dengan perbudakan sebagai salah satu bentuk dari tindak pidana perdagangan orang. Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dapat terjadi dalam berbagai bentuk, namun biasanya bertujuan untuk mengeksploitasi korban untuk keuntungan orang lain. Sekalipun berbagai rencana strategis dan upaya penanggulangan sudah direncanakan dan dilaksanakan, namun realita dalam masyarakat masih banyak kendala yang dihadapai dalam pencegahan tindak pidana perdagangan orang dengan modus pengiriman Tenaga Kerja Migran. Oleh karena itu diperlukan kerjasama dan sinergitas antara semua Komponen dalam mayarakat, aparat penegak hukum dan Pemerintah.
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK ULAYAT MASYARAKAT BADUY DALAM Henry Arianto
Lex Publica Vol. 1 No. 2 (2015)
Publisher : APPTHI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (192.127 KB)

Abstract

Suku Baduy salah satu suku di Indonesia yang tinggal di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Propinsi Banten (salah satu propinsi di Pulau Jawa). Berjarak sekitar 120 km dari Jakarta (Ibukota Negara Indonesia). Mereka tinggal di daerah yang terpencil di Gunung Kendeng, sehingga untuk mencapai daerah tersebut juga dibutuhkan waktu yang relatif lebih lama dan jalan yang berat. Sekalipun masyarakat Adat Baduy tinggal di tengah perbukitan yang dikelilingi hutan, namun tidak ada kerusakan hutan yang terjadi. Masyarakat Adat Baduy dapat hidup harmonis berdampingan dengan lingkungan selama ratusan tahun tanpa merusak hutan. Padahal, mereka memanfaatkan hasil hutan tersebut dalam kesehariannya. Hal ini telah berlangsung lama meskipun masyarakat Adat Baduy tidak mengenal konsep pembangunan berkelanjutan. Keharmonisan antara masyarakat Adat Baduy dan hutan di sekitarnya tak selamanya langgeng. Kemesraan keduanya mulai terusik. Hutan adat mulai dirambah orang luar Baduy; menebang pohon tanpa kearifan. Penyerobotan tanah ulayat masyarakat Adat Baduy semakin sulit dikendalikan. Penyerobotan itu dilakukan warga luar Baduy dengan cara menebang hutan, mengerjakan ladang, dan membiarkan hewan ternak berkeliaran di tanah adat dalam kawasan hutan adat. Pokok permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan penelitian ini adalah pertama mengenai bagaimanakah bentuk penyero- botan terhadap hak ulayat masyarakat Adat Baduy Dalam? Dan kedua mengenai Bagaimana penyelesaian perselisihan terhadap sengketa tanah atas hak ulayat masyarakat Adat Baduy Dalam? Tipe penelitian yang penulis gunakan adalah penelitian hukum empiris atau disebut juga penelitian hukum sosiologis, yaitu penelitian hukum yang memperoleh datanya dari data primer atau data yang diperoleh langsung dari masyarakat.
MINIMALISASI DISPARITAS PIDANA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI MELALUI AJARAN DUALISTIS Sari Mandiana
Lex Publica Vol. 1 No. 2 (2015)
Publisher : APPTHI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (288.177 KB)

Abstract

Menjatuhkan suatu pidana atau suatu tindakan, adalah suatu perbuatan yang diarahkan pada suatu tujuan. Dan ini adalah sangat penting sekali bagi hakim yang mengadili juga mengetahui tentang arti dari apa yang telah dilakukannya/diputuskannya. Arti pertanggungan jawab pidana disini adalah keputusan dalam apa yang harus dilakukan dalam keadaan konkrit terhadap pelaku delik. Suatu hukum pidana berdasarkan kesalahan hanya dapat diberi isinya oleh pertimbangan-pertimbangan berdasarkan tujuan kemanfaatannya. Hubungan antara tujuan dan keputusan untuk mewujudkan tujuan itu dengan suatu cara tertentu akan mendapatkan tempatnya yang lebih baik. Demikian, jika ada pelanggaran norma hukum (undang-undang) dan ada sanksinya, selalu akan ada pertanggungan jawab pidana. Pertanggungan jawab pidana dapat terjadi dalam bentuk penjatuhan sanksi berupa pidana mati, memenjarakan, menjatuhkan suatu denda, dan pelbagai bentuk-bentuk lainnya. Dasar bagi pertanggungan jawab pidana ini adalah kesalahan, yang hanya muncul / ada karena keharusan adanya suatu aksi yang harus dibenarkan pula. Ada suatu ikatan yang logis antara kesalahan dan apa yang menyusul kemudiannya. Kesalahan harus merupakan dasar, merupakan alasan, merupakan tujuan, merupakan ratio daripada sanksi yang harus dipertanggungjawabkan untuk dapat digunakan dengan sebaik-baiknya. Penerobosan harus dilaksanakan atas struktur tersebut dengan menegaskan bahwa menjatuhkan suatu pidana atau tindakan adalah suatu tindakan dengan mana Hakim mampu memberikan putusan yang rasional tentang kerangka/gambaran mengenai apakah selanjutnya yang akan terjadi dengan terhukum, dan kerangka ini dapat bersifat luas atau sempit. Disinilah diperlukan hakim yang harus benar-benar dengan tepat mengetahui keputusan yang bagaimanakah yang dihasilkannya dan manfaatnya bagi terpidana.
IMPLEMENTASI DESENTRALISASI KEWENANGAN DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA PESISIR DI KALIMANTAN BARAT Yenny AS
Lex Publica Vol. 1 No. 2 (2015)
Publisher : APPTHI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (327.327 KB)

Abstract

Pembangunan daerah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional tidak dapat dilepaskan dari dinamika otonomi daerah Sebagai daerah otonom, daerah mempunyai kewenangan dan tanggung jawab menyelenggarakan kepentingan masyarakat berdasarkan prinsip keterbukaan, partisipasi dan pertanggungjawaban kepada masyarakat. Faktor belum menguatnya implementasi desentralisasi kewenangan pengelolaan wilayah pesisir tersebut masih terdapatnya dissinkronisasi dari regulasi dan kebijakaan yang ada serta Masih rendahnya daya akomodasi dan responsitas basis kultural akibat semangat kebijakan dan regulasi yang yang berkarakter sentralistik, sehingga compatible dengan signifikansi kearifan lokal masyarakatnya. Upaya mewujudkan desentralisasi kewenangan di bidang Pengelolaan Wilayah Pesisir yang dapat mengakomodasi keseimbangan kepentingan dan kelembagaan di Kalimantan Barat diharapkan Pemerintahan pusat semestinya dapat konsisten meninggalkan keengganan untuk membagi kewenangan dengan pemerintahan lokal dan memperbaiki kerangka kerja dan proses kebijakan dengan menghargai semangat desentralisasi. Sebagai upaya mewujudkan desentralisasi kewenangan di bidang Pengelolaan Wilayah Pesisir yang dapat mengakomodasi keseimbangan kepentingan dan kelembagaan, maka perlu dibangun pola pendekatan pengelolaan sumberdaya pesisir berbasis masyarakat.
UPAYA MENDORONG PENANAMAN MODAL DENGAN PENATAAN PERATURAN DAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG EKONOMI St. Laksanto Utomo
Lex Publica Vol. 2 No. 1 (2015)
Publisher : APPTHI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penanaman modal sangatlah signifikan dengan kebutuhan dan pertumbuhan ekonomi nasional. Dan segi manfaat ada dua akibat utama dari penanaman modal yang menguntungkan Indonesia. Penataan hukum investasi dalam upaya menciptakan iklim investasi tersebut, telah dimulai dengan kehadiran Undang-Undang Penanaman Modal yang secara normatif telah mengakomodir berbagai kepentingan para penanam modal asing. Indonesia, bahwa salah satu upaya untuk menggerakkan kembali perekonomian Nasional adalah bagaimana menciptakan iklim dunia usaha yang kondusif. Dengan penataan hukum ekonomi khususnya hukum investasi diharapkan mendorong investasi di Indonesia, baik penanaman modal dalam negeri maupun asing. Kebijakan-kebijakan yang diru- muskan haruslah yang mampu membuat Indonesia bersaing dengan negara-negara di ASEAN khu- susnya, dalam menarik investasi asing. Secara spesifik, tujuan utama pembentukan UUPM adalah sebagai berikut; “memberikan kepastian hukum dan kejelasan mengenai kebijakan penanaman mo- dal dengan tetap mengedepankan kepentingan nasional sehingga dapat meningkatkan jumlah dan kualitas investasi yang berujung pada peningkatan pertumbuhan ekonomi, peningkatan lapangan kerja, peningkatan ekspor dan penghasilan devisa, peningkatan kemampuan teknologi, peningkatan kemampuan daya saing nasional, dan pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat pada umumnya.
EVOLUSI TEKNOLOGI INFORMASI BERBASIS INTERNET DAN KEBIJAKAN PERBANKAN DALAM BINGKAI PRIVACY Endah Nawangsasi Sukarton
Lex Publica Vol. 2 No. 1 (2015)
Publisher : APPTHI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (310.629 KB)

Abstract

Evolusi pada era globalisasi didefinisikan sebagai perubahan (pertumbuhan, perkembangan) secara berangsur-angsur dan perlahan-lahan yang membawa dampak positif bagi kehidupan. Teknologi merupakan keseluruhan sarana yang juga sebagai fasilitator utama dalam rangka menyediakan segala yang dibutuhkan bagi keseharian hidup manusia (gadjeting life style). Informasi berbasis teknologi seperti komputer, elektronik, dan telekomunikasi, adalah bertugas mengolah dan men- distribusikan informasi dalam bentuk digital. Sejalan dengan kemajuan zaman, bank dalam mem- berikan pelayanan kepada masyarakat telah memanfaatkan kemajuan di bidang teknologi. Masya- rakat dalam berinteraksi dengan finansial-nya tidak lagi dalam bentuk konvensional, namun dengan berbasis digital. Baik berupa EDC (electronic data capture), maupun melalui ATM (automatic teller machine). Sehubungan dengan hal tersebut, menjadi kewajiban merahasiakan nasabah pe- nyimpan dan simpanannya. Di Indonesia payung hukum mengenai rahasia bank telah ditetapkan oleh pemerintah dengan peraturan perundang-undangan sebagai berikut: Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) Nomor 23 Tahun 1960 Tentang Rahasia Bank, Undang-Un- dang Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. Adapun pengecualian terhadap ketentuan rahasia bank yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Ta- hun 1998, Peraturan Bank Indonesia Nomor: 2/19/PBI/2000 Tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Perintah atau Izin Tertulis Membuka Rahasia Bank. Dengan demikian kebijakan per- bankan dalam bingkai privacy harus berdasarkan dan tidak boleh bertentangan dengan dasar hukum yang telah disebutkan di atas.
HUBUNGAN ANTARA FAKTA, NORMA, MORAL DAN DOKTRIN HUKUM DALAM PERTIMBANGAN PUTUSAN HAKIM Rantawan Djanim
Lex Publica Vol. 2 No. 1 (2015)
Publisher : APPTHI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (282.325 KB)

Abstract

Secara jujur harus diakui, bahwa selama rezim Orde Lama dan Orde Baru berkuasa, NKRI sudah kehilangan karakter aslinya. Memang, NKRI masih memakai baju konstitusi, tapi ini hanya untuk dijadikan topeng oleh rezim yang tengah berkuasa, agar rakyat tetap percaya bahwa NKRI masih menjadi Negara Hukum yang demokratis, serta melindungi HAM seluruh rakyat Indonesia. Pengingkaran terhadap karakter asli NKRI yang merupakan pencerminan langsung dari karakter asli bangsa Indonesia, telah mengakibatkan perkembangan NKRI menjadi semakin tidak sehat, diantaranya NKRI menjadi sarang para koruptor, ketimpangan sosial demikian tajam, mafia peradilan merajalela, serta perlindungan HAM semakin terabaikan. Karakter (kepribadian) NKRI adalah karakter (kepribadian) bangsa Indonesia. Sedangkan, hukum sesunguhnya hanyalah sekedar alat bagi bangsa Indonesia (NKRI) untuk dapat mengembangkan diri sesuai dengan kepribadiannya. Oleh sebab itu, keberadaan hukum harus mengabdi pada kepentingan bangsa, jika tidak maka hukum itu tidak memiliki dasar pembenar. Nilai-nilai moral (asas hukum) adalah ruh dari setiap perundang-undangan. Tanpa ruh (asas hukum), maka perundang-undang tidak lebih dari kumpulan pasal-pasal yang memuat aturan-aturan hukum yang tidak memiliki daya hidup di tengah masyarakat. Dengan demikian, rumusan aturan hukum harus berlandaskan asas hukum (nilai-nilai moral). Hal ini sudah menjadi keharusan hukum, sehingga harus diperlakukan sebagai doktrin hukum.
PEMBUKTIAN KASUS MALPRAKTEK DI INDONESIA Lenny Nadriana
Lex Publica Vol. 2 No. 1 (2015)
Publisher : APPTHI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (334.101 KB)

Abstract

Keputusan yang meneliti pelanggaran etika atau dokter tindakan disipliner tidak mempengaruhi jalannya pemeriksaan kasus pidana dan perdata karena penyelesaian jalur pidana dengan kewenangan IMDC merupakan entitas yang terpisah dalam konteks kelembagaan atau output yang dihasilkan. Seorang hakim dalam memeriksa dokter/dokter gigi memiliki otoritas independen untuk mencari, menemukan dan menentukan dokter kesalahan sehingga dapat memberikan putusan yang adil bagi para pencari keadilan. Membuktikan hubungan hukum antara Lembaga Audit Code, Institut Peneliti Disiplin Profe- sional merupakan bukti hukum dalam pemeriksaan di pengadilan sebagai karakter yang terpisah. Setiap lembaga pemeriksa yang memenuhi syarat sesuai dengan kewenangan sendiri untuk menentukan bukti dan menentukan kesalahan dokter. Pengadilan yang bertugas memeriksa kelalaian medis memiliki oto- ritas independen untuk menentukan kesalahan dokter tanpa menunggu keputusan dari lembaga penyele- saian seperti profesi atau audit disiplin pemeriksaan lembaga kode etik. Ini merupakan efek hukum pasal 66 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 yang mengatur kualifikasi yang kesalahan yang terpisah. Antara peradilan, lembaga audit profesi dan lembaga audit disiplin perilaku tidak dalam hubungan berurutan dan satu entitas untuk menentukan kesalahan dokter. Jika suatu saat hakim memeriksa kasus kelalaian medis, hakim memiliki kebebasan untuk menentukan kesalahan medis tanpa mempertimbang- kan keputusan organisasi profesi, profesi dan disiplin hasil Audit lembaga kode etik.
ASPEK YURIDIS PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 1999 TENTANG TELEKOMUNIKASI Rineke Sara
Lex Publica Vol. 2 No. 1 (2015)
Publisher : APPTHI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (305.611 KB)

Abstract

Tulisan ini menjelaskan gambaran tentang penataan sistem hukum dalam penyelengaraan teleko- munikasi dimulai dari masa transisi monopolistik menuju pada pasar bebas, tentunya diwarnai de- ngan ketegangan yang berkaitan dengan penyesuain kaedah hukum, termasuk mengisi ruang kebija- kan pelaksanaan secara keseluruhan di Indonesia. Perubahan yang cepat dari keadaan yang monopi- listik dalam penyelenggaraan telekomunikasi domesitik kearah liberalistik, menimbulkan attitude kompetisi yang belum mendukung tujuan pemerintah dalam menciptakan iklim kompetisi yang kondusif dan fair. Pemberlakuan kebijakan pertelekomunikasian yang baru belum dilengkapi pe- rangkat pelaksananya banyak memberikan berbagai dampak negatif terutama dalam memberikan ja- minan dan kepastian kelayakan usaha, disamping itu dengan adanya perubahan cara pandang pe- merintah dalam bidang telekomunikasi memerlukan penyesuaian yang tidak mudah dan mempunyai dampak yang luas.
MEMBANGUN “KPK” KABUPATEN/KOTA Sebuah Model Budaya Pencegahan Holistik Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia Ade Saptomo
Lex Publica Vol. 2 No. 1 (2015)
Publisher : APPTHI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (478.05 KB)

Abstract

Jauh sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia ini berdiri 17 Agustus 1945, fenome- na korupsi sebenarnya telah merambah ke berbagai strata kehidupan tata pemerintahan. Demikian pula kondisi korupsi setelah Negara Kesa- tuan Republik Indonesia ini berdiri, terbukti dengan pernyataan Wakil Presiden Republik Indo- nesia yang pertama, Bung Hatta, bahwa korupsi di Indonesia telah membudaya.1 Dalam perpek- stif yuridis formal, upaya pemberantasan tindak pidana korupsi dimaksud telah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dengan menerbitkan sejumlah undang-undang. Di antara undang-undang dimaksud adalah sebagai berikut: Peraturan Penguasa Militer yang dikelu- arkan 9 April 1957 Nomor Prt/PM/06/ 1957, tanggal 27 Mei 1957 Nomor Prt/ PM/03/1957, dan tanggal 1 Juli 1957 Nomor Prt/PM/011/1957. Hal ini me- nunjukkan bahwa segera setelah kemer- dekaan, korupsi sidah muncul dan mem- bahayakan Negara termasuk yang terjadi di lingkungan Peraturan Pemberantas Korupsi Pengu- asa Perang Pusat No.prt/Perpu/013/1958 tanggal 16 April 1958. Peraturan ini me- nunjukkan adanya langkah militer mela- lui piranti aturan hukum untuk membe- rantas korupsi. Surat Keputusan kepala Staf Angkatan Laut Nomor Z/1/1/7 Tanggal 17 April 1958. Dengan berdasarkan pada peratu- ran Pemberantas Korupsi Penguasa Pe- rang Pusat No.prt/Perpu/013/1958 tang- gal 16 April 1958, Angkatan Laut juga bertekad untuk meberantas Undang-Undang Nomor 24 Prp Tahun 1960 tentang Pengusutan dan Pemerik- saan Tindak Pidana Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tanggal 29 Maret 1971 tentang Pembe- rantasan Tindak Pidana Upaya pemerintah Indonesia menerbitkan seperangkat undang-undang tersebut penulis amat memahami mengingat ada hubungan antara pemberanstasan koruspi dengan pembangunan. Pemahaman penulis dimaksud berdasarkan asumsi, bahwa pembangunan nasional akan ter- sendat, bahkan akan terhenti jika kekayaaan/ uang Negara yang seharusnya digunakan untuk membiayai pembangunan baik supra maupun infrastruktur diambil dengan berbagai dalih hanya untuk memperkaya segelintir orang atau sekelompok orang. Sehubungan dengan itu, dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indo- nesia Tahun 1945, upaya pemberantasan korupsi ditingkatkan secara profesional, intensif, dan berkesinambungan karena korupsi telah merugikan keuangan negara, perekonomian negara, dan menghambat pembangunan nasional.

Page 2 of 17 | Total Record : 166