cover
Contact Name
Dominikus Sukristiono
Contact Email
seminarfilsafat.teo@usd.ac.id
Phone
+62274-880957
Journal Mail Official
seminarfilsafat.teo@usd.ac.id
Editorial Address
Fakultas Teologi, Universitas Sanata Dharma Jl. Kaliurang Km. 7, Yogyakarta, Indonesia Kotak Pos : 1194, Yogyakarta 55011 Telp : 0274-880957
Location
Kab. sleman,
Daerah istimewa yogyakarta
INDONESIA
Proceedings of The National Conference on Indonesian Philosophy and Theology
ISSN : 30471451     EISSN : 30470714     DOI : https://doi.org/10.24071/snf
Proceedings of the National Conference on Indonesian Philosophy and Theology is an academic journal organized and operated by Faculty of Theology, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, Indonesia. The Theological Faculty has been acknowledged as the Pontifical Faculty of Theology “Wedhabakti” by the Holy See. These proceedings aim to disseminate reflections on Philosophy and Theology, especially those conducted in or related to the Indonesian context. The proceedings conduct interdisciplinary and monodisciplinary reflections and are scientific publications with a peer review process. The themes in these proceedings include (but are not limited to): Methods of Philosophy and Theology, Philosophy of Religion, Metaphysics, Epistemology, Philosophy of Education, Empirical Research in Philosophy and Theology, Public Philosophy and Theology, Eastern Thought, Socio-Political Philosophy, Interreligious Dialogue, Ecological Theology, Ethno-religiosity, and Socio-Biblical Studies. The Proceedings conduct a rigorous process of paper submission. We welcome only selected (and invited) papers, both in Bahasa Indonesia and in English, that has been accepted and presented at the Annual Seminar on Indonesian Philosophy and Theology (Seminar Nasional Filsafat dan Teologi Indonesia), and those that are suggested by the Chief Editor of the Annual Seminar. The suggested papers will be peer reviewed by our editors and independent reviewers.
Articles 61 Documents
Moralitas Menurut Friedrich Nietzsche: Eksplorasi “Mentalitas Budak” Cahyanto, Dionysius Widi
Proceedings of The National Conference on Indonesian Philosophy and Theology Vol 1, No 2 (2023): Proceedings of The National Conference on Indonesian Philosophy and Theology
Publisher : Fakultas Teologi, Universitas Sanata Dharma

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24071/snf.v1i2.8372

Abstract

This writing explores the life and thoughts of Friedrich Nietzsche, a German philosopher known for his critique of Christian morality and traditional concepts in society. Nietzsche, who was born into a devout Christian family, developed views that opposed Christian morality, which he believed created a slave mentality. He advocated for a morality focused on self-preservation and the elevation of individual dignity, proposing the concept of the superior human or ubermensch that emphasizes strength, courage, and freedom. Nietzsche's thoughts led to egoism and a rejection of absolute authority, emphasizing the importance of individuals to develop themselves to the fullest. This writing also discusses how Nietzsche's thoughts remain relevant in contemporary contexts, urging individuals to prioritize themselves and achieve their best potential. Additionally, the author highlights how Nietzsche, as a productive thinker, has influenced many existentialist philosophers and the development of modern Western philosophy with his nihilistic views. While his contributions are acknowledged as significant, this writing also underscores that his views pose new dangers to current philosophical thinking. ABSTRAKTulisan ini mengeksplorasi kehidupan dan pemikiran Friedrich Nietzsche, seorang filsuf Jerman yang dikenal karena kritiknya terhadap moralitas Kristen dan konsep-konsep tradisional dalam masyarakat. Nietzsche, yang lahir dalam keluarga Kristen yang taat, mengembangkan pandangan yang menentang moralitas Kristen yang ia anggap menciptakan mentalitas budak. Ia mengadvokasi moralitas yang berfokus pada pemeliharaan diri dan peningkatan martabat individu, dengan mengusulkan konsep manusia unggul atau ubermensch yang menekankan kekuatan, keberanian, dan kebebasan. Pemikiran Nietzsche mengarah pada egoisme dan penolakan terhadap otoritas absolut, serta menekankan pentingnya individu untuk berkembang sebaik mungkin. Tulisan ini juga membahas bagaimana pemikiran Nietzsche masih relevan dalam konteks kontemporer, mengajak individu untuk mengutamakan diri sendiri dan mencapai potensi terbaik mereka. Selain itu, penulis juga menyoroti bagaimana Nietzsche, sebagai pemikir yang produktif, telah mempengaruhi banyak filsuf eksistensialis dan perkembangan filsafat Barat modern dengan pandangan nihilistiknya. Meskipun kontribusinya diakui penting, tulisan ini juga menggarisbawahi bahwa pandangannya menimbulkan bahaya baru bagi pemikiran filsafat saat ini.
Kajian Teologi Pastoral terhadap Artificial Intelligence dalam Praktek-praktek Religius Andreas Gandhi Raka
Proceedings of The National Conference on Indonesian Philosophy and Theology Vol 2, No 2 (2024): Proceedings of The National Conference on Indonesian Philosophy and Theology
Publisher : Fakultas Teologi, Universitas Sanata Dharma

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24071/snf.v2i2.8508

Abstract

Lately, artificial intelligence has been rapidly advancing and is increasingly being utilized, both by experts in various fields and by the public in common. This article provides a study of the theology of pastoral on the specific use and influence of AI in ChatGPT. By reviewing the utilization of chatbot in various religious practices such as sermon creation, spiritual guidance, and access to religious teachings, this research explores the extent to which chatbot can assist in religious practices. This research includes evaluation of its usage and consideration of its risks associated with the use of AI technology particularly in religious practices. Exploring AI chatbots' potential could help technology as catalysts for transformation of religious practices nowaday. Furthermore, we can direct technology as a tool to enrich faith and the spiritual dimensions of humanity in this digital era.AbstrakBelakangan ini artificial intelligence berkembang dengan pesat dan semakin banyak digunakan, baik dalam bidang ahli maupun oleh masyarakat pada umumnya. Artikel ini memberikan kajian teologi pastoral terhadap penggunaan dan pengaruh AI secara khusus dalam chatbot ChatGPT. Dengan melihat penggunaan chatbot dalam beberapa praktik religius, seperti pembuatan khotbah, bimbingan rohani, dan akses terhadap ajaran iman, penelitian ini mengeksplorasi sejauh mana chatbot dapat membantu dalam praktek religius. Penelitian ini juga meliputi evaluasi dan pertimbangan mengenai resiko penggunaan teknologi AI untuk melihat dampak yang mungkin muncul. Dengan mengeksplorasi chatbot AI, diharapkan teknologi dapat menjadi katalisator transformasi praktik religius. Selain itu, kita dapat menjaga agar teknologi tetap dapat menyentuh dan memperkaya iman dan atau dimensi spiritualitas manusia di era digital ini. 
Eupraxsophy: Sebuah Pandangan tentang Humanisme Sekular Menurut Paul Kurtz Heribertus Geroda Hayon
Proceedings of The National Conference on Indonesian Philosophy and Theology Vol 1, No 1 (2023): Proceedings of The National Conference on Indonesian Philosophy and Theology
Publisher : Fakultas Teologi, Universitas Sanata Dharma

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24071/snf.v1i1.8366

Abstract

This article discusses the concept of humanism, especially in the context of secular humanism as advocated by Paul Kurtz. Humanism, as a movement that emerged during the Renaissance, emphasizes the importance of happiness, freedom, and human rights. Kurtz, a significant figure in secular humanism, articulates a worldview that focuses on courage, cognition, and compassion as fundamental virtues guiding human life. While Kurtz argues that humans can behave morally without relying on God, this text states that religion can also motivate good behavior. Furthermore, secular humanism emphasized by Kurtz relies on rationality, science, and technology as means to enhance human well-being, based on naturalism and disregarding the role of God. This text seeks to delve into Kurtz's views on secular humanism while exploring the debate on the role of religion in promoting good behavior. ABSTRAKTulisan ini membahas tentang konsep humanisme, teristimewa dalam konteks humanisme sekuler Paul Kurtz. Humanisme, sebagai gerakan yang berkembang selama masa Renaissance, menyoroti pentingnya kebahagiaan, kebebasan, dan hak asasi manusia. Kurtz, seorang tokoh penting dalam humanisme sekuler, mengartikulasikan pandangan hidup yang berfokus pada keberanian, kognisi, dan kepedulian sebagai kebajikan dasar yang mengarahkan kehidupan manusia. Kendati Kurtz berpendapat bahwa manusia dapat berperilaku baik tanpa perlu mengandalkan Tuhan, tulisan ini menyatakan bahwa agama juga dapat memotivasi perilaku baik. Selain itu, humanisme sekuler yang ditekankan oleh Kurtz, mengandalkan rasionalitas, ilmu pengetahuan, dan teknologi sebagai sarana untuk meningkatkan kesejahteraan manusia, dengan berlandaskan pada naturalisme dan mengesampingkan peran Tuhan. Tulisan ini berusaha menggali pandangan Kurtz tentang humanisme sekuler, sambil mengeksplorasi perdebatan tentang peran agama dalam mendorong perilaku baik.
Komunitas Sega Mubeng, sebuah Kajian Tentang Peran Aktor Sosial dalam Membangun Relasi Lintas Agama Laksono, Stephanus Bayu; Lelono, Martinus Joko
Proceedings of The National Conference on Indonesian Philosophy and Theology Vol 2, No 1 (2024): Proceedings of The National Conference on Indonesian Philosophy and Theology
Publisher : Fakultas Teologi, Universitas Sanata Dharma

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24071/snf.v2i1.8491

Abstract

In Yogyakarta, a community was born that emerged from a concern in society. This community is called Sega Mubeng Community. This community is a social community initiated by the Catholic Church. Care and concern for others are the main mission of this community. Concretely, caring for others is carried out by sharing packed rice for others on the side of the road, such as: pedicab drivers, beggars, buskers, and homeless people. As it grew, this community, initially attended only by people from the Catholic Church, later transformed into an interfaith community in which people from outside the Catholic Church also participated. The Sega Mubeng Community is an interfaith community model that may be implemented in the future. Using Anthony Giddens' structural theory approach, this article will discusss the role of social actors in initiating change in society. Learning from Giddens, there will always be individuals who understand their society and initiate change. In this case, the Sega Mubeng community is an example of a social change movement that takes place through the role of social actors.AbstrakDi Yogyakarta lahir sebuah komunitas yang muncul dari sebuah keprihatinan di tengah masyarakat. Komunitas tersebut bernama Komunitas Sega Mubeng. Komunitas ini adalah sebuah komunitas sosial yang diinisiasi oleh Gereja Katolik. Perhatian dan kepedulian terhadap sesama menjadi misi utama dari komunitas ini. Secara konkret, kepedulian terhadap sesama dilakukan dengan kegiatan berbagi nasi bungkus kepada sesama yang berada di pinggiran jalan, seperti: tukang becak, pengemis, pengamen dan gelandangan. Dalam perkembangannya, komunitas yang pada awalnya hanya diikuti oleh orang-orang dari Gereja Katolik ini kemudian diikuti juga oleh orang-orang di luar Gereja Katolik. Komunitas Sega Mubeng menjadi salah satu model komunitas lintas agama yang dapat dilakukan di masa mendatang. Melalui pendekatan teori strukturasi Anthony Giddens, tulisan ini akan membahas tentang bagaimana peran aktor sosial di dalam menginisiasi sebuah perubahan di tengah masyarakat. Belajar dari Giddens, akan selalu ada individu-individu yang memahami masyarakatnya dan menginisiasi perubahan. Dalam hal ini Komunitas Sega Mubeng menjadi salah satu contoh gerakan perubahan di tengah masyarakat yang terjadi karena peran dari aktor sosial.
Prinsip-Prinsip Teori John Locke dan John Stuart Mill Terhadap Penyelesaian Kasus Korupsi di Indonesia Gregorius Rupang; Carolus Borromeus Mulyatno
Proceedings of The National Conference on Indonesian Philosophy and Theology Vol 2, No 2 (2024): Proceedings of The National Conference on Indonesian Philosophy and Theology
Publisher : Fakultas Teologi, Universitas Sanata Dharma

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24071/snf.v2i2.8503

Abstract

Since birth, humans have human rights that cannot be challenged by anyone. Even when a state is formed with such a system of power, it cannot take away human rights. The rights to life, liberty and property are rights that have been inherent in humans since birth. When humans form a country and use their freedom to elect a few people to be their leaders, these leaders automatically hold the people's mandate to create justice and social prosperity. However, citizens are also free to dismiss a government that acts arbitrarily, for example because it has committed corruption. Corruption is the same as taking away human rights, where funds used for the welfare of the people are taken by the authorities for their personal or group welfare. In this paper the author tries to help minimize social injustice, through the principles of authority and freedom put forward by John Locke and John Stuart Mill. The author will describe several cases of corruption committed by government officials and then help readers on how to take a stance on this corruption phenomenon based on the thoughts of John Locke and John Stuart Mill.AbstrakManusia sejak lahir telah memiliki hak sasi yang tidak boleh digugat oleh siapapun. Bahkan ketika negara terbentuk dengan sistem kekuasaan yang sedemikian rupa, tidak boleh merenggut hak asasi manusia. Hak atas hidup, kebebasan, dan milik merupakan hak yang telah melekat pada manusia sejak lahir. Ketika manusia membentuk negara dan menggunakan kebebasannya untuk memilih segelintir orang menjadi pemimpinnya, maka secara otomatis para pemimpin tersebut memegang amanah rakyat untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan sosial. Akan tetapi, warga juga bebas memberhentikan pemerintah yang bertindak sewenang-wenang, misalnya karena telah melakukan korupsi. Korupsi sama saja merenggut hak asasi manusia, di mana dana yang digunakan untuk kesejahteraan rakyat justru diambil oleh penguasa untuk kesejahteraan pribadi atau kelompoknya. Dalam paper ini penulis mencoba membantu meminimalisir ketidakadilan sosial, melalui prinsip-prinsip otoritas dan kebebasan yang dikemukakan oleh John Locke dan John Stuart Mill. Penulis akan memaparkan beberapa kasus korupsi yang dilakukan oleh pejabat pemerintahan lalu membantu pembaca bagaimana mengambil sikap terhadap fenomena korupsi ini berdasarkan pemikiran John Locke dan John Stuart Mill.
Pandangan Jürgen Habermas Tentang Iman dan Akal Budi dan Implikasinya bagi Diskursus Seputar Peran Publik Agama di Indonesia Madung, SVD, Otto Gusti
Proceedings of The National Conference on Indonesian Philosophy and Theology Vol 2, No 1 (2024): Proceedings of The National Conference on Indonesian Philosophy and Theology
Publisher : Fakultas Teologi, Universitas Sanata Dharma

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24071/snf.v2i1.8487

Abstract

This essay describes the most important aspects of the relationship between religion and the state, especially in the case of Indonesia. It argues that, on the one hand, religion and belonging to one’s religion should be acknowledged as a fundamental human right, and on the other, religion should also be protected by the state. Unfortunately, most of the time the state seems to prioritise religion over the people. As a result, minority groups may experience marginalisation, violence, and discrimination. In this regard, I will show that Habermas' view of the relation between reason and faith offers a cogent framework for structuring Indonesia's normative interaction between politics and religion. This paper makes the case that the state's function in the Indonesian pluralistic society is to ensure religious freedom rather than to defend religion. Habermas holds that religion in has a substantial role in the public sphere even in a secular society. On the other hand, religions in a pluralistic society must also learn to reconcile disparities of their core ethical and metaphysical ideas. As a result, religions living in Indonesia may contribute to uphold democracy, human rights, equality, and freedom.AbstrakTulisan ini menjelaskan aspek-aspek terpenting dalam hubungan antara agama dan negara, khususnya di Indonesia. Saya berpendapat bahwa, di satu sisi, memeluk sebuah agama harus diakui sebagai hak asasi manusia, dan di sisi lain, agama juga harus dilindungi oleh negara. Sayangnya, seringkali negara tampaknya lebih memprioritaskan agama daripada manusia. Akibatnya, kelompok minoritas dapat mengalami marjinalisasi, kekerasan, dan diskriminasi. Dalam hal ini, saya akan menunjukkan bahwa pandangan Habermas tentang hubungan antara akal budi dan iman menawarkan kerangka kerja yang masuk akal untuk menata interaksi normatif antara politik dan agama di Indonesia. Fungsi negara dalam masyarakat Indonesia yang majemuk adalah untuk menjamin kebebasan beragama, bukan untuk membela agama. Habermas juga berpendapat bahwa agama memiliki peran penting dalam ruang publik bahkan dalam masyarakat sekuler. Di sisi lain, agama-agama dalam masyarakat majemuk juga harus belajar untuk mendamaikan perbedaan-perbedaan dalam gagasan-gagasan inti etika dan metafisika mereka. Dengan demikian, agama-agama yang hidup di Indonesia dapat berkontribusi dalam menegakkan demokrasi, hak asasi manusia, kesetaraan, dan kebebasan.
Solidaritas Global Sebagai Cara Membangun Kebijakan Publik di Indonesia Adi Nugraha, Antonius Bagas Prasetya
Proceedings of The National Conference on Indonesian Philosophy and Theology Vol 2, No 1 (2024): Proceedings of The National Conference on Indonesian Philosophy and Theology
Publisher : Fakultas Teologi, Universitas Sanata Dharma

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24071/snf.v2i1.8483

Abstract

This paper is organized to look at the urgency of global solidarity as a means to build public policy in Indonesia. Indonesia, as a country with diverse challenges, including environmental issues, poverty, and social inequality, increasingly recognizes the need to work together with the international community to achieve sustainable development goals. Global solidarity reminds us that these challenges are not only local problems, but also global problems that require cooperation across borders. The global solidarity referred to here is one that leads to a Catholic moral ethic that seeks to prioritize justice and peace. Meanwhile, public policy itself requires strengthening in the field of human behavior. Through literature research on Hollenbach's thoughts, the question arises whether solidarity is important in living as a citizen? Public policy is not just making rules in such a way that they must be obeyed, obliged, and carried out by the community. Public policy is first and foremost about creating a sense of citizenship guided by humanity towards the common good.AbstrakTulisan ini disusun untuk melihat urgensi solidaritas global sebagai sarana untuk membangun kebijakan publik di Indonesia. Indonesia, sebagai negara dengan beragam tantangan, termasuk isu-isu lingkungan, kemiskinan, dan ketidaksetaraan sosial, semakin mengakui perlunya bekerja sama dengan komunitas internasional untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan. Solidaritas global mengingatkan kita bahwa tantangan-tantangan ini tidak hanya merupakan masalah lokal, tetapi juga masalah global yang memerlukan kerja sama lintas batas. Solidaritas global yang dimaksud di sini adalah solidaritas yang mengarah pada etika moral Katolik yang berusaha mengedepankan keadilan dan perdamaian. Sedangkan kebijakan publik sendiri memerlukan penguatan dibidang perilaku manusia. Melalui penelitian pustaka pada pemikiran Hollenbach, muncul pertanyaan apakah solidaritas menjadi penting dalam menghidupi diri sebagai warga negara? Kebijakan publik bukan hanya membuat tata aturan sedemikian rupa sehingga harus ditaati, diwajibkan, dan dijalankan oleh masyarakat. Kebijakan publik adalah pertama-tama membentuk rasa merasa sebagai warga dengan berpedoman pada kemanusiaan menuju kebaikan bersama.
Konsep Kebebasan Menurut Will Kymlicka Fidelis Solilit
Proceedings of The National Conference on Indonesian Philosophy and Theology Vol 2, No 2 (2024): Proceedings of The National Conference on Indonesian Philosophy and Theology
Publisher : Fakultas Teologi, Universitas Sanata Dharma

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24071/snf.v2i2.8518

Abstract

This article talks about Will Kymlicka's concept of freedom. It should be noted that the emergence of Kymlicka's idea of freedom is inseparable from his big theme of "Multiculturalism". Kymlicka defines multiculturalism so that everyone must be treated properly by looking at their rights, because everyone has freedom both individually and in groups that are reflected in culture. For this reason, the most basic thing emphasized by Kymlicka is freedom. What kind of freedom does she offer? Kymlicka divides freedom into liberalism and individual freedom. As well as freedom in the context of culture. Therefore, I see that in reality everyone, be it from ethnicity, race, and so on, has the same rights. Free to express their opinions without any pressure from any party or group. The emergence of this concept was caused by the injustice experienced by Canadian society at that time. The issue raised is how Kymlicka strives for equality in everyone individually, as well as in groups. This means that everyone must receive the same treatment without discriminating between one group and another. Freedom means that there is an attitude of acceptance within each individual. The author will discuss why Will Kymlicka sees freedom as one of the most concerned ideas, in impacting the cultures of each ethnic group, race and so on.Abstrak:Artikel ini berbicara mengenai konsep kebebasan Will Kymlicka. Perlu diketahui bahwa munculnya gagasan kebebasan dari Kymlicka tidak terlepas dari tema besarnya “Multikulturalisme”. Kymlicka mendefinisikan multikulturalisme agar setiap orang harus diperlakuan layak dengan melihat pada hak-haknya, karena setiap orang memiliki kebebasan baik secara individu maupun kelompok yang tercermin dalam kebudayaan. Untuk itu, hal yang paling dasar ditenkankan oleh Kymlicka mengenai   keebebasan. Kebebsan seperti apa yang ditawarkan olehnya? Kymlicka membagi kebabesan menjadi, kebebasan liberalisme dan kebebasan individu. Serta kebebasan dalam konteks kebudayaan. Oleh karena itu, saya melihat pada kenyataanya setiap orang baik itu dari suku, etnis, ras, dan sebagainya, mempunyai hak yang sama. Bebas mengungkapkan pendapat tanpa ada tekanan dari pihak atau golongan mana pun. Munculnya konsep ini, disebabkan oleh ketidakadilan yang dialami oleh masyarakat Kanada saat itu. Persoalan yang diangkat adalah bagaimana Kymlicka mengupayakan agar ada kesetaraan dalam diri setiap orang yang secara individu, maupun kelompok. Artinya, setiap orang harus mendapat perlakuan yang sama tanpa membeda-bedakan kelompok yang satu dengan kelompok yang lain. Kebebasan dimaksudkan adanya sikap penerimaan dalam diri setiap individu. Penulis akan membahas mengapa Will Kymlicka melihat kebebasan sebagai salah satu gagasan yang sangat diperhatikan, dalam memberikan dampak bagi kebudayaan-kebudayaan dari setiap kelompok etnis, ras dan sebagainya.
Moralitas Teknologi: Etika dalam Media Sosial Perspektif Immanuel Kant Sahang, Yakobus
Proceedings of The National Conference on Indonesian Philosophy and Theology Vol 1, No 2 (2023): Proceedings of The National Conference on Indonesian Philosophy and Theology
Publisher : Fakultas Teologi, Universitas Sanata Dharma

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24071/snf.v1i2.8373

Abstract

This article examines the impact of the development of digital technology, including smartphones and social media, on human morality using Kant's deontological framework. With advancements in technology such as computers, smart applications, and digital communication, human life has undergone significant transformation. The author highlights how the current trend of social media has a paradoxical effect of distancing individuals who are physically close while bringing closer those who are far away, and its implications on social ethics and moral obligations in society. This article emphasizes the importance of practicing good and proper social media ethics in the digital era, and how technology facilitates human social interactions. With reference to Kant's deontology, the author argues that morality and ethics are crucial in technology-mediated social interactions, emphasizing the importance of goodwill in human actions amidst rapid technological changes. ABSTRAKTulisan ini mengkaji dampak perkembangan teknologi digital, termasuk smartphone dan media sosial, terhadap moralitas manusia dengan menggunakan kerangka pemikiran deontologi Kant. Adanya kemajuan teknologi seperti komputer, aplikasi cerdas, dan komunikasi digital, kehidupan manusia mengalami transformasi signifikan. Penulis menyoroti bagaimana trend media sosial saat ini memiliki efek paradoks, yaitu menjauhkan individu yang secara fisik dekat sementara mendekatkan mereka yang jauh, serta implikasinya terhadap etika sosial dan kewajiban moral dalam masyarakat. Tulisan ini menekankan pentingnya etika bermedia sosial yang baik dan benar di era digital, serta bagaimana teknologi memfasilitasi interaksi sosial manusia. Dengan mengacu pada deontologi Kant, penulis berargumen bahwa moralitas dan etika sangat penting dalam interaksi sosial yang dimediasi teknologi, dan menekankan pentingnya kehendak baik dalam tindakan manusia di tengah perubahan teknologi yang pesat.
Artificial Intelligence dan (Persoalan tentang) Pekerjaan: Sebuah Tinjauan Filosofis dari Perspektif Vita Activa Hannah Arendt Ferdinandus Dhedhe; Antonius Redy Yanto Nahak
Proceedings of The National Conference on Indonesian Philosophy and Theology Vol 2, No 2 (2024): Proceedings of The National Conference on Indonesian Philosophy and Theology
Publisher : Fakultas Teologi, Universitas Sanata Dharma

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24071/snf.v2i2.8510

Abstract

Artificial Intelligence AI is the result of innovation and the proficiency of human technology. Technology like (AI) has the power to change humans including in terms of ability, expertise, time and handwork. This is the dilemmatic aspect of the emergence of AI. This article aims to examine the real technological developments and human innovations in AI and their impact on human handwork as a model of self-realization. The author analyzed this problem using a literature review method related to the Vita Activa concept initiated by Hannah Arendt. Starting from Arendt's criticism of the devaluation of the value of human action by the presence of AI, this research will show that active human involvement in handiwork still has the value of realizing the existence of human abilities. Thus, amidst human anxiety about the presence of AI, Hannah Arendt affirms the importance of human involvement in the public sphere.Abstrak  Artificial Intelligence (AI) adalah hasil inovasi dan kecakapan teknologi manusia. Teknologi seperti ini (AI) memiliki daya mengubah manusia termasuk dalam hal kemampuan, keahlian, waktu dan kerja tangan. Inilah aspek dilematis dari kemunculan AI. Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji perkembangan teknologi dan inovasi manusia yang nyata dalam AI dan impaknya terhadap kerja tangan manusia sebagai satu model perwujudan dirinya. Persoalan ini dianalisis penulis dengan menggunakan metode kajian pustaka terkait konsep Vita Activa yang digagas oleh Hannah Arendt. Bertolak dari kritik Arendt terhadap devaluasi nilai tindakan manusia oleh kehadiran AI, penelitian ini hendak memperlihatkan bahwa keterlibatan aktif manusia dalam karya tangan tetap memiliki nilai pengejawantahan eksistensi kemampuan manusia. Dengan demikian, di tengah kecemasan manusia akan kehadiran AI, Hannah Arendt mengafirmasi pentingnya keterlibatan manusia di dalam ruang publik (public sphere).