Kanun: Jurnal Ilmu Hukum
anun: Jurnal Ilmu Hukum (KJIH), the Indonesian Journal of Autonomy Law, is an international journal dedicated to the study of autonomy law within the framework of national and international legal systems. Published thrice annually (April, August, December), KJIH provides valuable insights for scholars, policy analysts, policymakers, and practitioners. Managed by the Faculty of Law at Syiah Kuala University in Banda Aceh, Indonesia, KJIH has been fostering legal scholarship since its establishment in June 1991, with the ISSN: 0854 – 5499 and e-ISSN (Online): 2527 – 8428. In 2020, it received national accreditation (SINTA 2) from the Ministry of Research and Technology of the Republic of Indonesia and the National Research and Innovation Agency. KJIH is actively pursuing indexing in prestigious databases like Scopus, Web of Science and other global indexes. We publish in English for accessibility, not as a political statement. The Editorial Board shall not be responsible for views expressed in every article.
Articles
10 Documents
Search results for
, issue
"Vol 17, No 1 (2015): Vol. 17, No. 1, (April, 2015)"
:
10 Documents
clear
Dukungan Infrastruktur Hukum dalam Pengembangan Green Investment di Provinsi Aceh
Muhammad Insa Ansari;
Adi Hermansyah
Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol 17, No 1 (2015): Vol. 17, No. 1, (April, 2015)
Publisher : Universitas Syiah Kuala
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
ABSTRAK: Pengembangan green investment harus didukung oleh infrastruktur hukum pada semua level pemerintahan. Pengembangan green investment yang dilakukan oleh pemerintah pusat telah dituang dalam sejumlah peraturan perundang-undangan, diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2012 tentang Rencana Umum Penanaman Modal. Berdasarkan penelitian menunjukkan bahwa Pemerintah Provinsi Aceh telah memiliki kebijakan green investment baik dalam Qanun Aceh maupun Peraturan Gubernur Aceh, Pemerintah Kabupaten Aceh Besar telah memiliki kebijakan green investment secara parsial yang dituangkan dalam Peraturan Bupati Kabupaten Aceh Besar, sementara itu Pemerintah Kabupaten Aceh Barat belum memiliki kebijakan green investment secara khusus. Dukungan infrastruktur hukum dalam pengembangan green investment yang dimiliki Pemerintah Aceh berupa Qanun Aceh Nomor 4 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Qanun Aceh Nomor 5 Tahun 2009 tentang Penanaman Modal dan Peraturan Gubernur Aceh Nomor 71 Tahun 2012 tentang Rencana Umum Penanaman Modal Aceh, kemudian dukungan infrastruktur hukum yang dimiliki Pemerintah Kabupaten Aceh Besar dalam pengembangan green investment berupa Peraturan Bupati Aceh Besar Nomor 11 Tahun 2011 tentang Investasi Hijau di Bidang Perikanan dan Kelautan dan Peraturan Bupati Aceh Besar Nomor 3 Tahun 2014 tentang Kebijakan Subsidi Hijau Bidang Perikanan, sementara Kabupaten Aceh Barat belum memiliki infrastruktur hukum secara khusus dalam kaitannya dengan green investment. Untuk itu maka dipandang perlu Pemerintah Provinsi Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota membuat dukungan infrastruktur hukum dalam pengembangan green investmen sesuai dengan kewenangan masing-masing. Support of Legal Infrastructure in Developing Green Investment in Aceh Province ABSTRACT: The research shows that the Aceh Provincial government has had a policy of green investment both in Qanun Aceh and Regulation governor of Aceh, the Government of Aceh Besar district has had a policy of green investment is partially outlined in the decree Aceh Besar District, while the Goverment of West Aceh District has not had a policy green investment in particular. Support the legal infrastructure for the development of green investment owned by the Government of Aceh in the form of Aceh Qanun No. 4 of 2013 on the Amendment of Aceh Qanun No. 5, 2009 on Investment and Regulation of the Governor of Aceh No. 71, 2012 on the General Plan Investment Aceh, then the support of legal infrastructure owned by the Government of Aceh Besar in the development of green investment in the form of decree Aceh Besar No. 11, 2011 on the Green Investment in the Field of Fisheries and Marine Resources and the decree of Aceh Besar No 3, 2014 on Subsidy Policy Green Field of Fisheries, while the West Aceh District is not the legal infrastructure specifically in relation to green investment. For that it is necessary Aceh Provincial government and district/city government create legal infrastructure support in the development of green investment in accordance with each authority.
Pengelolaan Kepegawaian pada Era Otonomi Daerah
Erlanda Juliansyah Putra
Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol 17, No 1 (2015): Vol. 17, No. 1, (April, 2015)
Publisher : Universitas Syiah Kuala
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
ABSTRAKManajemen personalia, di era otonomi daerah pada dasarnya telah mengalami pertumbuhan yang pesat, terutama dalam kasus penyusunan kebutuhan karyawan, bersama dengan proses pengadaan dan pengangkatan pegawai negeri sipil. Dalam mengembangkan kebutuhan karyawan, manajemen personalia penentuan persyaratan didasarkan pada analisis jabatan dan beban kerja yang didasarkan pada kebutuhan prioritas daerah. Selain proses pengadaan dan pengangkatan PNS juga memuat ketentuan yang menempatkan sistem profesionalisme berdasarkan kemampuan masing-masing calon PNS serta beberapa persyaratan kualifikasi untuk mengaktifkan PNS untuk dapat bersaing pengembangan dorongan dalam wilayah, disertai dengan gaji manajemen dan tunjangan didasarkan pada pengelolaan kebutuhan anggaran masing-masing daerah. Personnel Management in the Era of Regional Autonomy ABSTRACTPersonnel management in the era of regional autonomy in essence , has experienced rapid growth , especially in the case of the preparation of the needs of employees , along with the procurement process and the appointment of civil servants. In developing the needs of employees , management personnel requirements determination is based on job analysis and workload that is based on the priority needs of the region . Besides the procurement process and the appointment of civil servants has also contains a provision that puts the professionalism system based on the ability of each candidate civil servants as well as some of the qualification requirements to enable the civil servants to be able to compete boost development in the region , accompanied by the management salary and allowances are based on the management of the budget needs of each region.
Responsibility to Protect sebagai Doktrin atau Norma yang Berkembang dalam Hukum Internasional
Lili Husni Putri
Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol 17, No 1 (2015): Vol. 17, No. 1, (April, 2015)
Publisher : Universitas Syiah Kuala
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
ABSTRAK: Tanggung jawab untuk melindungi merupakan norma yang muncul dari hukum internasional yang bertujuan untuk menyediakan sarana bagi masyarakat internasional untuk mencegah kejahatan kekejaman massal yang terjadi dalam batas-batas negara yang berdaulat. Meskipun memiliki asal-usul langsung dalam upaya untuk mereklasifikasi gagasan kedaulatan, dan pergeseran itu semata-mata sebagai hak untuk termasuk tanggung jawab, sumber sebenarnya adalah Konvensi Den Haag 1899 dan Marten Clause. Ada optimisme yang luar biasa di tahun-tahun setelah adopsi oleh Komisi Internasional tentang intervensi dan kedaulatan negara pada tahun 2001 dan ketika itu diadopsi dengan suara bulat sebagai bagian dari dokumen Hasil World Summit tahun 2005. Artikel ini mencoba untuk mengeksplorasi pengembangan tanggung jawab untuk melindungi, bahasa yang bereda digunakan untuk menggambarkan tanggung jawab untuk melindungi dan implikasinya. Responsibility to Protect as A Doctrine or Emerging Norm in International Law ABSTRACT: Responsibility to protect is an emerging norm of international law that seeks to provide a means for the international community to prevent mass atrocity crimes occurring within the boundaries of a sovereign state. While it has its direct origins in attempts to reclassify the notion of sovereignty, and shift it away solely as right to include responsibilities, its real source is the Hague Convention 1899 and its Marten Clause. There was tremendous optimism in the years after its adoption by the International Commission on Intervention and State Sovereignty (ICISS) in 2001 and when it was adopted unanimously as part of the World Summit Outcome document in 2005. This article attempts to explore the development of responsibility to protect, the different language is used to describe responsibility to protect and its implications for responsibility to protect and the implementation of responsibility to protect.
Kontrak Baku Franchise Ditinjau dari Ketentuan Unidroit dan KUH Perdata
Susiana Susiana
Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol 17, No 1 (2015): Vol. 17, No. 1, (April, 2015)
Publisher : Universitas Syiah Kuala
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
ABSTRAK: Kontrak baku merupakan kontrak yang telah dipersiapkan oleh salah satu pihak, dimana pihak lain tidak memiliki andil dalam merumuskan isi kontrak. Kontak franchise sebagai salah satu jenis kontrak yang berkembang dalam praktek kontrak bisnis internasional dewasa ini, umumnya telah dibuat dalam bentuk baku. Dalam perdagangan internasional, khusus mengenai kontrak bisnis internasional berlaku ketentuan yang diatur dalam Unidroit. Di Indonesia, pembuatan kontrak diatur dalam KUH Perdata. Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji dan menjelaskan prinsip-prinsip kontrak dalam Unidroit dan KUH Perdata serta melakukan analisis apakah kontrak franchise yang dibuat dalam bentuk kontrak baku tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip kontrak yang diatur dalam Unidroit dan KUHPerdata. Dari hasil kajian kepustakaan dapat dijelaskan bahwa prinsip-prinsip kontrak yang diatur dalam Unidroit Principle (UP) antara lain: prinsip kebebasan berkontrak, itikad baik dan transaksi jujur, Prinsip kesepakatan melalui penawaran dan penerimaan, Prinsip perlindungan pihak lemah dari syarat-syarat baku, Prinsip contra proferentem dalam penafsiran kontrak baku. Franchise Standardized Contract Viewed from the Rules of Unidroit and the Civil Code ABSTRACT: Standard contract is a contract which has been prepared by one of the parties, in which the other party has not participated in making the contract. Contract francise as one the the types of contracts that developed in the practice of today’s international business contracts, generally have been made in raw form. In international trade, especially regarding international business contracts applicable provisions laid down in Unidroit. In Indonesia, the manufacturing contract stipulated in the Civil Code. The result show that the contract principles set out in Unidroit Principle (UP), among other: the principle of freedom of contract, good faith and transaction honest (fair dealing). Principles of the agreement through the offer and reception (acceptance), principle of the protection of the weak from the terms of the raw, contra profereniem principle in the interpretation of standard contract.
Kedudukan Ahli Waris Nonmuslim terhadap Harta Warisan Pewaris Islam Ditinjau dari Hukum Islam dan Kompilasi Hukum Islam
Ilyas Ilyas
Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol 17, No 1 (2015): Vol. 17, No. 1, (April, 2015)
Publisher : Universitas Syiah Kuala
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
ABSTRAK: Hukum tentang kewarisan menjadi suatu bahasan yang sangat penting dalam hukum Islam, sehingga para pemikir Islam selalu memberikan perhatian serius terhadap pembahasan kewarisan. Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan hak ahli waris non muslim terdapat harta warisan pewaris Islam ditinjau dari hukum Islam dan Kompilasi Hukum Islam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa menurut hukum Islam yaitu dalam hadist Rasulullah bahwa tidaklah berhak seseorang muslim mewarisi orang non muslim. Dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam juga menegaskan bahwa hak ahli waris non muslim terhadap harta warisan pewaris Islam tidak mendapatkan harta warisan dari harta peninggalan si pewaris sebagaimana diatur dalam Pasal 171 huruf (c) bahwa ahli waris harus beragama Islam. The Status of Non Muslem Heirs Towards the Moslem Inheritor Viewed from Islamic and Islamic Compilation Law ABSTRACT: Law of inheritance is one of the most important issues that is very important in Islamic law, so that Islamic thinkers always give serious attention to the discussion of inheritance. This paper aims to clarify the rights non-Moslems are heirs of inheritance heir to Islam in terms of Islamic law and Islamic Law Compilation. The result showed that according to Islamic law, namely in the hadith of the Prophet that the Moslem man is not entitled to inherit non-Moslems. In instruction of the President of the Republic of Indonesia Number 1, 1991 on the Compilation of Islamic Law also asserts that the rights of the heirs of non-Moslems to inheritance heir to Islam not get inheritance of the possessions of the heir as stipulated in Article 171 (c) that the heir must be a moslem.
Upaya Hukum Debitor terhadap Putusan Pailit
Ishak Ishak
Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol 17, No 1 (2015): Vol. 17, No. 1, (April, 2015)
Publisher : Universitas Syiah Kuala
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
ABSTRAK: Dalam hubungan hukum utang piutang debitor berkewajiban membayar utang jika telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Debitor dalam membayar utang kadangkala ia wanprestasi (ingkar janji). Apabila debitor berutang pada beberapa kreditor, maka penyelesaiannya dapat dilakukan dipengadilan niaga secara kepailitan. Debitor dinyatakan pailit oleh pengadilan niaga karena ia membayar lunas sedikit-dikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Putusan pailit menimbulkan akibat hukum yang berat bagi debitor, oleh karena itu debitor perlu mengajukan upaya hukum supaya terhindar dari akibat putusan tersebut. The Legal Effort of Debt on Brankruptcy Decision ABSTRACT: In the legal relations, loan of the debtor is obligated to pay the debt due and collectible. The debtor to pay the debt he sometimes defaults (broken promise). If the debtor owes to several creditors, then the solution can be done by the commercial court of brankruptcy. The debtor is declared bankrupt by the commercial court because he paid the at least one debt due and collectible. Bankruptcy decision raises serious legal consequences for debtors, and therefore the debtor needs to file a legal action in order to avoid the consequences of the decision.
Kewenangan Pemerintah Daerah dalam Penyelesaian Sengketa Tanah
Ilyas Ismail;
Abdurrahman Abdurrahman;
Sufyan Sufyan
Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol 17, No 1 (2015): Vol. 17, No. 1, (April, 2015)
Publisher : Universitas Syiah Kuala
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
ABSTRAK. Tulisan ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi, menjelaskan dan menganalisis ketentuan perundang-undangan yang mengatur kewenangan pemerintah daerah dalam penyelesaian sengketa tanah. Untuk mendapatkan data bagi kepentingan penulisan ini dilakukan penelitian kepustakaan, dengan cara menelaah ketentuan perundang-undangan dan literatur yang relevan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketentuan yang secara khusus menentukan kewenangan pemerintah daerah dalam bidang penyelesaian sengketa tanah terdapat dalam Keppres Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional Dibidang Pertanahan dan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Berdasarkan ketentuan tersebut pemerintah daerah berwenang; (a) penyelesaian sengketa tanah garapan; (b) penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan; (c) penyelesaian masalah tanah ulayat; dan (d) penyelesaian masalah tanah kosong. The Authority of Legal Government in Solving Land Dispute ABSTRACT. This research aims to identify, explain and analyse the rules regulating the authority of local government in settling land dispute. In order obtain data library research is conducted by exploring relevant rules and literatures. The research shows that the special rule regulating the authority of local government in settling land dispute ruled in the Presidential Decree Number 34, 2003 on National Policy on Land and the Act Number 23, 2014 on Local Government. Based on these, the local government is eligible to: (a) settling the cultivating land, (b) reparation and remedy for land used for the development, (c) customary land dispute, and (d) unoccupted land.
Perencanaan Tata Ruang Daerah Perbatasan Kabupaten/Kota dalam Kaitannya dengan Kewenangan Daerah di Provinsi Aceh
Arnita Arnita;
Fauzah Nur Aksa
Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol 17, No 1 (2015): Vol. 17, No. 1, (April, 2015)
Publisher : Universitas Syiah Kuala
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
ABSTRAK: Hasil penelitian menunjukkan bahwa lokasi penelitian yang dilaksanakan semua kabupaten/kota telah membuat Berita Acara Rapat Koordinasi antara kabupaten/kota yang berbatasan. Bahkan Berita Acara Konsultasi dan Sinkronisasi juga telah dibuat antara Provinsi Aceh dan Provinsi Sumatera Utara. Hasil dari analisa dari data di lapangan dalam penelitian, bahwasanya telah ada jalan keluar antara kabupaten/kota yang berbatasan dalam lingkup wilayah Provinsi Aceh yang berkaitan dengan penataan ruang. Sehingga berita Acara Rapat koordinasi dan koordinasi tersebut diharapkan dapat menyelaraskan dengan serasi, seimbang akan hal pemanfaatan ruang pada masing-masing kabupatenkota yang berbatasan. The Region Spatial Planning in Border Municipalities/District in Relation to the Regional Authorities in Aceh Province ABSTRACT: The research shows that the research location conducted in all districts/municipalities has made Coordination Meeting Proceeding between border districts/municipalities. Even the consultation proceeding and sincronization has been made between the Province of Aceh and North Sumatera Province. The analysis shiws that there is a way between the district and municipalities border areas in the province relating to the spatial planning. Thus, the proceedings are expected to be suitable and balance in using the space in every district/municipalities that are bounderies.
Harmonisasi Pengaturan Kewenangan Daerah Bidang Pengelolaan Pertambangan Mineral Bukan Logam dan Batuan
Ade Arif Firmansyah;
Malicia Evendia
Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol 17, No 1 (2015): Vol. 17, No. 1, (April, 2015)
Publisher : Universitas Syiah Kuala
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
ABSTRAK. Pengelolaan pertambangan mineral bukan logam dan batuan merupakan salah satu urusan pemerintahan yang dibagi secara konkuren antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Studi ini bertujuan untuk memetakan harmonisasi pengaturan kewenangan pengelolaan pertambangan mineral bukan logam dan batuan melalui pemberian izin pertambangan rakyat. Penelitian hukum yang menggunakan optik doktrinal ini menunjukkan bahwa terjadi disharmonisasi horizontal antar undang-undang yang mengatur kewenangan pemberian izin pertambangan rakyat. UU No. 23 Tahun 2014 memberikan kewenangan pemberian izin pada pemerintah provinsi, sedangkan UU No. 4 Tahun 2009 memberikan kewenangan pemberian izin pada pemerintah kabupaten/kota. Kondisi disharmonisasi tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum bagi pengusaha pertambangan sehingga akan mempengaruhi iklim usaha pertambangan rakyat di daerah, sehingga disarankan agar pemerintah pusat dan dewan perwakilan rakyat (DPR), perlu meninjau kembali kewenangan pemberian izin pertambangan rakyat, dengan mengembalikan kewenangan tersebut dari perspektif rezim hukum pemerintahan daerah kepada pemerintah kabupaten/kota, karena rentang kendalinya dengan pelaku dan wilayah pertambangan lebih singkat sehingga cenderung lebih berdayaguna dan berhasilguna. Harmonization of Regulation Local Government Authority in The Management of Non-Metal Mineral and Rock Mining ABSTRACT. Mineral non-metal and rocks mining management is one of the government affairs are shared concurrently between the central government, provincial government and district/city governments. This study aims to mapping the harmonization of authority regulation in the management of non-metallic mineral and rock mining through the granting of people permits mining. This legal research that used the doctrinal optical shows that there is horizontal disharmony between the governing legislation in the licensing mining authority. Law No. 23 of 2014 granting the authorizes of licenses to the provincial government, while Law No. 4 of 2009 provides the authority to grant permission to the district/city government. The disharmony conditions create legal uncertainty for mining entrepreneurs that will affect people's mining business climate in the area, so it is suggested that the central government and the parliament (DPR), need to review the authority regulation in the management of non-metallic mineral and rock mining, to restore the authority of licensing in the perspective of local government legal regime area to the district/city, because of its control range with actors and mining areas tend to be shorter so effective and efficient.
Pluralisme Hukum dalam Mekanisme Penyelesaian Sengketa Sumber Daya Alam di Aceh
Baktu Bakti
Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol 17, No 1 (2015): Vol. 17, No. 1, (April, 2015)
Publisher : Universitas Syiah Kuala
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
ABSTRAK: Pluralisme hukum merupakan turunan dari realitas pluralisme sosial mereka, maka hanya ada satu sistem hukum dalam masyarakat bahwa mengabaikan kenyataan. Studi pluralisme hukum, yang awalnya terbatas pada konflik antara hukum negara dan hukum adat, atau hukum yang timbul dalam masyarakat luar hukum negara. sekarang mulai tumbuh pengakuan hukum lainnya, seperti hukum agama dan hukum internasional. Pengembangan pluralisme hukum di Indonesia mulai mengarah pada pengakuan dan penegakan hukum adat memungkinkan ruang oleh hukum nasional. Tetapi untuk konteks Aceh, pengakuan hukum oleh negara (hukum setempat disebut sebagai qanun) tentang hukum adat dapat diartikan bahwa itu adalah berarti hukum negara yang mengatur prosedur hukum adat. Qanun bahkan untuk mengatur prosedur atau mekanisme adat dan jenis sanksi. Legal Pluralism in The Dispute Settlement Mecanism of Natural Resource in Aceh ABSTRACT: Legal pluralism is a derivative of their social pluralism reality, then there is only one system of law in society is that ignoring to the reality. Study of legal pluralism which was initially limited to a conflict between state law and customary law or law that arise in the community outside of the state law. Right now start growing recognition of other law, such as religious law and international law. The development of legal pluralism in Indonesia began to lead to the recognition and enforcement of customary law allowing room by national law. But for the context in Aceh, legal recognition by the state (local law / qanun) on customary law can be interpreted that it is mean that state law regulating the procedure of customary law. Qanun even to set up procedures or mechanisms of indigenous and the types of sanctions.